Alena tercengang mendengar ucapan Arthur barusan, apa dia tidak salah dengar? Adakah seorang suami yang menginginkan istrinya hamil anak pria lain? Ada, Arthur contohnya.
"Kau gila!" kesal Alena. Dia merasa di rendahkan dengan ucapan Arthur barusan, sedangkan pria itu masih acuh dan fokus dengan laptop di depannya. "Kenapa aku harus hamil anak orang lain sedangkan aku punya suami!" Heran Alena. "Aku tidak mau." Jawaban Arthur membuat Alena melongo, apakah dia benar-benar gila? Kedua mata Alena menyipit menatap sinis ke arah Arthur. "Jangan-jangan kau abnormal?" Alena bergidik ngeri akan pemikiran bodohnya itu, menggelikan sekali jika ia memiliki suami yang kelainan. "Tidak usah hamil, aku tidak butuh warisan itu!" Alena menghembuskan napas panjang, dia tidak habis pikir dengan cara pikir pria yang menjadi suaminya itu. "Bukan masalah kamu mau atau tidak dengan warisan itu, setidaknya hargai keinginan mendiang ayahmu!" ucap Alena. Arthur tersenyum sangat tipis, ia menarik pinggang Alena hingga terjatuh di pangkuannya. Menatap Alena lekat, keduanya saling diam, tatapan keduanya terkunci. "Kamu sangat ingin hamil anak saya? Tapi saya tidak suka barang bekas," bisik Arthur. Alena terdiam mencerna ucapan pedas Arthur barusan, siapa yang dia maksud barang bekas! "Sialan, kamu pikir aku udah nggak virgin? Lagian aku nggak ngebet buat hamil anak kamu ya, enak aja!" ucap Alena kesal. "Maybe," acuhnya. Alena tersenyum miring, jarak keduanya sangat dekat hidung keduanya bahkan sudah saling menyentuh. Tangan Alena mengusap rahang Arthur pelan. "Ingin membuktikan?" ucapnya tersenyum smirk. Alena memiringkan wajahnya, menempelkan bibirnya dengan bibir Arthur tak ada pergerakan maupun perlawanan dari suaminya. Begitupun Alena dia hanya sekedar menempelkan saja. Baru akan melepas, Arthur lebih dulu mendominasi. Kedua tangan Alena melingkar di leher Arthur, menikmati ciuman mereka berdua. Alena mendorong dada Arthur saat oksigen di sekitarnya menipis. "Kau yang menginginkannya!" ucapnya lalu bangkit dari pangkuan Arthur. Baru akan keluar ia berpapasan dengan sekretaris Arthur, wanita yang datang di nikahannya kemarin. "Selamat pagi, Nona Alena." sapanya. "Iya, selamat pagi." Alena menatap penampilannya dari atas sampai bawah, sangat tidak sopan. "Tunggu, ada urusan apa?" tanyanya menahan Celine masuk. "Saya ingin menyerahkan berkas penting yang membutuhkan tanda tangan Tuan Arthur." ucapnya. Alena mendengus kesal mendengarnya. "Kamu tidak punya pakaian lagi sampai harus memakai pakaian kurang bahan seperti itu?" ucap Alena tersenyum mengejek. "Maaf, Nona. Apakah ada yang salah dengan pakaian saya? Selama ini tidak ada yang melarangnya, bahkan Tuan Arthur sendiri." Alena mendelikkan matanya kesal mendengar ucapan Celine. Dari awal bertemu dia sudah sadar jika Celine memang sedikit menyebalkan. "Tanpa ada yang melarang seharusnya kamu sadar, sopan santun dalam berpakaian. Apalagi di lingkungan kerja, ini bukan tempat hiburan malam!" Mendengar ucapan Alena tangan Celine mengepal. "Ada apa ini." Arthur keluar melihat kegaduhan yang mereka buat. "Maaf, Tuan---" "Lihatlah pakaian bawahanmu!" Alena melipat kedua tangannya di dada. Apa memang standar berpakaian di perusahaan suaminya memang seperti ini. "Biarkan! Pakaian mencerminkan harga dirinya sendiri. Kau terlalu senggang sampai mencampuri urusan orang lain!" ucap Arthur. Alena tersenyum smirk, memainkan alisnya dengan pandangan merendahkan. "Apakah harga dirimu serendah pakaianmu?" Arthur menarik tangan Alena masuk ke dalam ruangannya, sedangkan Celine ia menatap kepergian kedua insan itu dengan tatapan dendam. "Apa?" kesal Alena, ia menepis tangan Arthur yang memegang lengannya. "Pulanglah, jadwal pemotretanmu masih besok!" Mendengar ucapan Arthur membuat kedua mata Alena membulat. "Perusahaanmu sangat tidak bertanggung jawab, membuang waktuku saja!" kesal Alena. Ia menghentakkan kakinya kesal, melihat tidak ada inisiatif minta maaf dari Arthur membuat ia sangat kesal. Dia adalah patung hidup menyebalkan! ucapnya