Semalam Dima harus gigit jari karena Dira memutuskan untuk tidak berhubungan selama belum bisa mengecek kehamilan. Terpaksa dia harus menunggu hal itu.“Kemarin wajahmu berseri-seri, Kak. Kenapa sekarang muram?” Arlo melihat sang kakak yang begitu berbeda dengan kemarin.“Sejak kapan kamu jadi ahli ekspresi?” Dima menatap malas pada adiknya itu.Arlo langsung tutup mulut. Dia tahu jika sang kakak sedang tidak dalam keadaan baik. Jadi dari pada ditelan mentah-mentah oleh sang kakak.Dira tahu apa yang membuat suaminya sedikit kesal. Apalagi jika bukan gara-gara semalam dia menolak keinginan sang suami. Bukan niatnya melakukan hal itu. Namun, sebelum dia tahu jika hamil, dia tidak mau sampai melakukannya lebih dulu.“Ma, aku akan tinggal di apartemen mulai minggu depan.” Di tengah-tengah makan, Arlo menjelaskan pada sang mama.Mama Ale membulatkan matanya. Benar-benar terkejut sekali. Dia tidak menyangka jika anaknya memutuskan untuk pindah. “Kenapa kamu harus tinggal di apartemen? Apa
Dima hanya tersenyum. Dia merasa jika bisa jadi karyawan sudah tahu. Jadi wajar para karyawan tersenyum pada Dira. Jika sampai mereka cemberut, jelas Dima akan bertindak. Tidak rela jika istrinya diperlakukan seperti itu.Lift terbuka, Dima dan Dira segera keluar dari dalam lift. Saat sampai di depan ruangan Dima, tidak ada Ana di kursi sekretaris. Tampak wanita lain yang berada di sana. Wanita setengah baya itu tampak berdiri menyambut Dima. Mungkin umur wanita itu sekitar empat puluh tahun. Dira berpikir jika wanita itu adalah karyawan lama di Janita.“Selamat pagi, Pak.”“Pagi.” Dima mengangguk.“Perkenalkan saya Aina, sekretaris baru pengganti Ana.” Aina memperkenalkan diri.“Terima kasih, Aina. Semoga kamu betah di sini.” Dima segera berlalu ke ruanganya.Dira masih di tempatnya berpijak. Masih memikirkan kenapa Ana diganti. Suaminya tidak mengatakan apa-apa.“Perkenalkan saya, Aina, Bu.” Aina mengelurkan tangan pada Dira.“Panggil saja Dira, Bu.” Dira segera menerima uluran tan
“Aku minta ….” Dima menggantung ucapannya. “Kak, cepat katakan mau apa?” tanya Dira. Dia sudah di atas pangkuan Dima. Takut jika ada yang lihat dalam keadaan seperti ini. Dima mengangsur tubuhnya. “Kak Dima mau apa?” Dira panik. Takut suaminya melakukan yang tidak-tidak di kantor. Dima langsung tertawa. Melihat sang istri panik itu memang membuatnya gemas. “Kak, jangan bercanda. Cepat katakan apa mau Kak Dima.” Dira memukul tangan Dima yang melingkar di tub“Aku mau kamu jangan panggil aku ‘kak’. Aku merasa tidak nyaman dengan panggilan itu. Kamu ini istriku. Bagaimana bisa memanggil aku ‘kak’. Seperti adikku saja.” Dima sedikit menekuk bibirnya. Merasa kesal dengan panggilan Dira selama ini. Dira pikir Dima akan minta apa. Ternyata hanya meminta hal itu saja. “Baiklah. Lalu aku panggil apa?” tanyanya memastikan. “Panggil ‘sayang’ atau ‘honey’ atau ‘baby’ atau apa saja yang mesra.” Dima memberikan beberapa panggilan yang bisa dipilih Dira. Dira langsung memikirkan panggilan a
