"Sepertinya aku lupa belum minum obat." Aku berlari masuk ke dalam kamar. Tak lupa menguncinya dari dalam, takut salah satu dari trio kepo itu menyusul dan menerobos masuk. Kuhela nafas panjang berulang kali untuk menetralkan degup jantungku yang terasa berlompatan karena perbuatan Putra. Dag... dig... dug..... Detak jantungku masih bersahutan bak genderang perang. Namun tak menghentikan jemariku menari lincah diatas layar ponsel. Menulis pesan pada asisten pribadi pria sombong itu. [Putra, apa kamu mengirimkan paket untukku?]Perasaan panik membuatku tak tenang. Sambil berjalan mondar mandir aku menunggu balasan dari Putra. Ting..... Sebuah pesan masuk.[Iya, Nona Ashilla. Saya mengirim sebuah paket atas perintah Tuan Elgar,] balasnya. Kuhela nafas untuk menahan emosi yang tiba-tiba memenuhi dadaku. 'Tenang Shila....Tenang! Jaga emosimu.....'[Untuk apa? Bukankah sudah ada perjanjian, kami tidak akan berinteraksi. Aku dengan hidupku, dia dengan hidupnya.] Apa si Elgar itu lupa
Untungnya, aku tak melihat sosok yang mirip Putra itu lagi. Bahkan, tiga hari berturutu-turut. Jadi, kusimpulkan bahwa aku salah lihat!Oleh sebab itu, selama free, aku memutuskan mengitari kota Frankfurt, salah satu kota metropolitan di Jerman dan pusat bank besar Tak lupa, aku mampir ke jembatan cinta, jembatan yang dipenuhi gembok yang bertuliskan nama pasangan kekasih. "Konon katanya, jika menuliskan nama pasangan masing-masing pada gembok yang di kunci dan kuncinya dibuang ke sungai maka hubungannya akan langgeng selamanya!" Ucapan Ardi membuatku menuliskan inisial namaku dan Devon pada gembok, menguncinya, kemudian membuang kuncinya ke sungai. Ya, Devon Darius Admaja adalah kekasihku yang katanya telah meninggal karena kecelakaan di Belanda. Namun, aku tak percaya sebelum kulihat sendiri makamnya. Selama itu, aku akan tetap menganggapnya masih hidup. Tak peduli orang-orang menganggapku gila atau sakit jiwa. Kusematkan foto gembong bertuliskan inisial A dan D di sosmed deng
"Benar! Teman-teman ini, Kak Elgar yang sudah kuanggap seperti saudarku sendiri," ucap Veronika, "Oh, iya dia kakak dari almarhum sahabatku, Eliza." Kupasang senyum pura-pura ramah saat Elgar menatapku dengan satu alis terangkat. Tatapannya beralih pada tangan kananku yang ada diatas meja dan entah sejak kapan sudah digenggam oleh Nathan. Aku dan Nathan sangat dekat dan terbiasa bergandengan tangan. Sangking biasanya aku sampai tak pernah merasa risih saat Nathan memegang tanganku. Kurasakan genggaman tangan Nathan mengerat. Seolah menunjukkan kami memiliki hubungan. Itu selalu Nathan lakukan untuk melindungiku dari tatapan dan niat buruk pria hidung belang. "Aku akan mentraktir kalian, pesan minuman lagi." Elgar memanggil pelayanan dan memesan beberapa makanan dan minuman berwarna merah yang tentu saja mahal dan memabukkan. "Silahkan," Elgar mengangkat gelasnya. Hanya Gerald dan Veronika saja yang menerima ajakan minum itu. "Kalian tidak minum?" tanya Elgar berlagak bingung. C
