“Dim, Mama mau bicara sebentar.”Sejak tadi Mama Ale menunggu waktu yang pas untuk bicara. Setelah makan malam, Dima memilih untuk ke kamarnya dan baru turun saat ingin menjemput Dira. Di saat inilah Mama Ale menggunakan waktu untuk bicara.“Tampaknya serius, Ma.” Dima menarik kursi di meja makan. Kebetulan tadi dia berniat untuk minum lebih dulu sebelum berangkat menjemput istrinya.“Serius tidak serius.” Mama Ale tersenyum.“Tentang apa ini?” Dima semakin penasaran sekali. Dia merasa jika ada hal yang benar-benar penting yang ingin dikatakan sang mama“Tadi pagi Dira bertanya tentang cara pencegahan kehamilan.” Mama Ale pun menjelaskan apa yang membuatnya sampai harus bicara dengan sang anak.Dima sebenarnya cukup terkejut ketika Dira bertanya pada mamanya seperti itu. Tampaknya memang Dira berniat serius untuk belum memiliki anak.“Mama sebenarnya tidak masalah jika kalian mau menunda kehamilan lebih dulu. Karena memang mengingat Dira ingin fokus kuliah dulu. Tapi, kamu tahu sendir
“Sayang, pertanyaanmu itu sangat menyinggung sekali?” Dima tidak habis pikir dengan yang ditanyakan Dira. Bisa-bisanya Dira bertanya hal konyol itu.Dira memikirkan pertanyaannya tadi. Dia bingung kenapa bisa pertanyaannya menyinggung. Dia merasa pertanyaannya tadi biasa saja. “Memang kenapa pertanyaanku menyinggung?” Dira yang tidak tahu pun memilih untuk bertanya.“Sayang, saat kamu bertanya apa aku pernah mencoba alat pengaman pria, itu seolah kamu menuduh aku sudah pernah melakukan hubungan suami-istri dengan wanita lain.” Dima mencoba menjelaskan apa yang dikatakan Dira padanya tadi.Dira mencerna penjelasan Dima barusan. “Aku tidak menuduh. Bukankah jika kamu belum pernah mencobanya tinggal jawab tidak.” Dia masih merasa pertanyaannya biasa saja.Dima mengembuskan napasnya. Berusaha untuk tetap tenang ketika sang istri masih tetap dengan pendiriannya. “Sayang, aku belum pernah melakukan hubungan suami-istri selain denganmu. Jadi aku tidak tahu.” Dima mencoba menjelaskan.“Kalau
“Bu Dira.” Ana memanggil Dira.“Kak Ana kenapa panggil ‘Bu’?” Dira merasa canggung ketika Ana memanggil seperti itu. Padahal awalnya Ana hanya memanggil nama padanya. “Karena Bu Dira adalah istri Pak Dima. Jadi saya memanggil ‘Bu’.” Ana mengungkapkan apa yang menjadi alasanya memanggil hal itu.Dira tidak mau memaksakan semuanya. Dia tahu pasti jika ini adalah bentuk penghormatan Ana padanya. “Baiklah.”“Saya ingin menyampaikan permintaan maaf karena sudah bertindak kasar pada Bu Dira waktu itu. Saya memang menyukai Pak Dima, tetapi tidak tahu jika Pak Dima sudah memiliki istri.” Ana sadar pekerjaan sangat sulit di dapatkan. Jika sampai dikeluarkan, tentu saja dia takut.“Aku juga minta maaf. Karena memang tidak mengatakan jika aku adalah istri Pak Dima. Karena memang pesta pernikahan kamu belum bisa dilaksanakan, jadi kami merahasiakan itu.” Dira memberikan alasan yang masuk akal.“Saya harap Bu Dira tetap mengizinkan saya bekerja di Janitra.”“Aku tidak punya kuasa apa-apa. Semua k
“Sayang, aku datang.”Dengan semangat Dima membuka pintu kamar mandi. Dia hanya memakai handuk sebatas pinggang. Wajahnya semringah ketika akan bercinta dengan sang istri.Sayangnya, Dima harus kecewa ketika tiba-tiba mendapati sang istri tertidur di tempat tidur.“Sayang ....” Dima memanggil sang istri.Tak ada jawaban dari sang istri. Tentu saja itu membuat Dima harus menelan kecewa. Saat sedang bergairah, sang istri justru meninggalkan sendiri.“Dia tidak tahu bagaimana tersiksanya aku.” Dima mengembuskan napasnya.Sebenarnya Dima bisa saja membangunkan Dira. Namun, dia tidak mau mengganggu istirahat sang istri. Apalagi tadi terlihat jika sebenarnya sang istri sangat lelah.“Sepertinya aku memang harus mandi air dingin untuk meredakannya.” Dima tidak punya pilihan. Karena dia benar-benar tidak bisa mengganggu sang istri.Akhirnya Dima kembali ke kamar mandi. Kembali mandi. Berharap hasratnya yang menggebu itu segera turun.Sekitar satu jam berlalu. Dira segera bangun. Dia tersadar
