Seorang wanita cantik dengan balutan gaun pernikahan mewah, berjalan menuju pelaminan. Senyum paksa terukir di wajah cantiknya, menatap banyaknya tamu undangan di hari pernikahan yang sama sekali tidak ia inginkan.
Alena Maheswara, seorang model ternama di luar negeri yang terpaksa menerima wasiat dari mendiang orang tuanya untuk menikah dengan seorang pria asing yang sama sekali tidak ia kenal. Di sekian banyaknya orang Alena justru merasa sendiri. Ia tidak bahagia di hari pernikahannya yang bahkan tergelar sangat mewah. Alena menghembuskan napas panjang, saat pria yang telah menjadi suaminya duduk tepat di sampingnya. Akad baru saja selesai dan kini ia telah resmi menjadi seorang istri. Alena menatap datar pria di sampingnya, ia mengulas senyum miring. "Mohon kerja samanya," ucap Alena. Alena tersenyum menyapa tamu undangan yang dia yakini tamu suaminya. Begitupun dengan suaminya. Keduanya terlihat sangat cocok, tampan dan cantik. "Drama mulai." "Ya." Alena membuang muka malas, tangannya melingkar pada lengan suaminya. Dengan senyuman palsu layaknya mereka mempelai pengantin yang bahagia. Keduanya tidak sadar jika menjadi pusat perhatian saat ini. Di pikiran para tamu undangan, keduanya terlihat sangat romantis. Tidak tahu saja apa yang sedang mereka bahas. "Sayang, kamu cantik sekali!" Meylen menghampiri anak dan menantunya ia memeluk tubuh Alena erat. "Makasih, Tante." Alena tersenyum tipis, meski terpaksa dengan pernikahan ini setidaknya ia memiliki mertua yang baik. "Arthur, jaga Alena baik-baik. Kamu harus ingat wasiat papa kamu! Awas saja kalau sampai kamu melukai menantu mama!" Peringat Meylen pada putranya. Alena melirik ke arah suaminya yang hanya membalas singkat. Alena tersenyum paksa, rasanya canggung sekali. Benarkah ia telah resmi menjadi istri seseorang. "Semuanya akan baik-baik saja, tante nggak perlu khawatir!" ucap Alena. Meylen tersenyum bahagia mengusap lengan Alena pelan. "Panggil mama dong sayang masa tante sih, Arthur wajah kamu juga jangan datar datar terus!" pelotot Meylen. "Hm." Arthur berdehem kembali, setelah mamanya turun bergantian dengan para tamu undangan yang lain. Dia lebih kaku dari yang aku kira, batin Alena. Acara membosankan yang Alena harapkan akan segera berlalu. Alena memilih masuk lebih dulu, ia sudah mulai merasa letih. Entah bagaimana selanjutnya, bagaimana ia bisa menjalani hari-harinya dengan orang yang sama sekali tidak ia kenal. Alena duduk di meja rias menatap pantulan dirinya yang masih dengan balutan gaun pengantin. Ia tersenyum, tetapi tanpa sadar air matanya mengalir. "Ma, Pa, apa kalian bahagia? Alena sudah menjalankan apa yang kalian mau. Alena harap kalian bahagia." Alena menghapus air matanya saat mendengar pintu kamar terbuka. Tanpa menatap ke arah suaminya ia bangkit dari meja rias mengeluarkan berkas yang sudah ia siapkan. "Kita sama-sama terpaksa dalam pernikahan ini, jadi aku mohon kerja samamu. Bacalah! Jika setuju langsung tanda tangan, ajukan persyaratmu yang lain." Keduanya sama-sama duduk di sofa menatap datar satu sama lain. Melihat tak ada pergerakan dari pria itu membuat Alena jengkel. "Kenapa hanya diam saja? Kamu tidak mendengarkanku!" kesal Alena. Ia melipat kedua tangannya di dada, mengatur napasnya yang memburu kesal. Alena kembali melirik ke arah suaminya yang kini justru tengah fokus dengan ponselnya. "Astaga!" Alena memejamkan matanya sejenak mengepalkan kedua tangannya. Ia bangkit berkacak pinggang menatap ke arah suaminya yang kepalang menyebalkan. "Tuan Arthur yang terhormat. Anda mendengarkan saya?" tanya Alena sembari menunjuk dirinya sendiri. Arthur mengangguk, belum sempat ia bersuara terdengar suara ketukan pintu. Arthur segera bangkit membukanya dan menerima berkas dari seorang pria yang tidak Alena kenal. Arthur memberikan berkas itu kepada Alena membuat gadis itu melongo. "Baca dan pahami!" ucapnya. Alena langsung mengambilnya, dia sedang malas debat. Alena membaca satu persatu syarat dalam kontrak pernikahan yang Arthur