Alena menatap bagunan besar yang akan menjadi tempat tinggalnya bersama Arthur. Rumah dengan nuansa Eropa, sangat cocok dengan stylenya. Tak jauh berbeda dengan model rumahnya di luar negeri.
Baru masuk semua pelayan sudah datang menyambut, menurutnya Arthur terlalu berlebihan. Sialnya ia langsung meninggalkan Alena begitu saja. "Bi, tolong letakkan barang-barang Alena di lantai tiga!" titah Arthur. Kepala dapur mengangguk, segera mengambil alih barang-barang nona mudanya. Alena mengekori di belakang Arthur melihat betapa megahnya rumah suaminya. "Bi, di depan kamar saya!" ucap Arthur membuat kepala dapur merasa binggung. Alena yang menyadari itu, ia lantas menahan tangan Arthur. "Bi, letakkan di kamar saja nanti Alena yang akan mengurusnya." "Baik, Nyonya." Alena meringgis mendapat panggilan seperti itu, apa dia terlihat sudah sangat tua. Sepertinya ia harus kembali diet setelah dua hari acara makannya cukup banyak mengandung lemak. "Orang lain tidak perlu tahu apa yang terjadi dengan kita," ucap Alena pada Arthur. Pria itu hanya diam, naik lift menuju kamarnya begitupun dengan Alena. Keduanya sama-sama diam, Alena mengambil ponselnya mendapat pesan dari sang sekertaris. "Lihat! belum aku minta, perusahaanmu sudah datang sendiri," ucapnya tersenyum smirk. Alena menujukkan permintaan kerja sama dari perusahaan Arthur agar ia menjadi model produk mereka. Arthur menatapnya kilas lalu kembali acuh. Melihat respon menyebalkannya membuat Alena berdecak kesal. "Hei Pak Tua, apa kau tidak bisa bereaksi kenapa wajahmu selalu datar, menyebalkan!" Alena yang kesal sengaja menyenggol bahu Arthur keras saat keluar dari lift. Alena melihat bibi yang masih berada di kamar mereka. Tersenyum sopan mengambil alih koper miliknya. "Terimakasih, Bi. Sudah membantu membawanya," ucapnya. "Sama-sama Nyonya. Sudah menjadi tugas saya untuk melayani, Anda." Alena meringgis mendengar sebutan nyonya kembali. "Bi, jangan panggil aku nyonya, panggil Alena saja tidak masalah." "Baik, Nona." Setelahnya bibi berpamitan pergi, ternyata majikan dan bawahan juga sama. Bibi kepala dapur pun ekspresinya sangat irit. Ada apa sebenarnya dengan penghuni rumah ini. "Bawa pergi!" ucap Arthur datar. Alena mendelikkan matanya kesal, langsung saja membawa barang-barangnya keluar. "Dasar batu hidup!" umpatnya. Sampai kamarnya ia menghempaskan tubuhnya di ranjang. Menyebalkan sekali, baru satu hari menjadi istrinya Alena sudah sangat kesal. Dia benar-benar pria yang menyebalkan. "Rena, terima tawaran kerja sama Grup GH." Putus Alena pada sekertarisnya. Alena tersenyum miring, melipat kedua tangannya di dada. "Baru kali ini aku bertemu dengan pria sedingin suamiku. Kenapa aku merasa tertantang untuk menaklukkan sifat sombongnya itu?" **** Keesokan harinya Alena sudah siap, hari ini adalah hari pertama ia bekerja sama dengan perusahaan Arthur. Alena segera keluar kamar, pintu kamar Arthur yang sedikit terbuka membuat ia dapat melihat jika pria itu tengah bersiap. Tok Tok Tok "Ada apa?" Alena tak menjawab melangkah mendekat ke arahnya membuat pria itu menatapnya heran. Alena semakin mendekat membuat Arthur mundur. "Apa apa?" ulangnya. "Apa? Aku hanya ingin membantumu bersiap." Alena mengancingkan kancing kemeja Arthur bagian atas. Lalu membantu memasangkan dasi di lehernya. "Hari ini aku mulai bekerja di perusahaanmu, bersikap baiklah. Semua orang tentu tahu kalau kita pasangan suami istri," ucapnya. Arthur hanya diam tak