Seorang wanita cantik dengan balutan gaun pernikahan mewah, berjalan menuju pelaminan. Senyum paksa terukir di wajah cantiknya, menatap banyaknya tamu undangan di hari pernikahan yang sama sekali tidak ia inginkan.
Alena Maheswara, seorang model ternama di luar negeri yang terpaksa menerima wasiat dari mendiang orang tuanya untuk menikah dengan seorang pria asing yang sama sekali tidak ia kenal. Di sekian banyaknya orang Alena justru merasa sendiri. Ia tidak bahagia di hari pernikahannya yang bahkan tergelar sangat mewah. Alena menghembuskan napas panjang, saat pria yang telah menjadi suaminya duduk tepat di sampingnya. Akad baru saja selesai dan kini ia telah resmi menjadi seorang istri. Alena menatap datar pria di sampingnya, ia mengulas senyum miring. "Mohon kerja samanya," ucap Alena. Alena tersenyum menyapa tamu undangan yang dia yakini tamu suaminya. Begitupun dengan suaminya. Keduanya terlihat sangat cocok, tampan dan cantik. "Drama mulai." "Ya." Alena membuang muka malas, tangannya melingkar pada lengan suaminya. Dengan senyuman palsu layaknya mereka mempelai pengantin yang bahagia. Keduanya tidak sadar jika menjadi pusat perhatian saat ini. Di pikiran para tamu undangan, keduanya terlihat sangat romantis. Tidak tahu saja apa yang sedang mereka bahas. "Sayang, kamu cantik sekali!" Meylen menghampiri anak dan menantunya ia memeluk tubuh Alena erat. "Makasih, Tante." Alena tersenyum tipis, meski terpaksa dengan pernikahan ini setidaknya ia memiliki mertua yang baik. "Arthur, jaga Alena baik-baik. Kamu harus ingat wasiat papa kamu! Awas saja kalau sampai kamu melukai menantu mama!" Peringat Meylen pada putranya. Alena melirik ke arah suaminya yang hanya membalas singkat. Alena tersenyum paksa, rasanya canggung sekali. Benarkah ia telah resmi menjadi istri seseorang. "Semuanya akan baik-baik saja, tante nggak perlu khawatir!" ucap Alena. Meylen tersenyum bahagia mengusap lengan Alena pelan. "Panggil mama dong sayang masa tante sih, Arthur wajah kamu juga jangan datar datar terus!" pelotot Meylen. "Hm." Arthur berdehem kembali, setelah mamanya turun bergantian dengan para tamu undangan yang lain. Dia lebih kaku dari yang aku kira, batin Alena. Acara membosankan yang Alena harapkan akan segera berlalu. Alena memilih masuk lebih dulu, ia sudah mulai merasa letih. Entah bagaimana selanjutnya, bagaimana ia bisa menjalani hari-harinya dengan orang yang sama sekali tidak ia kenal. Alena duduk di meja rias menatap pantulan dirinya yang masih dengan balutan gaun pengantin. Ia tersenyum, tetapi tanpa sadar air matanya mengalir. "Ma, Pa, apa kalian bahagia? Alena sudah menjalankan apa yang kalian mau. Alena harap kalian bahagia." Alena menghapus air matanya saat mendengar pintu kamar terbuka. Tanpa menatap ke arah suaminya ia bangkit dari meja rias mengeluarkan berkas yang sudah ia siapkan. "Kita sama-sama terpaksa dalam pernikahan ini, jadi aku mohon kerja samamu. Bacalah! Jika setuju langsung tanda tangan, ajukan persyaratmu yang lain." Keduanya sama-sama duduk di sofa menatap datar satu sama lain. Melihat tak ada pergerakan dari pria itu membuat Alena jengkel. "Kenapa hanya diam saja? Kamu tidak mendengarkanku!" kesal Alena. Ia melipat kedua tangannya di dada, mengatur napasnya yang memburu kesal. Alena kembali melirik ke arah suaminya yang kini