Kupejamkan mataku sebentar sebelum meminta Pak sopir untuk merubah arah tujuan. Berbagai bayangan buruk membayang di pelupuk mata. Rasa bersalah dan ketakutan muncul bersamaan.
Tanpa bisa kucegah tangan dan kakiku mulai gemetaran. Dadaku terasa sesak kembali teringat peristiwa tiga tahun lalu. "Jangan...... Jangan lagi Ya Allah.... Hamba mohon jangan jadikan hamba penyebab kematian orang yang hamba kasihi lagi." Aku terus merapalkan doa-doa dalam hati, merayu sang maha kuasa berharap ketakutanku tidak akan pernah terjadi. [Ardi] Tak sengaja kulihat kontak pria itu di ponsel. Ingin sekali aku menghubunginya namun aku urungkan. Saat ini, dia pasti sedang menghabiskan waktu bersama orang-orang terkasihnya sebelum tinggal berjauhan untuk waktu yang lama. 'Tidak, aku tidak bisa mengganggunya,' batinku. Tidak Ardi, Nathan juga tidak Mbak Miranda. Aku bertekad untuk menghadapinya sendiri. Jadi, dengan langkah sedikit berlari aku menuju ruang ICU tempat pria yang menjadi alasan kehadiranku di dunia ini--dirawat. *** "Bagaimana keadaannya?" tanyaku pada Tente Utari yang duduk di kursi tunggu depan ruang ICU. Mata wanita itu nampak sembab. Dia mengurai sedikit senyum lega, "Alhamdulillah sudah melewati masa kritis. Tunggu satu jam lagi baru bisa dipindahkan ke ruang perawatan." Aku menghembuskan nafas lega. Tante Utari memintaku untuk duduk. Dia menceritakan bagaimana bisa suaminya itu mengalami serangan jantung. Dari mulutnya mengalir cerita yang terjadi beberapa jam yang lalu. katanya, setelah pulang dari kantor wajah pria yang harusnya kupanggil papa itu sudah pucat. Baru ditinggal membuat teh hangat saat kembali sudah tergeletak di lantai dengan memegangi dadanya. "Informasi dari sekertarisnya, keadaan perusahaan semakin memburuk. Proyek terbesar juga gagal, akibatnya perusahaan harus menanggung kerugian yang sangat besar sehingga membuat banyak investor mundur dan hutang menumpuk." "Sepertinya Papamu stress memikirkan perusahaannya," sambungnya sembari mengusap sudut matanya. Papamu? Sejak kapan pria itu mengakuiku sebagai anak? Tante Utari memang tidak pernah jahat atau menghinaku namun dia juga sangat dingin padaku sama seperti suaminya. Tak hanya dingin, Tante Utari juga tidak mengizinkan putrinya, Safira untuk dekat denganku. Beberapa kali dia menolak saat aku memberikan kado untuk ulang tahun putrinya itu. "Aku tahu pasti sulit untukmu menikahi orang yang tidak kamu cintai tapi apa kamu tega melihat papamu masuk penjara karena tidak bisa membayar semua hutangnya?" Aku menoleh, kulihat wajah penuh kepasrahan tengah menatapku. "Semua aset pasti akan disita bank. Aku tidak masalah hidup susah tapi bagaimana dengan Safira?" Bagaimana Safira, katanya? Apa dia pikir masa kecilku hidup bergelimang harta? Kusandarkan punggungku sambil menutup mata, menikmati rasa bimbang dan lelah yang datang bersamaan. Setidaknya adil inikah hidupku? Sejak kecil hidup susah dan sekarang harus mengorbankan perasaanku demi orang-orang yang tak pernah menganggap aku ada. Suasana hening sampai beberapa saat. Dari jauh terdengar derap langkah kaki, kurasa lebih dari dua pasang kaki. "Permisi..." Reflek aku membuka mata, aku melotot sempurna melihat laki-laki sombong yang tadi kutemui sedang berdiri angkuh di depanku. "Halo.... Kamu Ashilla kan?" Pria bule seumuran Papa mengibaskan tangannya di depan wajahku. "Ah... Iya... maaf." Aku segera berdiri. Terlalu fokus pada Elgar sampai tak melihat ada orang lain di depanku. "Perkenalkan saya rekan