Sudah menjadi kebiasaannya untuk membuat sarapan sendiri, selama di luar negeri pun Alena selalu memasak sendiri. Ia sangat jarang membeli makanan, Alena sangat menjaga kesehatan tubuhnya. Setelah dari kamar mandi Alena langsung menuju ke arah dapur.
"Masak apa ya?" gumam Alena. Baru menapakkan kaki di dapur ia terkejut melihat banyaknya pelayan yang lalu lalang di sana. "Wow," ucapnya takjub. "Selamat pagi nona muda!" Mereka semua kompak menyapa Alena membuat gadis itu sedikit canggung. "Y-ya, selamat pagi juga. Em, ada yang bisa aku bantu?" tanyanya. "Tidak perlu Nona, apakah ada menu makanan yang nona inginkan. Kami akan membuatnya," ucap kepala dapur. Alena menggeleng, ia mengulas senyum tipis mendekat ke arah mereka semua. "Aku sudah terbiasa untuk memasak makananku sendiri. Pagi ini aku akan membantu kalian memasak!" ujarnya. "Tidak perlu, Nona." Kepala dapur terlihat takut, jika nyonya besar sampai tahu mereka yang akan kena marah. "Tidak apa, kalian tidak perlu sungkan denganku. Aku selalu memasak dan itu sudah menjadi rutinitasku sehari-hari." Baru kepala dapur akan menjawab, Meylen lebih dulu datang. "Loh, sayang kok kamu ada di sini? Biarkan bibi yang masak," ucapnya. Alena tersenyum ke arah ibu mertuanya. "Selamat pagi, Ma. Alena khusus masak pagi ini untuk mama, emang mama nggak mau nyobain masakan menantu mama?" ucap Alena. Meylen tersenyum mendengarnya. "Kalau gitu mama juga ikut bantuin kamu masak. Bibi kerjain yang lain aja, masakan biar saya sama menantu saya yang urus!" ucap Meylen. Alena terkekeh mendengarnya, membantu memakaikan apron pada ibu mertuanya. "Mama mau masak apa? Makanan favorit mama sama Mas Arthur?" tanya Alena. "Arthur itu jarang makan di rumah, hidupnya nggak sehat sama sekali! Tapi sekarang mama lega deh dia punya istri seperti kamu." Meylen tersenyum hangat. "Mama bisa aja, Alena pastikan setelah ini anak mama itu nggak akan makan sembarangan lagi!" kekehnya. Meylen tertawa mendengarnya, keduanya memasak sembari bercerita banyak hal. Alena merasa nyaman, berada di dekat Meylen seakan ia merasakan sosok ibunya kembali. "Oh iya, Arthur alergi sama kacang ya, Sayang. Kalau makan kacang tubuhnya langsung gatal-gatal," jelasnya. "Baik, Ma. Alena catat," candanya. Setelah semua masakan telah selesai, bibi membantu untuk membawanya ke meja makan. Di sana keluarga besar sudah berkumpul, Alena tersenyum menyapa mereka. "Selamat pagi Kakek, Om, Tante, dan semuanya," ucapnya. "Selamat pagi, Mantu. Wah, kompak banget mertua sama mantu pagi-pagi udah masak!" ucap saudara ipar Meylen. "Biar kakek coba masakan menantu sama cucu menantu!" ucapnya membuat Alena tersenyum malu. Ia mengambilkan untuk kakek Abi. "Suami kamu mana sayang kok belum kelihatan?" tanya Tante Melisa. Alena tersenyum canggung. "Masih di kamar, Tan. Tadi sih lagi mandi mungkin lagi siap-siap," ucapnya. Tak lama kemudian Arthur turun, rambutnya yang basah membuatnya terlihat segar dan terlihat sekali jika ia baru selesai mandi. "Waduh, waduh pengantin baru kesiangan, habis berapa ronde semalam!" Godaan itu berasal dari saudara sepupu Arthur, Sebastian. "Lima," balas Arthur datar lalu duduk di sebelah Alena. Seluruh keluarga di sana tertawa berbeda dengan Alena yang menutup wajah lantaran malu. Apa-apaan maksud Arthur barusan, semalam bahkan tidak terjadi pertarungan apapun antara dirinya dan juga Athur. Karangan yang luar biasa. Alena tersenyum ia berdiri dari duduknya mengambilkan makanan untuk suaminya. "Kamu mau makan sama apa?" tanya Alena dengan senyum yang tak luntur dari bibirnya. "Terserah." Alena memutar bola matanya malas, jawabannya seperti perempuan saja. Tawa Tian menggelegar ia bahkan memukul lengan Arthur tanpa sengaja. "Wajah lo bisa ngasih ekspresi dikit nggak, datar banget! Yang baik lo sama istri, tidur di luar gue syukurin lo!" ledek Tian ia terlihat sangat puas menganggu Arthur sejak tadi. Arthur menatapnya tajam, ia tersenyum miring berucap sangat