Sudah menjadi kebiasaannya untuk membuat sarapan sendiri, selama di luar negeri pun Alena selalu memasak sendiri. Ia sangat jarang membeli makanan, Alena sangat menjaga kesehatan tubuhnya. Setelah dari kamar mandi Alena langsung menuju ke arah dapur.
"Masak apa ya?" gumam Alena. Baru menapakkan kaki di dapur ia terkejut melihat banyaknya pelayan yang lalu lalang di sana. "Wow," ucapnya takjub. "Selamat pagi nona muda!" Mereka semua kompak menyapa Alena membuat gadis itu sedikit canggung. "Y-ya, selamat pagi juga. Em, ada yang bisa aku bantu?" tanyanya. "Tidak perlu Nona, apakah ada menu makanan yang nona inginkan. Kami akan membuatnya," ucap kepala dapur. Alena menggeleng, ia mengulas senyum tipis mendekat ke arah mereka semua. "Aku sudah terbiasa untuk memasak makananku sendiri. Pagi ini aku akan membantu kalian memasak!" ujarnya. "Tidak perlu, Nona." Kepala dapur terlihat takut, jika nyonya besar sampai tahu mereka yang akan kena marah. "Tidak apa, kalian tidak perlu sungkan denganku. Aku selalu memasak dan itu sudah menjadi rutinitasku sehari-hari." Baru kepala dapur akan menjawab, Meylen lebih dulu datang. "Loh, sayang kok kamu ada di sini? Biarkan bibi yang masak," ucapnya. Alena tersenyum ke arah ibu mertuanya. "Selamat pagi, Ma. Alena khusus masak pagi ini untuk mama, emang mama nggak mau nyobain masakan menantu mama?" ucap Alena. Meylen tersenyum mendengarnya. "Kalau gitu mama juga ikut bantuin kamu masak. Bibi kerjain yang lain aja, masakan biar saya sama menantu saya yang urus!" ucap Meylen. Alena terkekeh mendengarnya, membantu memakaikan apron pada ibu mertuanya. "Mama mau masak apa? Makanan favorit mama sama Mas Arthur?" tanya Alena. "Arthur itu jarang makan di rumah, hidupnya nggak sehat sama sekali! Tapi sekarang mama lega deh dia punya istri seperti kamu." Meylen tersenyum hangat. "Mama bisa aja, Alena pastikan setelah ini anak mama itu nggak akan makan sembarangan lagi!" kekehnya. Meylen tertawa mendengarnya, keduanya memasak sembari bercerita banyak hal. Alena merasa nyaman, berada di dekat Meylen seakan ia merasakan sosok ibunya kembali. "Oh iya, Arthur alergi sama kacang ya, Sayang. Kalau makan kacang tubuhnya langsung gatal-gatal," jelasnya. "Baik, Ma. Alena catat," candanya. Setelah semua masakan telah selesai, bibi membantu untuk membawanya ke meja makan. Di sana keluarga besar sudah berkumpul, Alena tersenyum menyapa mereka. "Selamat pagi Kakek, Om, Tante, dan semuanya," ucapnya. "Selamat pagi, Mantu. Wah, kompak banget mertua sama mantu pagi-pagi udah masak!" ucap saudara ipar Meylen. "Biar kakek coba masakan menantu sama cucu menantu!" ucapnya membuat Alena tersenyum malu. Ia mengambilkan untuk kakek Abi. "Suami kamu mana sayang kok belum kelihatan?" tanya Tante Melisa. Alena tersenyum canggung. "Masih di kamar, Tan. Tadi sih lagi mandi mungkin lagi siap-siap," ucapnya. Tak lama kemudian Arthur turun, rambutnya yang basah membuatnya terlihat segar dan terlihat sekali jika ia baru selesai mandi. "Waduh, waduh pengantin baru kesiangan, habis berapa ronde semalam!" Godaan itu berasal dari saudara sepupu Arthur, Sebastian. "Lima," balas Arthur datar lalu duduk di sebelah Alena. Seluruh keluarga di sana tertawa berbeda dengan Alena yang menutup wajah lantaran malu. Apa-apaan maksud Arthur barusan, semalam bahkan tidak terjadi pertarungan apapun antara dirinya dan juga Athur. Karangan yang luar biasa. Alena tersenyum ia berdiri dari duduknya mengambilkan makanan