"Kenapa Shilla harus memanggil Aunty Rosa, Mommy?" Dari tempatnya berdiri Veronica memicingkan matanya, curiga. Duh.... gusti.... Habislah aku kalau sampai Mommynya Elgar membuka status hubunganku dengan putranya itu. "Dulu aku punya sahabat yang wajahnya mirip sekali dengan Shilla dan dia juga memliki anak yang umurnya Sama dengan Shilla. Jadi, aku ingin menganggapnya sebagai dari sahabatku." Nyesssss....... Perlahan rasa dingin menyebar dalam dadaku. Tanpa sadar aku mengembuskan nafas lega. 'Syukurlah....' gumamku dalam hati. "Bolehkan saya menganggap kamu anak dari sahabat saya. Melihatmu serasa mengobati rinduku padanya." Nyonya Rosa menatapku sendu. Tak tega aku pun mengangguk. "I-iya boleh." Meski canggung aku berusaha tersenyum. Tak menunggu lama, wanita berwajah ayu itu membawaku ke arah meja makan. Dia memintaku duduk disebelahnya. "Mari silahkan cicipi masakan Aunty." Nyonya Rosa mempersilahkan kami semua makan. Beberapa kali wanita yang masih telihat cantik di usia
"Kumohon..." Kupasang wajah paling melas yang aku bisa, namun wajah angkuh itu tetap tak peduli. Dia malah membuang muka. Anehnya detik berikutnya perlahan genggaman di pergelangan tanganku perlahan merenggang. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan kutarik tanganku dan segera berlalu dari hadapan Elgar. Kuhela nafas lega begitu sampai di halaman belakang Mansion. Sambil mengatur nafas aku berjalan pelan mengejar Nathan yang ternyata berjalan kearah halaman samping. Plak..... Kutepuk pundak Nathan dari belakang. "Hai....." Tak lupa kupasang senyum tipis saat Nathan menoleh untuk menyamarkan raut panik yang mungkin masih nampak diwajahku. "Dari mana saja kamu? Bikin orang khawatir saja," omel Nathan dengan wajah seriusnya. "Maaf, tadi.... aku lihat tanaman bunga sebentar. Di sana, ya ada di taman sana." Sebuah alasan terlintas begitu saja di otakku. Aku pun berbohong. Nathan memicingkan matanya, nampak sekali dia tak percaya. Mungkin wajahku terlihat gugup. "Tadi..... aku lihat ada
"Katakan, sebenarnya ada apa? Apa yang sedang kamu sembunyikan?" Tatapan mata Mbak Miranda begitu mengintimidasi. Aku merasa terpojok. Apakah kali ini aku harus jujur. "Jujurlah, sebenarnya ada hubungan apa kamu dengan Mr Elgar dan ibunya? Apa sebelumnya kamu kamu sudah mengenal mereka?" Mbak Miranda kembali mencecarku dengan pertanyaan. "Eh..... mung-kin," Aku menelan ludah, takut juga bingung bagaimana harus menjawab semua pertanyaan atasanku ini. "Jangan-jangan, ini ada hubungannya dengan pria bernama Putra yang waktu itu mengirimkan hadiah buat kamu," Ah..... Sebuah ide tiba-tiba muncul. "Sepertinya begitu. Mungkin Putra pernah cerita sama kedua orang itu tentang kehidupanku. Jadi Nyonya Rosa, merasa kasihan makanya dia bersikap sangat lembut dan perhatian padaku." Dengan jantung yang berdebar aku berusaha menjaga mimik wajahku agar tetap tenang. Tidak mudah menyakinkan wanita ini, umur dan pengalamannya sudah banyak dalam menghadapi wajah-wajah pembohong. Apalagi aku tidak
"Saya Wirandika Putra, asisten Tuan....."Aku melotot berusaha memberi kode pada Putra Namun pria itu tak mengerti. Dia malah diam dan menatapku bingung. "Tuan?" ucap Nathan penasaran. "Tuan Romanov?" sahut Miranda. Degh..... Jantungku rasanya hampir lepas dari tempatnya. Bagaimana bisa dia tahu? Miranda ikut maju dan mengulurkan tangannya. "Saya Miranda senior sekaligus sahabatnya Shilla." "Oh iya, saya Wirandika Putra." Pria berjas hitam itu pun menerima uluran tangan Miranda. "Katanya kamu kerja di perusahaan Romanov, pasti bos kamu Tuan Elgar Khalandra Dimitri Romanov kan?" Miranda menoleh padaku dan Nathan. "Benarkan, Shilla?" Konfirmasinya. Eh.... Aku pun mengangguk, "I-iya..... dia kerja sama Mr Elgar," jawabku memaksa tersenyum. "Jadi kamu teman sekolahnya Shilla?" Tak mau ketinggalan Ardi pun ikut bertanya. Putra nampak bingung, namun kali ini cukup pintar, dia mengikuti intruksiku dengan menganggukkan kepalanya. "Dia teman SMA-ku dulu," sahutku lalu melangkah