menanggapi, keduanya segera turun. Di meja makan sudah tersaji bermacam makanan. Alena tersenyum duduk di sebelah suaminya. "Aku yang memasak, mulai hari ini dan seterusnya bibi tidak akan memasak kecuali aku yang meminta." Arthur mengangguk tak lagi menanggapi, ia fokus dengan makanan di depannya. Alena sendiri menikmati masakan yang ia buat. Keduanya tak ada lagi perbincangan. "Kita berangkat bersama kan?" tanya Alena. "Iya." Arthur mengusap bibirnya, bangkit dari duduknya, acara makannya telah selesai begitupun dengan Alena. Alena mengangkat panggilan dari sekertarisnya sembari berjalan di belakang suaminya. "Tidak perlu menjemputku, kita langsung bertemu di sana saja. Aku berangkat dengannya!" ucap Alena. Ia duduk di kursi sebelah Arthur, tidak ada lagi perbincangan di antara keduanya. Baik Arthur maupun Alena sama-sama sibuk dengan urusannya. Mark, orang kepercayaan Arthur melihat ekspresi wajah kedua atasannya yang sama-sama datar. Benarkah jodoh cerminan diri sendiri? ucapnya dalam hati. Sampai di perusahaan keduanya menjadi sorotan. Baik Alena maupun Arthur tidak ada yang menebar pesona bahkan aura dingin di antara keduanya sangat kentara. Tidak ada senyum manis di bibirnya wajahnya keduanya sangatlah datar. "Astaga serasi sekali." "Kau benar nona muda sangat cantik, cocok sekali dengan Tuan Arthur." "Tentu saja, dia model ternama. Alena Smith, apa kau tidak tahu? Perusahaan baru saja bekerja sama dengannya." "Bukankah keduanya seperti dua tembok yang bersatu? Lihatlah ekspresi wajah mereka." Bisik-bisik dari para karyawan yang tidak keduanya hiraukan. Alena ikut masuk ke ruangan Arthur, menunggu Rena menyelesaikan perlengkapannya. Celine melipat kedua tangannya di dada menatap sinis para pegawai yang menikmati pemandangan pengantin baru. "Kalian tidak ada kerjaan? Cepat bekerja atau segera kirimkan surat pengunduran diri!" serunya. Mereka langsung berbondong duduk di meja masing-masing. Sedangkan pasutri baru, Alena ikut masuk ke ruangan kerja Arthur karena pemotretan masih satu jam lagi. Alena duduk santai di sofa membiarkan Arthur bekerja, ia masih fokus dengan tablet di tangannya. Begitupun dengan Arthur yang langsung berkutat dengan pekerjaannya. Mereka benar-benar sibuk dengan urusan masing-masing, tidak ada basa basi antar pasangan pada umumnya. "Nanti pulang jam berapa?" tanya Alena masih dengan mata fokus pada layar di depannya. "Malam. Raka yang akan mengantarmu pulang!" ucapnya. "Tidak usah, aku akan pulang dengan sekertarisku!" Alena menghembuskan napas panjang, memijat pelipisnya yang terasa pusing. Berjalan mendekat ke arah Arthur memperlihatkan file yang tengah ia baca. "Bisa kamu jelaskan?" tanyanya denga mata mendelik tajam. Arthur meliriknya sekilas. "Semalam kamu sudah setuju, bukan?" "Kontrak ini berbeda dengan yang kau berikan padaku semalam. Jangan menjadi pria licik Tuan Arthur!" kesal Alena. Kontrak pernikahan yang berisi, keduanya tidur sekamar, setiap Arthur dinas Alena harus ikut, dan yang paling menyebalkan pihak pertama selalu benar. "Ajukan permintaanmu di bawahnya, mama memasang CCTV di luar kamar." Mendengar jawaban Arthur membuat Alena cukup terkejut. "Ini gila, lebih gila lagi jika aku harus satu kamar denganmu!" ucap Alena sangat kesal. Alena akan pergi, tetapi kakinya justru tersandung membuat ia terjatuh tepat di pelukan Arthur. Tepat saat itu Meylen datang. "Aduh, mama ganggu waktu kalian ya." Alena segera berdiri tersenyum canggung ke arah