untuk suaminya. "Kamu mau makan sama apa?" tanya Alena dengan senyum yang tak luntur dari bibirnya. "Terserah." Alena memutar bola matanya malas, jawabannya seperti perempuan saja. Tawa Tian menggelegar ia bahkan memukul lengan Arthur tanpa sengaja. "Wajah lo bisa ngasih ekspresi dikit nggak, datar banget! Yang baik lo sama istri, tidur di luar gue syukurin lo!" ledek Tian ia terlihat sangat puas menganggu Arthur sejak tadi. Arthur menatapnya tajam, ia tersenyum miring berucap sangat lirih. Namun, mampu membuat Tian terbungkam setelahnya. "Pekerjaanmu terlalu santai?" tekan Arthur. Tian tersenyum paksa, mengusap bahu Arthur pelan. "Ampun, Bang. Pekerjaan minggu kemarin aja belum selesai. Janji nggak ganggu lo lagi!" ucapnya membuat yang lain tertawa. Alena telah selesai mengambilkan makanan untuk Arthur dan juga ibu mertuanya. "Cobain masakan aku sama mama, enak nggak?" tawar Alena antusias. Arthur menyuapkan satu sendok ke mulutnya. Tidak ada ekspresi apapun tetap datar seperti biasanya. "Enak," komentarnya dan kembali menyuapkan nasi ke mulutnya. Alena tersenyum masam hanya itu saja tidak ada pujian untuknya. Sungguh Arthur menyebalkan, untung saja kakek langsung memberikan pujian padanya. "Masakan kamu enak banget, cucu menantu!" kekeh Kakek Abi. Alena tersenyum lebar. "Makasih, Kakek. Alena akan sering-sering buatin masakan untuk Kakek," ucap Alena. "Berhenti bicara dan makanlah!" ucap Arthur. Alena menghembuskan napas kasar, memang benar-benar menyebalkan. Setelah sarapan keluarga selesai, Alena dan Arthur berpamitan. Mereka akan tinggal terpisah dengan Meylen, tentu saja agar kebohongan mereka tidak terbongkar. Arthur sendiri sudah memiliki rumah karena sebelumnya ia memang sudah tinggal terpisah dari mamanya. Alena memeluk tubuh Meylen erat, sebenarnya ia sangat ingin tinggal bersama ibu mertuanya. Lantaran mengobati rasa rindunya pada almarhumah maminya. "Mama jaga diri baik-baik ya, nanti Alena sama Mas Arthur akan sering-sering jengukin mama. Kalau nggak mama yang sering-sering datang ke sana!" ucap Alena. Meylen tersenyum hangat. "Pasti, Sayang. Mama titip Arthur ya, dia emang agak keras kepala kamu harus sabar untuk ngadepin sifat dia ya sayang. Mama do'ain kalian bisa segera memiliki momongan, jangan lupa dalam waktu dekat kalian harus honeymoon. Mama sampai lupa, mama udah pesanin tempat honeymoon untuk kalian berdua, bulan depan!" ucapnya. Arthur dan Alena tentu saja terkejut karena hal itu di luar prediksi mereka. "Mama, repot-repot nyiapin semua ini buat kita berdua!" ucap Alena tersenyum paksa, ia mengambil tiket itu dari Meylen. "Nggak repot sama sekali sayang karena mama tahu kalian berdua sama-sama sibuk. Dan kamu Arthur, jagain menantu mama baik-baik jangan sampai kamu berani nyakitin dia!" "Iya," ucap Arthur singkat, keduanya segera masuk ke mobil. Selama di perjalanan tidak ada percakapan di antara keduanya. Baik Alena maupun Arthur sama-sama sibuk dengan isi kepala mereka sendiri. Alena sudah memutuskan untuk melanjutkan karirnya di negara ini. "Pak tua, aku mau tetap bekerja sebagai model. Bapak mengizinkan kan?" tanya Alena mengalihkan pandangannya ke arah Arthur. "Terserah, saya tidak akan membatasi kamu. Jalani kehidupanmu seperti sebelumnya, pernikahan kita hanya status!" Alena menghembuskan napas panjang menyandarkan kepalanya pada dasbor mobil. "Kalau saya bekerja sebagai model di perusahaan bapak, bapak setuju nggak?"Alena menatap bagunan besar yang