bisnis Papamu, Leonard Dimitri Romanov." Romanov? Dia pasti ayah dari pria sombong itu. Untuk apa dia datang kesini? Jangan bilang pria ini akan tetap memaksa aku menikah dengan putranya. "Setelah Papamu sadar kalian akan segera menikah. Cukup dengan akad saja pestanya nanti." Belum juga aku bisa merespon kembali aku dikejutkan dengan pernyataan yang seolah sebuah perintah. "Ma-maksudnya?" Dengan sedikit terbata aku bertanya. "Pa, izinkan kami bicara berdua sebentar," sahut Elgar. "Baiklah, kalian bicaralah dulu." **** Jadi, di salah satu meja kantin rumah sakit yang sudah mulai sepi, kami kini duduk saling berhadapan. Aku masih diam, menunggu pria di depanku ini bicara. "Maaf jika tadi aku terlihat sombong. Sebenarnya kita saling membutuhkan. Aku butuh status menikah denganmu dan perusahaan Papamu butuh bantuan dariku." Aku masih tetap diam, menundukkan kepala sambil memainkan ujung jariku. "Kita hanya perlu menikah diatas kertas. Aku tidak akan mencampuri urusan pribadimu dan sebaliknya." Kudengarkan pria itu kembali bicara, kali ini nada suaranya tak sesombong tadi. Namun meski begitu aku belum ingin membalas semua kalimatnya. "Jujur, jika saja Papa hanya menginginkan aku menikah, pasti aku tidak akan memaksamu. Aku cari wanita lain yang mau aku bayar. Tapi Papa menginginkanmu menjadi menantunya bukan yang lain." Kuhela nafas panjang lalu menatap pria blasteran di hadapanku itu. "Besok aku harus pergi ke Jepang untuk kontrak kerja selama dua tahun. Aku tidak bisa membatalkannya." Berat untukku jika harus mengorbankan karirku yang mulai berkembang. Namun aku juga tidak tega jika melihat keadaan pria itu terburuk. Meski bagaimanapun dia tetaplah papaku. "Itu suatu kebetulan yang menguntungkan." Aku mengerutkan dahiku mendengar ucpanya. "Kita bisa menjadikan itu alasan untuk berjauhan. Jadi kita tidak perlu bersandiwara sebagai suami istri di depan keluarga kita," jelas Elgar. Aku mendengus kasar. Semua yang dia katakan tak sejalan dengan pemikiranku. Aku masih tidak bisa menerima semua yang dia katakan. Bagiku, pernikahan adalah hal yang sakral--tidak bisa dipermainkan seperti ini. "Apa kalian tidak bisa membantu tanpa embel-embel perjodohan?" "Tidak. Dana yang dikeluarkan tidak dalam jumlah yang kecil. Jadi, itu Syarat wajib dari Papaku." Kuhela nafas panjang. Duh...gusti, inikah jalan satu-satunya? "Bagaimana?" Pria itu terlihat tak sabar. "Keputusan ada di tanganmu. Apakah kamu membiarkan papamu di penjara atau menikah kontrak denganku?" ❄❄❄"Boleh aku mengajukan syarat?" Pada akhirnya aku menyerah. Tak mungkin aku membiarkan pria yang sudah menjadi alasan kelahiranku ke dunia ini masuk penjara apalagi sampai kehilangan nyawa. Aku tak mau di hantui rasa bersalah lagi. Kalau memang ini satu-satunya jalan, terpaksa harus aku tempuh. Pria itu tersenyum lebar. Raut wajahnya menampilkan ekspresi kemenangan."Boleh, katakan! Putra akan segera mencantumkannya dalam surat perjanjian pra nikah kita." "Jangan ada sentuhan fisik dan tidak ada publikasi juga tunda dulu pencatatan sipil pernikahan kita. Setidaknya sampai dua tahun." Hanya itu syaratku. Elgar mengerutkan keningnya. Aku tahu dia pasti merasa aneh dengan permintaanku. Tidak ada wanita yang mau dinikahi siri (Nikah secara agama) kecuali istri kedua atau hamil di luar nikah. "Pekerjaanku tidak mengizinkan kami menikah sampai lima tahun dan Saat ini baru menginjak tahun ketiga." Elgar mengangguk. "Deal." Pria berhidung mancung bak perosotan anak TK itu langsung mengu
