Alena tercengang mendengar ucapan Arthur barusan, apa dia tidak salah dengar? Adakah seorang suami yang menginginkan istrinya hamil anak pria lain? Ada, Arthur contohnya.
"Kau gila!" kesal Alena. Dia merasa di rendahkan dengan ucapan Arthur barusan, sedangkan pria itu masih acuh dan fokus dengan laptop di depannya. "Kenapa aku harus hamil anak orang lain sedangkan aku punya suami!" Heran Alena. "Aku tidak mau." Jawaban Arthur membuat Alena melongo, apakah dia benar-benar gila? Kedua mata Alena menyipit menatap sinis ke arah Arthur. "Jangan-jangan kau abnormal?" Alena bergidik ngeri akan pemikiran bodohnya itu, menggelikan sekali jika ia memiliki suami yang kelainan. "Tidak usah hamil, aku tidak butuh warisan itu!" Alena menghembuskan napas panjang, dia tidak habis pikir dengan cara pikir pria yang menjadi suaminya itu. "Bukan masalah kamu mau atau tidak dengan warisan itu, setidaknya hargai keinginan mendiang ayahmu!" ucap Alena. Arthur tersenyum sangat tipis, ia menarik pinggang Alena hingga terjatuh di pangkuannya. Menatap Alena lekat, keduanya saling diam, tatapan keduanya terkunci. "Kamu sangat ingin hamil anak saya? Tapi saya tidak suka barang bekas," bisik Arthur. Alena terdiam mencerna ucapan pedas Arthur barusan, siapa yang dia maksud barang bekas! "Sialan, kamu pikir aku udah nggak virgin? Lagian aku nggak ngebet buat hamil anak kamu ya, enak aja!" ucap Alena kesal. "Maybe," acuhnya. Alena tersenyum miring, jarak keduanya sangat dekat hidung keduanya bahkan sudah saling menyentuh. Tangan Alena mengusap rahang Arthur pelan. "Ingin membuktikan?" ucapnya tersenyum smirk. Alena memiringkan wajahnya, menempelkan bibirnya dengan bibir Arthur tak ada pergerakan maupun perlawanan dari suaminya. Begitupun Alena dia hanya sekedar menempelkan saja. Baru akan melepas, Arthur lebih dulu mendominasi. Kedua tangan Alena melingkar di leher Arthur, menikmati ciuman mereka berdua. Alena mendorong dada Arthur saat oksigen di sekitarnya menipis. "Kau yang menginginkannya!" ucapnya lalu bangkit dari pangkuan Arthur. Baru akan keluar ia berpapasan dengan sekretaris Arthur, wanita yang datang di nikahannya kemarin. "Selamat pagi, Nona Alena." sapanya. "Iya, selamat pagi." Alena menatap penampilannya dari atas sampai bawah, sangat tidak sopan. "Tunggu, ada urusan apa?" tanyanya menahan Celine masuk. "Saya ingin menyerahkan berkas penting yang membutuhkan tanda tangan Tuan Arthur." ucapnya. Alena mendengus kesal mendengarnya. "Kamu tidak punya pakaian lagi sampai harus memakai pakaian kurang bahan seperti itu?" ucap Alena tersenyum mengejek. "Maaf, Nona. Apakah ada yang salah dengan pakaian saya? Selama ini tidak ada yang melarangnya, bahkan Tuan Arthur sendiri." Alena mendelikkan matanya kesal mendengar ucapan Celine. Dari awal bertemu dia sudah sadar jika Celine memang sedikit menyebalkan. "Tanpa ada yang melarang seharusnya kamu sadar, sopan santun dalam berpakaian. Apalagi di lingkungan kerja, ini bukan tempat hiburan malam!" Mendengar ucapan Alena tangan Celine mengepal. "Ada apa ini." Arthur keluar melihat kegaduhan yang mereka buat. "Maaf, Tuan---" "Lihatlah pakaian bawahanmu!" Alena melipat kedua tangannya di dada. Apa memang standar berpakaian di perusahaan suaminya memang seperti ini. "Biarkan! Pakaian mencerminkan harga dirinya sendiri. Kau terlalu senggang sampai mencampuri urusan orang lain!" ucap Arthur. Alena tersenyum smirk, memainkan alisnya dengan pandangan merendahkan. "Apakah harga dirimu serendah pakaianmu?" Arthur