Astaghfirullah...... Tanganku mengepal menahan emosi yang mulai terpetik didalam dada. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba pria itu seperti orang kesetanan. Sabar Shila..... ingat puasa... "Ada apa lagi?" tanyaku berusaha tetap tenang meski sebenarnya dadaku sudah bergemuruh. Pria itu mengambil map yang tadi dibantingnya lalu melemparkan dengan kasar ke arahku. Map itu pun teronggok di lantai tepat di depan kakiku. "Astaghfirullah....." Spontan mulutku mengucap istighfar. Seumur hidup tidak pernah aku bertemu manusia setidak sopan Elgar Khalandra Dimitri Romanov. Kelakuannya benar-benar sudah tidak bisa dimaklumi lagi. Apakah semasa kecil dia tidak pernah belajar etika? Atau memang seperti inilah sifat asli orang kaya?"Bacalah!!!" bentaknya menggelegar. Tak mau membuang waktu, segera kusambar map yang tergeletak di lantai. Membuka dan membacanya. Apa ini? Sempat terkejut dan tak percaya, ternyata ini surat wasiat. Bagaimana bisa baru dua hari kematian sang Papa namun pria
Namaku Elgar Khalandra Dimitri Romanov. Aku Putra dari keluarga Romanov. Pemilik perusahaan raksasa yang menguasai pertambangan batu bara dan emas. Tidak hanya itu aku sendiri memiliki perusahaan elektronik yang sudah mendunia. Tak hanya di Indonesia, anak perusahaanku di berbagai negara dibelahan dunia. Dimata semua orang hidupku sempurna. Kaya dan rupawan. Namun nyatanya hidupku sangat kesepian. Hatiku hampa dan penuh luka. Aku pria yang tidak beruntung dalam cinta maupun keluarga. Ketulusanku dikhianati oleh wanita yang telah membawa seluruh hati dan jiwaku pergi. Membuatku menjadi manusia tak berbelas kasih. Bagiku hanya uang dan kekeuasaan yang terpenting. Aku kejam dan arrogant. Tak ada rasa kasihan yang tersisa, semua lenyap setelah kematian adikku. Peristiwa delapan tahun lalu itu masih terus membekas dan mengoyak hatiku. Olivia, wanita yang kuserahkan seluruh hatiku tega mengkhianatiku. Merusak kepercayaanku juga menghancurkan hidup adikku. Namun bodohnya aku yang meminta
Setelah mendengar cerita dari Veronica, aku langsung bertolak ke Jepang untuk memastikan keadaan Shilla saat ini. Berbagai pikiran buruk membuatku panik. Jangan sampai kejadian delapan tahun lalu terulang lagi. Rasa bersalah itu selalu mengukungku dalam sesal yang berkepanjangan. Orang yang tak bersalah jadi korban balad dendamku. Dan itu benar-benar sangat menyiksaku. Sore ini begitu menginjakkan kaki di negara yang saat tengah mengalami musim dingin aku langsung menelpon Veronica memintanya datang. Di sebuah kafe kami bertemu. "Sampai hari aku belum bisa bertemu dengannya. Nathan dan Miranda itu sangat over protect sama Shilla. Tidak ada yang bisa menjenguknya." Ceritanya saat aku tanya keadaan Shilla. "Tidak, dia tidak dibawa ke rumah sakit. Entahlah sakit apa? Yang pasti saat itu Nathan sampai menyusul ke ke Jakarta begitu mendapatkan kabar Shila pingsan di jalan dari saudaranya Ardi." "Tiga orang itu begitu panik. Bahkan Miranda sampai histeris dan menangis. Miranda sangat
"Karena orang yang menginginkan pernikahan ini sudah tiada. Apa tidak sebaiknya kita akhiri saja sampai disini." Degh..... Sudah bisa kuduga, tak mungkin semudah itu Shilla memberi maaf. Mahluk yang namanya wanita itu selalu memperbesar masalah. Dan terbukti dengan sikap wanita ini. "Menurutmu itu yang terbaik?" "Iya," "Bagaimana dengan My mom?" Shilla menunduk, wajahnya sedikit tertutupi rambut sehingga aku tak bisa melihat dengan jelas ekspresinya. "Dia sangat menyukaimu. Hampir setiap hari dia menanyakan kapan aku membawamu menemuinya lagi. Katanya dia rindu," Si gadis menghela nafas, wajahnya pucat yang sedikit merona di kedua pipinya. Marahkah? Atau kesal? "Aku tahu kemarin aku sudah sangat keterlaluan. Tapi aku sudah minta maaf. Come on.... Jangan terlalu sensitif. Yang sudah berlalu biarlah berlalu." Karena kesal nada suaraku naik satu oktaf. Kembali terdengar helaan nafas dari bibir tipis yang terlihat pucat itu. Sepertinya dia benar-benar sakit. Mendadak aku mera iba.