justru tengah fokus dengan ponselnya. "Astaga!" Alena memejamkan matanya sejenak mengepalkan kedua tangannya. Ia bangkit berkacak pinggang menatap ke arah suaminya yang kepalang menyebalkan. "Tuan Arthur yang terhormat. Anda mendengarkan saya?" tanya Alena sembari menunjuk dirinya sendiri. Arthur mengangguk, belum sempat ia bersuara terdengar suara ketukan pintu. Arthur segera bangkit membukanya dan menerima berkas dari seorang pria yang tidak Alena kenal. Arthur memberikan berkas itu kepada Alena membuat gadis itu melongo. "Baca dan pahami!" ucapnya. Alena langsung mengambilnya, dia sedang malas debat. Alena membaca satu persatu syarat dalam kontrak pernikahan yang Arthur buat. Isinya tak jauh berbeda dengan dirinya semuanya cukup masuk akal dan tidak akan merugikan dirinya. "Baik, aku setuju." Alena segera menandatangani berkas itu dan memberikannya kepada Arthur. "Kamu akan menerima salinannya besok." Setelah mengucapkan itu dia keluar dari kamar mereka. Alena menghembuskan napas lega, menatap datar pintu kamar yang baru saja tertutup. "Melihatnya seperti aku melihat diriku dalam versi pria. Hanya saja dia jauh lebih menyebalkan!" kesal Alena. Ia segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Alena keluar dari kamar mandi dan belum melihat tanda-tanda suaminya kembali. Entah kemana perginya pria itu di malam pengantin mereka. "Pernikahan yang menyedihkan," gumam Alena. Ia membaringkan tubuhnya di ranjang mengambil ponsel yang sejak tadi ia lihat. Melihat banyaknya pesan dari sekertarisnya membuat Alena merasa pusing. Dia merasa tidak ada hari tenang untuknya. Agatha: Nona, selamat untuk pernikahan Anda Besok ada pemotretan di perusahaan X Saya akan menjemput Anda jam 8 tepat Ada tiga perushaan besar yang ingin bekerja sama dengan Anda Besok saya akan menunjukkan kontraknya Selamat malam Alena memijat pelipisnya merasa sedikit pusing, belum lagi ia mengurus media. Pernikahannya dengan Arthur tentu saja bocor, pasti akan ada penekanan dari agensi. Entah drama apa yang akan ia lalui setelah ini. Alena melihat spam pesan dari nomor anonim, ia menghembuskan napas panjang. Meski tahu siapa pengirimnya Alena tetap membiarkannya. Ia ingin lihat seberapa jauh sampah itu akan menganggu hidupnya. 08256-- Baby, kamu menikah? Kamu sungguh tidak bisa memaafkan kesalahanku? Apa yang harus aku lakukan agar kita bisa kembali bersama? Maaf, sungguh aku menyesal. Alena mengepalkan tangannya, muak dengan semua ucapan itu. Wajahnya terlihat semakin datar, tak lama ia mengulas senyum smirk. "Sampah itu terlihat semakin menjijikkan!" **** Silau sinar matahari membangunkan Alena dari tidur nyenyaknya. Bibirnya mengulas senyum tipis, perlahan kedua matanya terbuka siap melihat indahnya pemandangan di pagi hari. Tapi! Kali ini berbeda, objek pertama yang ia lihat adalah sosok pria tampan yang tengah terlelap di sampingnya. Sedetik setelah sadar kedua mata Alena membulat. Ia langsung bangkit dan memeriksa keamanan tubuhnya. "Bangun! Kenapa kamu tidur di sini." Alena berucap kesal. Melihat suaminya yang hanya diam saja semakin membuat Alena kesal. Ia bukan gadis yang cerewet tapi sejak kemarin rasanya Alena butuh bicara sedetail mungkin jika berhadapan dengan suaminya. "Saya tidak sudi tidur di sofa." Tanpa menatap ke arah Alena, Arthur langsung masuk ke dalam