lirih. Namun, mampu membuat Tian terbungkam setelahnya. "Pekerjaanmu terlalu santai?" tekan Arthur. Tian tersenyum paksa, mengusap bahu Arthur pelan. "Ampun, Bang. Pekerjaan minggu kemarin aja belum selesai. Janji nggak ganggu lo lagi!" ucapnya membuat yang lain tertawa. Alena telah selesai mengambilkan makanan untuk Arthur dan juga ibu mertuanya. "Cobain masakan aku sama mama, enak nggak?" tawar Alena antusias. Arthur menyuapkan satu sendok ke mulutnya. Tidak ada ekspresi apapun tetap datar seperti biasanya. "Enak," komentarnya dan kembali menyuapkan nasi ke mulutnya. Alena tersenyum masam hanya itu saja tidak ada pujian untuknya. Sungguh Arthur menyebalkan, untung saja kakek langsung memberikan pujian padanya. "Masakan kamu enak banget, cucu menantu!" kekeh Kakek Abi. Alena tersenyum lebar. "Makasih, Kakek. Alena akan sering-sering buatin masakan untuk Kakek," ucap Alena. "Berhenti bicara dan makanlah!" ucap Arthur. Alena menghembuskan napas kasar, memang benar-benar menyebalkan. Setelah sarapan keluarga selesai, Alena dan Arthur berpamitan. Mereka akan tinggal terpisah dengan Meylen, tentu saja agar kebohongan mereka tidak terbongkar. Arthur sendiri sudah memiliki rumah karena sebelumnya ia memang sudah tinggal terpisah dari mamanya. Alena memeluk tubuh Meylen erat, sebenarnya ia sangat ingin tinggal bersama ibu mertuanya. Lantaran mengobati rasa rindunya pada almarhumah maminya. "Mama jaga diri baik-baik ya, nanti Alena sama Mas Arthur akan sering-sering jengukin mama. Kalau nggak mama yang sering-sering datang ke sana!" ucap Alena. Meylen tersenyum hangat. "Pasti, Sayang. Mama titip Arthur ya, dia emang agak keras kepala kamu harus sabar untuk ngadepin sifat dia ya sayang. Mama do'ain kalian bisa segera memiliki momongan, jangan lupa dalam waktu dekat kalian harus honeymoon. Mama sampai lupa, mama udah pesanin tempat honeymoon untuk kalian berdua, bulan depan!" ucapnya. Arthur dan Alena tentu saja terkejut karena hal itu di luar prediksi mereka. "Mama, repot-repot nyiapin semua ini buat kita berdua!" ucap Alena tersenyum paksa, ia mengambil tiket itu dari Meylen. "Nggak repot sama sekali sayang karena mama tahu kalian berdua sama-sama sibuk. Dan kamu Arthur, jagain menantu mama baik-baik jangan sampai kamu berani nyakitin dia!" "Iya," ucap Arthur singkat, keduanya segera masuk ke mobil. Selama di perjalanan tidak ada percakapan di antara keduanya. Baik Alena maupun Arthur sama-sama sibuk dengan isi kepala mereka sendiri. Alena sudah memutuskan untuk melanjutkan karirnya di negara ini. "Pak tua, aku mau tetap bekerja sebagai model. Bapak mengizinkan kan?" tanya Alena mengalihkan pandangannya ke arah Arthur. "Terserah, saya tidak akan membatasi kamu. Jalani kehidupanmu seperti sebelumnya, pernikahan kita hanya status!" Alena menghembuskan napas panjang menyandarkan kepalanya pada dasbor mobil. "Kalau saya bekerja sebagai model di perusahaan bapak, bapak setuju nggak?"Alena menatap bagunan besar yang akan menjadi tempat tinggalnya bersama Arthur. Rumah dengan nuansa Eropa, sangat cocok dengan stylenya. Tak jauh berbeda dengan model rumahnya di luar negeri.Baru masuk semua pelayan sudah datang menyambut, menurutnya Arthur terlalu berlebihan. Sialnya ia langsung meninggalkan Alena begitu saja. "Bi, tolong letakkan barang-barang Alena di lantai tiga!" titah Arthur. Kepala dapur mengangguk, segera mengambil alih barang-barang nona mudanya. Alena mengekori di belakang Arthur melihat betapa megahnya rumah suaminya. "Bi, di depan kamar saya!" ucap Arthur membuat kepala dapur merasa binggung. Alena yang menyadari itu, ia lantas menahan tangan Arthur. "Bi, letakkan di kamar saja nanti Alena yang akan mengurusnya.""Baik, Nyonya."Alena meringgis mendapat panggilan seperti itu, apa dia terlihat sudah sangat tua. Sepertinya ia harus kembali diet setelah dua hari acara makannya cukup banyak mengandung lemak. "Orang lain tidak perlu tahu apa yang terjadi