akan menjadi tempat tinggalnya bersama Arthur. Rumah dengan nuansa Eropa, sangat cocok dengan stylenya. Tak jauh berbeda dengan model rumahnya di luar negeri.Baru masuk semua pelayan sudah datang menyambut, menurutnya Arthur terlalu berlebihan. Sialnya ia langsung meninggalkan Alena begitu saja. "Bi, tolong letakkan barang-barang Alena di lantai tiga!" titah Arthur. Kepala dapur mengangguk, segera mengambil alih barang-barang nona mudanya. Alena mengekori di belakang Arthur melihat betapa megahnya rumah suaminya. "Bi, di depan kamar saya!" ucap Arthur membuat kepala dapur merasa binggung. Alena yang menyadari itu, ia lantas menahan tangan Arthur. "Bi, letakkan di kamar saja nanti Alena yang akan mengurusnya.""Baik, Nyonya."Alena meringgis mendapat panggilan seperti itu, apa dia terlihat sudah sangat tua. Sepertinya ia harus kembali diet setelah dua hari acara makannya cukup banyak mengandung lemak. "Orang lain tidak perlu tahu apa yang terjadi
Alena tercengang mendengar ucapan Arthur barusan, apa dia tidak salah dengar? Adakah seorang suami yang menginginkan istrinya hamil anak pria lain? Ada, Arthur contohnya. "Kau gila!" kesal Alena. Dia merasa di rendahkan dengan ucapan Arthur barusan, sedangkan pria itu masih acuh dan fokus dengan laptop di depannya. "Kenapa aku harus hamil anak orang lain sedangkan aku punya suami!" Heran Alena. "Aku tidak mau." Jawaban Arthur membuat Alena melongo, apakah dia benar-benar gila? Kedua mata Alena menyipit menatap sinis ke arah Arthur. "Jangan-jangan kau abnormal?" Alena bergidik ngeri akan pemikiran bodohnya itu, menggelikan sekali jika ia memiliki suami yang kelainan. "Tidak usah hamil, aku tidak butuh warisan itu!" Alena menghembuskan napas panjang, dia tidak habis pikir dengan cara pikir pria yang menjadi suaminya itu. "Bukan masalah kamu mau atau tidak dengan warisan itu, setidaknya hargai keinginan mendiang ayahmu!" ucap Alena. Arthur tersenyum sangat tipis, ia mena
Pulau Bali menjadi pilihan Meylen untuk tempat honeymoon anak dan menantunya. Alena yang pada dasarnya sangat menyukai liburan menikmati saja. Keduanya sepakat untuk pergi dengan refresing masing-masing. Hal yang di bayangan ibu mertua tidak akan pernah terjadi. "Aku ingin main di pantai!" ucap Alena sudah siap dengan pakaiannya. Ia hanya menggunakan dalaman yang ia lapisi outer. Arthur meliriknya sekilas, tanpa berkomentar apapun ia tetap fokus dengan ponselnya. Alena mendengus kesal membawa kameranya untuk turun. Pemandangan dari arah kamar sudah terlihat sangat jelas indahnya pulau ini. "Aku sudah lama sekali tidak pergi ke pantai, ini kesempatan baikku!" ucap Alena dengan senyuman manis di bibirnya. Menerim tawaran ibu mertuanya ternyata tidak seburuk itu. Arthur fokus kerja sedangkan ia akan fokus bermain. Alena menginjakkan kakinya pada pasir putih tangannya mulai menggambar abstrak. Senyuman tipis melengkung di bibirnya, ingat sekali terakhir kali dirinya ke pantai bersama
Alena merentangkan tangannya terbangun dari tidur nyenyaknya semalam. Tubuhnya terasa segar pagi ini, di sebelahnya sudah tidak ada Arthur. Entah kemana perginya pria itu. "Kemana dia pergi? Sepagi ini udah menghilang," guamamnya. Ia segera bangun menguncir rambutnya asal, setelah membereskan tempat tidur Alena segera membersihkan tubuhnya. Balkon menjadi tujuan setelahnya, Alena tersenyum senang, udaranya sangat menyejukkan. "Ah, pagi hari di pantai Bali. Indah sekali!" ucapnya. Matanya menangkap para manusia yang sudah bermain di sekitar pantai, senyumnya kembali terukir di wajah cantiknya. Melihatnya banyaknya para manusia yang berbahagia di sana. Alena menangkap salah satu objek yang tak asing di matanya, dahinya berkerut mencoba memastikan apakah benar dia orangnya. "What? Beneran dia? Pagi-pagi udah main air!" ucap Alena. Melihat Arthur bermain selancar di pantai, dia bertelanjang dada hanya mengenakannya celana pendeknya saja. Alena terpukau, bohong jika ia tid
