Dira membulatkan matanya. Dia tidak menyangka jika ternyata Dima memperlihatkan pengaman.“Kapan kamu beli?” tanya Dira memastikan. Kemarin dia tidak melihat Dima membeli. Jadi dia begitu penasaran sekali.“Kemarin saat kita di minimarket. Karena ada di kasir. Aku langsung membelinya.” Dima mencoba menjelaskan.“Kenapa aku tidak lihat.” Dira merasa Dima mencuri-curi darinya.Dima hanya tersenyum. “Mau coba?” tanyanya.“Apa benar itu bisa mencegah kehamilan?” Dira memastikan lebih dulu.“Harusnya aman jika tidak ada kebocoran. Lagi pula klaimnya aman.” Dima mencoba meyakinkan sang istri.Dira tersipu malu. “Ayo, coba.”Mendapati persetujuan sang istri, Dima langsung memutar tubuh sang istri. Membalikkan tubuh sang istri berada di dalam kungkungannya. Sambil mendaratkan ciuman, tangan Dima membuka satu per satu pakaian yang melekat di tubuh sang istri. Dima menggigit bungkus alat pengaman yang dibawanya. Membuka bungkus alat pengaman tersebut, kemudian mengeluarkan isinya.Dira sering
“Kenapa bertanya seperti itu?” Dima langsung menghampiri Dira. “Kedewasaan seseorang tidak dilihat dari wajahnya atau umurnya. Jadi jangan berpikir jika kamu tidak dewasa. Kamu bisa mandiri adalah sebuah kedewasaan. Dengan memutuskan sesuatu yang berat dengan tenang adalah sebuah kedewasaan.” Dima mencoba memberikan pengertian pada Dira.Dira tidak menyangka jika di mata Dima, dirinya tidak dianggap anak kecil.“Aku justru bangga padamu. Di usia muda kamu harus mengurus mamamu. Saat mamamu meninggal kamu berani ke sini sendiri. Awal di sini saja kamu minta perkerjaan apa saja. Itu adalah hal menakjubkan yang aku lihat darimu. Tidak semua orang bisa menjalani seperti yang kamu jalani. Belum tentu yang umurnya lebih tua darimu juga bisa melakukannya.”Dira berkaca-kaca. Dia langsung memeluk Dima. Merasa begitu bahagia karena Dima tidak memikirkan hal seburuk yang dipikirkannya.“Dengan kamu memutuskan untuk tidak punya anak lebih dulu adalah sebuah kedewasaan juga. Karena artinya, kamu
“Dira datang bulan, Ma. Jadi aku akan berangkat sedikit siang, menunggu keadaan Dira lebih baik.” Dima mencoba menjelaskan pada sang mama.Mama Ale cukup terkejut dengan yang didengarnya. Artinya Dira tidak hamil. Menantunya itu tidak akan memberikannya cucu. Sepertinya Mama Ale harus lebih bersabar lagi. Karena Dira harus menyelesaikan kuliahnya dulu.Dima melanjutkan langkahnya ke dapur. Dengan segera dia membuat teh hangat. Secangkir teh yang tersaji pun akhirnya jadi. Dima segera membawa ke kamarnya untuk diberikan pada Dira.Di kamar, Dira sudah menegakkan kembali tubuhnya. Bersandar ke tempat tidur. Perutnya sudah tidak sesakit tadi. Kompres yang diberikan Dima benar-benar memberikan dampak yang luar biasa.Pintu yang terbuka membuat Dira mengalihkan pandangan pada pintu. Dari balik pintu, Dira melihat Dima yang membawa cangkir di tengannya. Suaminya itu benar-benar perhatian sekali.“Kamu sudah bangun?” Dima mengulas senyum ketika melihat sang istri.“Sudah sedikit lebih baik.
