Pulau Bali menjadi pilihan Meylen untuk tempat honeymoon anak dan menantunya. Alena yang pada dasarnya sangat menyukai liburan menikmati saja. Keduanya sepakat untuk pergi dengan refresing masing-masing. Hal yang di bayangan ibu mertua tidak akan pernah terjadi.
"Aku ingin main di pantai!" ucap Alena sudah siap dengan pakaiannya. Ia hanya menggunakan dalaman yang ia lapisi outer. Arthur meliriknya sekilas, tanpa berkomentar apapun ia tetap fokus dengan ponselnya. Alena mendengus kesal membawa kameranya untuk turun. Pemandangan dari arah kamar sudah terlihat sangat jelas indahnya pulau ini. "Aku sudah lama sekali tidak pergi ke pantai, ini kesempatan baikku!" ucap Alena dengan senyuman manis di bibirnya. Menerim tawaran ibu mertuanya ternyata tidak seburuk itu. Arthur fokus kerja sedangkan ia akan fokus bermain. Alena menginjakkan kakinya pada pasir putih tangannya mulai menggambar abstrak. Senyuman tipis melengkung di bibirnya, ingat sekali terakhir kali dirinya ke pantai bersama dengan mendiang orang tuanya. "Ma, Pa, dulu Alena datang sama kalian sekarang Alena datang sama suami. Apa yang membuat kalian sangat percaya untuk menikahkan Alena dengannya?" lirih Alena. Ia bangkit memilih duduk di sekitar pantai, kakinya merasakan air pantai yang bergoyang. Ombak belum terlihat besar yang ada di mata Alena hanyalah keindahan pulau Bali. Alena merekam ombak yang bergerak ke sana kemari, keramaian orang-orang di sekitarnya. Kebanyakan dari mereka bersama dengan orang tersayang sedangkan ia sendirian. "Alena!" Ia berbalik mendengar suara yang sangat tak asing terdengar di telinganya. Bersama degub jantung yang berdetak cukup kencang. Kedua mata Alena membulat saat mengetahui siapa yang menyapanya kedua tangannya mengepal. "I miss you, baby." Tubuh Alena menegang saat pria jakun itu memeluk tubuhnya erat. "I love you so much, Baby. I'm so sorry." bisiknya penuh penyesalan. Alena mendorong tubuh pria itu kasar, tatapannya menajam dengan senyum smirk di wajahnya. Ia menatap muak sosok pria di hadapannya, sangat muak. "Bisa berhenti drama nggak sih? Aku capek." Alena berbalik meninggalkan pria itu, terlihat wajahnya memerah menahan amarah. "Emang bener ya kata orang satu kesalahan nutupin seribu kebaikan. Aku harus apa supaya kamu percaya sama aku? Aku dijebak sedangkan kamu? Kamu justru nikah sama pria lain." Teriaknya. Beberapa orang sudah menjadikan keduanya pusat perhatian. Langkah Alena terhenti mendengar setiap kata yang pria itu ucapkan. "Kamu emang suka nyari sensasi ya? Pelaku seolah korban. Daripada jadi model lebih cocok jadi artis protagonis. Cocok banget, nanti deh aku rekomenin ke produser terkenal. Biar akting kamu bisa menghasilkan uang bukan omong kosong!" "Jadi istrinya milyader emang enak ya, Al? Mau apa aja tinggal jentik jari. Nggak heran kalau kamu ninggalin aku demi dia!" kekeh dengan suara mengejek. Kedua tangan Alena mengepal mendengar ucapan busuk pria itu. "Iya dong, sekarang aku realistis. Bodohnya aku dulu yang justru biayain cowok mokondo kayak kamu. Cewek itu yang biayain bukan malah biayain cowoknya!" teriak Alena sengaja membesarkan suaranya. Beberapa orang di sana yang sedikit berbisik mengatainya kini beralih memojokkan pria itu. Alena tersenyum puas melihat wajah memerah lawannya. Dari arah kejauhan Alena melihat Arthur yang menjalan mendekat ke arahnya. Entah apa yang akan pria itu lakukan, tetapi Alena mengantisipasi hal buruk akan terjadi. Ia buru-buru menghampiri Arthur dan membawa ia untuk berbalik badan. "Sayang, maaf ya aku lama. Sampai kamu harus nyusulin aku ke sini," ucap Alena