Dima yang ketakutan langsung beralih ke sisi tempat duduk Dira. Memeluk sang istri erat.“Sayang jika kamu ke sini, ini tidak akan seimbang.” Dira mendorong tubuh Dima.“Aku sudah bilang jangan naik seperti ini, tapi kamu tetap tidak mendengarkan aku.” Dima mencoba memberitahu apa yang dilakukan suaminya.“Ini tidak akan lama. Hal seperti ini biasa.” Dira mencoba meyakinkan Dima.“Tapi, aku takut.” Dima tidak mau melepaskan tubuh sang istri.“Duduk di tempatmu. Nanti kita akan jatuh jika hanya berat sebelah.” Dira terus mendorong Dima.Dengan segera Dima berpindah. Tak mau sampai jatuh karena berat sebelah.Selang beberapa saat kemudian biang lala kembali menyala. Kembali bergerak memutar.“Lihatlah hanya sebentar ‘kan.” Dira menatap sang suami.Dima bernapas lega karena biang lala kembali berputar. Dia tidak mau sampai terjebak di dalam biang lala.“Lihatlah pemandangan dari atas tampak indah.” Dira menunjuk ke arah luar.Dima sejak tadi tidak mau melihat ke arah luar. Dia benar-bena
Dira membulatkan matanya. Dia tidak menyangka jika ternyata Dima memperlihatkan pengaman.“Kapan kamu beli?” tanya Dira memastikan. Kemarin dia tidak melihat Dima membeli. Jadi dia begitu penasaran sekali.“Kemarin saat kita di minimarket. Karena ada di kasir. Aku langsung membelinya.” Dima mencoba menjelaskan.“Kenapa aku tidak lihat.” Dira merasa Dima mencuri-curi darinya.Dima hanya tersenyum. “Mau coba?” tanyanya.“Apa benar itu bisa mencegah kehamilan?” Dira memastikan lebih dulu.“Harusnya aman jika tidak ada kebocoran. Lagi pula klaimnya aman.” Dima mencoba meyakinkan sang istri.Dira tersipu malu. “Ayo, coba.”Mendapati persetujuan sang istri, Dima langsung memutar tubuh sang istri. Membalikkan tubuh sang istri berada di dalam kungkungannya. Sambil mendaratkan ciuman, tangan Dima membuka satu per satu pakaian yang melekat di tubuh sang istri. Dima menggigit bungkus alat pengaman yang dibawanya. Membuka bungkus alat pengaman tersebut, kemudian mengeluarkan isinya.Dira sering
“Kenapa bertanya seperti itu?” Dima langsung menghampiri Dira. “Kedewasaan seseorang tidak dilihat dari wajahnya atau umurnya. Jadi jangan berpikir jika kamu tidak dewasa. Kamu bisa mandiri adalah sebuah kedewasaan. Dengan memutuskan sesuatu yang berat dengan tenang adalah sebuah kedewasaan.” Dima mencoba memberikan pengertian pada Dira.Dira tidak menyangka jika di mata Dima, dirinya tidak dianggap anak kecil.“Aku justru bangga padamu. Di usia muda kamu harus mengurus mamamu. Saat mamamu meninggal kamu berani ke sini sendiri. Awal di sini saja kamu minta perkerjaan apa saja. Itu adalah hal menakjubkan yang aku lihat darimu. Tidak semua orang bisa menjalani seperti yang kamu jalani. Belum tentu yang umurnya lebih tua darimu juga bisa melakukannya.”Dira berkaca-kaca. Dia langsung memeluk Dima. Merasa begitu bahagia karena Dima tidak memikirkan hal seburuk yang dipikirkannya.“Dengan kamu memutuskan untuk tidak punya anak lebih dulu adalah sebuah kedewasaan juga. Karena artinya, kamu
“Dira datang bulan, Ma. Jadi aku akan berangkat sedikit siang, menunggu keadaan Dira lebih baik.” Dima mencoba menjelaskan pada sang mama.Mama Ale cukup terkejut dengan yang didengarnya. Artinya Dira tidak hamil. Menantunya itu tidak akan memberikannya cucu. Sepertinya Mama Ale harus lebih bersabar lagi. Karena Dira harus menyelesaikan kuliahnya dulu.Dima melanjutkan langkahnya ke dapur. Dengan segera dia membuat teh hangat. Secangkir teh yang tersaji pun akhirnya jadi. Dima segera membawa ke kamarnya untuk diberikan pada Dira.Di kamar, Dira sudah menegakkan kembali tubuhnya. Bersandar ke tempat tidur. Perutnya sudah tidak sesakit tadi. Kompres yang diberikan Dima benar-benar memberikan dampak yang luar biasa.Pintu yang terbuka membuat Dira mengalihkan pandangan pada pintu. Dari balik pintu, Dira melihat Dima yang membawa cangkir di tengannya. Suaminya itu benar-benar perhatian sekali.“Kamu sudah bangun?” Dima mengulas senyum ketika melihat sang istri.“Sudah sedikit lebih baik.