kamar mandi. Alena mengepalkan tangannya kuat, ingin rasanya memukul kepala pria itu. "Dia benar-benar menyebalkan!" Pernikahan yang baru berjalan satu hari rasanya sudah ingin Alena akhiri saja. Ternyata hidup dengan orang yang memiliki karakter sama dengan dirinya cukup menyulitkan. Alena tidak terbiasa dengan dirinya yang ia rasa mulai sedikit berubah. "Hanya satu tahun, aku pasti bisa menghadapinya!"Sudah menjadi kebiasaannya untuk membuat sarapan sendiri, selama di luar negeri pun Alena selalu memasak sendiri. Ia sangat jarang membeli makanan, Alena sangat menjaga kesehatan tubuhnya. Setelah dari kamar mandi Alena langsung menuju ke arah dapur. "Masak apa ya?" gumam Alena.Baru menapakkan kaki di dapur ia terkejut melihat banyaknya pelayan yang lalu lalang di sana. "Wow," ucapnya takjub. "Selamat pagi nona muda!" Mereka semua kompak menyapa Alena membuat gadis itu sedikit canggung. "Y-ya, selamat pagi juga. Em, ada yang bisa aku bantu?" tanyanya. "Tidak perlu Nona, apakah ada menu makanan yang nona inginkan. Kami akan membuatnya," ucap kepala dapur. Alena menggeleng, ia mengulas senyum tipis mendekat ke arah mereka semua. "Aku sudah terbiasa untuk memasak makananku sendiri. Pagi ini aku akan membantu kalian memasak!" ujarnya. "Tidak perlu, Nona." Kepala dapur terlihat takut, jika nyonya besar sampai tahu mereka yang akan kena marah. "Tidak apa, kalian tidak perlu sungkan
Alena menatap bagunan besar yang akan menjadi tempat tinggalnya bersama Arthur. Rumah dengan nuansa Eropa, sangat cocok dengan stylenya. Tak jauh berbeda dengan model rumahnya di luar negeri.Baru masuk semua pelayan sudah datang menyambut, menurutnya Arthur terlalu berlebihan. Sialnya ia langsung meninggalkan Alena begitu saja. "Bi, tolong letakkan barang-barang Alena di lantai tiga!" titah Arthur. Kepala dapur mengangguk, segera mengambil alih barang-barang nona mudanya. Alena mengekori di belakang Arthur melihat betapa megahnya rumah suaminya. "Bi, di depan kamar saya!" ucap Arthur membuat kepala dapur merasa binggung. Alena yang menyadari itu, ia lantas menahan tangan Arthur. "Bi, letakkan di kamar saja nanti Alena yang akan mengurusnya.""Baik, Nyonya."Alena meringgis mendapat panggilan seperti itu, apa dia terlihat sudah sangat tua. Sepertinya ia harus kembali diet setelah dua hari acara makannya cukup banyak mengandung lemak. "Orang lain tidak perlu tahu apa yang terjadi
Alena tercengang mendengar ucapan Arthur barusan, apa dia tidak salah dengar? Adakah seorang suami yang menginginkan istrinya hamil anak pria lain? Ada, Arthur contohnya. "Kau gila!" kesal Alena. Dia merasa di rendahkan dengan ucapan Arthur barusan, sedangkan pria itu masih acuh dan fokus dengan laptop di depannya. "Kenapa aku harus hamil anak orang lain sedangkan aku punya suami!" Heran Alena. "Aku tidak mau." Jawaban Arthur membuat Alena melongo, apakah dia benar-benar gila? Kedua mata Alena menyipit menatap sinis ke arah Arthur. "Jangan-jangan kau abnormal?" Alena bergidik ngeri akan pemikiran bodohnya itu, menggelikan sekali jika ia memiliki suami yang kelainan. "Tidak usah hamil, aku tidak butuh warisan itu!" Alena menghembuskan napas panjang, dia tidak habis pikir dengan cara pikir pria yang menjadi suaminya itu. "Bukan masalah kamu mau atau tidak dengan warisan itu, setidaknya hargai keinginan mendiang ayahmu!" ucap Alena. Arthur tersenyum sangat tipis, ia mena
