Share

4. Honeymoon

Alena tercengang mendengar ucapan Arthur barusan, apa dia tidak salah dengar? Adakah seorang suami yang menginginkan istrinya hamil anak pria lain? Ada, Arthur contohnya.

"Kau gila!" kesal Alena.

Dia merasa di rendahkan dengan ucapan Arthur barusan, sedangkan pria itu masih acuh dan fokus dengan laptop di depannya.

"Kenapa aku harus hamil anak orang lain sedangkan aku punya suami!" Heran Alena.

"Aku tidak mau." Jawaban Arthur membuat Alena melongo, apakah dia benar-benar gila?

Kedua mata Alena menyipit menatap sinis ke arah Arthur. "Jangan-jangan kau abnormal?"

Alena bergidik ngeri akan pemikiran bodohnya itu, menggelikan sekali jika ia memiliki suami yang kelainan.

"Tidak usah hamil, aku tidak butuh warisan itu!" Alena menghembuskan napas panjang, dia tidak habis pikir dengan cara pikir pria yang menjadi suaminya itu.

"Bukan masalah kamu mau atau tidak dengan warisan itu, setidaknya hargai keinginan mendiang ayahmu!" ucap Alena.

Arthur tersenyum sangat tipis, ia menarik pinggang Alena hingga terjatuh di pangkuannya. Menatap Alena lekat, keduanya saling diam, tatapan keduanya terkunci.

"Kamu sangat ingin hamil anak saya? Tapi saya tidak suka barang bekas," bisik Arthur.

Alena terdiam mencerna ucapan pedas Arthur barusan, siapa yang dia maksud barang bekas!

"Sialan, kamu pikir aku udah nggak virgin? Lagian aku nggak ngebet buat hamil anak kamu ya, enak aja!" ucap Alena kesal.

"Maybe," acuhnya.

Alena tersenyum miring, jarak keduanya sangat dekat hidung keduanya bahkan sudah saling menyentuh. Tangan Alena mengusap rahang Arthur pelan.

"Ingin membuktikan?" ucapnya tersenyum smirk.

Alena memiringkan wajahnya, menempelkan bibirnya dengan bibir Arthur tak ada pergerakan maupun perlawanan dari suaminya. Begitupun Alena dia hanya sekedar menempelkan saja. Baru akan melepas, Arthur lebih dulu mendominasi.

Kedua tangan Alena melingkar di leher Arthur, menikmati ciuman mereka berdua. Alena mendorong dada Arthur saat oksigen di sekitarnya menipis.

"Kau yang menginginkannya!" ucapnya lalu bangkit dari pangkuan Arthur.

Baru akan keluar ia berpapasan dengan sekretaris Arthur, wanita yang datang di nikahannya kemarin.

"Selamat pagi, Nona Alena." sapanya.

"Iya, selamat pagi." Alena menatap penampilannya dari atas sampai bawah, sangat tidak sopan.

"Tunggu, ada urusan apa?" tanyanya menahan Celine masuk.

"Saya ingin menyerahkan berkas penting yang membutuhkan tanda tangan Tuan Arthur." ucapnya.

Alena mendengus kesal mendengarnya. "Kamu tidak punya pakaian lagi sampai harus memakai pakaian kurang bahan seperti itu?" ucap Alena tersenyum mengejek.

"Maaf, Nona. Apakah ada yang salah dengan pakaian saya? Selama ini tidak ada yang melarangnya, bahkan Tuan Arthur sendiri."

Alena mendelikkan matanya kesal mendengar ucapan Celine. Dari awal bertemu dia sudah sadar jika Celine memang sedikit menyebalkan.

"Tanpa ada yang melarang seharusnya kamu sadar, sopan santun dalam berpakaian. Apalagi di lingkungan kerja, ini bukan tempat hiburan malam!" Mendengar ucapan Alena tangan Celine mengepal.

"Ada apa ini." Arthur keluar melihat kegaduhan yang mereka buat.

"Maaf, Tuan---"

"Lihatlah pakaian bawahanmu!" Alena melipat kedua tangannya di dada. Apa memang standar berpakaian di perusahaan suaminya memang seperti ini.

"Biarkan! Pakaian mencerminkan harga dirinya sendiri. Kau terlalu senggang sampai mencampuri urusan orang lain!" ucap Arthur.

Alena tersenyum smirk, memainkan alisnya dengan pandangan merendahkan. "Apakah harga dirimu serendah pakaianmu?"

