"Nathan," Kutepuk pelan pundak pria yang dari sejak tadi nampak panik menoleh ke sana kemari. "Ya Tuhan Shila...Dari mana saja kamu?" Nathan langsung memelukku tanpa menghiraukan tatapan orang-orang sekitar kami. "Kamu hampir membuatku kena serangan jantung." Omelnya setelah melerai pelukannya. "Maaf," ucapku. "Bukan kata itu. Tapi jawab, kamu dari mana?" Nampak ekspresi serius di wajah pria berkulit bersih itu. Wajahnya yang putih jadi kemerahan mungkin karna kesal atau lelah mencariku."Kenapa kamu sepanik itu? Aku hanya keluar sebentar saja." jawabku merasa Nathan terlalu berlebihan. Sikapnya itu membuatku sedikit tak nyaman. Pria itu mendengus. "Keluar kemana dan untuk apa? Kenapa tidak menelponku dulu?" cecarnya tak sabar. Aku melirik sekitar, beberapa orang yang lewat melihat kearah kami dengan berbisik- bisik. Membuatku merasa malu, seolah mereka sendang membicarakan kami. Apalagi ada yang dengan terang-terangan menunjuk kearah kami. "Hei..." Nathan mengetukkan jarinya ke
Pukul setengah lima sore, saat terdengar pintu apartemen terbuka. Kawan satu atapku pulang. Telat dua jam dari biasanya. Aku yang berbaring di atas tempat tidur tak berniat beranjak menyambut. Rasa malas mendominasi otakku saat ini. Selang beberapa menit pintu kamarku diketuk dan detik berikut terbuka dari luar. Miranda berjalan masuk dengan Ardi menyusul dibelakangnya. "Masih pusing" Tangan Miranda terulur menyentuh dahiku."Nggak," kataku masih dengan rebahan. Malas sekali bangun. "Tadi aku sudah beli bakso kesukaan kamu di warung Indonesia, buat kita buka nanti. Di luar sedang turun salju, pasti enak makan bakso dengan sambal yang banyak." Ujarnya dengan senyum lebar. Kutarik sudut bibirku membentuk senyuman, "Makasih," Suasana hening sejenak. "Kamu bertengkar dengan Nathan?" tanyanya tiba-tiba dan aku diam saja, bingung mau jawab apa. Menurutku kami tidak bertengkar hanya saja Nathan marah. "Apa kamu merasa tak nyaman dengan sikap kami?" tanyanya lagi. Kualihkan pandanganku
Semalam Nathan tak pulang ke apartemen. Kata Ardi, Nathan di laboratorium untukmu menyelesaikan laporan. Itu pasti tugas laporanku dan Veronica. Selama aku izin Vero mengerjakannya sendiri dan pastinya belum selesai. Sedang Prof Williams hanya memberi waktu kurang dari dua minggu. Begitu sampai kantor aku segera menuju ruang laboratorium kecil yang biasa aku gunakan bersama Veronica. Aku memang sering mendapatkan tugas bersama Veronica. Menurut Miranda hanya aku yang sabar menghadap sikap Vero yang kadang egois dan menang sendiri. "Hai...." Sapa Veronica begitu aku masuk. "Sudah sembuh?" tanya gadis berambut blonde itu dari balik meja. "Alhamdulillah sudah." Aku mendekat, kulihat dia sedang menyusun laporan. "Sudah selesai?" tanyaku merasa sungkan. "Nathan yang mengerjakannya. Aku hanya menyalin saja," jawabnya menunjukkan sebuah kertas yang terdapat tulisan tangan Nathan. "Oh...." Kualihkan pandanganku ke seluruh ruangan. "Dia di halaman belakang. Katanya mau mendinginkan otak