Alena tersenyum tipis menatap hadiah pemberian ibu mertuanya. Dia tidak tahu, tiba-tiba saja sudah ada di dalam kopernya. Alena baru menyadari semenjak menikah dengan Arthur ia kembali merasakan kehadiran sosok ibu dalam hidupnya. Alena sangat excited segera membuka kado itu, mulutnya ternganga saat melihat apa isi di dalamnya. Tiga buah lingerie dengan warna yang sangat mencolok. Bajunya memang terbuka tapi ini sangat terbuka, memakainya sama saja dirinya tidak pakai baju. "Mama yang benar saja!" ucap Alena melempar baju itu ke ranjang, wajahnya memerah karena malu. Tepat sekali pintu kamar terbuka dan Arthur masuk, ia sempat melihat pakaian yang tergeletak di ranjang. Tatapannya horor menatap ke arah Alena, setelah sadar gadis itu menggoyangkan tangannya dengan cepat. "Jangan salah paham! Mama yang ngasih, aku nggak tahu juga. Lagian aku tidak akan memakainya!" ucap Alena, segera memunguti pakaian itu dan kembali memasukkannya. Arthur tidak menggubris ia menyandarkan diri ke ra
Arthur menepis tangan Alena kasar saat menyadari siapa yang menyusup masuk ke kamar mandinya. Rahangnya mengeras, ia terlihat sangat kesal. Alena menatapnya lekat, tidak percaya jika ia akan mendapat perlakuan kasar dari suaminya. "Semakin lama kamu semakin tidak tahu diri!" sentak Arthur, ia mengambil jubah handuknya dan segera pergi. Melihat respon Arthur yang berlebihan membuat Alena mendengus kesal. Ia sudah membuang jauh-jauh gengsinya, tetapi pria itu justru mempermalukan dirinya. Benarkah Arthur tak berminat dengannya sama sekali. Alena mengabaikan kemarahan Arthur, ia memilih berendam. Air hangat yang belum Arthur pakai, aroma sabun yang sangat wangi khas wangi suaminya. Alena memejamkan matanya, tubuhnya terasa lebih baik saat ia gunakan berendam. Ia menatap lengannya yang memerah karena Arthur sempat mencengkeramnya tadi. "Dia mengerikan juga saat marah, semakin hari aku semakin di buat penasaran dengannya." Alena tersenyum miring, dia tidak akan menyerah meski Arthur s
Alena dan Arthur baru saja sampai di Indonesia, keduanya sudah di jemput sopir. 30 menit perjalanan mereka sampai di rumah, sikap Arthur terlihat semakin dingin. Selama perjalanan pun tidak ada percakapan di antara mereka berdua. Arthur dan Alena turun, koper mereka bibi yang bawa, baru sampai Arthur sudah langsung pergi kembali. Alena menahan tangan suaminya yang akan pergi. Namun, dengan cepat Arthur menepis tantangannya."Aku hanya ingin bilang, aku akan pergi dengan temanku mungkin akan pulang agak sorean," ucap Alena meski Arthur tidak perduli. Benar saja Arthur tidak menjawab apa-apa dan langsung masuk ke dalam mobilnya. Alena berdecak kesal, jika tidak ingat rencananya ia pasti sudah memaki-maki pria kaku itu. "Sabar, buah dari kesabaran itu indah!" ucap Alena pada dirinya sendiri. Ia segera masuk ke dalam rumah membersihkan diri sebelum pergi menemui temannya. Alena memang sudah ada janji dengan Anita jika mereka akan belanja bersama. "Alena!" Terlihat seorang gadis melam