menarik tangan Alena masuk ke dalam ruangannya, sedangkan Celine ia menatap kepergian kedua insan itu dengan tatapan dendam. "Apa?" kesal Alena, ia menepis tangan Arthur yang memegang lengannya. "Pulanglah, jadwal pemotretanmu masih besok!" Mendengar ucapan Arthur membuat kedua mata Alena membulat. "Perusahaanmu sangat tidak bertanggung jawab, membuang waktuku saja!" kesal Alena. Ia menghentakkan kakinya kesal, melihat tidak ada inisiatif minta maaf dari Arthur membuat ia sangat kesal. Dia adalah patung hidup menyebalkan! ucapnya dalam hati. Alena melirik sinis meja Celine yang berada di depan ruangan Arthur. Ia melipat kedua tangannya di dada, menelisik pakaian Celine dengan tatapan mencemoh. "Kerja itu yang main otaknya bukan tubuhnya!" sindirnya lalu pergi. **** Alena tersenyum menghampiri seorang wanita yang sudah menunggunya. "Anita!" sapanya dengan senyum lebar. Alena melakukan cipika cipiki pada sahabat lamanya. "Ya ampun, ini seriusan kamu? Cantik banget masa," puji Anita dengan pandangan panggling pada Alena. Yang di puji justru menampilkan wajah sombongnya. "Nggak udah kaget gitu dong, orang emang udah cakep dari lahir." Anita terkekeh mendengarnya. "Aku baru tahu kemarin kalau kamu udah kembali ke Indonesia, terus karir kamu di sana gimana?" tanyanya. Alena menghembuskan napas panjang. "Emang ya manusia punya rencana tapi Tuhan punya ketentuan. Planning gue mlenceng semua yang tadinya nggak mau nikah eh malah sekarang udah nikah. Tadinya gue mau menetap di sana aja tapi ternyata gue sekarang di Indonesia." Mendengar kalimat panjang sahabatnya membuat Anita tersenyum. "It's okay, semua yang Tuhan kasih sekarang itu yang terbaik buat kamu. Belum kerasa emang sekarang tapo nanti, kamu pasti tahu kalau ternyata ini jauh lebih dari yang kamu mau." Alena mengangguk. "Terus kerjaan kamu gimana, lancar?" "Lancar, sejauh ini sih oke oke aja. Ada satu orang di kerjaan nyebelinnya minta ampun. Aku sampai gedek banget sama orangnya, kerja tapi suka nyari muka ke atasan!" ucap Anita bersungut. Alena justru tertawa. "Aku tadi ketemu orang modelan kayak gitu di kantor. Kerja tapi jual badan!" ucap Alena terbahak. "Hah? Seriusan?" Anita pun turut tertawa mendengar ucapan Alena. "Sekarang banyak orang kayak gitu, asal lo mau semalam sama bos naik pangkat mah gampang," kekehnya. "Awas suami!" kekeh Anita. "Biarin kalau dia mau, seleranya murahan!" ucap Alena acuh. Keduanya menghabiskan waktu bersama banyak sekali bahasan yang mereka bahas. Sampai menjelang petang barulah Alena kembali ke rumah. Ia melihat mobil Arthur sudah ada pertanda jika pria itu sudah kembali. Alena melihat Arthur tengah santai di ruang tamu, acuh tanpa menyapa ia langsung naik ke kamarnya. Melihat kamar yang kemarin ia tempati kini sudah kosong. Arthur benar-benar memindahkan barang-barangnya. "Seriusan sekamar sama dia?" ucap Alena dengan hembusan napas panjang. Ia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Alena berendam cukup lama, tubuhnya terasa lelah hari ini. Kepalanya pun terasa sedikit pusing. "Apakah aku bisa bertahan selama satu tahun dalam pernikahan ini? Aku merasa bersalah pada mama, mama sangat baik padaku tapi aku dan anaknya malah membohonginya. Tapi mama jelas tahu jika kami tidak saling mencintai. Pernikahan ini karena wasiat suaminya!" Kedua mata Alena terpejam, ia merasa kepalanya sangat berisik. Tok Tok Tok "Apa?" teriaknya. "Cepat, ta harus segera berangkat!" ucap Arthur. Dahi Alena berkerut, berangkat kemana