"Makin kesini kok makin aneh ya?" Ardi melirikku. Saat ini kami sedang menunggu waktu berbuka di sebuah kafe dekat apartemen. "Mana ada yang sejak pagi hindar terus," tambah Miranda juga mengarahkan tatapannya padaku. Setelah selesai pertemuan tadi aku memang berusaha menghindar dari ketiga orang ini. Karena tugasku telah seleksi aku pun mencari pekerjaan di tim lain. Sepanjang hari aku mengikuti Devi dan timnya. Mereka juga termasuk dalam proyek penelitian kali ini. Nathan memang tak bersuara namun tatapannya juga mengarah padaku. "Ck.... aku semakin curiga sama si Putra itu." Miranda kembali berbicara. Spontan memutar mataku jengah. Lagi-lagi Putra jadi sasaran. Kecurigaan pada pria itu kembali mencuat setelah tadi Elgar mengatakan kemungkinan dirinya tidak akan bisa datang untuk melihat perkembangan proyek ini dikarenakan kesibukannya dan dia akan menyerahkan segala urusan pada Putra. Dia akan mewakilinya. "Jangan-jangan Putra yang menjadi donatur hanya saja Mr. Elgar yang j
Tidak, aku harus menghubungi Nathan. "Halo, tadi pagi aku sudah minum obat kan?" tanya saat sambungan tersambung. [Sudah. Kenapa?]"Kurasa aku berhalusinasi."[Abaikan. Minum obatmu dan tidurlah. Bla bla bla........]Aku tidak lagi fokus pada apa yang dikatakan oleh Nathan saat sosok di depanku berjalan mendekat, memangkas jarak diantara kami. Kubiarkan tangannya mengambil alih ponselku. Seketika aku menahan nafas saat wajah tegas itu semakin dekat. "Ini benar kamarmu, dan kamu juga tidak sedang berhalusinasi." Ucapnya tepat di depan wajahku. Satu detik..... dua detik, "Elgar," sentakku mendorong pria itu menjauh. Elgar tertawa. "Apa yang kamu lakukan di sini?" "Menemu istriku," jawabnya santai lalu kembali duduk diatas tempat tidur. Ish.... istri katanya. "Jangan gil* kamu! Cepat keluar," kutarik tangan pria yang sekarang tengah berbaring. "Aku sangat lelah, izinkan aku tidur sebentar." Tak peduli, aku menariknya lebih kuat namun sial tenagaku kalah dan aku malah jatuh diatas
Pov Elgar. "Kau membunuhnya?" tanya Shila mengangkat kepalanya. Rautnya menunjukkan keterkejutan. "Ck.... aku tak sekejam itu." Kataku mendelik padanya. Gemas sekali aku lihat ekspresi yang polos itu. "Ah.....Syukurlah," gumamnya kembali rebahan. Sepertinya dia sudah sangat mengantuk sampai-sampai terlihat berat mengangkat kepalanya lama-lama.Matanya yang sesekali berkedip dengan bulu mata lentik itu membuatku tak bisa berpaling. Manis sekali. Kuakui gadis ini cukup cantik. Kulitnya putih, matanya bulat dan hidungnya bangir. Ditambah lagi bibirnya yang berwarna pink alami dan sedikit bervolume. Entah nyaman atau apa, masih dengan menatap wajah polos tanpa make up itu aku pun kembali bercerita. "Pria itu bunuh diri karena tak sanggup kehilangan karir dan jabatannya. Dan si wanita karena Shock mengalami keguguran." Dadaku kembali bergemuruh mengingat kejadian itu. "Jujur, aku yang menghancurkan karir laki-laki itu sebagai balasan pengkhianatan yang dia lakukan padaku dan adikku."
