Share

Istri Tiga Tahun CEO Arrogant
Istri Tiga Tahun CEO Arrogant
Penulis: iva dinata

Permintaan seorang ayah.

"Kamu harus menikah dengan putra dari rekan bisnis saya, Ashilla."

Aku tertegun. Enteng sekali pria itu berbicara, wajahnya bahkan hanya mendongak sebentar lalu kembali menunduk menikmati makan siangnya.

Segitu tak tahu malunya dia. "Kamu bersedia kan?"

Aku masih bergeming. Kutatap dalam pria yang terlihat begitu menikmati makanannya itu.

"Langsung saja, intinya perusahaan sedang mengalami krisis dan butuh dana yang besar untuk bisa bertahan." Lagi, Haidar Raziqin, berbicara tanpa sedikitpun merasa sungkan atau tak enak hati.

Pria yang darahnya mengalir dalam darahku tapi tak pernah mengakuiku sebagai putrinya--mendadak langsung memerintah.

Di sisi lain, Utari, nyonya rumah ini menatapku sebentar lalu melenggang pergi setelah meletakkan segelas jus jeruk dan piring kosong di atas meja tepat di sebelah suaminya.

"Jadi, saya harus menikahinya agar perusahaan mendapat suntikan dana?"

Pria tua di hadapanku itu mengangguk.

Reflek ujung bibirku tertarik sinis.

Baru kemarin dia mengusirku saat aku datang untuk berpamitan ke Jepang. Tak lupa juga menegaskan untuk yang kesekian kalinya jika aku bukanlah anggota keluarganya jadi tak perlu datang lagi ke rumah mewahnya ini.

Tapi, belum 24 jam kini dia menjilat kembali ucapannya?

Luar biasa!

Satu langkah aku mendekati meja makan, "Untuk apa saya harus melakukannya?"

"Sebagai baktimu padaku. Satu-satunya orang tua yang sekarang kamu miliki," ucapnya tenang.

Bakti?

Sontak aku tertawa geli, sangat tidak tahu malu. Benar kata orang-orang, rasa takut hidup miskin bisa membuat orang lupa dengan harga dirinya.

"Anda tidak membesarkan saya. Tidak juga merawat saya apalagi memberi kasih sayang. Lalu, bakti apa yang Anda maksudkan?"

Wajahnya memerah dan matanya melotot tajam.

"Hancurlah perusahaan Anda tapi saya tidak akan menghancurkan hidup saya dengan menikahi orang yang tidak saya kenal."

Aku sudah menjawab permintaannya. Jadi tugasku sudah selesai, aku pun berbalik dan berjalan menuju pintu keluar. Namun langkahku langsung terhenti begitu terdengar gebrakan meja disusul omong kosong pria yang baru beberapa detik yang lalu mengakuiku sebagai anak.

"Mau tidak mau kamu harus menuruti perintahku. Jangan jadi anak durhaka yang tak tahu berterima kasih," serunya penuh emosi.

"Jika bukan karena kasihan, saya juga tidak akan memintamu untuk menikahi anak rekan bisnisku. Pikirkan baik-baik, setelah menikah kamu tidak perlu susah-susah bekerja dan hanya menikmati hidup sebagai orang kaya. Hal yang tidak pernah kamu rasakan sejak kecil."

Suara lantang pria itu berhasil membuat amarahku tersulut. Aku berbalik, melempar tatapan tajam pada laki-laki itu.

"Hidup saya sudah sangat bahagia. Terima kasih atas perhatiannya. Tapi maaf, saya tidak butuh belas kasihan dari Anda."

Pria itu berdiri. "Ingatlah, jika tanpa bantuanku kamu juga tidak akan bisa seperti sekarang ini?"

Apa lagi? Jangan bilang dia akan kembali mengungkit.....

"Apa kamu lupa, biaya sekolahmu saya yang bayar. Jika saat itu saya tidak memberikan uang kepada nenekmu, kamu pasti tidak bisa ikut ujian dan sekarang tidak bisa berdiri dengan sombong di depanku."

Tak salah lagi.

Pria ini pasti akan mengungkit uang itu. Uang yang diberikannya pada nenek untuk melunasi tunggakan spp agar aku bisa ikut ujian akhir di sekolah menengah atas.

Kuhela nafas panjang lalu kuserahkan amplop coklat yang aku ambil di dalam tas Selempangku. Sejak kemarin aku sudah menyiapkannya. Namun urung kuberikan karena pria ini langsung mengusirku begitu aku menginjakkan kaki di teras rumahnya.

"Jumlahnya sepuluh kali lipat dari uang yang Anda berikan pada nenek waktu itu."

Aku segera pergi setelah meletakkan amplop coklat berisi uang di atas meja.

Brak!

Kembali terdengar gebrakan meja yang lebih keras dari sebelumnya. Namun kali ini tak membuatku menghentikan langkah. Aku tetap melaju menuju pintu ruang tamu.

"Dasar anak durhaka," umpatnya keras sekali. "Kalau bukan karena aku menikahi Mamamu, mungkin saat ini semua orang akan menganggap kamu anak haram. Dasar anak tidak tahu diri!"

"Ingat ucapanku, kamu tidak akan pernah bahagia meski kamu punya banyak harta. Sepertiku kamu juga akan ditinggalkan orang-orang yang kamu cintai."

Deg!

Kuelus dadaku yang mulai terasa sesak.

Ya Allah...... Kenapa pria itu begitu membenciku?

Dengan kaki yang gemetaran, kupercepat langkahku sampai menuju pintu. Rasanya begitu pengap udara di rumah mewah ini.

Aku tidak pernah tahu alasan orang tuaku bercerai. Setiap kali aku bertanya, nenek tidak pernah menjawab pertanyaanku. Bahkan, sampai menghembuskan nafas terakhir beliau tetap bungkam.

Dia hanya berkata, "Suatu hari Papamu akan menyesali semua perbuatannya kepadamu dan mamamu."

Jawaban itu juga yang selalu aku dapatkan setiap kali bertanya pada nenek, apa alasan Papa menceraikan Mama dan sangat membenciku.

Mama sendiri juga tak pernah mau membahas tentang Papa dan masa lalu mereka. Mama tak. berumur panjang, beliau meninggal saat akin baru memasuki tahun kedua di bangku SMP karena sakit.

Mama mulai sakit-sakitan sejak aku berumur enam tahun. Meski begitu, Mama tetap bekerja membantu di sebuah toko di pasar sedangkan Nenek berjualan nasi pecel. Sejak. perceraian Mama dan Papa, nenek memutuskan untuk kembali ke kampung halaman ya di salah satu kota di Jawa Timur.

Setelah mama meninggal nenek sempat mengantar aku ke rumah Papa di Jakarta. Niatnya untuk sekadar menjalin silahturahmi agar hubungan antar anak dan ayah tidak terputus. Namun setiap kami datang satpam langsung mengusir dan berkata Papa tidak ada di rumah.

Spontan kedua tanganku mengepal erat mengingat semua kenyataan itu.

Jika saja aku tahu uang yang nenek katakan pinjam dari saudara jauhnya itu adalah uang dari Papa, aku pasti akan menolaknya.

Meski harus mengulang satu tahun di bangku sekolah aku rela.

"Setidaknya aku punya alasan untuk tetap membencinya sampai akhir!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status