dengan suara keras. "Saya ingin cari makan bukan cari kamu." Arthur berucap datar, mendengar jawaban itu seketika wajah Alena tertekuk kesal. "Kerja sama sebentar aja!" tekan Alena. Ia membawa Arthur kembali ke kamar mereka. Tak lagi perduli dengan penganggu satu itu, heran saja bagaimana bisa dia ada di pulau ini sekarang. Alena melepaskan lengan Arthur begitu mereka sampai, ia menatap lekat Arthur yang tengah menatap intens ke arahnya. "Apa?" sewot Alena. "Makan di luar atau di dalam?" tanya Arthur, sembari melihat pesanan makanan lewat ponselnya. "Dalam aja, di luar ada anakonda!" ucap Alena asal. Ia langsung masuk kamar mandi, tubuhnya buruh berendam kembang tujuh rupa karena pria gila itu sempat memeluknya. Kedua mata Alena terpejam, bayang-bayang bertahun-tahun lalu kini kembali terngiang di kepalanya. "Aku sudah memaafkannya tapi untuk lupa, aku tidak akan pernah melupakan kesalahannya." Tok Tok Tok "Ada apa?" teriak Alena saat mendengar ketukan di pintu. "Cepat, saya mau mandi." Alena mendengus mendengarnya, ia menyudahi berendamnya dan segera menyelesaikan ritual mandinya. Alena menepuk dahinya sendiri, sangking kesalnya ia sampai masuk kamar mandi tanpa membawa ganti. Hanya ada jubah handuk saja di sana. "Dia memang kesialan di hidupku!" cerutu Alena. Alena memakai jubah handuk yang panjangnya sampai lutut. Untung saja tidak terlalu pendek, ia segera keluar dan sudah di sambut oleh wajah datar suaminya. "Ganggu!" gerutu Alena. Selesai mengganti pakaiannya, Alena bersantai di balkon. Melihat pemandangan ombak dari sana, sangat indah. "So pretty. Disuruh tinggal di sini bertahun-tahun aku juga mau." Terdapat sebuah senyuman di wajah cantiknya, tak sengaja mata Alena melihat pria menggelikan itu lagi. Ia bahkan sudah bersama perempuan lain, memang bener-benar biaya darat. "Dia tidak tahu malu!" Alena memalingkan wajahnya, melihat kedua insan itu berciuman. Entahlah hatinya masih terasa panas. Alena memilih masuk ke dalam, suasana hatinya menjadi sangat buruk. Alena melempar tubuhnya di atas ranjang, menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Hatinya masih di penuhi amarah. "Bangun, kita makan!" Tiba-tiba saja Arthur menarik selimutnya membuat mau tak mau ia harus terbangun. "Makan di sini aja." Arthur mengangguk menunjuk meja makan yang sudah terisi makanan. Alena dengan wajah cemberut mengekori di belakang Arthur. Anehnya pria itu tidak ada bertanya sama sekali, tentang siapa pria di pantai tadi atau kenapa wajahnya terlihat sangat kesal saat ini. Apakah Arthur benar-benar sangat tidak perduli dengannya. "Nggak tanya cowok di pantai tadi siapa?" Alena yang justru penasaran balik bertanya kepada Arthur. "Mantan kamu kan?" Alena mengangguk, sudah? Apakah dia tidak ingin bertanya lebih lanjut? "Alasan aku putus sampai kayak gini? Nggak penasaran?" tanya Alena lagi. "Kamu sadar. Mokondo emang wajib di tinggal!" Jawaban dari Arthur kali ini membuat Alena tertawa terbahak-terbahak. Arthur tidak berniat melucu tapi jawaban yang keluar dari ekspresi datar itu entah kenapa sangat menggelitik Alena. "Percaya kalau dia emang mokondo?" kekeh Alena. Dahi Arthur berkerut mendengar jawaban itu. Alena meredakan suara tawanya. "Dia ganteng, dia juga kaya. Dia CEO perusahaan AG, dulu aku jadi model di perusahaan dia." Arthur diam menyimak, tetapi tidak ada tanda-tanda Alena akan melanjutkan ucapannya. "Aku sama dia putus karena suatu alasan, aku nggak mau mengulang sesuatu dengan orang yang sama. Cukup sekali aku menjalin hubungan dengan seseorang, kalau sudah berakhir artinya bukunya sudah tamat. Membosankan kalau