10.Paginya. Karena masih sangat mengantuk, aku kembali naik ke atas tempat tidur setelah melaksanakan sholat shubuh. Menyambung mimpi yang sempat terputus. Semalam kami sampai menjelang shubuh. Ya..... si gadis bule itu tak berhenti membuat ulah. Meski aku sudah menuruti permintaannya tapi Vero tetap menolak saat diajak pulang. Akhirnya, kami memutuskan membawanya secara paksa. Meski dengan menahan malu sepanjang jalan karena Vero berteriak-teriak. Beruntung Gerald masih dengan sabar menggendongnya. Samar-samar aku mendengar pintu kamar di ketuk. "Shilla masih tidur?" Suara Nathan.Sudah menjadi kebiasaan Nathan mendatangi kamarku setiap pagi hanya untuk memastikan kondisiku baik-baik saja. Romantis sekali kan? Seandainya itu Devon, "Tadi dia sudah bangun untuk sholat shubuh. Mungkin masih ngantuk jadi tidur lagi. Tidak perlu khawatir, dia baik-baik saja," jawab Miranda. Selang beberapa detik terasa ranjang bergerak di bagian ujungnya. Seperti biasa, Nathan akan ikut tidur di
"Lets go!!!" Seru Veronica. Gadis itu mengedipkan matanya kearahku lalu masuk ke dalam mobil dan diikuti Miranda dan Ardi. Di sampingku Nathan mendengus sambil membuang muka. "Ayo," ajakku menggandeng tangannya. Kami pun ikut masuk, duduk di kursi belakang. Entah apa yang dikatakan Vero pada Mbak Miranda dan Ardi, sampai-sampai dua orang itu rela berdebat panjang dengan Nathan, memaksa untuk memenuhi undangan Elgar, si pria arrogant. Jujur, aku sangat malas memenuhu udangan pria itu. Namun aku tak bisa menolak keinginan Mbak Miranda. Wanita 30 tahun itu sangat dominan dan tak suka dibantah. "Jadi, kamu lebih nurut sama Nathan ketimbang aku? Ingat, siapa yang lebih dulu mengenal dan membimbingmu?" Aku teringat perdebatan yang terjadi dua jam yang lalu saat aku menolak usulannya untuk menerima undangan makan siang dari si Tuan Romanov. "Kamu jangan lupa, apa yang sudah Nathan lakukan sampai kamu harus menjalani terapi dan minum obat setiap hari?" Sambung Mbak Miranda yang membuat
"Kenapa Shilla harus memanggil Aunty Rosa, Mommy?" Dari tempatnya berdiri Veronica memicingkan matanya, curiga. Duh.... gusti.... Habislah aku kalau sampai Mommynya Elgar membuka status hubunganku dengan putranya itu. "Dulu aku punya sahabat yang wajahnya mirip sekali dengan Shilla dan dia juga memliki anak yang umurnya Sama dengan Shilla. Jadi, aku ingin menganggapnya sebagai dari sahabatku." Nyesssss....... Perlahan rasa dingin menyebar dalam dadaku. Tanpa sadar aku mengembuskan nafas lega. 'Syukurlah....' gumamku dalam hati. "Bolehkan saya menganggap kamu anak dari sahabat saya. Melihatmu serasa mengobati rinduku padanya." Nyonya Rosa menatapku sendu. Tak tega aku pun mengangguk. "I-iya boleh." Meski canggung aku berusaha tersenyum. Tak menunggu lama, wanita berwajah ayu itu membawaku ke arah meja makan. Dia memintaku duduk disebelahnya. "Mari silahkan cicipi masakan Aunty." Nyonya Rosa mempersilahkan kami semua makan. Beberapa kali wanita yang masih telihat cantik di usia
"Kumohon..." Kupasang wajah paling melas yang aku bisa, namun wajah angkuh itu tetap tak peduli. Dia malah membuang muka. Anehnya detik berikutnya perlahan genggaman di pergelangan tanganku perlahan merenggang. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan kutarik tanganku dan segera berlalu dari hadapan Elgar. Kuhela nafas lega begitu sampai di halaman belakang Mansion. Sambil mengatur nafas aku berjalan pelan mengejar Nathan yang ternyata berjalan kearah halaman samping. Plak..... Kutepuk pundak Nathan dari belakang. "Hai....." Tak lupa kupasang senyum tipis saat Nathan menoleh untuk menyamarkan raut panik yang mungkin masih nampak diwajahku. "Dari mana saja kamu? Bikin orang khawatir saja," omel Nathan dengan wajah seriusnya. "Maaf, tadi.... aku lihat tanaman bunga sebentar. Di sana, ya ada di taman sana." Sebuah alasan terlintas begitu saja di otakku. Aku pun berbohong. Nathan memicingkan matanya, nampak sekali dia tak percaya. Mungkin wajahku terlihat gugup. "Tadi..... aku lihat ada
