Dima hanya tersenyum. Dia merasa jika bisa jadi karyawan sudah tahu. Jadi wajar para karyawan tersenyum pada Dira. Jika sampai mereka cemberut, jelas Dima akan bertindak. Tidak rela jika istrinya diperlakukan seperti itu.Lift terbuka, Dima dan Dira segera keluar dari dalam lift. Saat sampai di depan ruangan Dima, tidak ada Ana di kursi sekretaris. Tampak wanita lain yang berada di sana. Wanita setengah baya itu tampak berdiri menyambut Dima. Mungkin umur wanita itu sekitar empat puluh tahun. Dira berpikir jika wanita itu adalah karyawan lama di Janita.“Selamat pagi, Pak.”“Pagi.” Dima mengangguk.“Perkenalkan saya Aina, sekretaris baru pengganti Ana.” Aina memperkenalkan diri.“Terima kasih, Aina. Semoga kamu betah di sini.” Dima segera berlalu ke ruanganya.Dira masih di tempatnya berpijak. Masih memikirkan kenapa Ana diganti. Suaminya tidak mengatakan apa-apa.“Perkenalkan saya, Aina, Bu.” Aina mengelurkan tangan pada Dira.“Panggil saja Dira, Bu.” Dira segera menerima uluran tan
“Aku minta ….” Dima menggantung ucapannya. “Kak, cepat katakan mau apa?” tanya Dira. Dia sudah di atas pangkuan Dima. Takut jika ada yang lihat dalam keadaan seperti ini. Dima mengangsur tubuhnya. “Kak Dima mau apa?” Dira panik. Takut suaminya melakukan yang tidak-tidak di kantor. Dima langsung tertawa. Melihat sang istri panik itu memang membuatnya gemas. “Kak, jangan bercanda. Cepat katakan apa mau Kak Dima.” Dira memukul tangan Dima yang melingkar di tub“Aku mau kamu jangan panggil aku ‘kak’. Aku merasa tidak nyaman dengan panggilan itu. Kamu ini istriku. Bagaimana bisa memanggil aku ‘kak’. Seperti adikku saja.” Dima sedikit menekuk bibirnya. Merasa kesal dengan panggilan Dira selama ini. Dira pikir Dima akan minta apa. Ternyata hanya meminta hal itu saja. “Baiklah. Lalu aku panggil apa?” tanyanya memastikan. “Panggil ‘sayang’ atau ‘honey’ atau ‘baby’ atau apa saja yang mesra.” Dima memberikan beberapa panggilan yang bisa dipilih Dira. Dira langsung memikirkan panggilan a
Mama Ale cukup terkejut dengan pertanyaan Dira. Dia merasa pertanyaan itu benar-benar di luar nalarnya. “Kamu belum siap jika punya anak?” tanya Mama Ale.“Belum, Ma. Aku mau kuliah dulu. Jika kuliahku selesai, baru rencananya aku akan punya anak.” Dira menyampaikan apa yang menjadi alasannya.Mama Ale terdiam. Jika dilihat dari umur mungkin Dira memang belum siap untuk menjadi seorang ibu. Dia ingin mengejar pendidikan lebih dulu sebelum memutuskan untuk menikah. Jadi wajar jika dia memilih jalan mencegah kehamilan. Walaupun mungkin dia bisa memberikan kemudahan untuknya, tetapi nyatanya Dira memilih untuk tidak hamil lebih dulu. Sebagai orang tua yang baik, bukankah dia harus mengizinkan anak-anak mereka melakukan apa yang anak-anak inginkan.“Ada beberapa cara.” Mama Ale mencoba menjelaskan.Dira dengan saksama mencoba mendengarkan. Dia harus memahami apa yang dijelaskan oleh mertuanya.“Cara pertama bisa pasang alat di dalam organ intim kita. Tapi, jika belum pernah melahirkan, di
“Dim, Mama mau bicara sebentar.”Sejak tadi Mama Ale menunggu waktu yang pas untuk bicara. Setelah makan malam, Dima memilih untuk ke kamarnya dan baru turun saat ingin menjemput Dira. Di saat inilah Mama Ale menggunakan waktu untuk bicara.“Tampaknya serius, Ma.” Dima menarik kursi di meja makan. Kebetulan tadi dia berniat untuk minum lebih dulu sebelum berangkat menjemput istrinya.“Serius tidak serius.” Mama Ale tersenyum.“Tentang apa ini?” Dima semakin penasaran sekali. Dia merasa jika ada hal yang benar-benar penting yang ingin dikatakan sang mama“Tadi pagi Dira bertanya tentang cara pencegahan kehamilan.” Mama Ale pun menjelaskan apa yang membuatnya sampai harus bicara dengan sang anak.Dima sebenarnya cukup terkejut ketika Dira bertanya pada mamanya seperti itu. Tampaknya memang Dira berniat serius untuk belum memiliki anak.“Mama sebenarnya tidak masalah jika kalian mau menunda kehamilan lebih dulu. Karena memang mengingat Dira ingin fokus kuliah dulu. Tapi, kamu tahu sendir
