Mama Arriel dan Mama Mauren begitu sibuk menyiapkan makanan. Malam ini akan menjadi makan malam indah bersama anak-anak dan menantu mereka. Kebahagiaan yang selama ini dinanti oleh mereka.
“Akhirnya kebahagiaan kita lengkap juga.” Mama Arriel tersenyum pada Mama Mauren.
Mama Mauren terdiam. Jika dibilang lengkap, mungkin belum lengkap, dia belum merasakan itu. Karena dia merasa kebahagiaan yang dirasakan sangat kurang sekali.
“Jika ada Dima, mungkin semua akan lengkap.” Ada terbersit rasa rindu di hati Mama Mauren.
Mama Arriel langsung ikut diam. Dia tersadar jika ucapannya pasti berarti lain dengan apa yang dirasakan iparnya. Kebahagiaan iparnya pasti tidak lengkap jika tidak ada anaknya.
“Ren.” Mama Arriel memegangi bahu iparnya.
“Tapi, aku bahagia, karena setidaknya Dima meninggalkan anaknya untuk aku. Sebagai ganti kehadirannya.” Mama Mauren berusaha untuk tersenyum. Merasa bahagia juga den
“Sayang, bangun.” Ale membangunkan sang suami.“Sayang, kepalaku pusing.” Alca tidakmau bangun ketika merasakan kepalanya yang pusing.Ale merasa heran. Padahal sang suami semalam baik-baik saja. Namun, kenapa tiba-tiba sakit kepala.“Jadi kamu tidak kerja?” tanya Ale memastikan.“Iya, aku sepertinya tidak kerja hari ini.” Alca tidak kuat untuk bangun. Jadi dia memilih untuk tidak kerja saja. “Sayang, tolong kabari sekretarisku dan juga papa. Katakan jika hari ini aku tidak bisa masuk kerja. Hari ini aku ada rapat. Jadi aku tidak akan bisa menghadirinya.”“Baiklah, aku akan kabari papa. Kamu istirahat saja.” Ale menarik selimut sang suami lagi. Menutupi tubuh sang suami.Sesuai dengan keinginan sang suami, Ale segera menghubungi sekretaris Alca. Memberitahu jika hari ini dia tidak datang. Tidak hanya menghubungi sekretaris Alca. Ale juga menghubungi Papa David.“Halo, Al?” Terdengar Mama Mauren yang bicara.“Ma.” Ale tidak menyangka jika Mama Mauren yang mengangkat sambungan telepon.
“Sayang, makan dulu.” Ale memberikan sepotong roti pada Alca.Dengan segera Alca memakan roti tersebut. Rasanya mulutnya pahit sekali. Membuatnya malas makan. Namun, dia harus tetap memakannya. Karena ingin segera sembuh.“Apa kita tidak ke dokter saja?” Ale menatap suaminya. Dia merasa tidak tega melihat suaminya sakit. Padahal suaminya jarang sekali sakit.“Tidak perlu. Aku hanya butuh istirahat saja.” Alca merasa ini hanya sakit kepala ringan. Jadi mungkin minum obat saja sudah cukup.Ale tidak mau memaksa jika memang suaminya tidak mau. Yang tahu kondisi tubuhnya adalah suaminya sendiri.Alca menikmati rotinya. Sampai satu potong roti habis dimakannya. Setelah makan roti habis, dia segera minum obat. Berharap sakit kepalanya bisa segera sembuh.“Sekarang kamu istirahat dulu saja.” Ale menarik selimut untuk menutupi tubuh sang suami.Alca mengangguk. Dia ingin tidur dan segera bangun dengan tubuh segar. Tak mau merasa pusing seperti ini.Ale yang melihat suaminya sudah tidur, seger
“Huek ... Huek ....” Alca memuntahkan semua isi perutnya.Pagi-pagi setelah makan, tiba-tiba Alca muntah. Padahal baru sesuap nasi yang masuk ke dalam mulutnya. Namun, tiba-tiba perutnya mual dan membuatnya muntah.Ale memijat tengkuk sang suami. Sudah seminggu ini Alca mual-muntah. Setiap makan pagi, dia selalu muntah. Apalagi jika bertemu dengan nasi.Seminggu ini Alca tidak mau makan nasi. Makan kentang, pasta, atau roti. Alhasil ketika mencoba makan nasi, dia justru muntah.Alca membasuh mulutnya untuk membersihkannya. Kemudian menegakkan tubuhnya.“Ayo.” Ale membawa Alca keluar dari kamar mandi di dekat ruang keluarga. Mengajaknya untuk masuk ke kamar. Karena hari ini adalah hari libur, jadi paling tidak Alca bisa beristirahat.Dima bersama dengan asisten rumah tangga yang tadi dipanggil Ale. Karena dia harus mengurus Alca, dia meminta asisten rumah tangga membantunya menjaga Dima sebentar.“Aku akan ambilkan minum.” Ale segera berlalu untuk mengambilkan minum di meja makan. Kemu
Usia kandungan Ale sudah masuk usia empat bulan. Tidak ada mual, muntah, atau pusing. Ale menjalani kehamilannya dengan sangat nyaman. Tidak banyak kendala.Selama kehamilan Ale itu, justru Alca yang mengalami mual dan muntah. Alca selalu mual setiap pagi. Dia tidak bisa makan nasi. Setiap bertemu nasi, dia akan muntah. Alhasil, Alca makan pasta, spageti, roti, dan beberapa umbi-umbian. Intinya karbohidratnya bukan nasi.Menginjak usia kandungan Ale yang memasuki trimester kedua, kini mual dan muntah yang dirasakan Alca sudah berkurang. Jadi Alca sudah mulai nyaman dengan aktivitasnya.“Ndong ....” Dima mengulurkan tangannya pada Ale. Meminta sang mama untuk menggendong.“Sayang, mama tidak bisa menggendong.” Alca langsung mengambil tubuh mungil anaknya. Mengendong sang anak.“Aku rindu menggendong Dimdim “ Ale menatap anaknya dengan tatapan sedih. Dia merasa begitu sedih karena tidak bisa merakan anaknya bergelantung manja padanya.“Untuk sementara jangan dulu. Jika ingin memeluknya.