Malam harinya setelah pulang dari kantor, setelah membersihkan diri. Alena bukan beristirahat justru sibuk di dapur. Ia kembali ingin memasak sesuatu untuk makan malam Arthur. Meski bekal yang ia bawa tadi entah di makan atau tidak oleh suaminya. "Nona, ada yang bisa saya bantu?" tanya Bibi yang melihat Alena ke dapur. Alena tersenyum menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak perlu, Bi. Aku sedang ingin membuatkan malam malam untuk, Tuan." Bibi tersenyum mendengarnya. "Saya bantu potong sayurnya, Nona." Alena mengangguk dengan senang hati. "Tuan Arthur sangat beruntung memiliki istri seperti Anda. Tuan Arthur sangat suka ayam tepung, dari kecil sampai sekarang kalau ada satu menu itu dia pasti akan makan sangat lahap." Bibi tiba-tiba bercerita. "Benarkah, Bi?" tanya Alena antusias, dia jadi ingin mendengar lebih banyak karena yang ia tahu Bibi sudah mengabdi di keluarga Arthur sejak ia masih kecil. Bibi mengangguk. "Sama sayur sop, kebetulan sekali Nona sedang memasaknya s
Tok Tok Tok Arthur berdecak kesal, siapa yang berani menganggunya selarut ini. Ia tidak merasa memesan apapun, dengan langkah malas Arthur segera membuka pintu kamarnya. "T-tuan, maaf menganggu waktunya malam-malam. Tapi Anda sedang di tunggu di restoran bawah sekarang. Saya hanya menyampaikan pesannya," ucap pria itu gugup mendapati tatapan membunuh dari Arthur. "Saya tidak memiliki janji dengan siapapun, saya tidak perduli. Jangan ganggu saya lagi!" tekan Arthur. Saat pintu akan tertutup, ucapan dari pelayan itu membuat Arthur mengurungkan niatnya. "Tapi istri Anda sudah menunggu dari tadi," ucapnya dengan kepala menunduk. "Apa kamu bilang? Istri saya?" Arthur terkesiap. Ia mendorong tubuh pelayan itu dan segera berlari turun, benarkah Alena menyusulnya kemari? Sampai di restoran, Arthur celingukan mencari keberadaan istrinya. Namun, tidak ia temukan siapapun kecuali seorang perempuan dengan rambut tergerai dan gaun merah yang tengah membelakanginya. Arthur yakin itu
"Ikut!" rengek Alena saat Arthur akan pergi, saat ini keduanya sudah berada di rumah orang tua Arthur. Arthur dengan tegas menggeleng. "Saya sudah bilang di sana laki-laki semua. Masuklah!" ucapnya datar. Bibir Alena melengkung ke bawah, mengambil tangan Arthur lalu mengecup punggung tangannya. "Hati-hati di jalan, kalau sudah sampai jangan lupa kabarin!" Arthur terkesiap, melihat perlakuan Alena membuat ia seketika membeku. Arthur menatap kedua mata bulat itu berkaca-kaca entah kenapa membuat ia gemas. "Masuklah!" Alena menggeleng. "Pergilah, aku akan masuk setelah kamu pergi." Arthur mengangguk, tangannya sempat mengusak rambut Alena pelan. Sebelum ia berjalan masuk ke dalam mobil. Alena mengigit bibir bawahnya gemas, kepalanya yang diusak hatinya yang berantakan. Alena melambai saat mobil suaminya mulai meninggalkan rumah. "Malam ini aku tidur sendirian," gumamnya masuk ke dalam rumah. Meylen sedang membuat kue saat ini, ia senang saat tahu menantunya akan men