aku harus mengulang dari halaman pertama." Alena menatap Arthur lekat, tatapan intens pria itu entah kenapa tak membuatnya berpaling. "Arthur, sekali kita selesai selamanya akan tetap berakhir. So, sebelum memutuskan selesai sadari dulu perasaan kamu buat aku."Alena merentangkan tangannya terbangun dari tidur nyenyaknya semalam. Tubuhnya terasa segar pagi ini, di sebelahnya sudah tidak ada Arthur. Entah kemana perginya pria itu. "Kemana dia pergi? Sepagi ini udah menghilang," guamamnya. Ia segera bangun menguncir rambutnya asal, setelah membereskan tempat tidur Alena segera membersihkan tubuhnya. Balkon menjadi tujuan setelahnya, Alena tersenyum senang, udaranya sangat menyejukkan. "Ah, pagi hari di pantai Bali. Indah sekali!" ucapnya. Matanya menangkap para manusia yang sudah bermain di sekitar pantai, senyumnya kembali terukir di wajah cantiknya. Melihatnya banyaknya para manusia yang berbahagia di sana. Alena menangkap salah satu objek yang tak asing di matanya, dahinya berkerut mencoba memastikan apakah benar dia orangnya. "What? Beneran dia? Pagi-pagi udah main air!" ucap Alena. Melihat Arthur bermain selancar di pantai, dia bertelanjang dada hanya mengenakannya celana pendeknya saja. Alena terpukau, bohong jika ia tid
Alena tersenyum tipis menatap hadiah pemberian ibu mertuanya. Dia tidak tahu, tiba-tiba saja sudah ada di dalam kopernya. Alena baru menyadari semenjak menikah dengan Arthur ia kembali merasakan kehadiran sosok ibu dalam hidupnya. Alena sangat excited segera membuka kado itu, mulutnya ternganga saat melihat apa isi di dalamnya. Tiga buah lingerie dengan warna yang sangat mencolok. Bajunya memang terbuka tapi ini sangat terbuka, memakainya sama saja dirinya tidak pakai baju. "Mama yang benar saja!" ucap Alena melempar baju itu ke ranjang, wajahnya memerah karena malu. Tepat sekali pintu kamar terbuka dan Arthur masuk, ia sempat melihat pakaian yang tergeletak di ranjang. Tatapannya horor menatap ke arah Alena, setelah sadar gadis itu menggoyangkan tangannya dengan cepat. "Jangan salah paham! Mama yang ngasih, aku nggak tahu juga. Lagian aku tidak akan memakainya!" ucap Alena, segera memunguti pakaian itu dan kembali memasukkannya. Arthur tidak menggubris ia menyandarkan diri ke ra
Arthur menepis tangan Alena kasar saat menyadari siapa yang menyusup masuk ke kamar mandinya. Rahangnya mengeras, ia terlihat sangat kesal. Alena menatapnya lekat, tidak percaya jika ia akan mendapat perlakuan kasar dari suaminya. "Semakin lama kamu semakin tidak tahu diri!" sentak Arthur, ia mengambil jubah handuknya dan segera pergi. Melihat respon Arthur yang berlebihan membuat Alena mendengus kesal. Ia sudah membuang jauh-jauh gengsinya, tetapi pria itu justru mempermalukan dirinya. Benarkah Arthur tak berminat dengannya sama sekali. Alena mengabaikan kemarahan Arthur, ia memilih berendam. Air hangat yang belum Arthur pakai, aroma sabun yang sangat wangi khas wangi suaminya. Alena memejamkan matanya, tubuhnya terasa lebih baik saat ia gunakan berendam. Ia menatap lengannya yang memerah karena Arthur sempat mencengkeramnya tadi. "Dia mengerikan juga saat marah, semakin hari aku semakin di buat penasaran dengannya." Alena tersenyum miring, dia tidak akan menyerah meski Arthur s