Arthur menarik tangan Alena masuk ke dalam ruangannya, sedangkan Celine ia menatap kepergian kedua insan itu dengan tatapan dendam.

"Apa?" kesal Alena, ia menepis tangan Arthur yang memegang lengannya.

"Pulanglah, jadwal pemotretanmu masih besok!" Mendengar ucapan Arthur membuat kedua mata Alena membulat.

"Perusahaanmu sangat tidak bertanggung jawab, membuang waktuku saja!" kesal Alena. Ia menghentakkan kakinya kesal, melihat tidak ada inisiatif minta maaf dari Arthur membuat ia sangat kesal.

Dia adalah patung hidup menyebalkan! ucapnya dalam hati.

Alena melirik sinis meja Celine yang berada di depan ruangan Arthur. Ia melipat kedua tangannya di dada, menelisik pakaian Celine dengan tatapan mencemoh.

"Kerja itu yang main otaknya bukan tubuhnya!" sindirnya lalu pergi.

****

Alena tersenyum menghampiri seorang wanita yang sudah menunggunya. "Anita!" sapanya dengan senyum lebar. Alena melakukan cipika cipiki pada sahabat lamanya.

"Ya ampun, ini seriusan kamu? Cantik banget masa," puji Anita dengan pandangan panggling pada Alena.

Yang di puji justru menampilkan wajah sombongnya. "Nggak udah kaget gitu dong, orang emang udah cakep dari lahir." Anita terkekeh mendengarnya.

"Aku baru tahu kemarin kalau kamu udah kembali ke Indonesia, terus karir kamu di sana gimana?" tanyanya.

Alena menghembuskan napas panjang. "Emang ya manusia punya rencana tapi Tuhan punya ketentuan. Planning gue mlenceng semua yang tadinya nggak mau nikah eh malah sekarang udah nikah. Tadinya gue mau menetap di sana aja tapi ternyata gue sekarang di Indonesia."

Mendengar kalimat panjang sahabatnya membuat Anita tersenyum. "It's okay, semua yang Tuhan kasih sekarang itu yang terbaik buat kamu. Belum kerasa emang sekarang tapo nanti, kamu pasti tahu kalau ternyata ini jauh lebih dari yang kamu mau."

Alena mengangguk. "Terus kerjaan kamu gimana, lancar?"

"Lancar, sejauh ini sih oke oke aja. Ada satu orang di kerjaan nyebelinnya minta ampun. Aku sampai gedek banget sama orangnya, kerja tapi suka nyari muka ke atasan!" ucap Anita bersungut.

Alena justru tertawa. "Aku tadi ketemu orang modelan kayak gitu di kantor. Kerja tapi jual badan!" ucap Alena terbahak.

"Hah? Seriusan?" Anita pun turut tertawa mendengar ucapan Alena.

"Sekarang banyak orang kayak gitu, asal lo mau semalam sama bos naik pangkat mah gampang," kekehnya.

"Awas suami!" kekeh Anita.

"Biarin kalau dia mau, seleranya murahan!" ucap Alena acuh.

Keduanya menghabiskan waktu bersama banyak sekali bahasan yang mereka bahas. Sampai menjelang petang barulah Alena kembali ke rumah. Ia melihat mobil Arthur sudah ada pertanda jika pria itu sudah kembali.

Alena melihat Arthur tengah santai di ruang tamu, acuh tanpa menyapa ia langsung naik ke kamarnya. Melihat kamar yang kemarin ia tempati kini sudah kosong. Arthur benar-benar memindahkan barang-barangnya.

"Seriusan sekamar sama dia?" ucap Alena dengan hembusan napas panjang.

Ia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Alena berendam cukup lama, tubuhnya terasa lelah hari ini. Kepalanya pun terasa sedikit pusing.

"Apakah aku bisa bertahan selama satu tahun dalam pernikahan ini? Aku merasa bersalah pada mama, mama sangat baik padaku tapi aku dan anaknya malah membohonginya. Tapi mama jelas tahu jika kami tidak saling mencintai. Pernikahan ini karena wasiat suaminya!" Kedua mata Alena terpejam, ia merasa kepalanya sangat berisik.

Tok Tok Tok

"Apa?" teriaknya.

"Cepat, ta harus segera berangkat!" ucap Arthur.

Dahi Alena berkerut, berangkat kemana malam-malam seperti ini? Apakah Arthur ingin mengajaknya makan malam di luar?

"Aku baru saja makan, tidak usah makan di luar!" ucap Alena.

"Kita pergi honeymoon."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status