“Sayang, pertanyaanmu itu sangat menyinggung sekali?” Dima tidak habis pikir dengan yang ditanyakan Dira. Bisa-bisanya Dira bertanya hal konyol itu.Dira memikirkan pertanyaannya tadi. Dia bingung kenapa bisa pertanyaannya menyinggung. Dia merasa pertanyaannya tadi biasa saja. “Memang kenapa pertanyaanku menyinggung?” Dira yang tidak tahu pun memilih untuk bertanya.“Sayang, saat kamu bertanya apa aku pernah mencoba alat pengaman pria, itu seolah kamu menuduh aku sudah pernah melakukan hubungan suami-istri dengan wanita lain.” Dima mencoba menjelaskan apa yang dikatakan Dira padanya tadi.Dira mencerna penjelasan Dima barusan. “Aku tidak menuduh. Bukankah jika kamu belum pernah mencobanya tinggal jawab tidak.” Dia masih merasa pertanyaannya biasa saja.Dima mengembuskan napasnya. Berusaha untuk tetap tenang ketika sang istri masih tetap dengan pendiriannya. “Sayang, aku belum pernah melakukan hubungan suami-istri selain denganmu. Jadi aku tidak tahu.” Dima mencoba menjelaskan.“Kalau
“Bu Dira.” Ana memanggil Dira.“Kak Ana kenapa panggil ‘Bu’?” Dira merasa canggung ketika Ana memanggil seperti itu. Padahal awalnya Ana hanya memanggil nama padanya. “Karena Bu Dira adalah istri Pak Dima. Jadi saya memanggil ‘Bu’.” Ana mengungkapkan apa yang menjadi alasanya memanggil hal itu.Dira tidak mau memaksakan semuanya. Dia tahu pasti jika ini adalah bentuk penghormatan Ana padanya. “Baiklah.”“Saya ingin menyampaikan permintaan maaf karena sudah bertindak kasar pada Bu Dira waktu itu. Saya memang menyukai Pak Dima, tetapi tidak tahu jika Pak Dima sudah memiliki istri.” Ana sadar pekerjaan sangat sulit di dapatkan. Jika sampai dikeluarkan, tentu saja dia takut.“Aku juga minta maaf. Karena memang tidak mengatakan jika aku adalah istri Pak Dima. Karena memang pesta pernikahan kamu belum bisa dilaksanakan, jadi kami merahasiakan itu.” Dira memberikan alasan yang masuk akal.“Saya harap Bu Dira tetap mengizinkan saya bekerja di Janitra.”“Aku tidak punya kuasa apa-apa. Semua k
“Sayang, aku datang.”Dengan semangat Dima membuka pintu kamar mandi. Dia hanya memakai handuk sebatas pinggang. Wajahnya semringah ketika akan bercinta dengan sang istri.Sayangnya, Dima harus kecewa ketika tiba-tiba mendapati sang istri tertidur di tempat tidur.“Sayang ....” Dima memanggil sang istri.Tak ada jawaban dari sang istri. Tentu saja itu membuat Dima harus menelan kecewa. Saat sedang bergairah, sang istri justru meninggalkan sendiri.“Dia tidak tahu bagaimana tersiksanya aku.” Dima mengembuskan napasnya.Sebenarnya Dima bisa saja membangunkan Dira. Namun, dia tidak mau mengganggu istirahat sang istri. Apalagi tadi terlihat jika sebenarnya sang istri sangat lelah.“Sepertinya aku memang harus mandi air dingin untuk meredakannya.” Dima tidak punya pilihan. Karena dia benar-benar tidak bisa mengganggu sang istri.Akhirnya Dima kembali ke kamar mandi. Kembali mandi. Berharap hasratnya yang menggebu itu segera turun.Sekitar satu jam berlalu. Dira segera bangun. Dia tersadar
Dima yang ketakutan langsung beralih ke sisi tempat duduk Dira. Memeluk sang istri erat.“Sayang jika kamu ke sini, ini tidak akan seimbang.” Dira mendorong tubuh Dima.“Aku sudah bilang jangan naik seperti ini, tapi kamu tetap tidak mendengarkan aku.” Dima mencoba memberitahu apa yang dilakukan suaminya.“Ini tidak akan lama. Hal seperti ini biasa.” Dira mencoba meyakinkan Dima.“Tapi, aku takut.” Dima tidak mau melepaskan tubuh sang istri.“Duduk di tempatmu. Nanti kita akan jatuh jika hanya berat sebelah.” Dira terus mendorong Dima.Dengan segera Dima berpindah. Tak mau sampai jatuh karena berat sebelah.Selang beberapa saat kemudian biang lala kembali menyala. Kembali bergerak memutar.“Lihatlah hanya sebentar ‘kan.” Dira menatap sang suami.Dima bernapas lega karena biang lala kembali berputar. Dia tidak mau sampai terjebak di dalam biang lala.“Lihatlah pemandangan dari atas tampak indah.” Dira menunjuk ke arah luar.Dima sejak tadi tidak mau melihat ke arah luar. Dia benar-bena