malam-malam seperti ini? Apakah Arthur ingin mengajaknya makan malam di luar? "Aku baru saja makan, tidak usah makan di luar!" ucap Alena. "Kita pergi honeymoon."Pulau Bali menjadi pilihan Meylen untuk tempat honeymoon anak dan menantunya. Alena yang pada dasarnya sangat menyukai liburan menikmati saja. Keduanya sepakat untuk pergi dengan refresing masing-masing. Hal yang di bayangan ibu mertua tidak akan pernah terjadi. "Aku ingin main di pantai!" ucap Alena sudah siap dengan pakaiannya. Ia hanya menggunakan dalaman yang ia lapisi outer. Arthur meliriknya sekilas, tanpa berkomentar apapun ia tetap fokus dengan ponselnya. Alena mendengus kesal membawa kameranya untuk turun. Pemandangan dari arah kamar sudah terlihat sangat jelas indahnya pulau ini. "Aku sudah lama sekali tidak pergi ke pantai, ini kesempatan baikku!" ucap Alena dengan senyuman manis di bibirnya. Menerim tawaran ibu mertuanya ternyata tidak seburuk itu. Arthur fokus kerja sedangkan ia akan fokus bermain. Alena menginjakkan kakinya pada pasir putih tangannya mulai menggambar abstrak. Senyuman tipis melengkung di bibirnya, ingat sekali terakhir kali dirinya ke pantai bersama
Alena merentangkan tangannya terbangun dari tidur nyenyaknya semalam. Tubuhnya terasa segar pagi ini, di sebelahnya sudah tidak ada Arthur. Entah kemana perginya pria itu. "Kemana dia pergi? Sepagi ini udah menghilang," guamamnya. Ia segera bangun menguncir rambutnya asal, setelah membereskan tempat tidur Alena segera membersihkan tubuhnya. Balkon menjadi tujuan setelahnya, Alena tersenyum senang, udaranya sangat menyejukkan. "Ah, pagi hari di pantai Bali. Indah sekali!" ucapnya. Matanya menangkap para manusia yang sudah bermain di sekitar pantai, senyumnya kembali terukir di wajah cantiknya. Melihatnya banyaknya para manusia yang berbahagia di sana. Alena menangkap salah satu objek yang tak asing di matanya, dahinya berkerut mencoba memastikan apakah benar dia orangnya. "What? Beneran dia? Pagi-pagi udah main air!" ucap Alena. Melihat Arthur bermain selancar di pantai, dia bertelanjang dada hanya mengenakannya celana pendeknya saja. Alena terpukau, bohong jika ia tid
Alena tersenyum tipis menatap hadiah pemberian ibu mertuanya. Dia tidak tahu, tiba-tiba saja sudah ada di dalam kopernya. Alena baru menyadari semenjak menikah dengan Arthur ia kembali merasakan kehadiran sosok ibu dalam hidupnya. Alena sangat excited segera membuka kado itu, mulutnya ternganga saat melihat apa isi di dalamnya. Tiga buah lingerie dengan warna yang sangat mencolok. Bajunya memang terbuka tapi ini sangat terbuka, memakainya sama saja dirinya tidak pakai baju. "Mama yang benar saja!" ucap Alena melempar baju itu ke ranjang, wajahnya memerah karena malu. Tepat sekali pintu kamar terbuka dan Arthur masuk, ia sempat melihat pakaian yang tergeletak di ranjang. Tatapannya horor menatap ke arah Alena, setelah sadar gadis itu menggoyangkan tangannya dengan cepat. "Jangan salah paham! Mama yang ngasih, aku nggak tahu juga. Lagian aku tidak akan memakainya!" ucap Alena, segera memunguti pakaian itu dan kembali memasukkannya. Arthur tidak menggubris ia menyandarkan diri ke ra