"Tentang perjanjian itu saya tahu semuanya," Degh... Kembali jantungku serasa dibuat hampir lepas dari tempatnya Aku tidak menyangka Papa mertuaku ini mengetahui rahasia antara aku dan putranya. "Aku sangat menyesal dengan yang telah Elgar lakukan. Bagaimana bisa dia menawarkan kontrak itu padamu." Sambungnya dan aku hanya diam membeku di tempat. Tak tahu harus menjawab apa. "Maafkan saya." Hanya kalimat itu yang keluar dari kedua bibirku. Wajah pucat itu menatapku sendu. Apakah pernikahan kontrak kami juga salah satu penyumbang penyesalan yang nampak dari sorot matanya. Oh.... Tuhan berdosanya aku...... "Kamu harus tahu, saya tidak berbuat buruk dengan perhodohan ini. Saya benar-benar menyanyanimu dan ingin kamu menjadi menantu saya." Ya Alloh..... ampuni hamba karena sudah mengecewakan banyak orang. "Saya minta maaf," kataku lagi penuh penyesalan. "Tidak, Shilla. Ini semua salah saya. Saya yang memaksakan pernikahan ini. Sebagai seorang suami saya telah gagal dan kini saya
"Katakan obat apa yang barusan kamu minum?" tanyanya lagi dengan nada tegas. "Beberapa kali aku melihatmu mengonsumsi obat itu? Jangan-jangan kamu..?" "Itu obat sakit kepala?" jawabku sedikit keras karena panik dan kaget. Dasar, Lama-lama aku bisa kena penyakit jantung. Suka sekali muncul tiba-tiba. Pria itu memicingkan matanya. Sepertinya dia tidak percaya. Seaneh itukah sikapku tadi. Mungkin dia malu aku bersikap aneh di depan umum. "Emmm..... sebenarnya aku punya penyakit Vertigo. Terkadang kepalaku mendadak pusing." Aku hampir menggigit lidahku sendiri, menyesal karena menjelaskan sesuatu yang tidak perlu dijelaskan. Pria itu masih saja menatapku, apa dia tidak percaya? Kuhela nafas panjang lalu kembali menjelaskan. "Orang dengan riwayat Vertigo terkadang mengalami pusing berat sampai merasa sekitarnya bergoyang bahkan berputar-putar." Tidak sepenuhnya berbohong. Kenyataannya aku memang memiliki riwayat penyakit itu. "Ck.... tak perlu dijelaskan aku juga tidak ingin tahu." Pr
Hidup dan mati adalah rahasia yang tak bisa kita minta atau tolak. Juga tak bisa kita tebak kapan datangnya. Kemarin Papa mertuaku masih sempat mengirim pesan menanyakan kabarku? Namun hari ini dia aku mengiringi proses pemakamannya. Aku tak pernah menyangka jika kepulanganku kali ini untuk mengantarkan Papa mertua yang baru dua kali kutemui ke peristirahatan terakhirnya. Sungguh tak pernah terpikir jika pria yang masih terlihat gagah itu akan pergi secepat ini. Elgar terlihat begitu terpukul dengan kematian sang Papa. Pria yang selalu terlihat angkuh dan sombong itu kini nampak begitu pasrah seperti kehilangan separuh nyawanya. Tubuh kekarnya luruh ke tanah begitu para pelayat telah pergi. Tak lagi menahan image, di atas gundukan tanah yang masih merah itu Elgar menangis tersedu-sedu tanpa suara. Hanya ada air mata dan tarikan nafas yang putus-putus. Aku tak menyangka dibalik sikap dinginnya ternyata dia begitu menyayangi papanya. Namun anehnya sampai almarhum Papa Leonard di
Astaghfirullah...... Tanganku mengepal menahan emosi yang mulai terpetik didalam dada. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba pria itu seperti orang kesetanan. Sabar Shila..... ingat puasa... "Ada apa lagi?" tanyaku berusaha tetap tenang meski sebenarnya dadaku sudah bergemuruh. Pria itu mengambil map yang tadi dibantingnya lalu melemparkan dengan kasar ke arahku. Map itu pun teronggok di lantai tepat di depan kakiku. "Astaghfirullah....." Spontan mulutku mengucap istighfar. Seumur hidup tidak pernah aku bertemu manusia setidak sopan Elgar Khalandra Dimitri Romanov. Kelakuannya benar-benar sudah tidak bisa dimaklumi lagi. Apakah semasa kecil dia tidak pernah belajar etika? Atau memang seperti inilah sifat asli orang kaya?"Bacalah!!!" bentaknya menggelegar. Tak mau membuang waktu, segera kusambar map yang tergeletak di lantai. Membuka dan membacanya. Apa ini? Sempat terkejut dan tak percaya, ternyata ini surat wasiat. Bagaimana bisa baru dua hari kematian sang Papa namun pria