Pulau Bali menjadi pilihan Meylen untuk tempat honeymoon anak dan menantunya. Alena yang pada dasarnya sangat menyukai liburan menikmati saja. Keduanya sepakat untuk pergi dengan refresing masing-masing. Hal yang di bayangan ibu mertua tidak akan pernah terjadi. "Aku ingin main di pantai!" ucap Alena sudah siap dengan pakaiannya. Ia hanya menggunakan dalaman yang ia lapisi outer. Arthur meliriknya sekilas, tanpa berkomentar apapun ia tetap fokus dengan ponselnya. Alena mendengus kesal membawa kameranya untuk turun. Pemandangan dari arah kamar sudah terlihat sangat jelas indahnya pulau ini. "Aku sudah lama sekali tidak pergi ke pantai, ini kesempatan baikku!" ucap Alena dengan senyuman manis di bibirnya. Menerim tawaran ibu mertuanya ternyata tidak seburuk itu. Arthur fokus kerja sedangkan ia akan fokus bermain. Alena menginjakkan kakinya pada pasir putih tangannya mulai menggambar abstrak. Senyuman tipis melengkung di bibirnya, ingat sekali terakhir kali dirinya ke pantai bersama
Alena merentangkan tangannya terbangun dari tidur nyenyaknya semalam. Tubuhnya terasa segar pagi ini, di sebelahnya sudah tidak ada Arthur. Entah kemana perginya pria itu. "Kemana dia pergi? Sepagi ini udah menghilang," guamamnya. Ia segera bangun menguncir rambutnya asal, setelah membereskan tempat tidur Alena segera membersihkan tubuhnya. Balkon menjadi tujuan setelahnya, Alena tersenyum senang, udaranya sangat menyejukkan. "Ah, pagi hari di pantai Bali. Indah sekali!" ucapnya. Matanya menangkap para manusia yang sudah bermain di sekitar pantai, senyumnya kembali terukir di wajah cantiknya. Melihatnya banyaknya para manusia yang berbahagia di sana. Alena menangkap salah satu objek yang tak asing di matanya, dahinya berkerut mencoba memastikan apakah benar dia orangnya. "What? Beneran dia? Pagi-pagi udah main air!" ucap Alena. Melihat Arthur bermain selancar di pantai, dia bertelanjang dada hanya mengenakannya celana pendeknya saja. Alena terpukau, bohong jika ia tid
Alena tersenyum tipis menatap hadiah pemberian ibu mertuanya. Dia tidak tahu, tiba-tiba saja sudah ada di dalam kopernya. Alena baru menyadari semenjak menikah dengan Arthur ia kembali merasakan kehadiran sosok ibu dalam hidupnya. Alena sangat excited segera membuka kado itu, mulutnya ternganga saat melihat apa isi di dalamnya. Tiga buah lingerie dengan warna yang sangat mencolok. Bajunya memang terbuka tapi ini sangat terbuka, memakainya sama saja dirinya tidak pakai baju. "Mama yang benar saja!" ucap Alena melempar baju itu ke ranjang, wajahnya memerah karena malu. Tepat sekali pintu kamar terbuka dan Arthur masuk, ia sempat melihat pakaian yang tergeletak di ranjang. Tatapannya horor menatap ke arah Alena, setelah sadar gadis itu menggoyangkan tangannya dengan cepat. "Jangan salah paham! Mama yang ngasih, aku nggak tahu juga. Lagian aku tidak akan memakainya!" ucap Alena, segera memunguti pakaian itu dan kembali memasukkannya. Arthur tidak menggubris ia menyandarkan diri ke ra