Arthur menepis tangan Alena kasar saat menyadari siapa yang menyusup masuk ke kamar mandinya. Rahangnya mengeras, ia terlihat sangat kesal. Alena menatapnya lekat, tidak percaya jika ia akan mendapat perlakuan kasar dari suaminya. "Semakin lama kamu semakin tidak tahu diri!" sentak Arthur, ia mengambil jubah handuknya dan segera pergi. Melihat respon Arthur yang berlebihan membuat Alena mendengus kesal. Ia sudah membuang jauh-jauh gengsinya, tetapi pria itu justru mempermalukan dirinya. Benarkah Arthur tak berminat dengannya sama sekali. Alena mengabaikan kemarahan Arthur, ia memilih berendam. Air hangat yang belum Arthur pakai, aroma sabun yang sangat wangi khas wangi suaminya. Alena memejamkan matanya, tubuhnya terasa lebih baik saat ia gunakan berendam. Ia menatap lengannya yang memerah karena Arthur sempat mencengkeramnya tadi. "Dia mengerikan juga saat marah, semakin hari aku semakin di buat penasaran dengannya." Alena tersenyum miring, dia tidak akan menyerah meski Arthur s
Alena dan Arthur baru saja sampai di Indonesia, keduanya sudah di jemput sopir. 30 menit perjalanan mereka sampai di rumah, sikap Arthur terlihat semakin dingin. Selama perjalanan pun tidak ada percakapan di antara mereka berdua. Arthur dan Alena turun, koper mereka bibi yang bawa, baru sampai Arthur sudah langsung pergi kembali. Alena menahan tangan suaminya yang akan pergi. Namun, dengan cepat Arthur menepis tantangannya."Aku hanya ingin bilang, aku akan pergi dengan temanku mungkin akan pulang agak sorean," ucap Alena meski Arthur tidak perduli. Benar saja Arthur tidak menjawab apa-apa dan langsung masuk ke dalam mobilnya. Alena berdecak kesal, jika tidak ingat rencananya ia pasti sudah memaki-maki pria kaku itu. "Sabar, buah dari kesabaran itu indah!" ucap Alena pada dirinya sendiri. Ia segera masuk ke dalam rumah membersihkan diri sebelum pergi menemui temannya. Alena memang sudah ada janji dengan Anita jika mereka akan belanja bersama. "Alena!" Terlihat seorang gadis melam
Malam harinya setelah pulang dari kantor, setelah membersihkan diri. Alena bukan beristirahat justru sibuk di dapur. Ia kembali ingin memasak sesuatu untuk makan malam Arthur. Meski bekal yang ia bawa tadi entah di makan atau tidak oleh suaminya. "Nona, ada yang bisa saya bantu?" tanya Bibi yang melihat Alena ke dapur. Alena tersenyum menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak perlu, Bi. Aku sedang ingin membuatkan malam malam untuk, Tuan." Bibi tersenyum mendengarnya. "Saya bantu potong sayurnya, Nona." Alena mengangguk dengan senang hati. "Tuan Arthur sangat beruntung memiliki istri seperti Anda. Tuan Arthur sangat suka ayam tepung, dari kecil sampai sekarang kalau ada satu menu itu dia pasti akan makan sangat lahap." Bibi tiba-tiba bercerita. "Benarkah, Bi?" tanya Alena antusias, dia jadi ingin mendengar lebih banyak karena yang ia tahu Bibi sudah mengabdi di keluarga Arthur sejak ia masih kecil. Bibi mengangguk. "Sama sayur sop, kebetulan sekali Nona sedang memasaknya s
Alena tersentak melihat Arthur yang tiba-tiba pulang, ia mengusap air matanya dengan cepat. Melihat kue kecil yang berada di tangannya. Apakah doanya langsung terkabul? Ingin merayakan ulang tahun dengan Arthur. "Kenapa belum tidur?" Arthur mendekat ke arahnya dengan kerutan di dahinya. "Aku ulang tahun," ucap Alena. Ia menatap kue ulang tahunnya, memotongkan satu suap untuk Arthur. "Makanlah." Alena menyuapkan sesuap untuk Arthur. Tapi pria itu tetap diam, tidak membuka mulutnya menatap Alena lekat. "Ayolah, sedikit saja. Anggap saja kamu ikut merayakan ulang tahunku," ucap Alena tersenyum. Arthur membuka mulutnya menerima suapan kue ulang tahun dari Alena. Entahlah, tiba-tiba saja dia mau membuka mulutnya. Hal itu membuat Alena tersenyum bahagia. "Terimakasih," ucap Alena. Ia kembali memakan kue ulang tahunnya, tidak ada pergerakan lagi dari Arthur. Tak lama ia mengambil duduk di sebelah Alena. Menatap gadis itu yang asyik memakan kue ulang tahunnya. "Jangan makan terlalu ba