dalam hati. Alena melirik sinis meja Celine yang berada di depan ruangan Arthur. Ia melipat kedua tangannya di dada, menelisik pakaian Celine dengan tatapan mencemoh. "Kerja itu yang main otaknya bukan tubuhnya!" sindirnya lalu pergi. **** Alena tersenyum menghampiri seorang wanita yang sudah menunggunya. "Anita!" sapanya dengan senyum lebar. Alena melakukan cipika cipiki pada sahabat lamanya. "Ya ampun, ini seriusan kamu? Cantik banget masa," puji Anita dengan pandangan panggling pada Alena. Yang di puji justru menampilkan wajah sombongnya. "Nggak udah kaget gitu dong, orang emang udah cakep dari lahir." Anita terkekeh mendengarnya. "Aku baru tahu kemarin kalau kamu udah kembali ke Indonesia, terus karir kamu di sana gimana?" tanyanya. Alena menghembuskan napas panjang. "Emang ya manusia punya rencana tapi Tuhan punya ketentuan. Planning gue mlenceng semua yang tadinya nggak mau nikah eh malah sekarang udah nikah. Tadinya gue mau menetap di sana aja tapi ternyata gue sekarang di Indonesia." Mendengar kalimat panjang sahabatnya membuat Anita tersenyum. "It's okay, semua yang Tuhan kasih sekarang itu yang terbaik buat kamu. Belum kerasa emang sekarang tapo nanti, kamu pasti tahu kalau ternyata ini jauh lebih dari yang kamu mau." Alena mengangguk. "Terus kerjaan kamu gimana, lancar?" "Lancar, sejauh ini sih oke oke aja. Ada satu orang di kerjaan nyebelinnya minta ampun. Aku sampai gedek banget sama orangnya, kerja tapi suka nyari muka ke atasan!" ucap Anita bersungut. Alena justru tertawa. "Aku tadi ketemu orang modelan kayak gitu di kantor. Kerja tapi jual badan!" ucap Alena terbahak. "Hah? Seriusan?" Anita pun turut tertawa mendengar ucapan Alena. "Sekarang banyak orang kayak gitu, asal lo mau semalam sama bos naik pangkat mah gampang," kekehnya. "Awas suami!" kekeh Anita. "Biarin kalau dia mau, seleranya murahan!" ucap Alena acuh. Keduanya menghabiskan waktu bersama banyak sekali bahasan yang mereka bahas. Sampai menjelang petang barulah Alena kembali ke rumah. Ia melihat mobil Arthur sudah ada pertanda jika pria itu sudah kembali. Alena melihat Arthur tengah santai di ruang tamu, acuh tanpa menyapa ia langsung naik ke kamarnya. Melihat kamar yang kemarin ia tempati kini sudah kosong. Arthur benar-benar memindahkan barang-barangnya. "Seriusan sekamar sama dia?" ucap Alena dengan hembusan napas panjang. Ia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Alena berendam cukup lama, tubuhnya terasa lelah hari ini. Kepalanya pun terasa sedikit pusing. "Apakah aku bisa bertahan selama satu tahun dalam pernikahan ini? Aku merasa bersalah pada mama, mama sangat baik padaku tapi aku dan anaknya malah membohonginya. Tapi mama jelas tahu jika kami tidak saling mencintai. Pernikahan ini karena wasiat suaminya!" Kedua mata Alena terpejam, ia merasa kepalanya sangat berisik. Tok Tok Tok "Apa?" teriaknya. "Cepat, ta harus segera berangkat!" ucap Arthur. Dahi Alena berkerut, berangkat kemana malam-malam seperti ini? Apakah Arthur ingin mengajaknya makan malam di luar? "Aku baru saja makan, tidak usah makan di luar!" ucap Alena. "Kita pergi honeymoon."Pulau Bali menjadi pilihan Meylen untuk tempat honeymoon anak dan menantunya. Alena yang pada dasarnya sangat menyukai liburan menikmati saja. Keduanya sepakat untuk pergi dengan refresing masing-masing. Hal yang di bayangan ibu mertua tidak akan pernah terjadi. "Aku ingin main di pantai!" ucap Alena sudah siap dengan pakaiannya. Ia hanya menggunakan dalaman yang ia lapisi outer. Arthur meliriknya sekilas, tanpa berkomentar apapun ia tetap fokus dengan ponselnya. Alena mendengus kesal membawa kameranya untuk turun. Pemandangan dari arah kamar sudah terlihat sangat jelas indahnya pulau ini. "Aku sudah lama sekali tidak pergi ke pantai, ini kesempatan baikku!" ucap Alena dengan senyuman manis di bibirnya. Menerim tawaran ibu mertuanya ternyata tidak seburuk itu. Arthur fokus kerja sedangkan ia akan fokus bermain. Alena menginjakkan kakinya pada pasir putih tangannya mulai menggambar abstrak. Senyuman tipis melengkung di bibirnya, ingat sekali terakhir kali dirinya ke pantai bersama