Mama Ale cukup terkejut dengan pertanyaan Dira. Dia merasa pertanyaan itu benar-benar di luar nalarnya. “Kamu belum siap jika punya anak?” tanya Mama Ale.“Belum, Ma. Aku mau kuliah dulu. Jika kuliahku selesai, baru rencananya aku akan punya anak.” Dira menyampaikan apa yang menjadi alasannya.Mama Ale terdiam. Jika dilihat dari umur mungkin Dira memang belum siap untuk menjadi seorang ibu. Dia ingin mengejar pendidikan lebih dulu sebelum memutuskan untuk menikah. Jadi wajar jika dia memilih jalan mencegah kehamilan. Walaupun mungkin dia bisa memberikan kemudahan untuknya, tetapi nyatanya Dira memilih untuk tidak hamil lebih dulu. Sebagai orang tua yang baik, bukankah dia harus mengizinkan anak-anak mereka melakukan apa yang anak-anak inginkan.“Ada beberapa cara.” Mama Ale mencoba menjelaskan.Dira dengan saksama mencoba mendengarkan. Dia harus memahami apa yang dijelaskan oleh mertuanya.“Cara pertama bisa pasang alat di dalam organ intim kita. Tapi, jika belum pernah melahirkan, di
“Dim, Mama mau bicara sebentar.”Sejak tadi Mama Ale menunggu waktu yang pas untuk bicara. Setelah makan malam, Dima memilih untuk ke kamarnya dan baru turun saat ingin menjemput Dira. Di saat inilah Mama Ale menggunakan waktu untuk bicara.“Tampaknya serius, Ma.” Dima menarik kursi di meja makan. Kebetulan tadi dia berniat untuk minum lebih dulu sebelum berangkat menjemput istrinya.“Serius tidak serius.” Mama Ale tersenyum.“Tentang apa ini?” Dima semakin penasaran sekali. Dia merasa jika ada hal yang benar-benar penting yang ingin dikatakan sang mama“Tadi pagi Dira bertanya tentang cara pencegahan kehamilan.” Mama Ale pun menjelaskan apa yang membuatnya sampai harus bicara dengan sang anak.Dima sebenarnya cukup terkejut ketika Dira bertanya pada mamanya seperti itu. Tampaknya memang Dira berniat serius untuk belum memiliki anak.“Mama sebenarnya tidak masalah jika kalian mau menunda kehamilan lebih dulu. Karena memang mengingat Dira ingin fokus kuliah dulu. Tapi, kamu tahu sendir
“Sayang, pertanyaanmu itu sangat menyinggung sekali?” Dima tidak habis pikir dengan yang ditanyakan Dira. Bisa-bisanya Dira bertanya hal konyol itu.Dira memikirkan pertanyaannya tadi. Dia bingung kenapa bisa pertanyaannya menyinggung. Dia merasa pertanyaannya tadi biasa saja. “Memang kenapa pertanyaanku menyinggung?” Dira yang tidak tahu pun memilih untuk bertanya.“Sayang, saat kamu bertanya apa aku pernah mencoba alat pengaman pria, itu seolah kamu menuduh aku sudah pernah melakukan hubungan suami-istri dengan wanita lain.” Dima mencoba menjelaskan apa yang dikatakan Dira padanya tadi.Dira mencerna penjelasan Dima barusan. “Aku tidak menuduh. Bukankah jika kamu belum pernah mencobanya tinggal jawab tidak.” Dia masih merasa pertanyaannya biasa saja.Dima mengembuskan napasnya. Berusaha untuk tetap tenang ketika sang istri masih tetap dengan pendiriannya. “Sayang, aku belum pernah melakukan hubungan suami-istri selain denganmu. Jadi aku tidak tahu.” Dima mencoba menjelaskan.“Kalau
“Bu Dira.” Ana memanggil Dira.“Kak Ana kenapa panggil ‘Bu’?” Dira merasa canggung ketika Ana memanggil seperti itu. Padahal awalnya Ana hanya memanggil nama padanya. “Karena Bu Dira adalah istri Pak Dima. Jadi saya memanggil ‘Bu’.” Ana mengungkapkan apa yang menjadi alasanya memanggil hal itu.Dira tidak mau memaksakan semuanya. Dia tahu pasti jika ini adalah bentuk penghormatan Ana padanya. “Baiklah.”“Saya ingin menyampaikan permintaan maaf karena sudah bertindak kasar pada Bu Dira waktu itu. Saya memang menyukai Pak Dima, tetapi tidak tahu jika Pak Dima sudah memiliki istri.” Ana sadar pekerjaan sangat sulit di dapatkan. Jika sampai dikeluarkan, tentu saja dia takut.“Aku juga minta maaf. Karena memang tidak mengatakan jika aku adalah istri Pak Dima. Karena memang pesta pernikahan kamu belum bisa dilaksanakan, jadi kami merahasiakan itu.” Dira memberikan alasan yang masuk akal.“Saya harap Bu Dira tetap mengizinkan saya bekerja di Janitra.”“Aku tidak punya kuasa apa-apa. Semua k