Arthur menepis tangan Alena kasar saat menyadari siapa yang menyusup masuk ke kamar mandinya. Rahangnya mengeras, ia terlihat sangat kesal. Alena menatapnya lekat, tidak percaya jika ia akan mendapat perlakuan kasar dari suaminya. "Semakin lama kamu semakin tidak tahu diri!" sentak Arthur, ia mengambil jubah handuknya dan segera pergi. Melihat respon Arthur yang berlebihan membuat Alena mendengus kesal. Ia sudah membuang jauh-jauh gengsinya, tetapi pria itu justru mempermalukan dirinya. Benarkah Arthur tak berminat dengannya sama sekali. Alena mengabaikan kemarahan Arthur, ia memilih berendam. Air hangat yang belum Arthur pakai, aroma sabun yang sangat wangi khas wangi suaminya. Alena memejamkan matanya, tubuhnya terasa lebih baik saat ia gunakan berendam. Ia menatap lengannya yang memerah karena Arthur sempat mencengkeramnya tadi. "Dia mengerikan juga saat marah, semakin hari aku semakin di buat penasaran dengannya." Alena tersenyum miring, dia tidak akan menyerah meski Arthur s
Alena dan Arthur baru saja sampai di Indonesia, keduanya sudah di jemput sopir. 30 menit perjalanan mereka sampai di rumah, sikap Arthur terlihat semakin dingin. Selama perjalanan pun tidak ada percakapan di antara mereka berdua. Arthur dan Alena turun, koper mereka bibi yang bawa, baru sampai Arthur sudah langsung pergi kembali. Alena menahan tangan suaminya yang akan pergi. Namun, dengan cepat Arthur menepis tantangannya."Aku hanya ingin bilang, aku akan pergi dengan temanku mungkin akan pulang agak sorean," ucap Alena meski Arthur tidak perduli. Benar saja Arthur tidak menjawab apa-apa dan langsung masuk ke dalam mobilnya. Alena berdecak kesal, jika tidak ingat rencananya ia pasti sudah memaki-maki pria kaku itu. "Sabar, buah dari kesabaran itu indah!" ucap Alena pada dirinya sendiri. Ia segera masuk ke dalam rumah membersihkan diri sebelum pergi menemui temannya. Alena memang sudah ada janji dengan Anita jika mereka akan belanja bersama. "Alena!" Terlihat seorang gadis melam
"Ikut!" rengek Alena saat Arthur akan pergi, saat ini keduanya sudah berada di rumah orang tua Arthur. Arthur dengan tegas menggeleng. "Saya sudah bilang di sana laki-laki semua. Masuklah!" ucapnya datar. Bibir Alena melengkung ke bawah, mengambil tangan Arthur lalu mengecup punggung tangannya. "Hati-hati di jalan, kalau sudah sampai jangan lupa kabarin!" Arthur terkesiap, melihat perlakuan Alena membuat ia seketika membeku. Arthur menatap kedua mata bulat itu berkaca-kaca entah kenapa membuat ia gemas. "Masuklah!" Alena menggeleng. "Pergilah, aku akan masuk setelah kamu pergi." Arthur mengangguk, tangannya sempat mengusak rambut Alena pelan. Sebelum ia berjalan masuk ke dalam mobil. Alena mengigit bibir bawahnya gemas, kepalanya yang diusak hatinya yang berantakan. Alena melambai saat mobil suaminya mulai meninggalkan rumah. "Malam ini aku tidur sendirian," gumamnya masuk ke dalam rumah. Meylen sedang membuat kue saat ini, ia senang saat tahu menantunya akan men
"Nanti malam saya ada dinas ke luar kota, kamu di rumah sendiri atau mau ke rumah mama?" tanya Arthur membuka obrolan saat mereka makan siang. Ya, keduanya jadi makan siang di luar tentu dengan banyak drama dari Alena. Bibir gadis itu mengerucut, kesal karena Arthur baru memberitahunya sekarang sedang nanti malam dia sudah berangkat. "Aku ikut!" ucap Alena. Alis Arthur terangkat menatap gadis dengan wajah tertekuk kesal itu, padahal dia hanya bilang jika ia akan dinas bukan mengajak Alena untuk ikut. "Tidak usah, saya hanya satu hari di sana. Lagian kerjaan kamu bagaimana," ucap Arthur. Semakin maju bibir gadis itu, menatap wajah suaminya lekat. "Sama siapa aja?" "Celi--""Aku ikut! Pokoknya kalau cewek gatel itu ikut aku juga ikut." Alena semakin kesal saat mengetahui wanita tidak tahu malu itu turut serta dalam perjalanan dinas nanti malam. Arthur menghembuskan napas panjang menatap Alena dengan pandangan heran. Semakin hari tingkah gadis itu semakin membuatnya pening. "Tida