“Rasanya enak.” Dira baru mencicip sedikit. Kemudian menjawab pertanyaan Dima. Tak menunggu lama, dia kembali meminum minuman yang dibuatkan Mama Ale padanya.Dima melihat sang istri tampak menikmati. Hal itu membuatnya penasaran.“Apa aku boleh mencicip?” tanya Dima.“Kamu mau coba?” Dira menatap sang suami.“Mau.” Dima mengangguk.Akhirnya Dira memberikan minuman itu pada Dima. Dima segera mencoba minuman tersebut. Saat merasakan minuman tersebut, dia merasa begitu terkejut. Karena ternyata rasanya benar-benar enak. Jika begini rasanya, tidak datang bulan pun dia senang.“Ternyata enak.” Dima memberikan pada sang istri.“Bagaimana bisa mama membuat minuman seenak ini?” Dira tak habis pikir. Sang mertua benar-benar luar biasa.“Entah, mungkin itu keahlian tersembunyi mama. Karena di rumah tidak ada anak perempuan, jadinya tidak pernah tersalurkan.“Bisa jadi.” Dira membenarkan apa yang diucapkan sang suami.Setelah menunggu sebentar, akhirnya makanan yang dipesan Dima datang juga. Di
“Kenapa harus mengatakan itu pada oma?”Saat sampai di kamar, Dima langsung melemparkan pertanyaan itu pada istrinya. Dia merasa jika sang istri terlalu berlebihan menjawab ucapan omanya. Lagi pula, dia sedang berusaha keras untuk pelan-pelan mengatakan hal itu pada omanya. Karena dia sadar nenek-nenek terkadang lebih susah dibanding anak kecil. Jadi harus mengambil momen yang pas. “Aku mengatakan apa adanya. Apa yang salah. Anak adalah tanggung jawab kita. Jadi kita yang bertanggung jawab menjaga. Bukan mama atau oma.” Dira merasa jika itulah yang dilakukan sang mama dulu. Neneknya tidak pernah campur tangan sama sekali. Dia benar-benar diasuh oleh sang mama.“Iya, aku tahu. Anak adalah tanggung jawab penuh kita. Jadi kita yang berhak untuk menentukan semua, tapi orang tua jaman dulu tidak memahami itu. Mereka lebih cenderung masih berpikir kolot. Jadi kita harus memberikan penjelasan pelan-pelan.” Dima mencoba menjelaskan pada Dira.“Tapi, jika kita tidak tegas. Mereka akan mengatu
Pemandangan pertama yang dilihat Dira adalah Dima. Suaminya itu berada tepat di depannya. Kemarin, Dira benar-benar kecewa sebenarnya. Karena jelas-jelas Dima menyalahkan apa yang lakukannya. Dira merasa tindakan tegas yang dilakukan agar tidak terus didesak untuk memiliki anak. Sayangnya dianggap berbeda oleh Oma Mauren.Jika ditanya suka tidak Dira berdebat, jawabannya tentu tidak. Dira tidak suka bertengkar dengan Dima. Namun, pertengkaran itu terjadi begitu saja.Tepat saat sedang memandangi Dima, tiba-tiba Dima membuka mata. Hal itu membuat Dira langsung berbalik. Menghindari tatapan mata dengan Dima.Dima cukup terkejut ketika membuka mata, ternyata sang istri sedang melihat ke arahnya. Namun, sayangnya Dima harus kehilangan pemandangan indah itu. Karena Dira langsung berbalik menghindarinya.Dima mengangsur tubuhnya. Kemudian memeluk Dira dari belakang. Saat pelukan itu diberikan, Dira hanya memilih diam.“Apa kita bisa bicara dari hati ke hati?” Dima berbisik.Dira merasa jika
“Kenapa ke sini?” Arlo melemparkan protes ketika melihat kekasihnya datang.“Kenapa tidak boleh?” tanya Fazila polos. Selama ini Arlo belum mengenalkan Fazila pada keluarganya dan sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk memperkenalkannya Fazila pada keluarganya. “Arlo, siapa yang datang?” Mama Ale menghampiri anak bungsunya. Saat sampai di depan pintu, dia melihat seorang wanita di sana.“Siang, Tante.” Fazila menyapa Mama Ale. Senyum manis menghiasi wajahnya.“Siang.” Mama Ale menyapa balik. Dia yakin itu adalah kekasih Arlo. Selama ini, Mama Ale tahu jika Arlo punya kekasih, tetapi anaknya memang belum pernah mengenalkan kekasihnya itu. “Suruh masuk. Jangan biarkan tamu di depan pintu.” Mama Ale menegur Arlo.“Iya, Ma.” Arlo tidak ada pilihan. Karena itu dia mempersilakan Fazila masuk. “Ayo, masuk,” ajaknya.Fazila segera masuk. Dengan sopan dia mencium tangan Mama Ale. Sikap Fazila ini menarik perhatian Mama Ale. Kesan pertama yang cukup baik.“Ini ada sedikit kue, Tante.” Fa
“Untuk apa kamu ikut?” tanya Oma Mauren.“Ikut saja.” Dima masih tetap dengan pendiriannya.“Kalau kamu ikut, Oma tidak jadi berangkat.” Oma Mauren langsung berubah pikiran. Tadinya dia ingin menghindari Dima dan Dira, tapi justru cucunya itu mau ikut. “Kalau begitu aku akan makan di sini saja.” Dima tersenyum.“Terserah.” Oma Mauren masuk ke dalam rumah. Mengabaikan Dima dan Dira.Dima hanya tersenyum melihat sang nenek berlalu begitu saja. Tidak mempermasalahkan sikap neneknya itu.“Bagaimana ini? Oma masih tidak mau bicara dengan aku.” Dira begitu takut sekali. Dia merasa jika Oma Mauren benar-benar marah dengannya.“Tenang saja. Nanti juga oma akan luluh.” Dima meyakinkan sang istri. “Ayo.” Dima segera mengajak sang istri untuk masuk ke rumah.Mereka berdua masuk ke rumah. Saat masuk ke dalam rumah tampak Opa David keluar dari kamar.“Kalian di sini?” Opa David menatap cucu dan cucu mantunya itu.“Iya, Opa, mau makan siang di sini.” Dima menjawab apa adanya.“Kebetulan, Oma sedan