Alena dan Arthur baru saja sampai di Indonesia, keduanya sudah di jemput sopir. 30 menit perjalanan mereka sampai di rumah, sikap Arthur terlihat semakin dingin. Selama perjalanan pun tidak ada percakapan di antara mereka berdua. Arthur dan Alena turun, koper mereka bibi yang bawa, baru sampai Arthur sudah langsung pergi kembali. Alena menahan tangan suaminya yang akan pergi. Namun, dengan cepat Arthur menepis tantangannya."Aku hanya ingin bilang, aku akan pergi dengan temanku mungkin akan pulang agak sorean," ucap Alena meski Arthur tidak perduli. Benar saja Arthur tidak menjawab apa-apa dan langsung masuk ke dalam mobilnya. Alena berdecak kesal, jika tidak ingat rencananya ia pasti sudah memaki-maki pria kaku itu. "Sabar, buah dari kesabaran itu indah!" ucap Alena pada dirinya sendiri. Ia segera masuk ke dalam rumah membersihkan diri sebelum pergi menemui temannya. Alena memang sudah ada janji dengan Anita jika mereka akan belanja bersama. "Alena!" Terlihat seorang gadis melam
Malam harinya setelah pulang dari kantor, setelah membersihkan diri. Alena bukan beristirahat justru sibuk di dapur. Ia kembali ingin memasak sesuatu untuk makan malam Arthur. Meski bekal yang ia bawa tadi entah di makan atau tidak oleh suaminya. "Nona, ada yang bisa saya bantu?" tanya Bibi yang melihat Alena ke dapur. Alena tersenyum menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak perlu, Bi. Aku sedang ingin membuatkan malam malam untuk, Tuan." Bibi tersenyum mendengarnya. "Saya bantu potong sayurnya, Nona." Alena mengangguk dengan senang hati. "Tuan Arthur sangat beruntung memiliki istri seperti Anda. Tuan Arthur sangat suka ayam tepung, dari kecil sampai sekarang kalau ada satu menu itu dia pasti akan makan sangat lahap." Bibi tiba-tiba bercerita. "Benarkah, Bi?" tanya Alena antusias, dia jadi ingin mendengar lebih banyak karena yang ia tahu Bibi sudah mengabdi di keluarga Arthur sejak ia masih kecil. Bibi mengangguk. "Sama sayur sop, kebetulan sekali Nona sedang memasaknya s
Alena tersentak melihat Arthur yang tiba-tiba pulang, ia mengusap air matanya dengan cepat. Melihat kue kecil yang berada di tangannya. Apakah doanya langsung terkabul? Ingin merayakan ulang tahun dengan Arthur. "Kenapa belum tidur?" Arthur mendekat ke arahnya dengan kerutan di dahinya. "Aku ulang tahun," ucap Alena. Ia menatap kue ulang tahunnya, memotongkan satu suap untuk Arthur. "Makanlah." Alena menyuapkan sesuap untuk Arthur. Tapi pria itu tetap diam, tidak membuka mulutnya menatap Alena lekat. "Ayolah, sedikit saja. Anggap saja kamu ikut merayakan ulang tahunku," ucap Alena tersenyum. Arthur membuka mulutnya menerima suapan kue ulang tahun dari Alena. Entahlah, tiba-tiba saja dia mau membuka mulutnya. Hal itu membuat Alena tersenyum bahagia. "Terimakasih," ucap Alena. Ia kembali memakan kue ulang tahunnya, tidak ada pergerakan lagi dari Arthur. Tak lama ia mengambil duduk di sebelah Alena. Menatap gadis itu yang asyik memakan kue ulang tahunnya. "Jangan makan terlalu ba
"Happy birthday, Cantik." Alena tersentak saat kado kecil ia dapatkan dari Gerald. Alena tidak menyangka jika pria itu mengingat hari ulang tahunnya. "Astaga, Gerald. Kamu ingat hari ulang tahunku?" kekeh Alena. Ia dengan senang hati menerima kado pemberian Gerald. Meski ia sangat berharap jika sang suami yang akan memberikan ia hadiah. "Tentu saja, aku selalu mengingat setiap hal kecil tentangmu, Alena. Kamu saja yang tidak menyadarinya!" kekeh Gerald, ia mengambil duduk di sebelah Alena. Mereka baru saja menyelesaikan sesi pemotretan dan akan di mulai lagi satu jam ke depan. Keduanya tengah beristirahat, Gerald menatap hadiah kecil yang ia berikan kepada Alena. "Bukalah, lihat apakah kamu menyukainya?" Alena mengangguk, saat ia membuka kotak kecil itu. Alena melihat sebuah kalung indah dengan bandul kupu-kupu kecil. Sederhana, tetapi terlihat sangat cantik. Kedua matanya berbinar, Alena senang dengan hadiah yang ia terima.