Pov Shila. Seminggu berlalu dengan kelegaan. Sedikit tenang karena si Pria arrogant tak muncul lagi. Jujur aku juga tidak yakin dengan malam itu. Benarkah Elgar datang ke kamarku? Atau aku sedang berhalusinasi. Namun yang pasti kami bangun di ranjang yang sama. Aku begitu panik ketika membuka mata yang kulihat adalah sosok Elgar yang tertidur pulas. Sedang di depan pintu kamar Nathan dengan gedoran pintunya. Kugoyangkan tubuh besarnya namun seolah menjelma jadi putri tidur pria itu tak merespon. Kucubit saja lengannya dengan kuku-kuku panjangku sembari Melampiaskan rasa kesal bercampur gemas. Dan ternyata itu berhasil si tukang tidur terbangun juga. Sangat menyebalkan, dia sempat mengomel di tengah situasi yang bisa dikatakan genting. Mungkin tidak baginya tapi iya, bagiku. Aku tidak bisa membayangkan respon Nathana melihatku bersama Elgar di jam 2 pagi. Namun seminggu ini berlalu tanpa drama dan tanpa kepanikan. Entah kemana si pria arrogant? Kurasa pekerjaan yang membuatnya ta
[Kamu pilih pergi dengan Putra atau aku sendiri yang menjemputmu.]"Kamu ja..." Kalimatku tetelan kembali di tenggorokan begitu sambungan telpon diputuskan sepihak oleh si pria egois. Satu panggilan baru yang satu detik lalu tercetus dalam pikiranku untuk Elgar. Tok...tok.... Baru beberapa detik pintu sudah di ketuk dari luar. Nampak Putra berdiri dengan sopan begitu pintu kubuka. "Silahkan mobil sudah menunggu di luar," ucapnya mempersilahkan aku berjalan lebih dulu. Saat melewati lobby Nathan sempat menghampiri dengan ponsel di telinganya. "Hati-hati dan jangan pulang terlalu malam." Katanya sambil melambaikan tangan lalu pergi begitu saja. Pria itu seperti sedang membicarakan hal penting dengan lawan bicaranya. "Apa yang kamu katakan pada Nathan?" tanyaku setelah kami masuk mobil. Putra duduk di sebelah sopir dan aku di kursi penumpang bagian belakang. "Saya beralasan mengajak Nona Shila untuk bertemu teman sekolah." Putra menjawab dengan kalimat formal. Asisten pribadi Elg
Terdengar dering ponsel dari dalam rumah. Elgar yang sedang menyirami tanaman di teras langsung bergegas masuk. Dering panggilan itu sudah di stel khusus untuk satu nomor saja. Sampai didalam segera diraihnya benda pipih yang ada di atas meja ruang tamu. Sebuah senyum merekah dari bibir tegas pria berwajah bule itu saat terlihat kontak dengan nama My Wife nampak dilayar ponselnya. "Halo, assalamu'alaikum," sapanya dengan wajah berbinar dan langsung dijawab oleh lawan bicaranya. [Kamu sedang apa?] Suara dari seberang sana. Elgar pun mengerutkan dahinya. Tidak biasa sang istri tiba-tiba menelpon dan menanyakan kegiatannya. Shilla tipe wanita yang percaya dan memberi kebebasan pada pasangannya. Bukan pencemburu yang selalu meminta pasangannya untuk melaporkan setiap yang dilakukan. "Aku sedang menyiram bunga saat mendengar ponsel berdering." [Sambil bernyanyi dan tertawa sendiri?] "Ya?" Elgar belum bisa mengerti maksud Shilla. "Maksudnya?" [Ya maksud kamu apa, seny
Sudah satu bulan sepasang suami istri itu menepi di pinggiran kota. Hidup sebagai orang biasa. Pagi hari Shilla dan Elgar berolahraga lari berkeliling jalanan yang masih sepi dan asri. Melewati sawah dan sungai yang airnya terlihat jernih. Perjalanan mereka berakhir di pasar tradisional yang banyak menjajakan jajanan dan makanan tradisional. Elgar yang sebelumnya tidak pernah memakan makanan tradisional sangat senang. "Bukan sehat yang ada gula darahmu naik," tegur Shilla saat sang suami mulai lepas kendali. Sudah satu kantong plastik penuh dengan jajanan pasar di tangan kiri Elgar namun pria blasteran itu masih sibuk memilih makanan lain lagi. "Anggap saja kita berbagi rejeki dengan ibu-ibu penjual di sini," bisik Elgar lalu kembali sibuk dengan deretan jajanan yang dominan berasa manis yang ada di depannya. Jika untuk berbagi Shilla sama sekali tidak keberatan. Sayangnya itu hanyalah alasan Elgar saja. Setiap. sampai di rumah dia memang akan memanggil. beberapa anak kecil