buat. Isinya tak jauh berbeda dengan dirinya semuanya cukup masuk akal dan tidak akan merugikan dirinya. "Baik, aku setuju." Alena segera menandatangani berkas itu dan memberikannya kepada Arthur. "Kamu akan menerima salinannya besok." Setelah mengucapkan itu dia keluar dari kamar mereka. Alena menghembuskan napas lega, menatap datar pintu kamar yang baru saja tertutup. "Melihatnya seperti aku melihat diriku dalam versi pria. Hanya saja dia jauh lebih menyebalkan!" kesal Alena. Ia segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Alena keluar dari kamar mandi dan belum melihat tanda-tanda suaminya kembali. Entah kemana perginya pria itu di malam pengantin mereka. "Pernikahan yang menyedihkan," gumam Alena. Ia membaringkan tubuhnya di ranjang mengambil ponsel yang sejak tadi ia lihat. Melihat banyaknya pesan dari sekertarisnya membuat Alena merasa pusing. Dia merasa tidak ada hari tenang untuknya. Agatha: Nona, selamat untuk pernikahan Anda Besok ada pemotretan di perusahaan X Saya akan menjemput Anda jam 8 tepat Ada tiga perushaan besar yang ingin bekerja sama dengan Anda Besok saya akan menunjukkan kontraknya Selamat malam Alena memijat pelipisnya merasa sedikit pusing, belum lagi ia mengurus media. Pernikahannya dengan Arthur tentu saja bocor, pasti akan ada penekanan dari agensi. Entah drama apa yang akan ia lalui setelah ini. Alena melihat spam pesan dari nomor anonim, ia menghembuskan napas panjang. Meski tahu siapa pengirimnya Alena tetap membiarkannya. Ia ingin lihat seberapa jauh sampah itu akan menganggu hidupnya. 08256-- Baby, kamu menikah? Kamu sungguh tidak bisa memaafkan kesalahanku? Apa yang harus aku lakukan agar kita bisa kembali bersama? Maaf, sungguh aku menyesal. Alena mengepalkan tangannya, muak dengan semua ucapan itu. Wajahnya terlihat semakin datar, tak lama ia mengulas senyum smirk. "Sampah itu terlihat semakin menjijikkan!" **** Silau sinar matahari membangunkan Alena dari tidur nyenyaknya. Bibirnya mengulas senyum tipis, perlahan kedua matanya terbuka siap melihat indahnya pemandangan di pagi hari. Tapi! Kali ini berbeda, objek pertama yang ia lihat adalah sosok pria tampan yang tengah terlelap di sampingnya. Sedetik setelah sadar kedua mata Alena membulat. Ia langsung bangkit dan memeriksa keamanan tubuhnya. "Bangun! Kenapa kamu tidur di sini." Alena berucap kesal. Melihat suaminya yang hanya diam saja semakin membuat Alena kesal. Ia bukan gadis yang cerewet tapi sejak kemarin rasanya Alena butuh bicara sedetail mungkin jika berhadapan dengan suaminya. "Saya tidak sudi tidur di sofa." Tanpa menatap ke arah Alena, Arthur langsung masuk ke dalam kamar mandi. Alena mengepalkan tangannya kuat, ingin rasanya memukul kepala pria itu. "Dia benar-benar menyebalkan!" Pernikahan yang baru berjalan satu hari rasanya sudah ingin Alena akhiri saja. Ternyata hidup dengan orang yang memiliki karakter sama dengan dirinya cukup menyulitkan. Alena tidak terbiasa dengan dirinya yang ia rasa mulai sedikit berubah. "Hanya satu tahun, aku pasti bisa menghadapinya!"Sudah menjadi kebiasaannya untuk membuat sarapan sendiri, selama di luar negeri pun Alena selalu memasak sendiri. Ia sangat jarang membeli makanan, Alena sangat menjaga kesehatan tubuhnya. Setelah dari kamar mandi Alena langsung menuju ke arah dapur. "Masak apa ya?" gumam Alena.Baru menapakkan kaki di dapur ia terkejut melihat banyaknya pelayan yang lalu lalang di sana. "Wow," ucapnya takjub. "Selamat pagi nona muda!" Mereka semua kompak menyapa Alena membuat gadis itu sedikit canggung. "Y-ya, selamat pagi juga. Em, ada yang bisa aku bantu?" tanyanya. "Tidak perlu Nona, apakah ada menu makanan yang nona inginkan. Kami akan membuatnya," ucap kepala dapur. Alena menggeleng, ia mengulas senyum tipis mendekat ke arah mereka semua. "Aku sudah terbiasa untuk memasak makananku sendiri. Pagi ini aku akan membantu kalian memasak!" ujarnya. "Tidak perlu, Nona." Kepala dapur terlihat takut, jika nyonya besar sampai tahu mereka yang akan kena marah. "Tidak apa, kalian tidak perlu sungkan