Alena tercengang mendengar ucapan Arthur barusan, apa dia tidak salah dengar? Adakah seorang suami yang menginginkan istrinya hamil anak pria lain? Ada, Arthur contohnya. "Kau gila!" kesal Alena. Dia merasa di rendahkan dengan ucapan Arthur barusan, sedangkan pria itu masih acuh dan fokus dengan laptop di depannya. "Kenapa aku harus hamil anak orang lain sedangkan aku punya suami!" Heran Alena. "Aku tidak mau." Jawaban Arthur membuat Alena melongo, apakah dia benar-benar gila? Kedua mata Alena menyipit menatap sinis ke arah Arthur. "Jangan-jangan kau abnormal?" Alena bergidik ngeri akan pemikiran bodohnya itu, menggelikan sekali jika ia memiliki suami yang kelainan. "Tidak usah hamil, aku tidak butuh warisan itu!" Alena menghembuskan napas panjang, dia tidak habis pikir dengan cara pikir pria yang menjadi suaminya itu. "Bukan masalah kamu mau atau tidak dengan warisan itu, setidaknya hargai keinginan mendiang ayahmu!" ucap Alena. Arthur tersenyum sangat tipis, ia mena
Pulau Bali menjadi pilihan Meylen untuk tempat honeymoon anak dan menantunya. Alena yang pada dasarnya sangat menyukai liburan menikmati saja. Keduanya sepakat untuk pergi dengan refresing masing-masing. Hal yang di bayangan ibu mertua tidak akan pernah terjadi. "Aku ingin main di pantai!" ucap Alena sudah siap dengan pakaiannya. Ia hanya menggunakan dalaman yang ia lapisi outer. Arthur meliriknya sekilas, tanpa berkomentar apapun ia tetap fokus dengan ponselnya. Alena mendengus kesal membawa kameranya untuk turun. Pemandangan dari arah kamar sudah terlihat sangat jelas indahnya pulau ini. "Aku sudah lama sekali tidak pergi ke pantai, ini kesempatan baikku!" ucap Alena dengan senyuman manis di bibirnya. Menerim tawaran ibu mertuanya ternyata tidak seburuk itu. Arthur fokus kerja sedangkan ia akan fokus bermain. Alena menginjakkan kakinya pada pasir putih tangannya mulai menggambar abstrak. Senyuman tipis melengkung di bibirnya, ingat sekali terakhir kali dirinya ke pantai bersama
Alena merentangkan tangannya terbangun dari tidur nyenyaknya semalam. Tubuhnya terasa segar pagi ini, di sebelahnya sudah tidak ada Arthur. Entah kemana perginya pria itu. "Kemana dia pergi? Sepagi ini udah menghilang," guamamnya. Ia segera bangun menguncir rambutnya asal, setelah membereskan tempat tidur Alena segera membersihkan tubuhnya. Balkon menjadi tujuan setelahnya, Alena tersenyum senang, udaranya sangat menyejukkan. "Ah, pagi hari di pantai Bali. Indah sekali!" ucapnya. Matanya menangkap para manusia yang sudah bermain di sekitar pantai, senyumnya kembali terukir di wajah cantiknya. Melihatnya banyaknya para manusia yang berbahagia di sana. Alena menangkap salah satu objek yang tak asing di matanya, dahinya berkerut mencoba memastikan apakah benar dia orangnya. "What? Beneran dia? Pagi-pagi udah main air!" ucap Alena. Melihat Arthur bermain selancar di pantai, dia bertelanjang dada hanya mengenakannya celana pendeknya saja. Alena terpukau, bohong jika ia tid
Seorang wanita cantik dengan balutan gaun pernikahan mewah, berjalan menuju pelaminan. Senyum paksa terukir di wajah cantiknya, menatap banyaknya tamu undangan di hari pernikahan yang sama sekali tidak ia inginkan. Alena Maheswara, seorang model ternama di luar negeri yang terpaksa menerima wasiat dari mendiang orang tuanya untuk menikah dengan seorang pria asing yang sama sekali tidak ia kenal. Di sekian banyaknya orang Alena justru merasa sendiri. Ia tidak bahagia di hari pernikahannya yang bahkan tergelar sangat mewah. Alena menghembuskan napas panjang, saat pria yang telah menjadi suaminya duduk tepat di sampingnya. Akad baru saja selesai dan kini ia telah resmi menjadi seorang istri. Alena menatap datar pria di sampingnya, ia mengulas senyum miring. "Mohon kerja samanya," ucap Alena. Alena tersenyum menyapa tamu undangan yang dia yakini tamu suaminya. Begitupun dengan suaminya. Keduanya terlihat sangat cocok, tampan dan cantik."Drama mulai." "Ya." Alena membuang muka malas,