Pulau Bali menjadi pilihan Meylen untuk tempat honeymoon anak dan menantunya. Alena yang pada dasarnya sangat menyukai liburan menikmati saja. Keduanya sepakat untuk pergi dengan refresing masing-masing. Hal yang di bayangan ibu mertua tidak akan pernah terjadi.
"Aku ingin main di pantai!" ucap Alena sudah siap dengan pakaiannya. Ia hanya menggunakan dalaman yang ia lapisi outer. Arthur meliriknya sekilas, tanpa berkomentar apapun ia tetap fokus dengan ponselnya. Alena mendengus kesal membawa kameranya untuk turun. Pemandangan dari arah kamar sudah terlihat sangat jelas indahnya pulau ini. "Aku sudah lama sekali tidak pergi ke pantai, ini kesempatan baikku!" ucap Alena dengan senyuman manis di bibirnya. Menerim tawaran ibu mertuanya ternyata tidak seburuk itu. Arthur fokus kerja sedangkan ia akan fokus bermain. Alena menginjakkan kakinya pada pasir putih tangannya mulai menggambar abstrak. Senyuman tipis melengkung di bibirnya, ingat sekali terakhir kali dirinya ke pantai bersama dengan mendiang orang tuanya. "Ma, Pa, dulu Alena datang sama kalian sekarang Alena datang sama suami. Apa yang membuat kalian sangat percaya untuk menikahkan Alena dengannya?" lirih Alena. Ia bangkit memilih duduk di sekitar pantai, kakinya merasakan air pantai yang bergoyang. Ombak belum terlihat besar yang ada di mata Alena hanyalah keindahan pulau Bali. Alena merekam ombak yang bergerak ke sana kemari, keramaian orang-orang di sekitarnya. Kebanyakan dari mereka bersama dengan orang tersayang sedangkan ia sendirian. "Alena!" Ia berbalik mendengar suara yang sangat tak asing terdengar di telinganya. Bersama degub jantung yang berdetak cukup kencang. Kedua mata Alena membulat saat mengetahui siapa yang menyapanya kedua tangannya mengepal. "I miss you, baby." Tubuh Alena menegang saat pria jakun itu memeluk tubuhnya erat. "I love you so much, Baby. I'm so sorry." bisiknya penuh penyesalan. Alena mendorong tubuh pria itu kasar, tatapannya menajam dengan senyum smirk di wajahnya. Ia menatap muak sosok pria di hadapannya, sangat muak. "Bisa berhenti drama nggak sih? Aku capek." Alena berbalik meninggalkan pria itu, terlihat wajahnya memerah menahan amarah. "Emang bener ya kata orang satu kesalahan nutupin seribu kebaikan. Aku harus apa supaya kamu percaya sama aku? Aku dijebak sedangkan kamu? Kamu justru nikah sama pria lain." Teriaknya. Beberapa orang sudah menjadikan keduanya pusat perhatian. Langkah Alena terhenti mendengar setiap kata yang pria itu ucapkan. "Kamu emang suka nyari sensasi ya? Pelaku seolah korban. Daripada jadi model lebih cocok jadi artis protagonis. Cocok banget, nanti deh aku rekomenin ke produser terkenal. Biar akting kamu bisa menghasilkan uang bukan omong kosong!" "Jadi istrinya milyader emang enak ya, Al? Mau apa aja tinggal jentik jari. Nggak heran kalau kamu ninggalin aku demi dia!" kekeh dengan suara mengejek. Kedua tangan Alena mengepal mendengar ucapan busuk pria itu. "Iya dong, sekarang aku realistis. Bodohnya aku dulu yang justru biayain cowok mokondo kayak kamu. Cewek itu yang biayain bukan malah biayain cowoknya!" teriak Alena sengaja membesarkan suaranya. Beberapa orang di sana yang sedikit berbisik mengatainya kini beralih memojokkan pria itu. Alena tersenyum puas melihat wajah memerah lawannya. Dari arah kejauhan Alena melihat Arthur yang menjalan mendekat ke arahnya. Entah apa yang akan pria itu lakukan, tetapi Alena mengantisipasi hal buruk akan terjadi. Ia buru-buru menghampiri Arthur dan membawa ia untuk berbalik badan. "Sayang, maaf ya aku lama. Sampai kamu harus nyusulin aku ke sini," ucap Alena dengan suara keras. "Saya ingin cari makan bukan cari kamu." Arthur berucap datar, mendengar jawaban itu seketika wajah Alena tertekuk kesal. "Kerja sama sebentar aja!" tekan Alena. Ia membawa Arthur kembali ke kamar mereka. Tak lagi perduli dengan penganggu satu itu, heran saja bagaimana bisa dia ada di pulau ini sekarang. Alena melepaskan lengan Arthur begitu mereka sampai, ia menatap lekat Arthur yang tengah menatap intens ke arahnya. "Apa?" sewot Alena. "Makan di luar atau di dalam?" tanya Arthur, sembari melihat pesanan makanan lewat