Setelah mendapatkan rumah sakit yang tepat Elgar dan Shilla memutuskan untuk pulang ke Surabaya. Sejenak melipir ke pinggiran kota untuk menenangkan diri. Di sana Shilla dan Elgar disambut oleh Budhe Siti dan Rizal. Dua orang itu sangat bersyukur melihat Shilla kembali bersama Elgar. Rasa syukur Budhe Siti ucapkan karena Shilla sudah bisa memaafkan Elgar. "Alhamdulillah... Nak, akhirnya kamu bisa membuka hatimu, mengikhlaskan semua yang telah terjadi." Ucap Budhe Situ setelah adegan penyambutan yang diwarna dengan tangis haru. "Shilla ingin seperti Mama, bisa memaafkan meski sakit." "Iya sayang, kamu memang seperti mamamu, punya hati yang lembut dan penuh kasih." Budhe Siti memeluk satu-satunya keponakan yang dimilikinya itu erat. Elgar yang menyaksikan ikut terharu. Pria itu berjalan mendekat lalu berjongkok di depan dua wanita yang duduk di sofa ruang tamu. "Budhe sebagai saksinya, saya janji tidak akan mengulangi kesalahan saya. Saya akan menjaga dan mencintai Shilla
Meski bersedia memberi kesempatan kedua namun Shilla masih enggan untuk tidur satu kamar dengan Elgar. Wanita cantik dengan rambut panjang sepunggung itu memilih tidur kamar tamu yang ada di lantai bawah rumah mewah peninggalan papa mertuanya. Berbagai alasan Elgar utarakan untuk memaksa istrinya itu tidur di kamar utama namun seperti yang Elgar tahu, istrinya itu sangat keras kepala. "Aku bilang nggak. Kalau kamu maksa aku akan pulang ke Surabaya." Kekeh Shilla sambil mendelik. "Kurasa ikut tinggal di Surabaya lebih baik dari pada tinggal di ibu kota yang udara sangat panas dan banyak polusi." Balas Elgar bersemangat. "Ck...." Tak menyahut Shilla berlalu menuju teras samping. Menyirami bunga-bunga lebih menyenangkan dari pada berdebat dengan Elgar. "Shilla aku lapar. Pengen makan buah." Shilla menoleh, matanya memicing. Pria yang tadi ditinggalkannya di ruang tengah kini sudah duduk kursi panjang dekat pintu penghubung teras samping dan ruang tengah. "Kau punya ka
"Sepertinya kita terlalu lunak dengan wanita itu." Sebuah senyum sinis terlihat di bibir Putra. Pagi ini saat di baru sampai di depan pintu kamar inap bosnya, dua anak buahnya langsung memberi laporan. "Ingat, jangan biarkan dia masuk. Kita tidak tahu apa tujuannya mendekati Tuan." "Benar. Mr. Elgar punya banyak musuh baik dalam. urusan bisnis juga pribadi." Sahut Johan. "Ck, Tuan Elgar." Gerald membetulkan ucapan rekannya. "Perbaiki panggilanmu, jangan membuat Tuan Elgar marah." Ya, sejak kesalahpahaman tentang panggilan Olivia oleh security di mansion kini Elgar meminta semua anak buahnya dan karyawannya untukmu memanggilnya Tuan dan memanggil Shilla dengan panggilan Nyonya. "Biasakan lidahmu dengan bahasa Indonesia. Atau Tuan Elgar akan mengirimmu kembali ke Jerman." "Saya mengerti," ujar Johan mengangguk paham. Dan Putra pun menepuk pundak anak buahnya itu. "Berjaga dengan baik. Saya akan masuk melihat keadaan Tuan." Sebelum masuk Putra mengetuk pintu kamar. Baru setelah