Akan lebih baik jika pria angkuh itu tidak tahu keberadaanku! Jadi, kuhiraukan pesan asisten Elgar itu.Untungnya, tak ada lagi gangguan dari keduanya. Bahkan saat aku dan timku akhirnya sampai di negara yang terkenal dengan keindahan bunga sakuranya itu. Negara dimana tugas pertamaku dulu saat masih menjadi junior. Banyak pelajaran dan ilmu yang aku dapatkan di sini. Aku dan Ardi juga menyelesaikan S2 kami di negara ini, dua tahun yang lalu. Di negara ini aku seperti mengulang kenangan lama saat pertama kali mengenal Nathan, senior angkuh dan dingin yang omongan sepedas cabe gunung Bromo. Namun setelah mengenalnya lebih dekat, aku tahu sikap tegas adalah bentuk dari rasa peduli dan perhatiannya. "Minum obatmu," bisik Nathan sambil menyerahkan sebutir pil berwarna putih. Kuurai senyum tipis dan segera menuruti perintahnya. Jangan salah sangka, semua perhatian Nathan bukan karena dia mencintaiku melainkan karena rasa bersalah atas sebuah insiden yang terjadi dua tahun yang lalu. Da
"Sepertinya aku lupa belum minum obat." Aku berlari masuk ke dalam kamar. Tak lupa menguncinya dari dalam, takut salah satu dari trio kepo itu menyusul dan menerobos masuk. Kuhela nafas panjang berulang kali untuk menetralkan degup jantungku yang terasa berlompatan karena perbuatan Putra. Dag... dig... dug..... Detak jantungku masih bersahutan bak genderang perang. Namun tak menghentikan jemariku menari lincah diatas layar ponsel. Menulis pesan pada asisten pribadi pria sombong itu. [Putra, apa kamu mengirimkan paket untukku?]Perasaan panik membuatku tak tenang. Sambil berjalan mondar mandir aku menunggu balasan dari Putra. Ting..... Sebuah pesan masuk.[Iya, Nona Ashilla. Saya mengirim sebuah paket atas perintah Tuan Elgar,] balasnya. Kuhela nafas untuk menahan emosi yang tiba-tiba memenuhi dadaku. 'Tenang Shila....Tenang! Jaga emosimu.....'[Untuk apa? Bukankah sudah ada perjanjian, kami tidak akan berinteraksi. Aku dengan hidupku, dia dengan hidupnya.] Apa si Elgar itu lupa
Untungnya, aku tak melihat sosok yang mirip Putra itu lagi. Bahkan, tiga hari berturutu-turut. Jadi, kusimpulkan bahwa aku salah lihat!Oleh sebab itu, selama free, aku memutuskan mengitari kota Frankfurt, salah satu kota metropolitan di Jerman dan pusat bank besar Tak lupa, aku mampir ke jembatan cinta, jembatan yang dipenuhi gembok yang bertuliskan nama pasangan kekasih. "Konon katanya, jika menuliskan nama pasangan masing-masing pada gembok yang di kunci dan kuncinya dibuang ke sungai maka hubungannya akan langgeng selamanya!" Ucapan Ardi membuatku menuliskan inisial namaku dan Devon pada gembok, menguncinya, kemudian membuang kuncinya ke sungai. Ya, Devon Darius Admaja adalah kekasihku yang katanya telah meninggal karena kecelakaan di Belanda. Namun, aku tak percaya sebelum kulihat sendiri makamnya. Selama itu, aku akan tetap menganggapnya masih hidup. Tak peduli orang-orang menganggapku gila atau sakit jiwa. Kusematkan foto gembong bertuliskan inisial A dan D di sosmed deng