Alena selesai dengan pemotretannya hari ini tinggal menunggu kedatangan Arthur saja. Tepat sekali tak lama pintu ruangan suaminya terbuka, senyum di bibirnya mengembang. "Hai, Pak suami!" sapa Alena genit. Arthur menatapnya datar, tatapannya jatuh pada Gerald yang tak melepas pandang dari sang istri. "Ayo pulang!" ucap Arthur singkat. Alena mengangguk segera pergi dengan suaminya, ia bahkan sudah menempel pada tubuh Arthur melingkarkan tangannya pada lengan kekar suaminya. Untungnya Arthur tidak menepis tangannya seperti sebelumnya. "Hari ini sangat lelah, bagaimana denganmu? How was your day, Honey?" Pertanyaan itu meluncur dari bibir Alena. Tangannya masih melingkar di lengan Arthur. "I'm good. Lepaskan tanganmu!" Perkembangan, Arthur bisa di ajak berbincang! Alena tersenyum tipis, ia menyadarkan kepalanya di dasbor. Tangannya menyentuh kalung kecil di lehernya. Alena bahagia seakan pemberi kalung itu adalah orang tuanya. Arthur sempat meliriknya ia tahu itu adal
"Ikut!" rengek Alena saat Arthur akan pergi, saat ini keduanya sudah berada di rumah orang tua Arthur. Arthur dengan tegas menggeleng. "Saya sudah bilang di sana laki-laki semua. Masuklah!" ucapnya datar. Bibir Alena melengkung ke bawah, mengambil tangan Arthur lalu mengecup punggung tangannya. "Hati-hati di jalan, kalau sudah sampai jangan lupa kabarin!" Arthur terkesiap, melihat perlakuan Alena membuat ia seketika membeku. Arthur menatap kedua mata bulat itu berkaca-kaca entah kenapa membuat ia gemas. "Masuklah!" Alena menggeleng. "Pergilah, aku akan masuk setelah kamu pergi." Arthur mengangguk, tangannya sempat mengusak rambut Alena pelan. Sebelum ia berjalan masuk ke dalam mobil. Alena mengigit bibir bawahnya gemas, kepalanya yang diusak hatinya yang berantakan. Alena melambai saat mobil suaminya mulai meninggalkan rumah. "Malam ini aku tidur sendirian," gumamnya masuk ke dalam rumah. Meylen sedang membuat kue saat ini, ia senang saat tahu menantunya akan men
"Nanti malam saya ada dinas ke luar kota, kamu di rumah sendiri atau mau ke rumah mama?" tanya Arthur membuka obrolan saat mereka makan siang. Ya, keduanya jadi makan siang di luar tentu dengan banyak drama dari Alena. Bibir gadis itu mengerucut, kesal karena Arthur baru memberitahunya sekarang sedang nanti malam dia sudah berangkat. "Aku ikut!" ucap Alena. Alis Arthur terangkat menatap gadis dengan wajah tertekuk kesal itu, padahal dia hanya bilang jika ia akan dinas bukan mengajak Alena untuk ikut. "Tidak usah, saya hanya satu hari di sana. Lagian kerjaan kamu bagaimana," ucap Arthur. Semakin maju bibir gadis itu, menatap wajah suaminya lekat. "Sama siapa aja?" "Celi--""Aku ikut! Pokoknya kalau cewek gatel itu ikut aku juga ikut." Alena semakin kesal saat mengetahui wanita tidak tahu malu itu turut serta dalam perjalanan dinas nanti malam. Arthur menghembuskan napas panjang menatap Alena dengan pandangan heran. Semakin hari tingkah gadis itu semakin membuatnya pening. "Tida