"Happy birthday, Cantik." Alena tersentak saat kado kecil ia dapatkan dari Gerald. Alena tidak menyangka jika pria itu mengingat hari ulang tahunnya. "Astaga, Gerald. Kamu ingat hari ulang tahunku?" kekeh Alena. Ia dengan senang hati menerima kado pemberian Gerald. Meski ia sangat berharap jika sang suami yang akan memberikan ia hadiah. "Tentu saja, aku selalu mengingat setiap hal kecil tentangmu, Alena. Kamu saja yang tidak menyadarinya!" kekeh Gerald, ia mengambil duduk di sebelah Alena. Mereka baru saja menyelesaikan sesi pemotretan dan akan di mulai lagi satu jam ke depan. Keduanya tengah beristirahat, Gerald menatap hadiah kecil yang ia berikan kepada Alena. "Bukalah, lihat apakah kamu menyukainya?" Alena mengangguk, saat ia membuka kotak kecil itu. Alena melihat sebuah kalung indah dengan bandul kupu-kupu kecil. Sederhana, tetapi terlihat sangat cantik. Kedua matanya berbinar, Alena senang dengan hadiah yang ia terima.
Tok Tok Tok Arthur berdecak kesal, siapa yang berani menganggunya selarut ini. Ia tidak merasa memesan apapun, dengan langkah malas Arthur segera membuka pintu kamarnya. "T-tuan, maaf menganggu waktunya malam-malam. Tapi Anda sedang di tunggu di restoran bawah sekarang. Saya hanya menyampaikan pesannya," ucap pria itu gugup mendapati tatapan membunuh dari Arthur. "Saya tidak memiliki janji dengan siapapun, saya tidak perduli. Jangan ganggu saya lagi!" tekan Arthur. Saat pintu akan tertutup, ucapan dari pelayan itu membuat Arthur mengurungkan niatnya. "Tapi istri Anda sudah menunggu dari tadi," ucapnya dengan kepala menunduk. "Apa kamu bilang? Istri saya?" Arthur terkesiap. Ia mendorong tubuh pelayan itu dan segera berlari turun, benarkah Alena menyusulnya kemari? Sampai di restoran, Arthur celingukan mencari keberadaan istrinya. Namun, tidak ia temukan siapapun kecuali seorang perempuan dengan rambut tergerai dan gaun merah yang tengah membelakanginya. Arthur yakin itu
"Ikut!" rengek Alena saat Arthur akan pergi, saat ini keduanya sudah berada di rumah orang tua Arthur. Arthur dengan tegas menggeleng. "Saya sudah bilang di sana laki-laki semua. Masuklah!" ucapnya datar. Bibir Alena melengkung ke bawah, mengambil tangan Arthur lalu mengecup punggung tangannya. "Hati-hati di jalan, kalau sudah sampai jangan lupa kabarin!" Arthur terkesiap, melihat perlakuan Alena membuat ia seketika membeku. Arthur menatap kedua mata bulat itu berkaca-kaca entah kenapa membuat ia gemas. "Masuklah!" Alena menggeleng. "Pergilah, aku akan masuk setelah kamu pergi." Arthur mengangguk, tangannya sempat mengusak rambut Alena pelan. Sebelum ia berjalan masuk ke dalam mobil. Alena mengigit bibir bawahnya gemas, kepalanya yang diusak hatinya yang berantakan. Alena melambai saat mobil suaminya mulai meninggalkan rumah. "Malam ini aku tidur sendirian," gumamnya masuk ke dalam rumah. Meylen sedang membuat kue saat ini, ia senang saat tahu menantunya akan men