"Katakan, sebenarnya ada apa? Apa yang sedang kamu sembunyikan?" Tatapan mata Mbak Miranda begitu mengintimidasi. Aku merasa terpojok. Apakah kali ini aku harus jujur. "Jujurlah, sebenarnya ada hubungan apa kamu dengan Mr Elgar dan ibunya? Apa sebelumnya kamu kamu sudah mengenal mereka?" Mbak Miranda kembali mencecarku dengan pertanyaan. "Eh..... mung-kin," Aku menelan ludah, takut juga bingung bagaimana harus menjawab semua pertanyaan atasanku ini. "Jangan-jangan, ini ada hubungannya dengan pria bernama Putra yang waktu itu mengirimkan hadiah buat kamu," Ah..... Sebuah ide tiba-tiba muncul. "Sepertinya begitu. Mungkin Putra pernah cerita sama kedua orang itu tentang kehidupanku. Jadi Nyonya Rosa, merasa kasihan makanya dia bersikap sangat lembut dan perhatian padaku." Dengan jantung yang berdebar aku berusaha menjaga mimik wajahku agar tetap tenang. Tidak mudah menyakinkan wanita ini, umur dan pengalamannya sudah banyak dalam menghadapi wajah-wajah pembohong. Apalagi aku tidak
Terdengar dering ponsel dari dalam rumah. Elgar yang sedang menyirami tanaman di teras langsung bergegas masuk. Dering panggilan itu sudah di stel khusus untuk satu nomor saja. Sampai didalam segera diraihnya benda pipih yang ada di atas meja ruang tamu. Sebuah senyum merekah dari bibir tegas pria berwajah bule itu saat terlihat kontak dengan nama My Wife nampak dilayar ponselnya. "Halo, assalamu'alaikum," sapanya dengan wajah berbinar dan langsung dijawab oleh lawan bicaranya. [Kamu sedang apa?] Suara dari seberang sana. Elgar pun mengerutkan dahinya. Tidak biasa sang istri tiba-tiba menelpon dan menanyakan kegiatannya. Shilla tipe wanita yang percaya dan memberi kebebasan pada pasangannya. Bukan pencemburu yang selalu meminta pasangannya untuk melaporkan setiap yang dilakukan. "Aku sedang menyiram bunga saat mendengar ponsel berdering." [Sambil bernyanyi dan tertawa sendiri?] "Ya?" Elgar belum bisa mengerti maksud Shilla. "Maksudnya?" [Ya maksud kamu apa, seny
Sudah satu bulan sepasang suami istri itu menepi di pinggiran kota. Hidup sebagai orang biasa. Pagi hari Shilla dan Elgar berolahraga lari berkeliling jalanan yang masih sepi dan asri. Melewati sawah dan sungai yang airnya terlihat jernih. Perjalanan mereka berakhir di pasar tradisional yang banyak menjajakan jajanan dan makanan tradisional. Elgar yang sebelumnya tidak pernah memakan makanan tradisional sangat senang. "Bukan sehat yang ada gula darahmu naik," tegur Shilla saat sang suami mulai lepas kendali. Sudah satu kantong plastik penuh dengan jajanan pasar di tangan kiri Elgar namun pria blasteran itu masih sibuk memilih makanan lain lagi. "Anggap saja kita berbagi rejeki dengan ibu-ibu penjual di sini," bisik Elgar lalu kembali sibuk dengan deretan jajanan yang dominan berasa manis yang ada di depannya. Jika untuk berbagi Shilla sama sekali tidak keberatan. Sayangnya itu hanyalah alasan Elgar saja. Setiap. sampai di rumah dia memang akan memanggil. beberapa anak kecil