“Mau ke mana kita?” Ale bingung ke mana suaminya membawanya.“Ada restoran baru.” Alca begitu bersemangat sekali.“Restoran apa?” tanya Ale.“Restoran Korea. Aku mau makan sushi.” Alca segera mengajak sang istri untuk menuju restoran tersebut. Kebetulan restoran itu berada di dalam mal.Ale pasrah saja. Ikut saja ke mana Alca membawanya. Lagi pula suaminya memang seperti itu. Mau makan ini dan itu.Alca bersemangat sekali pergi ke restoran itu. Dia mendorong stroller sang anak dengan cepat agar cepat sampai. Dima yang merasa laju stroller-nya kencang, begitu girang sekali. Begitu senang sekali. Seperti sedang balapan.Ale terpaksa berjalan pelan saja. Membiarkan sang anak dan suaminya berjalan lebih dulu.Saat berjalan melintas di sebuah restoran, tiba-tiba langkah Ale terhenti. Dia melihat jika restoran bebek milik Zira sudah tutup. Berganti dengan restoran lain.Alca yang berjalan di depan, tidak mendengar langkah sang istri. Alhasil, dia berbalik untuk memastikan sang istri. Diliha
Tanpa terasa usia kandungan Ale sudah sembilan bulan. Tinggal menunggu saja waktu melahirkan. Alca sudah mulai kerja dari rumah. Menunggu sang istri yang sebentar lagi mau melahirkan. Mama Arriel dan Mama Mauren tinggal di rumah Ale menjelang Ale akan melahirkan. Mereka ingin menjaga Ale. Apalagi Dima sudah tidak bisa diam sama sekali. Jadi Ale kewalahan dengan perut besar jika harus menjaga Dima. Jadi Ale butuh bantuan mertuanya. “Sayang, aku mau roti kopi.” Ale menatap suaminya yang sedang asyik menatap layar laptopnya. Alca segera mengalihkan pandangannya. Dia cukup terkejut ketika mendapati sang istri menginginkan roti kopi. “Sayang, kamu tahu bukan jika kopi tidak baik untuk ibu hamil.” Alca memberikan pengertian sang istri. “Iya, aku tahu, tapi aku ingin sekali makan roti kopi. Sedikit saja tidak apa-apa.” Entah kenapa Ale tumben sekali ingin makan roti kopi. Selama kehamilan, memang tidak banyak yang diinginkan Ale. Alca menimbang apa yang diminta sang istri. Sejak hamil
“Permisi.”Ale yang sedang menyirami bunga di taman segera mengalihkan pandangan. Dia melihat seorang gadis muda di sana. Mungkin usianya masih belasan.“Iya.” Ale segera mematikan sambungan air dan segera menghampiri.Ale memerhatikan gadis belia di depannya. Gadis di depannya tampak cantik sekali. Matanya biru dengan rambut blonde. Kulitnya putih dan bersinar. Jika dilihat jelas sekali jika gadis di depannya memiliki garis keturunan asing. Bukan orang Indonesia.“Apa ini rumah Pak Alcander Janitra?” Gadis itu bertanya pada Ale.Untuk sesaat Ale memikirkan siapakah gadis di depannya. Memikirkan ada keperluan apa gadis itu datang. Yang membuat Ale sedikit heran adalah gadis itu membawa koper.“Iya, benar. Ini rumah Alcander Janitra.” Ale mengangguk. Membenarkan jika ini adalah rumah Alca-suaminya.“Bisakah saya bertemu?” tanya gadis itu.Ale sebenarnya ingin tahu apa yang membuat gadis belia itu datang. Apalagi datang untuk menemui suaminya. Pikirannya pun melayang memikirkan yang tid
“Kamu punya anak dengan Zira?” Ale berbisik pada suaminya. “Sembarangan. Kamu tahu aku terakhir bertemu Zira sejak putus dengannya. Kamu sendiri yang bilang Zira ke luar negeri.” Alca mengelak tuduhan sang istri. Memang setelah memutuskan hubungan dengan Zira, mereka tidak pernah bertemu lagi. Apalagi mereka tahu jika Zira sudah ke luar negeri. “Lalu dia anak Zira dengan siapa?” tanya Ale. “Mana aku tahu.” Alca mengendikan bahunya. Ale segera melihat gadis itu. “Jadira—“ “Panggil saja Dira, Tante.” Dira menjawab. Ale merasa Dira cukup unik. Wajah internasional, tetapi lancar bahasa Indonesia. “Baiklah, Dira. Jadi kamu anak Zira?” Ale memastikan. “Iya.” Dira mengangguk. Kemudian menunjukkan fotonya dengan sang mama. Ale mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata memang benar jika Dira anak “Lalu di mana mamamu?” Alca penasaran karena Dira datang sendiri tanpa mamanya. “Mama sudah meninggal dunia.” Dira menjelaskan pada Alca. Alca dan Ale begitu terkejut sekali dengan yang dide