"Nanti malam saya ada dinas ke luar kota, kamu di rumah sendiri atau mau ke rumah mama?" tanya Arthur membuka obrolan saat mereka makan siang. Ya, keduanya jadi makan siang di luar tentu dengan banyak drama dari Alena. Bibir gadis itu mengerucut, kesal karena Arthur baru memberitahunya sekarang sedang nanti malam dia sudah berangkat. "Aku ikut!" ucap Alena. Alis Arthur terangkat menatap gadis dengan wajah tertekuk kesal itu, padahal dia hanya bilang jika ia akan dinas bukan mengajak Alena untuk ikut. "Tidak usah, saya hanya satu hari di sana. Lagian kerjaan kamu bagaimana," ucap Arthur. Semakin maju bibir gadis itu, menatap wajah suaminya lekat. "Sama siapa aja?" "Celi--""Aku ikut! Pokoknya kalau cewek gatel itu ikut aku juga ikut." Alena semakin kesal saat mengetahui wanita tidak tahu malu itu turut serta dalam perjalanan dinas nanti malam. Arthur menghembuskan napas panjang menatap Alena dengan pandangan heran. Semakin hari tingkah gadis itu semakin membuatnya pening. "Tida
Alena tersenyum geli melihat Arthur yang diam sembari makan makanannya. Ingat sekali bagaimana Arthur langsung mematikan rapat karena godaannya. Lucu! "Kamu masih marah perkara tadi? Wajarlah orang kita suami istri," ucap Alena dengan santai. Arthur menyorotnya dengan tatapan tajam sedang Alena pura-pura tak melihatnya. Semakin hari semakin ia mengenal bagaimana sosok pria dingin yang merupakan suaminya itu. Semakin Alena tahu jika sebenarnya Arthur orangnya cukup hangat. "Kamu mulai bisa menerimaku?" tanya Alena, ekspresi wajahnya sangat ceria. "Jangan berharap apapun padaku, Alena!" Setelahnya Arthur meninggalkan ruang makan. Alena menghembuskan napas panjang. Lagi! Dia belum berhasil, belum sepenuhnya bisa mencairkan sosok itu. Prosesnya masih kurang panjang, tidak semudah itu membuat seorang Arthur mencair. Napsu makannya seketika hilang, Alena membereskan makanan di dapur. Tidak langsung masuk ke kamar, ia justru duduk di ruang tamu menselonjorkan kakinya di sana. Bermain p
Alena selesai dengan pemotretannya hari ini tinggal menunggu kedatangan Arthur saja. Tepat sekali tak lama pintu ruangan suaminya terbuka, senyum di bibirnya mengembang. "Hai, Pak suami!" sapa Alena genit. Arthur menatapnya datar, tatapannya jatuh pada Gerald yang tak melepas pandang dari sang istri. "Ayo pulang!" ucap Arthur singkat. Alena mengangguk segera pergi dengan suaminya, ia bahkan sudah menempel pada tubuh Arthur melingkarkan tangannya pada lengan kekar suaminya. Untungnya Arthur tidak menepis tangannya seperti sebelumnya. "Hari ini sangat lelah, bagaimana denganmu? How was your day, Honey?" Pertanyaan itu meluncur dari bibir Alena. Tangannya masih melingkar di lengan Arthur. "I'm good. Lepaskan tanganmu!" Perkembangan, Arthur bisa di ajak berbincang! Alena tersenyum tipis, ia menyadarkan kepalanya di dasbor. Tangannya menyentuh kalung kecil di lehernya. Alena bahagia seakan pemberi kalung itu adalah orang tuanya. Arthur sempat meliriknya ia tahu itu adal
"Happy birthday, Cantik." Alena tersentak saat kado kecil ia dapatkan dari Gerald. Alena tidak menyangka jika pria itu mengingat hari ulang tahunnya. "Astaga, Gerald. Kamu ingat hari ulang tahunku?" kekeh Alena. Ia dengan senang hati menerima kado pemberian Gerald. Meski ia sangat berharap jika sang suami yang akan memberikan ia hadiah. "Tentu saja, aku selalu mengingat setiap hal kecil tentangmu, Alena. Kamu saja yang tidak menyadarinya!" kekeh Gerald, ia mengambil duduk di sebelah Alena. Mereka baru saja menyelesaikan sesi pemotretan dan akan di mulai lagi satu jam ke depan. Keduanya tengah beristirahat, Gerald menatap hadiah kecil yang ia berikan kepada Alena. "Bukalah, lihat apakah kamu menyukainya?" Alena mengangguk, saat ia membuka kotak kecil itu. Alena melihat sebuah kalung indah dengan bandul kupu-kupu kecil. Sederhana, tetapi terlihat sangat cantik. Kedua matanya berbinar, Alena senang dengan hadiah yang ia terima.