mama mertuanya. "Eh, mama." Alena segera menghampirinya. "Mama datang sama siapa?" tanyanya. "Diantar sopir, mama ganggu ya?" katanya. "E-enggak kok, Ma. Tadi Alena--" "Alena ceroboh." Arthur bersuara, ia menyerahkan map berisi berkas penting yang butuh persetujuan mamanya. Mendengar jawaban Arthur membuat Alena mendelik kesal, sedangkan Meylen justru terlihat khawatir. "Ceroboh gimana maksud kamu? Sayang kamu nggak kenapa-napa kan?" "Enggak kok, Ma. Cuma nggak sengaja kesandung aja," ucap Alena meringis. "Kamu yang perhatian dong sama istri kamu, Arthur! Baru juga sehari nikah," marah Meylen. "Oh iya mama lupa bilang, kamu mama kasih cuti dua minggu semua pekerjaan akan di urus sama Raka dan Celine. Nanti malam kalian berdua harus berangkat honeymoon ke Bali." "Apa!" Kompak keduanya bersuara. Baik Arthur maupun Alena sama-sama terkejut, honeymoon? Yang benar saja. Meylen menatap keduanya bingung. "Kenapa kalian berdua?" tanyanya heran. Meylen membawa surat wasiat peninggalan suaminya. Sebenarnya ini yang ingin ia bahas dengan putranya. Ternyata wasiatnya tidak hanya menginginkan Arthur dan Alena menikah. "Arthur, dalam surat wasiat papa kamu. Perusahaan akan beralih atas nama kamu setelah kamu menikah dengan Alena dan kalian memiliki keturunan. Jadi segerakan!" Bola mata Alena melebar sedangkan Arthur dia terlihat tenang karena sudah lama dia tahu perihal itu. Arthur santai karena ia tidak terlalu mengincar harta waris orang tuanya. Arthur punya perusahaan sendiri di luar negeri. "Dengar?" ulang Meylen. "Iya, Ma. Mama do'akan saja yang terbaik, semoga aku dan Alena segera di berikan momongan." Alena meringis mendengar omong kosong yang Arthur bicarakan. Anak? Dia tidak pernah berpikir sampai sana. Ini di luar skenario dan surat kontraknya dengan Arthur. "Maksudmu?" tanya Alena setelah Meylen pergi. Arthur terlihat santai kembali berkutat dengan laptopnya. "Jawab, Arthur!" "Kau bisa hamil anak pria lain."Alena tercengang mendengar ucapan Arthur barusan, apa dia tidak salah dengar? Adakah seorang suami yang menginginkan istrinya hamil anak pria lain? Ada, Arthur contohnya. "Kau gila!" kesal Alena. Dia merasa di rendahkan dengan ucapan Arthur barusan, sedangkan pria itu masih acuh dan fokus dengan laptop di depannya. "Kenapa aku harus hamil anak orang lain sedangkan aku punya suami!" Heran Alena. "Aku tidak mau." Jawaban Arthur membuat Alena melongo, apakah dia benar-benar gila? Kedua mata Alena menyipit menatap sinis ke arah Arthur. "Jangan-jangan kau abnormal?" Alena bergidik ngeri akan pemikiran bodohnya itu, menggelikan sekali jika ia memiliki suami yang kelainan. "Tidak usah hamil, aku tidak butuh warisan itu!" Alena menghembuskan napas panjang, dia tidak habis pikir dengan cara pikir pria yang menjadi suaminya itu. "Bukan masalah kamu mau atau tidak dengan warisan itu, setidaknya hargai keinginan mendiang ayahmu!" ucap Alena. Arthur tersenyum sangat tipis, ia mena
Pulau Bali menjadi pilihan Meylen untuk tempat honeymoon anak dan menantunya. Alena yang pada dasarnya sangat menyukai liburan menikmati saja. Keduanya sepakat untuk pergi dengan refresing masing-masing. Hal yang di bayangan ibu mertua tidak akan pernah terjadi. "Aku ingin main di pantai!" ucap Alena sudah siap dengan pakaiannya. Ia hanya menggunakan dalaman yang ia lapisi outer. Arthur meliriknya sekilas, tanpa berkomentar apapun ia tetap fokus dengan ponselnya. Alena mendengus kesal membawa kameranya untuk turun. Pemandangan dari arah kamar sudah terlihat sangat jelas indahnya pulau ini. "Aku sudah lama sekali tidak pergi ke pantai, ini kesempatan baikku!" ucap Alena dengan senyuman manis di bibirnya. Menerim tawaran ibu mertuanya ternyata tidak seburuk itu. Arthur fokus kerja sedangkan ia akan fokus bermain. Alena menginjakkan kakinya pada pasir putih tangannya mulai menggambar abstrak. Senyuman tipis melengkung di bibirnya, ingat sekali terakhir kali dirinya ke pantai bersama