Setelah mendapatkan rumah sakit yang tepat Elgar dan Shilla memutuskan untuk pulang ke Surabaya. Sejenak melipir ke pinggiran kota untuk menenangkan diri. Di sana Shilla dan Elgar disambut oleh Budhe Siti dan Rizal. Dua orang itu sangat bersyukur melihat Shilla kembali bersama Elgar. Rasa syukur Budhe Siti ucapkan karena Shilla sudah bisa memaafkan Elgar. "Alhamdulillah... Nak, akhirnya kamu bisa membuka hatimu, mengikhlaskan semua yang telah terjadi." Ucap Budhe Situ setelah adegan penyambutan yang diwarna dengan tangis haru. "Shilla ingin seperti Mama, bisa memaafkan meski sakit." "Iya sayang, kamu memang seperti mamamu, punya hati yang lembut dan penuh kasih." Budhe Siti memeluk satu-satunya keponakan yang dimilikinya itu erat. Elgar yang menyaksikan ikut terharu. Pria itu berjalan mendekat lalu berjongkok di depan dua wanita yang duduk di sofa ruang tamu. "Budhe sebagai saksinya, saya janji tidak akan mengulangi kesalahan saya. Saya akan menjaga dan mencintai Shilla
Meski bersedia memberi kesempatan kedua namun Shilla masih enggan untuk tidur satu kamar dengan Elgar. Wanita cantik dengan rambut panjang sepunggung itu memilih tidur kamar tamu yang ada di lantai bawah rumah mewah peninggalan papa mertuanya. Berbagai alasan Elgar utarakan untuk memaksa istrinya itu tidur di kamar utama namun seperti yang Elgar tahu, istrinya itu sangat keras kepala. "Aku bilang nggak. Kalau kamu maksa aku akan pulang ke Surabaya." Kekeh Shilla sambil mendelik. "Kurasa ikut tinggal di Surabaya lebih baik dari pada tinggal di ibu kota yang udara sangat panas dan banyak polusi." Balas Elgar bersemangat. "Ck...." Tak menyahut Shilla berlalu menuju teras samping. Menyirami bunga-bunga lebih menyenangkan dari pada berdebat dengan Elgar. "Shilla aku lapar. Pengen makan buah." Shilla menoleh, matanya memicing. Pria yang tadi ditinggalkannya di ruang tengah kini sudah duduk kursi panjang dekat pintu penghubung teras samping dan ruang tengah. "Kau punya ka
"Sepertinya kita terlalu lunak dengan wanita itu." Sebuah senyum sinis terlihat di bibir Putra. Pagi ini saat di baru sampai di depan pintu kamar inap bosnya, dua anak buahnya langsung memberi laporan. "Ingat, jangan biarkan dia masuk. Kita tidak tahu apa tujuannya mendekati Tuan." "Benar. Mr. Elgar punya banyak musuh baik dalam. urusan bisnis juga pribadi." Sahut Johan. "Ck, Tuan Elgar." Gerald membetulkan ucapan rekannya. "Perbaiki panggilanmu, jangan membuat Tuan Elgar marah." Ya, sejak kesalahpahaman tentang panggilan Olivia oleh security di mansion kini Elgar meminta semua anak buahnya dan karyawannya untukmu memanggilnya Tuan dan memanggil Shilla dengan panggilan Nyonya. "Biasakan lidahmu dengan bahasa Indonesia. Atau Tuan Elgar akan mengirimmu kembali ke Jerman." "Saya mengerti," ujar Johan mengangguk paham. Dan Putra pun menepuk pundak anak buahnya itu. "Berjaga dengan baik. Saya akan masuk melihat keadaan Tuan." Sebelum masuk Putra mengetuk pintu kamar. Baru setelah
Setelah menjalani perawatan selama hampir satu bulan, hari ini Elgar aka menjalani operasi transplantasi ginjal. Tentu saja setelah Dokter menyatakan kondisinya siap untuk menjalani operasi. Malam ini operasi akan dilakukan, ruang operasi sudah siap juga dengan dokternya. Di ruang rawat inap VVIP Elgar sedang bersia dengan ditemani Shilla dan Putra DM juga Bik Saroh yang sudah seminggu ini ikut bergantian menjaga Elgar. Sebelum dibawa ke ruang operasi Elgar meminta waktu untuk berdua dengan Shilla. "Tolong jangan maafkan aku, aku mohon do'akan agar aku tetap hidup untuk menebus dosa-dosaku padamu." Permintaan Elgar membuat Shilla mengerutkan dahi, bingung. Bagi Shilla permintaan Elgar sangat tidak masuk akal. "Kau takut mati?" tanya Shilla penasaran. "Iya, aku takut mati. Aku takut karena belum menebus semua kesalahan dan dosaku. Dan yang paling kutakutkan kita tidak akan bisa berjodoh di akhirat karena kamu menikah lagi." Sontak saja Shilla melebarkan matanya, kaget dan