ponselnya. "Dalam aja, di luar ada anakonda!" ucap Alena asal. Ia langsung masuk kamar mandi, tubuhnya buruh berendam kembang tujuh rupa karena pria gila itu sempat memeluknya. Kedua mata Alena terpejam, bayang-bayang bertahun-tahun lalu kini kembali terngiang di kepalanya. "Aku sudah memaafkannya tapi untuk lupa, aku tidak akan pernah melupakan kesalahannya." Tok Tok Tok "Ada apa?" teriak Alena saat mendengar ketukan di pintu. "Cepat, saya mau mandi." Alena mendengus mendengarnya, ia menyudahi berendamnya dan segera menyelesaikan ritual mandinya. Alena menepuk dahinya sendiri, sangking kesalnya ia sampai masuk kamar mandi tanpa membawa ganti. Hanya ada jubah handuk saja di sana. "Dia memang kesialan di hidupku!" cerutu Alena. Alena memakai jubah handuk yang panjangnya sampai lutut. Untung saja tidak terlalu pendek, ia segera keluar dan sudah di sambut oleh wajah datar suaminya. "Ganggu!" gerutu Alena. Selesai mengganti pakaiannya, Alena bersantai di balkon. Melihat pemandangan ombak dari sana, sangat indah. "So pretty. Disuruh tinggal di sini bertahun-tahun aku juga mau." Terdapat sebuah senyuman di wajah cantiknya, tak sengaja mata Alena melihat pria menggelikan itu lagi. Ia bahkan sudah bersama perempuan lain, memang bener-benar biaya darat. "Dia tidak tahu malu!" Alena memalingkan wajahnya, melihat kedua insan itu berciuman. Entahlah hatinya masih terasa panas. Alena memilih masuk ke dalam, suasana hatinya menjadi sangat buruk. Alena melempar tubuhnya di atas ranjang, menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Hatinya masih di penuhi amarah. "Bangun, kita makan!" Tiba-tiba saja Arthur menarik selimutnya membuat mau tak mau ia harus terbangun. "Makan di sini aja." Arthur mengangguk menunjuk meja makan yang sudah terisi makanan. Alena dengan wajah cemberut mengekori di belakang Arthur. Anehnya pria itu tidak ada bertanya sama sekali, tentang siapa pria di pantai tadi atau kenapa wajahnya terlihat sangat kesal saat ini. Apakah Arthur benar-benar sangat tidak perduli dengannya. "Nggak tanya cowok di pantai tadi siapa?" Alena yang justru penasaran balik bertanya kepada Arthur. "Mantan kamu kan?" Alena mengangguk, sudah? Apakah dia tidak ingin bertanya lebih lanjut? "Alasan aku putus sampai kayak gini? Nggak penasaran?" tanya Alena lagi. "Kamu sadar. Mokondo emang wajib di tinggal!" Jawaban dari Arthur kali ini membuat Alena tertawa terbahak-terbahak. Arthur tidak berniat melucu tapi jawaban yang keluar dari ekspresi datar itu entah kenapa sangat menggelitik Alena. "Percaya kalau dia emang mokondo?" kekeh Alena. Dahi Arthur berkerut mendengar jawaban itu. Alena meredakan suara tawanya. "Dia ganteng, dia juga kaya. Dia CEO perusahaan AG, dulu aku jadi model di perusahaan dia." Arthur diam menyimak, tetapi tidak ada tanda-tanda Alena akan melanjutkan ucapannya. "Aku sama dia putus karena suatu alasan, aku nggak mau mengulang sesuatu dengan orang yang sama. Cukup sekali aku menjalin hubungan dengan seseorang, kalau sudah berakhir artinya bukunya sudah tamat. Membosankan kalau aku harus mengulang dari halaman pertama." Alena menatap Arthur lekat, tatapan intens pria itu entah kenapa tak membuatnya berpaling. "Arthur, sekali kita selesai selamanya akan tetap berakhir. So, sebelum memutuskan selesai sadari dulu perasaan kamu buat aku."Alena merentangkan tangannya terbangun dari tidur nyenyaknya semalam. Tubuhnya terasa segar pagi ini, di sebelahnya sudah tidak ada Arthur. Entah kemana perginya pria itu. "Kemana dia pergi? Sepagi ini udah menghilang," guamamnya. Ia segera bangun menguncir rambutnya asal, setelah membereskan tempat tidur Alena segera membersihkan tubuhnya. Balkon menjadi tujuan setelahnya, Alena tersenyum senang, udaranya sangat menyejukkan. "Ah, pagi hari di pantai Bali. Indah sekali!" ucapnya. Matanya menangkap para manusia yang sudah bermain di sekitar pantai, senyumnya kembali terukir di wajah cantiknya. Melihatnya banyaknya para manusia yang berbahagia di sana. Alena menangkap salah satu objek yang tak asing di matanya, dahinya berkerut mencoba memastikan apakah benar dia orangnya. "What? Beneran dia? Pagi-pagi udah main air!" ucap Alena. Melihat Arthur bermain selancar di pantai, dia bertelanjang dada hanya mengenakannya celana pendeknya saja. Alena terpukau, bohong jika ia tid