“Sayang, aku datang.”Dengan semangat Dima membuka pintu kamar mandi. Dia hanya memakai handuk sebatas pinggang. Wajahnya semringah ketika akan bercinta dengan sang istri.Sayangnya, Dima harus kecewa ketika tiba-tiba mendapati sang istri tertidur di tempat tidur.“Sayang ....” Dima memanggil sang istri.Tak ada jawaban dari sang istri. Tentu saja itu membuat Dima harus menelan kecewa. Saat sedang bergairah, sang istri justru meninggalkan sendiri.“Dia tidak tahu bagaimana tersiksanya aku.” Dima mengembuskan napasnya.Sebenarnya Dima bisa saja membangunkan Dira. Namun, dia tidak mau mengganggu istirahat sang istri. Apalagi tadi terlihat jika sebenarnya sang istri sangat lelah.“Sepertinya aku memang harus mandi air dingin untuk meredakannya.” Dima tidak punya pilihan. Karena dia benar-benar tidak bisa mengganggu sang istri.Akhirnya Dima kembali ke kamar mandi. Kembali mandi. Berharap hasratnya yang menggebu itu segera turun.Sekitar satu jam berlalu. Dira segera bangun. Dia tersadar
Pembawa acara memanggil Alcander Janitra dan Alegra Cecilia pemilik Janitra Grup untuk memberikan sambutan pada para tamu undangan. Mereka memperkenalkan penerus dari Janitra Grup tersebut. Ada Dima Janitra berserta istri dan anaknya. Ada Arlo Alcander Janitra bersama sang istri.Semua orang akhirnya tahu jika Almeta adalah istri dari Arlo. Apalagi nama Almeta disebut dengan jelas oleh pembawa acara.Rafael yang melihat hal itu akhirnya pasrah. Dia sepertinya memang sudah harus merelakan Almeta untuk selamanya karena Almeta benar-benar sudah menjadi istri Arlo seutuhnya.Pesta begitu mewah sekali. Dihadiri oleh para tamu undangan yang didominasi oleh pengusaha-pengusaha kelas atas.“Mama senang melihat kalian sekarang sudah dekat.” Mama Ale tersenyum ketika melihat Almeta dan Arlo. Apalagi sejak tadi mereka berdua saling bergandengan tangan.“Doakan kami bisa seperti mama dan papa.” Arlo berharap jika pernikahan dengan Almeta akan berlangsung lama sampai kakek dan nenek seperti orang
Rafael begitu terkejut ketika mendengar suara Arlo yang tiba-tiba terdengar.“Pak Arlo.” Rafael menyapa Arlo.Arlo hanya menatap sejenak pada Arlo, sebelum akhirnya kembali pada mama Rafael. “Anda bilang siapa yang mau dengan Meta?” tanya Arlo menatap mama Rafael. “Itu saya. Saya yang menerima Almeta untuk dijadikan istri.” Arlo menegaskan pada mama Rafael.“Ma, sudah.” Rafael menegur sang mama.“Oh ... jadi ini orang yang menerima wanita ini.” Mama Rafael tidak mendengarkan anaknya sama sekali. Masih terus menghina Almeta dan Arlo.“Iya, kenalkan saya Arlo Alcander Janitra, manajer Janitra Grup sekaligus putra pemilik Janitra Grup.” Arlo mengulurkan tangannya pada mama Rafael. Mama Rafael begitu terkejut mendengar ucapan Arlo. Dia langsung melihat ke arah Rafael.“Dia atasanmu?” tanya sang mama.“Iya, Ma. Dia atasanku.” Rafael membenarkan ucapan sang mama.Mama Rafael terkejut ketika ternyata Arlo adalah atasan Rafael. Dia juga tidak menyangka jika Almeta menikah dengan atasan