Alena tersenyum geli melihat Arthur yang diam sembari makan makanannya. Ingat sekali bagaimana Arthur langsung mematikan rapat karena godaannya. Lucu! "Kamu masih marah perkara tadi? Wajarlah orang kita suami istri," ucap Alena dengan santai. Arthur menyorotnya dengan tatapan tajam sedang Alena pura-pura tak melihatnya. Semakin hari semakin ia mengenal bagaimana sosok pria dingin yang merupakan suaminya itu. Semakin Alena tahu jika sebenarnya Arthur orangnya cukup hangat. "Kamu mulai bisa menerimaku?" tanya Alena, ekspresi wajahnya sangat ceria. "Jangan berharap apapun padaku, Alena!" Setelahnya Arthur meninggalkan ruang makan. Alena menghembuskan napas panjang. Lagi! Dia belum berhasil, belum sepenuhnya bisa mencairkan sosok itu. Prosesnya masih kurang panjang, tidak semudah itu membuat seorang Arthur mencair. Napsu makannya seketika hilang, Alena membereskan makanan di dapur. Tidak langsung masuk ke kamar, ia justru duduk di ruang tamu menselonjorkan kakinya di sana. Bermain p
Alena selesai dengan pemotretannya hari ini tinggal menunggu kedatangan Arthur saja. Tepat sekali tak lama pintu ruangan suaminya terbuka, senyum di bibirnya mengembang. "Hai, Pak suami!" sapa Alena genit. Arthur menatapnya datar, tatapannya jatuh pada Gerald yang tak melepas pandang dari sang istri. "Ayo pulang!" ucap Arthur singkat. Alena mengangguk segera pergi dengan suaminya, ia bahkan sudah menempel pada tubuh Arthur melingkarkan tangannya pada lengan kekar suaminya. Untungnya Arthur tidak menepis tangannya seperti sebelumnya. "Hari ini sangat lelah, bagaimana denganmu? How was your day, Honey?" Pertanyaan itu meluncur dari bibir Alena. Tangannya masih melingkar di lengan Arthur. "I'm good. Lepaskan tanganmu!" Perkembangan, Arthur bisa di ajak berbincang! Alena tersenyum tipis, ia menyadarkan kepalanya di dasbor. Tangannya menyentuh kalung kecil di lehernya. Alena bahagia seakan pemberi kalung itu adalah orang tuanya. Arthur sempat meliriknya ia tahu itu adal
"Happy birthday, Cantik." Alena tersentak saat kado kecil ia dapatkan dari Gerald. Alena tidak menyangka jika pria itu mengingat hari ulang tahunnya. "Astaga, Gerald. Kamu ingat hari ulang tahunku?" kekeh Alena. Ia dengan senang hati menerima kado pemberian Gerald. Meski ia sangat berharap jika sang suami yang akan memberikan ia hadiah. "Tentu saja, aku selalu mengingat setiap hal kecil tentangmu, Alena. Kamu saja yang tidak menyadarinya!" kekeh Gerald, ia mengambil duduk di sebelah Alena. Mereka baru saja menyelesaikan sesi pemotretan dan akan di mulai lagi satu jam ke depan. Keduanya tengah beristirahat, Gerald menatap hadiah kecil yang ia berikan kepada Alena. "Bukalah, lihat apakah kamu menyukainya?" Alena mengangguk, saat ia membuka kotak kecil itu. Alena melihat sebuah kalung indah dengan bandul kupu-kupu kecil. Sederhana, tetapi terlihat sangat cantik. Kedua matanya berbinar, Alena senang dengan hadiah yang ia terima.