"Benar! Teman-teman ini, Kak Elgar yang sudah kuanggap seperti saudarku sendiri," ucap Veronika, "Oh, iya dia kakak dari almarhum sahabatku, Eliza." Kupasang senyum pura-pura ramah saat Elgar menatapku dengan satu alis terangkat. Tatapannya beralih pada tangan kananku yang ada diatas meja dan entah sejak kapan sudah digenggam oleh Nathan. Aku dan Nathan sangat dekat dan terbiasa bergandengan tangan. Sangking biasanya aku sampai tak pernah merasa risih saat Nathan memegang tanganku. Kurasakan genggaman tangan Nathan mengerat. Seolah menunjukkan kami memiliki hubungan. Itu selalu Nathan lakukan untuk melindungiku dari tatapan dan niat buruk pria hidung belang. "Aku akan mentraktir kalian, pesan minuman lagi." Elgar memanggil pelayanan dan memesan beberapa makanan dan minuman berwarna merah yang tentu saja mahal dan memabukkan. "Silahkan," Elgar mengangkat gelasnya. Hanya Gerald dan Veronika saja yang menerima ajakan minum itu. "Kalian tidak minum?" tanya Elgar berlagak bingung. C
10.Paginya. Karena masih sangat mengantuk, aku kembali naik ke atas tempat tidur setelah melaksanakan sholat shubuh. Menyambung mimpi yang sempat terputus. Semalam kami sampai menjelang shubuh. Ya..... si gadis bule itu tak berhenti membuat ulah. Meski aku sudah menuruti permintaannya tapi Vero tetap menolak saat diajak pulang. Akhirnya, kami memutuskan membawanya secara paksa. Meski dengan menahan malu sepanjang jalan karena Vero berteriak-teriak. Beruntung Gerald masih dengan sabar menggendongnya. Samar-samar aku mendengar pintu kamar di ketuk. "Shilla masih tidur?" Suara Nathan.Sudah menjadi kebiasaan Nathan mendatangi kamarku setiap pagi hanya untuk memastikan kondisiku baik-baik saja. Romantis sekali kan? Seandainya itu Devon, "Tadi dia sudah bangun untuk sholat shubuh. Mungkin masih ngantuk jadi tidur lagi. Tidak perlu khawatir, dia baik-baik saja," jawab Miranda. Selang beberapa detik terasa ranjang bergerak di bagian ujungnya. Seperti biasa, Nathan akan ikut tidur di
"Lets go!!!" Seru Veronica. Gadis itu mengedipkan matanya kearahku lalu masuk ke dalam mobil dan diikuti Miranda dan Ardi. Di sampingku Nathan mendengus sambil membuang muka. "Ayo," ajakku menggandeng tangannya. Kami pun ikut masuk, duduk di kursi belakang. Entah apa yang dikatakan Vero pada Mbak Miranda dan Ardi, sampai-sampai dua orang itu rela berdebat panjang dengan Nathan, memaksa untuk memenuhi undangan Elgar, si pria arrogant. Jujur, aku sangat malas memenuhu udangan pria itu. Namun aku tak bisa menolak keinginan Mbak Miranda. Wanita 30 tahun itu sangat dominan dan tak suka dibantah. "Jadi, kamu lebih nurut sama Nathan ketimbang aku? Ingat, siapa yang lebih dulu mengenal dan membimbingmu?" Aku teringat perdebatan yang terjadi dua jam yang lalu saat aku menolak usulannya untuk menerima undangan makan siang dari si Tuan Romanov. "Kamu jangan lupa, apa yang sudah Nathan lakukan sampai kamu harus menjalani terapi dan minum obat setiap hari?" Sambung Mbak Miranda yang membuat
"Kenapa Shilla harus memanggil Aunty Rosa, Mommy?" Dari tempatnya berdiri Veronica memicingkan matanya, curiga. Duh.... gusti.... Habislah aku kalau sampai Mommynya Elgar membuka status hubunganku dengan putranya itu. "Dulu aku punya sahabat yang wajahnya mirip sekali dengan Shilla dan dia juga memliki anak yang umurnya Sama dengan Shilla. Jadi, aku ingin menganggapnya sebagai dari sahabatku." Nyesssss....... Perlahan rasa dingin menyebar dalam dadaku. Tanpa sadar aku mengembuskan nafas lega. 'Syukurlah....' gumamku dalam hati. "Bolehkan saya menganggap kamu anak dari sahabat saya. Melihatmu serasa mengobati rinduku padanya." Nyonya Rosa menatapku sendu. Tak tega aku pun mengangguk. "I-iya boleh." Meski canggung aku berusaha tersenyum. Tak menunggu lama, wanita berwajah ayu itu membawaku ke arah meja makan. Dia memintaku duduk disebelahnya. "Mari silahkan cicipi masakan Aunty." Nyonya Rosa mempersilahkan kami semua makan. Beberapa kali wanita yang masih telihat cantik di usia