Arlo membulatkan matanya ketika mendengar pertanyaan Almeta itu. Tidak menyangka Almeta bertanya seperti itu. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Arlo.“Kak Arlo suka aku yang berambut keriting seperti Kak Zila. Kak Arlo juga meminta aku memakai semua pakaian Kak Zila.” Almeta menjelaskan apa yang membuatnya berpikir seperti itu.Arlo akhirnya tahu apa yang membuat Almeta berpikir seperti itu.“Aku memintamu mengeriting rambut karena merasa kamu cantik saat dengan rambut bergelombang. Rambutmu lebih bervolume. Aku memintamu memakai baju Zila karena merasa sayang baju itu ada di lemari. Apalagi badanmu setipe dengan Zila. Jadi tidak ada salahnya ketika kamu memakai itu. Tidak bermaksud membuatmu menjadi Zila. Aku menyukaimu karena memang kamu bukan karena kamu mirip Zila.” Arlo mencoba menjelaskan pada Almeta. Perasaannya ada bukan karena Almeta yang mirip Zila, tetapi lebih karena memang dia adalah Almeta.Almeta menatap Arlo. Mencari kebohongan dari sorot matanya.“Jika kamu
“Kak Arlo bilang jika istri Kak Arlo yang sekarang memakaikan dasi?” Almeta langsung melemparkan pertanyaan itu saat masuk ke mobil.“Iya.” Dengan entengnya Arlo menjawab.“Kenapa Kak Arlo mengatakan hal itu?” Almeta masih tidak habis pikir. Kenapa suaminya mengatakan seperti itu.“Bukankah kamu sendiri yang bilang. Biarkan mereka tahu pelan-pelan. Aku sedang memberitahu pelan-pelan.” Arlo menyeringai. Dia memang sengaja mengatakan hal itu pada Rina-sang sekretaris karena tahu berita itu akan menyebar dengan cepat. Terbukti Almeta saja sudah dengar.Almeta hanya bisa pasrah ketika mengetahui alasan Arlo itu. Memang benar adanya jika orang perlahan harus tahu.Melihat Almeta yang sudah tidak melayangkan protes, Arlo segera melajukan mobilnya untuk segera pulang.Almeta menikmati perjalanan bersama sang suami. Namun, tiba-tiba saja Almeta teringat sesuatu.“Tadi Kak Rina bilang, Kak Arlo pesan bunga untuk istri, bunga apa?” tanya Almeta penasaran.“Lihat saja di rumah.” Arlo tidak mau m
Saat tautan bibir terlepas keduanya saling malu. Ini adalah kali pertama mereka berciuman sebagai suami dan istri.“Berapa bulan kita menikah?” tanya Arlo menatap sang istri.“Enam bulan.”“Dalam enam bulan baru ini aku menciummu.” Arlo tersenyum ketika menyadari berapa lama bertahan tanpa saling menyentuh.“Tapi, aku merasa seperti mengkhianati Kak Zila.” Almeta menundukkan kepalanya. Merasa bersalah sekali ketika baru saja melakukan ciuman.“Zila justru senang jika kita mulai membuka hati.” Arlo meyakinkan Almeta.Almeta membenarkan ucapan Arlo. Memang bisa jadi kakaknya justru senang ketika melihat dirinya dan Arlo bisa membuka hati.“Bersiaplah, kita makan malam di luar.” Arlo membelai lembut wajah Almeta.“Baiklah.” Almeta mengangguk. Dia segera berlalu keluar dari kamar Arlo. Menuju ke kamarnya.Almeta yang menutup pintu merasakan debaran yang begitu kencang di dadanya. Bayangan baru saja berciuman dengan Arlo pun menghiasi pikirannya.“Aku benar-benar jatuh cinta pada Kak Arlo
“Dasi Kak Arlo mana?” Almeta menadahkan tangannya.“Untuk apa?” tanya Arlo.“Sudah cepat mana?” Almeta terus memaksa.Arlo pun segera merogoh kantung celananya. Kemudian mengeluarkan dasi di dalam kantung celananya.Dengan segera Almeta langsung mengambil dasi yang berada di tangan Arlo. Kemudian melingkarkan ke leher Arlo.Apa yang dilakukan Almeta itu membuat Arlo terkejut.“Aku baru tahu jika Kak Arlo minta Kak Rina membuat simpul dasi. Kenapa tidak meminta padaku saja? Aku pikir selama ini Kak Arlo bisa melakukannya.” Almeta menegakkan kerah kemeja Arlo. Kemudian membuat simpul pada dasi itu.Arlo memandangi Almeta yang sedang sibuk membuat simpul. Karena dia lebih tinggi dibanding Almeta. Jadi dia tinggal menundukkan kepala saja ketika melihat Almeta. Entah debaran apa yang tiba-tiba dirasakannya itu. Dia bingung sendiri.“Aku memang tidak bisa memakai sendiri. Waktu sekolah mama yang memakaikan. Saat kuliah ada Zila. Sampai menikah pun Zila yang melakukannya.” Arlo berusaha tena