Alena tersentak melihat Arthur yang tiba-tiba pulang, ia mengusap air matanya dengan cepat. Melihat kue kecil yang berada di tangannya. Apakah doanya langsung terkabul? Ingin merayakan ulang tahun dengan Arthur. "Kenapa belum tidur?" Arthur mendekat ke arahnya dengan kerutan di dahinya. "Aku ulang tahun," ucap Alena. Ia menatap kue ulang tahunnya, memotongkan satu suap untuk Arthur. "Makanlah." Alena menyuapkan sesuap untuk Arthur. Tapi pria itu tetap diam, tidak membuka mulutnya menatap Alena lekat. "Ayolah, sedikit saja. Anggap saja kamu ikut merayakan ulang tahunku," ucap Alena tersenyum. Arthur membuka mulutnya menerima suapan kue ulang tahun dari Alena. Entahlah, tiba-tiba saja dia mau membuka mulutnya. Hal itu membuat Alena tersenyum bahagia. "Terimakasih," ucap Alena. Ia kembali memakan kue ulang tahunnya, tidak ada pergerakan lagi dari Arthur. Tak lama ia mengambil duduk di sebelah Alena. Menatap gadis itu yang asyik memakan kue ulang tahunnya. "Jangan makan terlalu ba
Malam harinya setelah pulang dari kantor, setelah membersihkan diri. Alena bukan beristirahat justru sibuk di dapur. Ia kembali ingin memasak sesuatu untuk makan malam Arthur. Meski bekal yang ia bawa tadi entah di makan atau tidak oleh suaminya. "Nona, ada yang bisa saya bantu?" tanya Bibi yang melihat Alena ke dapur. Alena tersenyum menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak perlu, Bi. Aku sedang ingin membuatkan malam malam untuk, Tuan." Bibi tersenyum mendengarnya. "Saya bantu potong sayurnya, Nona." Alena mengangguk dengan senang hati. "Tuan Arthur sangat beruntung memiliki istri seperti Anda. Tuan Arthur sangat suka ayam tepung, dari kecil sampai sekarang kalau ada satu menu itu dia pasti akan makan sangat lahap." Bibi tiba-tiba bercerita. "Benarkah, Bi?" tanya Alena antusias, dia jadi ingin mendengar lebih banyak karena yang ia tahu Bibi sudah mengabdi di keluarga Arthur sejak ia masih kecil. Bibi mengangguk. "Sama sayur sop, kebetulan sekali Nona sedang memasaknya s
Alena dan Arthur baru saja sampai di Indonesia, keduanya sudah di jemput sopir. 30 menit perjalanan mereka sampai di rumah, sikap Arthur terlihat semakin dingin. Selama perjalanan pun tidak ada percakapan di antara mereka berdua. Arthur dan Alena turun, koper mereka bibi yang bawa, baru sampai Arthur sudah langsung pergi kembali. Alena menahan tangan suaminya yang akan pergi. Namun, dengan cepat Arthur menepis tantangannya."Aku hanya ingin bilang, aku akan pergi dengan temanku mungkin akan pulang agak sorean," ucap Alena meski Arthur tidak perduli. Benar saja Arthur tidak menjawab apa-apa dan langsung masuk ke dalam mobilnya. Alena berdecak kesal, jika tidak ingat rencananya ia pasti sudah memaki-maki pria kaku itu. "Sabar, buah dari kesabaran itu indah!" ucap Alena pada dirinya sendiri. Ia segera masuk ke dalam rumah membersihkan diri sebelum pergi menemui temannya. Alena memang sudah ada janji dengan Anita jika mereka akan belanja bersama. "Alena!" Terlihat seorang gadis melam
Arthur menepis tangan Alena kasar saat menyadari siapa yang menyusup masuk ke kamar mandinya. Rahangnya mengeras, ia terlihat sangat kesal. Alena menatapnya lekat, tidak percaya jika ia akan mendapat perlakuan kasar dari suaminya. "Semakin lama kamu semakin tidak tahu diri!" sentak Arthur, ia mengambil jubah handuknya dan segera pergi. Melihat respon Arthur yang berlebihan membuat Alena mendengus kesal. Ia sudah membuang jauh-jauh gengsinya, tetapi pria itu justru mempermalukan dirinya. Benarkah Arthur tak berminat dengannya sama sekali. Alena mengabaikan kemarahan Arthur, ia memilih berendam. Air hangat yang belum Arthur pakai, aroma sabun yang sangat wangi khas wangi suaminya. Alena memejamkan matanya, tubuhnya terasa lebih baik saat ia gunakan berendam. Ia menatap lengannya yang memerah karena Arthur sempat mencengkeramnya tadi. "Dia mengerikan juga saat marah, semakin hari aku semakin di buat penasaran dengannya." Alena tersenyum miring, dia tidak akan menyerah meski Arthur s