"Nanti malam saya ada dinas ke luar kota, kamu di rumah sendiri atau mau ke rumah mama?" tanya Arthur membuka obrolan saat mereka makan siang. Ya, keduanya jadi makan siang di luar tentu dengan banyak drama dari Alena. Bibir gadis itu mengerucut, kesal karena Arthur baru memberitahunya sekarang sedang nanti malam dia sudah berangkat. "Aku ikut!" ucap Alena. Alis Arthur terangkat menatap gadis dengan wajah tertekuk kesal itu, padahal dia hanya bilang jika ia akan dinas bukan mengajak Alena untuk ikut. "Tidak usah, saya hanya satu hari di sana. Lagian kerjaan kamu bagaimana," ucap Arthur. Semakin maju bibir gadis itu, menatap wajah suaminya lekat. "Sama siapa aja?" "Celi--""Aku ikut! Pokoknya kalau cewek gatel itu ikut aku juga ikut." Alena semakin kesal saat mengetahui wanita tidak tahu malu itu turut serta dalam perjalanan dinas nanti malam. Arthur menghembuskan napas panjang menatap Alena dengan pandangan heran. Semakin hari tingkah gadis itu semakin membuatnya pening. "Tida
Alena tersenyum geli melihat Arthur yang diam sembari makan makanannya. Ingat sekali bagaimana Arthur langsung mematikan rapat karena godaannya. Lucu! "Kamu masih marah perkara tadi? Wajarlah orang kita suami istri," ucap Alena dengan santai. Arthur menyorotnya dengan tatapan tajam sedang Alena pura-pura tak melihatnya. Semakin hari semakin ia mengenal bagaimana sosok pria dingin yang merupakan suaminya itu. Semakin Alena tahu jika sebenarnya Arthur orangnya cukup hangat. "Kamu mulai bisa menerimaku?" tanya Alena, ekspresi wajahnya sangat ceria. "Jangan berharap apapun padaku, Alena!" Setelahnya Arthur meninggalkan ruang makan. Alena menghembuskan napas panjang. Lagi! Dia belum berhasil, belum sepenuhnya bisa mencairkan sosok itu. Prosesnya masih kurang panjang, tidak semudah itu membuat seorang Arthur mencair. Napsu makannya seketika hilang, Alena membereskan makanan di dapur. Tidak langsung masuk ke kamar, ia justru duduk di ruang tamu menselonjorkan kakinya di sana. Bermain p
Alena selesai dengan pemotretannya hari ini tinggal menunggu kedatangan Arthur saja. Tepat sekali tak lama pintu ruangan suaminya terbuka, senyum di bibirnya mengembang. "Hai, Pak suami!" sapa Alena genit. Arthur menatapnya datar, tatapannya jatuh pada Gerald yang tak melepas pandang dari sang istri. "Ayo pulang!" ucap Arthur singkat. Alena mengangguk segera pergi dengan suaminya, ia bahkan sudah menempel pada tubuh Arthur melingkarkan tangannya pada lengan kekar suaminya. Untungnya Arthur tidak menepis tangannya seperti sebelumnya. "Hari ini sangat lelah, bagaimana denganmu? How was your day, Honey?" Pertanyaan itu meluncur dari bibir Alena. Tangannya masih melingkar di lengan Arthur. "I'm good. Lepaskan tanganmu!" Perkembangan, Arthur bisa di ajak berbincang! Alena tersenyum tipis, ia menyadarkan kepalanya di dasbor. Tangannya menyentuh kalung kecil di lehernya. Alena bahagia seakan pemberi kalung itu adalah orang tuanya. Arthur sempat meliriknya ia tahu itu adal
"Happy birthday, Cantik." Alena tersentak saat kado kecil ia dapatkan dari Gerald. Alena tidak menyangka jika pria itu mengingat hari ulang tahunnya. "Astaga, Gerald. Kamu ingat hari ulang tahunku?" kekeh Alena. Ia dengan senang hati menerima kado pemberian Gerald. Meski ia sangat berharap jika sang suami yang akan memberikan ia hadiah. "Tentu saja, aku selalu mengingat setiap hal kecil tentangmu, Alena. Kamu saja yang tidak menyadarinya!" kekeh Gerald, ia mengambil duduk di sebelah Alena. Mereka baru saja menyelesaikan sesi pemotretan dan akan di mulai lagi satu jam ke depan. Keduanya tengah beristirahat, Gerald menatap hadiah kecil yang ia berikan kepada Alena. "Bukalah, lihat apakah kamu menyukainya?" Alena mengangguk, saat ia membuka kotak kecil itu. Alena melihat sebuah kalung indah dengan bandul kupu-kupu kecil. Sederhana, tetapi terlihat sangat cantik. Kedua matanya berbinar, Alena senang dengan hadiah yang ia terima.