Seorang wanita cantik dengan balutan gaun pernikahan mewah, berjalan menuju pelaminan. Senyum paksa terukir di wajah cantiknya, menatap banyaknya tamu undangan di hari pernikahan yang sama sekali tidak ia inginkan. Alena Maheswara, seorang model ternama di luar negeri yang terpaksa menerima wasiat dari mendiang orang tuanya untuk menikah dengan seorang pria asing yang sama sekali tidak ia kenal. Di sekian banyaknya orang Alena justru merasa sendiri. Ia tidak bahagia di hari pernikahannya yang bahkan tergelar sangat mewah. Alena menghembuskan napas panjang, saat pria yang telah menjadi suaminya duduk tepat di sampingnya. Akad baru saja selesai dan kini ia telah resmi menjadi seorang istri. Alena menatap datar pria di sampingnya, ia mengulas senyum miring. "Mohon kerja samanya," ucap Alena. Alena tersenyum menyapa tamu undangan yang dia yakini tamu suaminya. Begitupun dengan suaminya. Keduanya terlihat sangat cocok, tampan dan cantik."Drama mulai." "Ya." Alena membuang muka malas,
Sudah menjadi kebiasaannya untuk membuat sarapan sendiri, selama di luar negeri pun Alena selalu memasak sendiri. Ia sangat jarang membeli makanan, Alena sangat menjaga kesehatan tubuhnya. Setelah dari kamar mandi Alena langsung menuju ke arah dapur. "Masak apa ya?" gumam Alena.Baru menapakkan kaki di dapur ia terkejut melihat banyaknya pelayan yang lalu lalang di sana. "Wow," ucapnya takjub. "Selamat pagi nona muda!" Mereka semua kompak menyapa Alena membuat gadis itu sedikit canggung. "Y-ya, selamat pagi juga. Em, ada yang bisa aku bantu?" tanyanya. "Tidak perlu Nona, apakah ada menu makanan yang nona inginkan. Kami akan membuatnya," ucap kepala dapur. Alena menggeleng, ia mengulas senyum tipis mendekat ke arah mereka semua. "Aku sudah terbiasa untuk memasak makananku sendiri. Pagi ini aku akan membantu kalian memasak!" ujarnya. "Tidak perlu, Nona." Kepala dapur terlihat takut, jika nyonya besar sampai tahu mereka yang akan kena marah. "Tidak apa, kalian tidak perlu sungkan
Alena menatap bagunan besar yang akan menjadi tempat tinggalnya bersama Arthur. Rumah dengan nuansa Eropa, sangat cocok dengan stylenya. Tak jauh berbeda dengan model rumahnya di luar negeri.Baru masuk semua pelayan sudah datang menyambut, menurutnya Arthur terlalu berlebihan. Sialnya ia langsung meninggalkan Alena begitu saja. "Bi, tolong letakkan barang-barang Alena di lantai tiga!" titah Arthur. Kepala dapur mengangguk, segera mengambil alih barang-barang nona mudanya. Alena mengekori di belakang Arthur melihat betapa megahnya rumah suaminya. "Bi, di depan kamar saya!" ucap Arthur membuat kepala dapur merasa binggung. Alena yang menyadari itu, ia lantas menahan tangan Arthur. "Bi, letakkan di kamar saja nanti Alena yang akan mengurusnya.""Baik, Nyonya."Alena meringgis mendapat panggilan seperti itu, apa dia terlihat sudah sangat tua. Sepertinya ia harus kembali diet setelah dua hari acara makannya cukup banyak mengandung lemak. "Orang lain tidak perlu tahu apa yang terjadi
Alena tercengang mendengar ucapan Arthur barusan, apa dia tidak salah dengar? Adakah seorang suami yang menginginkan istrinya hamil anak pria lain? Ada, Arthur contohnya. "Kau gila!" kesal Alena. Dia merasa di rendahkan dengan ucapan Arthur barusan, sedangkan pria itu masih acuh dan fokus dengan laptop di depannya. "Kenapa aku harus hamil anak orang lain sedangkan aku punya suami!" Heran Alena. "Aku tidak mau." Jawaban Arthur membuat Alena melongo, apakah dia benar-benar gila? Kedua mata Alena menyipit menatap sinis ke arah Arthur. "Jangan-jangan kau abnormal?" Alena bergidik ngeri akan pemikiran bodohnya itu, menggelikan sekali jika ia memiliki suami yang kelainan. "Tidak usah hamil, aku tidak butuh warisan itu!" Alena menghembuskan napas panjang, dia tidak habis pikir dengan cara pikir pria yang menjadi suaminya itu. "Bukan masalah kamu mau atau tidak dengan warisan itu, setidaknya hargai keinginan mendiang ayahmu!" ucap Alena. Arthur tersenyum sangat tipis, ia mena