Setelah menjalani perawatan selama hampir satu bulan, hari ini Elgar aka menjalani operasi transplantasi ginjal. Tentu saja setelah Dokter menyatakan kondisinya siap untuk menjalani operasi. Malam ini operasi akan dilakukan, ruang operasi sudah siap juga dengan dokternya. Di ruang rawat inap VVIP Elgar sedang bersia dengan ditemani Shilla dan Putra DM juga Bik Saroh yang sudah seminggu ini ikut bergantian menjaga Elgar. Sebelum dibawa ke ruang operasi Elgar meminta waktu untuk berdua dengan Shilla. "Tolong jangan maafkan aku, aku mohon do'akan agar aku tetap hidup untuk menebus dosa-dosaku padamu." Permintaan Elgar membuat Shilla mengerutkan dahi, bingung. Bagi Shilla permintaan Elgar sangat tidak masuk akal. "Kau takut mati?" tanya Shilla penasaran. "Iya, aku takut mati. Aku takut karena belum menebus semua kesalahan dan dosaku. Dan yang paling kutakutkan kita tidak akan bisa berjodoh di akhirat karena kamu menikah lagi." Sontak saja Shilla melebarkan matanya, kaget dan
"Nanti saya akan kembali lagi, sekarang silahkan beristirahat." Dokter Arinda mengurai senyum termanisnya lalu berjalan menuju pintu. Elgar dan Shilla kompak menghembuskan nafas kasar. Dalam hati ingin sekali mengeluarkan kalimat kasar pada dokter yang menurutnya sangat tidak sopan. "Bagaimana bisa seorang dokter kepo dengan masalah pribadi pasiennya?" gerutu Shilla tanpa sadar. Wajahnya yang bisanya berekspresi datar kini terlihat kesal. Matanya melotot dan bibirnya mengerucut. Untuk apa dia menjaga Elgar jika sudah ada dokter yang begitu memperhatikan pria itu. Bukankah Shilla harusnya senang? Sekarang Shilla bisa pulang ke Surabaya dengan tenang. Tak perlu merasa bersalah apalagi merasa tak tega. Elgar tak hanya mendapatkan dokter yang tepat tapi mungkin bisa mendapatkan calon istri yang baru sebagai pengganti Shilla. Ya, semua sudah benar dan tepat. Tapi entahlah..... hati Shilla bukannya senang. Ada rasa kesal dan marah mengingat setiap perhatian yang dokter Arinda
Sudah dua minggu Shilla menemani dan merawat Elgar selama menjalani pengobatan di rumah sakit. Meski Maaf itu belum sepenuhnya terucap namun Shilla tak pernah meninggalkan pria yang masih sah menjadi suaminya itu. Bibirnya boleh berkata benci dan tak cinta lagi namun hatinya tak pernah bohong. Rasa peduli dan iba membuat wanita yang memiliki paras cantik khas pribumi itu berhenti peduli. Entah benar karena iba atau ada rasa lain yang tak ingin diakuinya. Setiap hari Shilla berada di sisi Elgar, menjaga, menyuapi makan, mengantar saat ingin ke kamar mandi dan sudah dua hari Shilla juga yang mengelap tubuh Elgar dengan air bersih. Semua itu Shilla lakukan dengan telaten meski kadang bibir tipis itu mengeluarkan kalimat gerutunya. "Badanku terasa lebih segar," ucap Elgar dengan senyum mengembang setelah Shilla membersihkan tubuhnya dengan waslap dan air bersih. Hatinya sangat bahagia karena bukan lagi perawat laki-laki yang membantunya membersihkan diri tapi sang istri yang me
Karena sudah memasuki waktu dhuhur aku putuskan untuk melaksanakan sholat dhuhur lebih dukungan sebelum makan siang. Aku memilih kamar tami di lantai atas sedangkan Elgar susah menaiki yanga menuju kamarnya yang ada di lantai dua rumah mewah ini. Di dinding ruang tengah masih terpasang foto Almarhum Papa Leonard dan Mommy Rosa. Dalam foto itu Mommy Rosa tersenyum tipis sedangkan Papa Leonard wajahnya datar. Bahkan dalam foto pun Papa Leonard tak mau berpura-pura bahagia. Tanpa sadar aku menghela nafas, serumit itu cinta mereka. Mungkin raga bisa mengalah namun hati tak mau berubah. Raga mungkin bersanding dengan orang lain namun perasaan cinta tak pernah berpaling. Pasti sangat sakit jadi Mommy Rosa, begitupun Papa Leonard. Dan lebih menderita lagi Mama, yang sudah mengalah namun tetap disalahkan. "Nyonya, silahkan." Aku tersentak saat seorang pelayan menyerahkan mukena yang tadi sempat aku minta. "Ah.... Terima kasih," ucapku berusaha menarik kedua sudut bibirku namun