Alena tersentak melihat Arthur yang tiba-tiba pulang, ia mengusap air matanya dengan cepat. Melihat kue kecil yang berada di tangannya. Apakah doanya langsung terkabul? Ingin merayakan ulang tahun dengan Arthur. "Kenapa belum tidur?" Arthur mendekat ke arahnya dengan kerutan di dahinya. "Aku ulang tahun," ucap Alena. Ia menatap kue ulang tahunnya, memotongkan satu suap untuk Arthur. "Makanlah." Alena menyuapkan sesuap untuk Arthur. Tapi pria itu tetap diam, tidak membuka mulutnya menatap Alena lekat. "Ayolah, sedikit saja. Anggap saja kamu ikut merayakan ulang tahunku," ucap Alena tersenyum. Arthur membuka mulutnya menerima suapan kue ulang tahun dari Alena. Entahlah, tiba-tiba saja dia mau membuka mulutnya. Hal itu membuat Alena tersenyum bahagia. "Terimakasih," ucap Alena. Ia kembali memakan kue ulang tahunnya, tidak ada pergerakan lagi dari Arthur. Tak lama ia mengambil duduk di sebelah Alena. Menatap gadis itu yang asyik memakan kue ulang tahunnya. "Jangan makan terlalu ba
Malam harinya setelah pulang dari kantor, setelah membersihkan diri. Alena bukan beristirahat justru sibuk di dapur. Ia kembali ingin memasak sesuatu untuk makan malam Arthur. Meski bekal yang ia bawa tadi entah di makan atau tidak oleh suaminya. "Nona, ada yang bisa saya bantu?" tanya Bibi yang melihat Alena ke dapur. Alena tersenyum menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak perlu, Bi. Aku sedang ingin membuatkan malam malam untuk, Tuan." Bibi tersenyum mendengarnya. "Saya bantu potong sayurnya, Nona." Alena mengangguk dengan senang hati. "Tuan Arthur sangat beruntung memiliki istri seperti Anda. Tuan Arthur sangat suka ayam tepung, dari kecil sampai sekarang kalau ada satu menu itu dia pasti akan makan sangat lahap." Bibi tiba-tiba bercerita. "Benarkah, Bi?" tanya Alena antusias, dia jadi ingin mendengar lebih banyak karena yang ia tahu Bibi sudah mengabdi di keluarga Arthur sejak ia masih kecil. Bibi mengangguk. "Sama sayur sop, kebetulan sekali Nona sedang memasaknya s
Alena dan Arthur baru saja sampai di Indonesia, keduanya sudah di jemput sopir. 30 menit perjalanan mereka sampai di rumah, sikap Arthur terlihat semakin dingin. Selama perjalanan pun tidak ada percakapan di antara mereka berdua. Arthur dan Alena turun, koper mereka bibi yang bawa, baru sampai Arthur sudah langsung pergi kembali. Alena menahan tangan suaminya yang akan pergi. Namun, dengan cepat Arthur menepis tantangannya."Aku hanya ingin bilang, aku akan pergi dengan temanku mungkin akan pulang agak sorean," ucap Alena meski Arthur tidak perduli. Benar saja Arthur tidak menjawab apa-apa dan langsung masuk ke dalam mobilnya. Alena berdecak kesal, jika tidak ingat rencananya ia pasti sudah memaki-maki pria kaku itu. "Sabar, buah dari kesabaran itu indah!" ucap Alena pada dirinya sendiri. Ia segera masuk ke dalam rumah membersihkan diri sebelum pergi menemui temannya. Alena memang sudah ada janji dengan Anita jika mereka akan belanja bersama. "Alena!" Terlihat seorang gadis melam