Alena merentangkan tangannya terbangun dari tidur nyenyaknya semalam. Tubuhnya terasa segar pagi ini, di sebelahnya sudah tidak ada Arthur. Entah kemana perginya pria itu. "Kemana dia pergi? Sepagi ini udah menghilang," guamamnya. Ia segera bangun menguncir rambutnya asal, setelah membereskan tempat tidur Alena segera membersihkan tubuhnya. Balkon menjadi tujuan setelahnya, Alena tersenyum senang, udaranya sangat menyejukkan. "Ah, pagi hari di pantai Bali. Indah sekali!" ucapnya. Matanya menangkap para manusia yang sudah bermain di sekitar pantai, senyumnya kembali terukir di wajah cantiknya. Melihatnya banyaknya para manusia yang berbahagia di sana. Alena menangkap salah satu objek yang tak asing di matanya, dahinya berkerut mencoba memastikan apakah benar dia orangnya. "What? Beneran dia? Pagi-pagi udah main air!" ucap Alena. Melihat Arthur bermain selancar di pantai, dia bertelanjang dada hanya mengenakannya celana pendeknya saja. Alena terpukau, bohong jika ia tid
Seorang wanita cantik dengan balutan gaun pernikahan mewah, berjalan menuju pelaminan. Senyum paksa terukir di wajah cantiknya, menatap banyaknya tamu undangan di hari pernikahan yang sama sekali tidak ia inginkan. Alena Maheswara, seorang model ternama di luar negeri yang terpaksa menerima wasiat dari mendiang orang tuanya untuk menikah dengan seorang pria asing yang sama sekali tidak ia kenal. Di sekian banyaknya orang Alena justru merasa sendiri. Ia tidak bahagia di hari pernikahannya yang bahkan tergelar sangat mewah. Alena menghembuskan napas panjang, saat pria yang telah menjadi suaminya duduk tepat di sampingnya. Akad baru saja selesai dan kini ia telah resmi menjadi seorang istri. Alena menatap datar pria di sampingnya, ia mengulas senyum miring. "Mohon kerja samanya," ucap Alena. Alena tersenyum menyapa tamu undangan yang dia yakini tamu suaminya. Begitupun dengan suaminya. Keduanya terlihat sangat cocok, tampan dan cantik."Drama mulai." "Ya." Alena membuang muka malas,
Sudah menjadi kebiasaannya untuk membuat sarapan sendiri, selama di luar negeri pun Alena selalu memasak sendiri. Ia sangat jarang membeli makanan, Alena sangat menjaga kesehatan tubuhnya. Setelah dari kamar mandi Alena langsung menuju ke arah dapur. "Masak apa ya?" gumam Alena.Baru menapakkan kaki di dapur ia terkejut melihat banyaknya pelayan yang lalu lalang di sana. "Wow," ucapnya takjub. "Selamat pagi nona muda!" Mereka semua kompak menyapa Alena membuat gadis itu sedikit canggung. "Y-ya, selamat pagi juga. Em, ada yang bisa aku bantu?" tanyanya. "Tidak perlu Nona, apakah ada menu makanan yang nona inginkan. Kami akan membuatnya," ucap kepala dapur. Alena menggeleng, ia mengulas senyum tipis mendekat ke arah mereka semua. "Aku sudah terbiasa untuk memasak makananku sendiri. Pagi ini aku akan membantu kalian memasak!" ujarnya. "Tidak perlu, Nona." Kepala dapur terlihat takut, jika nyonya besar sampai tahu mereka yang akan kena marah. "Tidak apa, kalian tidak perlu sungkan
Alena menatap bagunan besar yang akan menjadi tempat tinggalnya bersama Arthur. Rumah dengan nuansa Eropa, sangat cocok dengan stylenya. Tak jauh berbeda dengan model rumahnya di luar negeri.Baru masuk semua pelayan sudah datang menyambut, menurutnya Arthur terlalu berlebihan. Sialnya ia langsung meninggalkan Alena begitu saja. "Bi, tolong letakkan barang-barang Alena di lantai tiga!" titah Arthur. Kepala dapur mengangguk, segera mengambil alih barang-barang nona mudanya. Alena mengekori di belakang Arthur melihat betapa megahnya rumah suaminya. "Bi, di depan kamar saya!" ucap Arthur membuat kepala dapur merasa binggung. Alena yang menyadari itu, ia lantas menahan tangan Arthur. "Bi, letakkan di kamar saja nanti Alena yang akan mengurusnya.""Baik, Nyonya."Alena meringgis mendapat panggilan seperti itu, apa dia terlihat sudah sangat tua. Sepertinya ia harus kembali diet setelah dua hari acara makannya cukup banyak mengandung lemak. "Orang lain tidak perlu tahu apa yang terjadi