"Nanti saya akan kembali lagi, sekarang silahkan beristirahat." Dokter Arinda mengurai senyum termanisnya lalu berjalan menuju pintu. Elgar dan Shilla kompak menghembuskan nafas kasar. Dalam hati ingin sekali mengeluarkan kalimat kasar pada dokter yang menurutnya sangat tidak sopan. "Bagaimana bisa seorang dokter kepo dengan masalah pribadi pasiennya?" gerutu Shilla tanpa sadar. Wajahnya yang bisanya berekspresi datar kini terlihat kesal. Matanya melotot dan bibirnya mengerucut. Untuk apa dia menjaga Elgar jika sudah ada dokter yang begitu memperhatikan pria itu. Bukankah Shilla harusnya senang? Sekarang Shilla bisa pulang ke Surabaya dengan tenang. Tak perlu merasa bersalah apalagi merasa tak tega. Elgar tak hanya mendapatkan dokter yang tepat tapi mungkin bisa mendapatkan calon istri yang baru sebagai pengganti Shilla. Ya, semua sudah benar dan tepat. Tapi entahlah..... hati Shilla bukannya senang. Ada rasa kesal dan marah mengingat setiap perhatian yang dokter Arinda
Sudah dua minggu Shilla menemani dan merawat Elgar selama menjalani pengobatan di rumah sakit. Meski Maaf itu belum sepenuhnya terucap namun Shilla tak pernah meninggalkan pria yang masih sah menjadi suaminya itu. Bibirnya boleh berkata benci dan tak cinta lagi namun hatinya tak pernah bohong. Rasa peduli dan iba membuat wanita yang memiliki paras cantik khas pribumi itu berhenti peduli. Entah benar karena iba atau ada rasa lain yang tak ingin diakuinya. Setiap hari Shilla berada di sisi Elgar, menjaga, menyuapi makan, mengantar saat ingin ke kamar mandi dan sudah dua hari Shilla juga yang mengelap tubuh Elgar dengan air bersih. Semua itu Shilla lakukan dengan telaten meski kadang bibir tipis itu mengeluarkan kalimat gerutunya. "Badanku terasa lebih segar," ucap Elgar dengan senyum mengembang setelah Shilla membersihkan tubuhnya dengan waslap dan air bersih. Hatinya sangat bahagia karena bukan lagi perawat laki-laki yang membantunya membersihkan diri tapi sang istri yang me
Karena sudah memasuki waktu dhuhur aku putuskan untuk melaksanakan sholat dhuhur lebih dukungan sebelum makan siang. Aku memilih kamar tami di lantai atas sedangkan Elgar susah menaiki yanga menuju kamarnya yang ada di lantai dua rumah mewah ini. Di dinding ruang tengah masih terpasang foto Almarhum Papa Leonard dan Mommy Rosa. Dalam foto itu Mommy Rosa tersenyum tipis sedangkan Papa Leonard wajahnya datar. Bahkan dalam foto pun Papa Leonard tak mau berpura-pura bahagia. Tanpa sadar aku menghela nafas, serumit itu cinta mereka. Mungkin raga bisa mengalah namun hati tak mau berubah. Raga mungkin bersanding dengan orang lain namun perasaan cinta tak pernah berpaling. Pasti sangat sakit jadi Mommy Rosa, begitupun Papa Leonard. Dan lebih menderita lagi Mama, yang sudah mengalah namun tetap disalahkan. "Nyonya, silahkan." Aku tersentak saat seorang pelayan menyerahkan mukena yang tadi sempat aku minta. "Ah.... Terima kasih," ucapku berusaha menarik kedua sudut bibirku namun