Alena merentangkan tangannya terbangun dari tidur nyenyaknya semalam. Tubuhnya terasa segar pagi ini, di sebelahnya sudah tidak ada Arthur. Entah kemana perginya pria itu. "Kemana dia pergi? Sepagi ini udah menghilang," guamamnya. Ia segera bangun menguncir rambutnya asal, setelah membereskan tempat tidur Alena segera membersihkan tubuhnya. Balkon menjadi tujuan setelahnya, Alena tersenyum senang, udaranya sangat menyejukkan. "Ah, pagi hari di pantai Bali. Indah sekali!" ucapnya. Matanya menangkap para manusia yang sudah bermain di sekitar pantai, senyumnya kembali terukir di wajah cantiknya. Melihatnya banyaknya para manusia yang berbahagia di sana. Alena menangkap salah satu objek yang tak asing di matanya, dahinya berkerut mencoba memastikan apakah benar dia orangnya. "What? Beneran dia? Pagi-pagi udah main air!" ucap Alena. Melihat Arthur bermain selancar di pantai, dia bertelanjang dada hanya mengenakannya celana pendeknya saja. Alena terpukau, bohong jika ia tid
Seorang wanita cantik dengan balutan gaun pernikahan mewah, berjalan menuju pelaminan. Senyum paksa terukir di wajah cantiknya, menatap banyaknya tamu undangan di hari pernikahan yang sama sekali tidak ia inginkan. Alena Maheswara, seorang model ternama di luar negeri yang terpaksa menerima wasiat dari mendiang orang tuanya untuk menikah dengan seorang pria asing yang sama sekali tidak ia kenal. Di sekian banyaknya orang Alena justru merasa sendiri. Ia tidak bahagia di hari pernikahannya yang bahkan tergelar sangat mewah. Alena menghembuskan napas panjang, saat pria yang telah menjadi suaminya duduk tepat di sampingnya. Akad baru saja selesai dan kini ia telah resmi menjadi seorang istri. Alena menatap datar pria di sampingnya, ia mengulas senyum miring. "Mohon kerja samanya," ucap Alena. Alena tersenyum menyapa tamu undangan yang dia yakini tamu suaminya. Begitupun dengan suaminya. Keduanya terlihat sangat cocok, tampan dan cantik."Drama mulai." "Ya." Alena membuang muka malas,
Sudah menjadi kebiasaannya untuk membuat sarapan sendiri, selama di luar negeri pun Alena selalu memasak sendiri. Ia sangat jarang membeli makanan, Alena sangat menjaga kesehatan tubuhnya. Setelah dari kamar mandi Alena langsung menuju ke arah dapur. "Masak apa ya?" gumam Alena.Baru menapakkan kaki di dapur ia terkejut melihat banyaknya pelayan yang lalu lalang di sana. "Wow," ucapnya takjub. "Selamat pagi nona muda!" Mereka semua kompak menyapa Alena membuat gadis itu sedikit canggung. "Y-ya, selamat pagi juga. Em, ada yang bisa aku bantu?" tanyanya. "Tidak perlu Nona, apakah ada menu makanan yang nona inginkan. Kami akan membuatnya," ucap kepala dapur. Alena menggeleng, ia mengulas senyum tipis mendekat ke arah mereka semua. "Aku sudah terbiasa untuk memasak makananku sendiri. Pagi ini aku akan membantu kalian memasak!" ujarnya. "Tidak perlu, Nona." Kepala dapur terlihat takut, jika nyonya besar sampai tahu mereka yang akan kena marah. "Tidak apa, kalian tidak perlu sungkan