Alena tersenyum geli melihat Arthur yang diam sembari makan makanannya. Ingat sekali bagaimana Arthur langsung mematikan rapat karena godaannya. Lucu! "Kamu masih marah perkara tadi? Wajarlah orang kita suami istri," ucap Alena dengan santai. Arthur menyorotnya dengan tatapan tajam sedang Alena pura-pura tak melihatnya. Semakin hari semakin ia mengenal bagaimana sosok pria dingin yang merupakan suaminya itu. Semakin Alena tahu jika sebenarnya Arthur orangnya cukup hangat. "Kamu mulai bisa menerimaku?" tanya Alena, ekspresi wajahnya sangat ceria. "Jangan berharap apapun padaku, Alena!" Setelahnya Arthur meninggalkan ruang makan. Alena menghembuskan napas panjang. Lagi! Dia belum berhasil, belum sepenuhnya bisa mencairkan sosok itu. Prosesnya masih kurang panjang, tidak semudah itu membuat seorang Arthur mencair. Napsu makannya seketika hilang, Alena membereskan makanan di dapur. Tidak langsung masuk ke kamar, ia justru duduk di ruang tamu menselonjorkan kakinya di sana. Bermain p
Alena selesai dengan pemotretannya hari ini tinggal menunggu kedatangan Arthur saja. Tepat sekali tak lama pintu ruangan suaminya terbuka, senyum di bibirnya mengembang. "Hai, Pak suami!" sapa Alena genit. Arthur menatapnya datar, tatapannya jatuh pada Gerald yang tak melepas pandang dari sang istri. "Ayo pulang!" ucap Arthur singkat. Alena mengangguk segera pergi dengan suaminya, ia bahkan sudah menempel pada tubuh Arthur melingkarkan tangannya pada lengan kekar suaminya. Untungnya Arthur tidak menepis tangannya seperti sebelumnya. "Hari ini sangat lelah, bagaimana denganmu? How was your day, Honey?" Pertanyaan itu meluncur dari bibir Alena. Tangannya masih melingkar di lengan Arthur. "I'm good. Lepaskan tanganmu!" Perkembangan, Arthur bisa di ajak berbincang! Alena tersenyum tipis, ia menyadarkan kepalanya di dasbor. Tangannya menyentuh kalung kecil di lehernya. Alena bahagia seakan pemberi kalung itu adalah orang tuanya. Arthur sempat meliriknya ia tahu itu adal
"Happy birthday, Cantik." Alena tersentak saat kado kecil ia dapatkan dari Gerald. Alena tidak menyangka jika pria itu mengingat hari ulang tahunnya. "Astaga, Gerald. Kamu ingat hari ulang tahunku?" kekeh Alena. Ia dengan senang hati menerima kado pemberian Gerald. Meski ia sangat berharap jika sang suami yang akan memberikan ia hadiah. "Tentu saja, aku selalu mengingat setiap hal kecil tentangmu, Alena. Kamu saja yang tidak menyadarinya!" kekeh Gerald, ia mengambil duduk di sebelah Alena. Mereka baru saja menyelesaikan sesi pemotretan dan akan di mulai lagi satu jam ke depan. Keduanya tengah beristirahat, Gerald menatap hadiah kecil yang ia berikan kepada Alena. "Bukalah, lihat apakah kamu menyukainya?" Alena mengangguk, saat ia membuka kotak kecil itu. Alena melihat sebuah kalung indah dengan bandul kupu-kupu kecil. Sederhana, tetapi terlihat sangat cantik. Kedua matanya berbinar, Alena senang dengan hadiah yang ia terima.