Alena menatap bagunan besar yang akan menjadi tempat tinggalnya bersama Arthur. Rumah dengan nuansa Eropa, sangat cocok dengan stylenya. Tak jauh berbeda dengan model rumahnya di luar negeri.Baru masuk semua pelayan sudah datang menyambut, menurutnya Arthur terlalu berlebihan. Sialnya ia langsung meninggalkan Alena begitu saja. "Bi, tolong letakkan barang-barang Alena di lantai tiga!" titah Arthur. Kepala dapur mengangguk, segera mengambil alih barang-barang nona mudanya. Alena mengekori di belakang Arthur melihat betapa megahnya rumah suaminya. "Bi, di depan kamar saya!" ucap Arthur membuat kepala dapur merasa binggung. Alena yang menyadari itu, ia lantas menahan tangan Arthur. "Bi, letakkan di kamar saja nanti Alena yang akan mengurusnya.""Baik, Nyonya."Alena meringgis mendapat panggilan seperti itu, apa dia terlihat sudah sangat tua. Sepertinya ia harus kembali diet setelah dua hari acara makannya cukup banyak mengandung lemak. "Orang lain tidak perlu tahu apa yang terjadi
Alena tercengang mendengar ucapan Arthur barusan, apa dia tidak salah dengar? Adakah seorang suami yang menginginkan istrinya hamil anak pria lain? Ada, Arthur contohnya. "Kau gila!" kesal Alena. Dia merasa di rendahkan dengan ucapan Arthur barusan, sedangkan pria itu masih acuh dan fokus dengan laptop di depannya. "Kenapa aku harus hamil anak orang lain sedangkan aku punya suami!" Heran Alena. "Aku tidak mau." Jawaban Arthur membuat Alena melongo, apakah dia benar-benar gila? Kedua mata Alena menyipit menatap sinis ke arah Arthur. "Jangan-jangan kau abnormal?" Alena bergidik ngeri akan pemikiran bodohnya itu, menggelikan sekali jika ia memiliki suami yang kelainan. "Tidak usah hamil, aku tidak butuh warisan itu!" Alena menghembuskan napas panjang, dia tidak habis pikir dengan cara pikir pria yang menjadi suaminya itu. "Bukan masalah kamu mau atau tidak dengan warisan itu, setidaknya hargai keinginan mendiang ayahmu!" ucap Alena. Arthur tersenyum sangat tipis, ia mena
Pulau Bali menjadi pilihan Meylen untuk tempat honeymoon anak dan menantunya. Alena yang pada dasarnya sangat menyukai liburan menikmati saja. Keduanya sepakat untuk pergi dengan refresing masing-masing. Hal yang di bayangan ibu mertua tidak akan pernah terjadi. "Aku ingin main di pantai!" ucap Alena sudah siap dengan pakaiannya. Ia hanya menggunakan dalaman yang ia lapisi outer. Arthur meliriknya sekilas, tanpa berkomentar apapun ia tetap fokus dengan ponselnya. Alena mendengus kesal membawa kameranya untuk turun. Pemandangan dari arah kamar sudah terlihat sangat jelas indahnya pulau ini. "Aku sudah lama sekali tidak pergi ke pantai, ini kesempatan baikku!" ucap Alena dengan senyuman manis di bibirnya. Menerim tawaran ibu mertuanya ternyata tidak seburuk itu. Arthur fokus kerja sedangkan ia akan fokus bermain. Alena menginjakkan kakinya pada pasir putih tangannya mulai menggambar abstrak. Senyuman tipis melengkung di bibirnya, ingat sekali terakhir kali dirinya ke pantai bersama
Alena merentangkan tangannya terbangun dari tidur nyenyaknya semalam. Tubuhnya terasa segar pagi ini, di sebelahnya sudah tidak ada Arthur. Entah kemana perginya pria itu. "Kemana dia pergi? Sepagi ini udah menghilang," guamamnya. Ia segera bangun menguncir rambutnya asal, setelah membereskan tempat tidur Alena segera membersihkan tubuhnya. Balkon menjadi tujuan setelahnya, Alena tersenyum senang, udaranya sangat menyejukkan. "Ah, pagi hari di pantai Bali. Indah sekali!" ucapnya. Matanya menangkap para manusia yang sudah bermain di sekitar pantai, senyumnya kembali terukir di wajah cantiknya. Melihatnya banyaknya para manusia yang berbahagia di sana. Alena menangkap salah satu objek yang tak asing di matanya, dahinya berkerut mencoba memastikan apakah benar dia orangnya. "What? Beneran dia? Pagi-pagi udah main air!" ucap Alena. Melihat Arthur bermain selancar di pantai, dia bertelanjang dada hanya mengenakannya celana pendeknya saja. Alena terpukau, bohong jika ia tid