“Kalian mau ke mana?” tanya salah seorang karyawan senior.“Mau makan di kantin, Kak.” Almeta yang menjawab pertanyaan tersebut.“Kalian urungkan saja. Karena Pak Arlo mengajak kita semua untuk makan bersama. Jadi kalian ikut saja bersama untuk makan di restoran.” Karyawan senior itu memberitahu dengan penuh semangat.“Wah ... lumayan, aku bisa berhemat.” Dani begitu semangat mendengar hal itu.Almeta dan Rafael saling pandang sejenak. Sampai akhirnya Almeta membuang muka.“Kalau begitu ayo.” Karyawan senior itu menarik tangan Almeta.“Ayo, Rafael.” Dani pun menarik tangan Rafael.Almeta dan Rafael tidak punya pilihan. Mereka pun ikut bersama yang lain.Almeta dan teman-temannya pergi ke restoran di dekat kantor. Selang beberapa saat barulah Arlo datang.“Terima kasih, Pak Arlo untuk traktirannya.” Salah satu karyawan menatap Arlo.“Kalian belum makan. Kenapa berterima kasih?” Arlo tersenyum. “Sudah ayo duduk dan pesanlah apa yang kalian inginkan.” Arlo menatap para karyawannya. Terma
Keduanya dalam keadaan canggung sekali. Apalagi baru saja Arlo memeluk Fazila.“Maafkan aku.” Arlo benar merasa tidak enak.“Tidak apa-apa, Kak. Aku yang harusnya minta maaf karena memakai baju Kak Zila, jadi membuat Kak Arlo mengira aku Kak Zila.” Almeta sadar alasan apa yang membuat Arlo memeluknya.Arlo merasa lega karena Almeta tahu alasannya memeluk. “Jadi baju ini yang kamu pinjam?” Arlo langsung mengalihkan pembicaraan.“Iya, aku tidak punya baju kerja, jadi aku meminjam baju Kak Zila. Nanti jika aku gajian, aku akan membeli.” Almeta mencoba memberitahu.“Tidak perlu beli. Pakai saja baju kakakmu. Lagi pula juga sayang jika baju dibiarkan di lemari begitu saja.” Arlo merasa jika lebih baik baju Fazila dipakai Almeta, dibanding Almeta harus membeli.Almeta tidak menyangka jika Arlo akan justru mengizinkannya untuk memakai semua pakaian kakaknya.“Baiklah, nanti aku akan ambil pakaian seperlunya saja.” Almeta tidak mau aji mumpung. Karena itu di akan memakai pakaian seperlunya sa
“Dengan saudara Almeta Annora?” Seseorang dari sambungan telepon terdengar bertanya.“Iya, saya sendiri. Ini dari siapa?” Almeta penasaran dengan yang siap yang berada di sambungan tersebut.“Saya, bagian HRD dari Janitra Grup, ingin memberitahu jika Anda sudah diterima bekerja di Janitra Grup.”Mendengar kabar itu Almeta langsung berbinar. Dia benar-benar senang sekali akhirnya dapat kabar jika diterima bekerja.“Silakan datang besok untuk tanda tangan kontrak.”“Baik, saya akan datang.” Almeta benar-benar terkejut sekali. Akhirnya dapat diterima di Janitra. Dia benar-benar begitu senang sekali.Akhirnya sambungan telepon mati juga. Dia langsung bersorak senang ketika akhirnya di terima di Janitra Grup.Seharian Almeta mempersiapkan diri untuk besok datang ke Janitra. Dia memilih-milih baju kerja untuk dipakai besok. Almeta baru menyadari jika dia tidak punya banyak baju ker