Alena tersentak melihat Arthur yang tiba-tiba pulang, ia mengusap air matanya dengan cepat. Melihat kue kecil yang berada di tangannya. Apakah doanya langsung terkabul? Ingin merayakan ulang tahun dengan Arthur. "Kenapa belum tidur?" Arthur mendekat ke arahnya dengan kerutan di dahinya. "Aku ulang tahun," ucap Alena. Ia menatap kue ulang tahunnya, memotongkan satu suap untuk Arthur. "Makanlah." Alena menyuapkan sesuap untuk Arthur. Tapi pria itu tetap diam, tidak membuka mulutnya menatap Alena lekat. "Ayolah, sedikit saja. Anggap saja kamu ikut merayakan ulang tahunku," ucap Alena tersenyum. Arthur membuka mulutnya menerima suapan kue ulang tahun dari Alena. Entahlah, tiba-tiba saja dia mau membuka mulutnya. Hal itu membuat Alena tersenyum bahagia. "Terimakasih," ucap Alena. Ia kembali memakan kue ulang tahunnya, tidak ada pergerakan lagi dari Arthur. Tak lama ia mengambil duduk di sebelah Alena. Menatap gadis itu yang asyik memakan kue ulang tahunnya. "Jangan makan terlalu ba
Malam harinya setelah pulang dari kantor, setelah membersihkan diri. Alena bukan beristirahat justru sibuk di dapur. Ia kembali ingin memasak sesuatu untuk makan malam Arthur. Meski bekal yang ia bawa tadi entah di makan atau tidak oleh suaminya. "Nona, ada yang bisa saya bantu?" tanya Bibi yang melihat Alena ke dapur. Alena tersenyum menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak perlu, Bi. Aku sedang ingin membuatkan malam malam untuk, Tuan." Bibi tersenyum mendengarnya. "Saya bantu potong sayurnya, Nona." Alena mengangguk dengan senang hati. "Tuan Arthur sangat beruntung memiliki istri seperti Anda. Tuan Arthur sangat suka ayam tepung, dari kecil sampai sekarang kalau ada satu menu itu dia pasti akan makan sangat lahap." Bibi tiba-tiba bercerita. "Benarkah, Bi?" tanya Alena antusias, dia jadi ingin mendengar lebih banyak karena yang ia tahu Bibi sudah mengabdi di keluarga Arthur sejak ia masih kecil. Bibi mengangguk. "Sama sayur sop, kebetulan sekali Nona sedang memasaknya s
Alena dan Arthur baru saja sampai di Indonesia, keduanya sudah di jemput sopir. 30 menit perjalanan mereka sampai di rumah, sikap Arthur terlihat semakin dingin. Selama perjalanan pun tidak ada percakapan di antara mereka berdua. Arthur dan Alena turun, koper mereka bibi yang bawa, baru sampai Arthur sudah langsung pergi kembali. Alena menahan tangan suaminya yang akan pergi. Namun, dengan cepat Arthur menepis tantangannya."Aku hanya ingin bilang, aku akan pergi dengan temanku mungkin akan pulang agak sorean," ucap Alena meski Arthur tidak perduli. Benar saja Arthur tidak menjawab apa-apa dan langsung masuk ke dalam mobilnya. Alena berdecak kesal, jika tidak ingat rencananya ia pasti sudah memaki-maki pria kaku itu. "Sabar, buah dari kesabaran itu indah!" ucap Alena pada dirinya sendiri. Ia segera masuk ke dalam rumah membersihkan diri sebelum pergi menemui temannya. Alena memang sudah ada janji dengan Anita jika mereka akan belanja bersama. "Alena!" Terlihat seorang gadis melam
Arthur menepis tangan Alena kasar saat menyadari siapa yang menyusup masuk ke kamar mandinya. Rahangnya mengeras, ia terlihat sangat kesal. Alena menatapnya lekat, tidak percaya jika ia akan mendapat perlakuan kasar dari suaminya. "Semakin lama kamu semakin tidak tahu diri!" sentak Arthur, ia mengambil jubah handuknya dan segera pergi. Melihat respon Arthur yang berlebihan membuat Alena mendengus kesal. Ia sudah membuang jauh-jauh gengsinya, tetapi pria itu justru mempermalukan dirinya. Benarkah Arthur tak berminat dengannya sama sekali. Alena mengabaikan kemarahan Arthur, ia memilih berendam. Air hangat yang belum Arthur pakai, aroma sabun yang sangat wangi khas wangi suaminya. Alena memejamkan matanya, tubuhnya terasa lebih baik saat ia gunakan berendam. Ia menatap lengannya yang memerah karena Arthur sempat mencengkeramnya tadi. "Dia mengerikan juga saat marah, semakin hari aku semakin di buat penasaran dengannya." Alena tersenyum miring, dia tidak akan menyerah meski Arthur s