Alena tersentak melihat Arthur yang tiba-tiba pulang, ia mengusap air matanya dengan cepat. Melihat kue kecil yang berada di tangannya. Apakah doanya langsung terkabul? Ingin merayakan ulang tahun dengan Arthur. "Kenapa belum tidur?" Arthur mendekat ke arahnya dengan kerutan di dahinya. "Aku ulang tahun," ucap Alena. Ia menatap kue ulang tahunnya, memotongkan satu suap untuk Arthur. "Makanlah." Alena menyuapkan sesuap untuk Arthur. Tapi pria itu tetap diam, tidak membuka mulutnya menatap Alena lekat. "Ayolah, sedikit saja. Anggap saja kamu ikut merayakan ulang tahunku," ucap Alena tersenyum. Arthur membuka mulutnya menerima suapan kue ulang tahun dari Alena. Entahlah, tiba-tiba saja dia mau membuka mulutnya. Hal itu membuat Alena tersenyum bahagia. "Terimakasih," ucap Alena. Ia kembali memakan kue ulang tahunnya, tidak ada pergerakan lagi dari Arthur. Tak lama ia mengambil duduk di sebelah Alena. Menatap gadis itu yang asyik memakan kue ulang tahunnya. "Jangan makan terlalu ba
Malam harinya setelah pulang dari kantor, setelah membersihkan diri. Alena bukan beristirahat justru sibuk di dapur. Ia kembali ingin memasak sesuatu untuk makan malam Arthur. Meski bekal yang ia bawa tadi entah di makan atau tidak oleh suaminya. "Nona, ada yang bisa saya bantu?" tanya Bibi yang melihat Alena ke dapur. Alena tersenyum menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak perlu, Bi. Aku sedang ingin membuatkan malam malam untuk, Tuan." Bibi tersenyum mendengarnya. "Saya bantu potong sayurnya, Nona." Alena mengangguk dengan senang hati. "Tuan Arthur sangat beruntung memiliki istri seperti Anda. Tuan Arthur sangat suka ayam tepung, dari kecil sampai sekarang kalau ada satu menu itu dia pasti akan makan sangat lahap." Bibi tiba-tiba bercerita. "Benarkah, Bi?" tanya Alena antusias, dia jadi ingin mendengar lebih banyak karena yang ia tahu Bibi sudah mengabdi di keluarga Arthur sejak ia masih kecil. Bibi mengangguk. "Sama sayur sop, kebetulan sekali Nona sedang memasaknya s
Alena dan Arthur baru saja sampai di Indonesia, keduanya sudah di jemput sopir. 30 menit perjalanan mereka sampai di rumah, sikap Arthur terlihat semakin dingin. Selama perjalanan pun tidak ada percakapan di antara mereka berdua. Arthur dan Alena turun, koper mereka bibi yang bawa, baru sampai Arthur sudah langsung pergi kembali. Alena menahan tangan suaminya yang akan pergi. Namun, dengan cepat Arthur menepis tantangannya."Aku hanya ingin bilang, aku akan pergi dengan temanku mungkin akan pulang agak sorean," ucap Alena meski Arthur tidak perduli. Benar saja Arthur tidak menjawab apa-apa dan langsung masuk ke dalam mobilnya. Alena berdecak kesal, jika tidak ingat rencananya ia pasti sudah memaki-maki pria kaku itu. "Sabar, buah dari kesabaran itu indah!" ucap Alena pada dirinya sendiri. Ia segera masuk ke dalam rumah membersihkan diri sebelum pergi menemui temannya. Alena memang sudah ada janji dengan Anita jika mereka akan belanja bersama. "Alena!" Terlihat seorang gadis melam