"Nathan," Kutepuk pelan pundak pria yang dari sejak tadi nampak panik menoleh ke sana kemari. "Ya Tuhan Shila...Dari mana saja kamu?" Nathan langsung memelukku tanpa menghiraukan tatapan orang-orang sekitar kami. "Kamu hampir membuatku kena serangan jantung." Omelnya setelah melerai pelukannya. "Maaf," ucapku. "Bukan kata itu. Tapi jawab, kamu dari mana?" Nampak ekspresi serius di wajah pria berkulit bersih itu. Wajahnya yang putih jadi kemerahan mungkin karna kesal atau lelah mencariku."Kenapa kamu sepanik itu? Aku hanya keluar sebentar saja." jawabku merasa Nathan terlalu berlebihan. Sikapnya itu membuatku sedikit tak nyaman. Pria itu mendengus. "Keluar kemana dan untuk apa? Kenapa tidak menelponku dulu?" cecarnya tak sabar. Aku melirik sekitar, beberapa orang yang lewat melihat kearah kami dengan berbisik- bisik. Membuatku merasa malu, seolah mereka sendang membicarakan kami. Apalagi ada yang dengan terang-terangan menunjuk kearah kami. "Hei..." Nathan mengetukkan jarinya ke
Pukul setengah lima sore, saat terdengar pintu apartemen terbuka. Kawan satu atapku pulang. Telat dua jam dari biasanya. Aku yang berbaring di atas tempat tidur tak berniat beranjak menyambut. Rasa malas mendominasi otakku saat ini. Selang beberapa menit pintu kamarku diketuk dan detik berikut terbuka dari luar. Miranda berjalan masuk dengan Ardi menyusul dibelakangnya. "Masih pusing" Tangan Miranda terulur menyentuh dahiku."Nggak," kataku masih dengan rebahan. Malas sekali bangun. "Tadi aku sudah beli bakso kesukaan kamu di warung Indonesia, buat kita buka nanti. Di luar sedang turun salju, pasti enak makan bakso dengan sambal yang banyak." Ujarnya dengan senyum lebar. Kutarik sudut bibirku membentuk senyuman, "Makasih," Suasana hening sejenak. "Kamu bertengkar dengan Nathan?" tanyanya tiba-tiba dan aku diam saja, bingung mau jawab apa. Menurutku kami tidak bertengkar hanya saja Nathan marah. "Apa kamu merasa tak nyaman dengan sikap kami?" tanyanya lagi. Kualihkan pandanganku
Semalam Nathan tak pulang ke apartemen. Kata Ardi, Nathan di laboratorium untukmu menyelesaikan laporan. Itu pasti tugas laporanku dan Veronica. Selama aku izin Vero mengerjakannya sendiri dan pastinya belum selesai. Sedang Prof Williams hanya memberi waktu kurang dari dua minggu. Begitu sampai kantor aku segera menuju ruang laboratorium kecil yang biasa aku gunakan bersama Veronica. Aku memang sering mendapatkan tugas bersama Veronica. Menurut Miranda hanya aku yang sabar menghadap sikap Vero yang kadang egois dan menang sendiri. "Hai...." Sapa Veronica begitu aku masuk. "Sudah sembuh?" tanya gadis berambut blonde itu dari balik meja. "Alhamdulillah sudah." Aku mendekat, kulihat dia sedang menyusun laporan. "Sudah selesai?" tanyaku merasa sungkan. "Nathan yang mengerjakannya. Aku hanya menyalin saja," jawabnya menunjukkan sebuah kertas yang terdapat tulisan tangan Nathan. "Oh...." Kualihkan pandanganku ke seluruh ruangan. "Dia di halaman belakang. Katanya mau mendinginkan otak
"Makin kesini kok makin aneh ya?" Ardi melirikku. Saat ini kami sedang menunggu waktu berbuka di sebuah kafe dekat apartemen. "Mana ada yang sejak pagi hindar terus," tambah Miranda juga mengarahkan tatapannya padaku. Setelah selesai pertemuan tadi aku memang berusaha menghindar dari ketiga orang ini. Karena tugasku telah seleksi aku pun mencari pekerjaan di tim lain. Sepanjang hari aku mengikuti Devi dan timnya. Mereka juga termasuk dalam proyek penelitian kali ini. Nathan memang tak bersuara namun tatapannya juga mengarah padaku. "Ck.... aku semakin curiga sama si Putra itu." Miranda kembali berbicara. Spontan memutar mataku jengah. Lagi-lagi Putra jadi sasaran. Kecurigaan pada pria itu kembali mencuat setelah tadi Elgar mengatakan kemungkinan dirinya tidak akan bisa datang untuk melihat perkembangan proyek ini dikarenakan kesibukannya dan dia akan menyerahkan segala urusan pada Putra. Dia akan mewakilinya. "Jangan-jangan Putra yang menjadi donatur hanya saja Mr. Elgar yang j