"Saya Wirandika Putra, asisten Tuan....."Aku melotot berusaha memberi kode pada Putra Namun pria itu tak mengerti. Dia malah diam dan menatapku bingung. "Tuan?" ucap Nathan penasaran. "Tuan Romanov?" sahut Miranda. Degh..... Jantungku rasanya hampir lepas dari tempatnya. Bagaimana bisa dia tahu? Miranda ikut maju dan mengulurkan tangannya. "Saya Miranda senior sekaligus sahabatnya Shilla." "Oh iya, saya Wirandika Putra." Pria berjas hitam itu pun menerima uluran tangan Miranda. "Katanya kamu kerja di perusahaan Romanov, pasti bos kamu Tuan Elgar Khalandra Dimitri Romanov kan?" Miranda menoleh padaku dan Nathan. "Benarkan, Shilla?" Konfirmasinya. Eh.... Aku pun mengangguk, "I-iya..... dia kerja sama Mr Elgar," jawabku memaksa tersenyum. "Jadi kamu teman sekolahnya Shilla?" Tak mau ketinggalan Ardi pun ikut bertanya. Putra nampak bingung, namun kali ini cukup pintar, dia mengikuti intruksiku dengan menganggukkan kepalanya. "Dia teman SMA-ku dulu," sahutku lalu melangkah
"Tentang perjanjian itu saya tahu semuanya," Degh... Kembali jantungku serasa dibuat hampir lepas dari tempatnya Aku tidak menyangka Papa mertuaku ini mengetahui rahasia antara aku dan putranya. "Aku sangat menyesal dengan yang telah Elgar lakukan. Bagaimana bisa dia menawarkan kontrak itu padamu." Sambungnya dan aku hanya diam membeku di tempat. Tak tahu harus menjawab apa. "Maafkan saya." Hanya kalimat itu yang keluar dari kedua bibirku. Wajah pucat itu menatapku sendu. Apakah pernikahan kontrak kami juga salah satu penyumbang penyesalan yang nampak dari sorot matanya. Oh.... Tuhan berdosanya aku...... "Kamu harus tahu, saya tidak berbuat buruk dengan perhodohan ini. Saya benar-benar menyanyanimu dan ingin kamu menjadi menantu saya." Ya Alloh..... ampuni hamba karena sudah mengecewakan banyak orang. "Saya minta maaf," kataku lagi penuh penyesalan. "Tidak, Shilla. Ini semua salah saya. Saya yang memaksakan pernikahan ini. Sebagai seorang suami saya telah gagal dan kini saya
"Katakan obat apa yang barusan kamu minum?" tanyanya lagi dengan nada tegas. "Beberapa kali aku melihatmu mengonsumsi obat itu? Jangan-jangan kamu..?" "Itu obat sakit kepala?" jawabku sedikit keras karena panik dan kaget. Dasar, Lama-lama aku bisa kena penyakit jantung. Suka sekali muncul tiba-tiba. Pria itu memicingkan matanya. Sepertinya dia tidak percaya. Seaneh itukah sikapku tadi. Mungkin dia malu aku bersikap aneh di depan umum. "Emmm..... sebenarnya aku punya penyakit Vertigo. Terkadang kepalaku mendadak pusing." Aku hampir menggigit lidahku sendiri, menyesal karena menjelaskan sesuatu yang tidak perlu dijelaskan. Pria itu masih saja menatapku, apa dia tidak percaya? Kuhela nafas panjang lalu kembali menjelaskan. "Orang dengan riwayat Vertigo terkadang mengalami pusing berat sampai merasa sekitarnya bergoyang bahkan berputar-putar." Tidak sepenuhnya berbohong. Kenyataannya aku memang memiliki riwayat penyakit itu. "Ck.... tak perlu dijelaskan aku juga tidak ingin tahu." Pr
Hidup dan mati adalah rahasia yang tak bisa kita minta atau tolak. Juga tak bisa kita tebak kapan datangnya. Kemarin Papa mertuaku masih sempat mengirim pesan menanyakan kabarku? Namun hari ini dia aku mengiringi proses pemakamannya. Aku tak pernah menyangka jika kepulanganku kali ini untuk mengantarkan Papa mertua yang baru dua kali kutemui ke peristirahatan terakhirnya. Sungguh tak pernah terpikir jika pria yang masih terlihat gagah itu akan pergi secepat ini. Elgar terlihat begitu terpukul dengan kematian sang Papa. Pria yang selalu terlihat angkuh dan sombong itu kini nampak begitu pasrah seperti kehilangan separuh nyawanya. Tubuh kekarnya luruh ke tanah begitu para pelayat telah pergi. Tak lagi menahan image, di atas gundukan tanah yang masih merah itu Elgar menangis tersedu-sedu tanpa suara. Hanya ada air mata dan tarikan nafas yang putus-putus. Aku tak menyangka dibalik sikap dinginnya ternyata dia begitu menyayangi papanya. Namun anehnya sampai almarhum Papa Leonard di
Astaghfirullah...... Tanganku mengepal menahan emosi yang mulai terpetik didalam dada. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba pria itu seperti orang kesetanan. Sabar Shila..... ingat puasa... "Ada apa lagi?" tanyaku berusaha tetap tenang meski sebenarnya dadaku sudah bergemuruh. Pria itu mengambil map yang tadi dibantingnya lalu melemparkan dengan kasar ke arahku. Map itu pun teronggok di lantai tepat di depan kakiku. "Astaghfirullah....." Spontan mulutku mengucap istighfar. Seumur hidup tidak pernah aku bertemu manusia setidak sopan Elgar Khalandra Dimitri Romanov. Kelakuannya benar-benar sudah tidak bisa dimaklumi lagi. Apakah semasa kecil dia tidak pernah belajar etika? Atau memang seperti inilah sifat asli orang kaya?"Bacalah!!!" bentaknya menggelegar. Tak mau membuang waktu, segera kusambar map yang tergeletak di lantai. Membuka dan membacanya. Apa ini? Sempat terkejut dan tak percaya, ternyata ini surat wasiat. Bagaimana bisa baru dua hari kematian sang Papa namun pria
Namaku Elgar Khalandra Dimitri Romanov. Aku Putra dari keluarga Romanov. Pemilik perusahaan raksasa yang menguasai pertambangan batu bara dan emas. Tidak hanya itu aku sendiri memiliki perusahaan elektronik yang sudah mendunia. Tak hanya di Indonesia, anak perusahaanku di berbagai negara dibelahan dunia. Dimata semua orang hidupku sempurna. Kaya dan rupawan. Namun nyatanya hidupku sangat kesepian. Hatiku hampa dan penuh luka. Aku pria yang tidak beruntung dalam cinta maupun keluarga. Ketulusanku dikhianati oleh wanita yang telah membawa seluruh hati dan jiwaku pergi. Membuatku menjadi manusia tak berbelas kasih. Bagiku hanya uang dan kekeuasaan yang terpenting. Aku kejam dan arrogant. Tak ada rasa kasihan yang tersisa, semua lenyap setelah kematian adikku. Peristiwa delapan tahun lalu itu masih terus membekas dan mengoyak hatiku. Olivia, wanita yang kuserahkan seluruh hatiku tega mengkhianatiku. Merusak kepercayaanku juga menghancurkan hidup adikku. Namun bodohnya aku yang meminta
Setelah mendengar cerita dari Veronica, aku langsung bertolak ke Jepang untuk memastikan keadaan Shilla saat ini. Berbagai pikiran buruk membuatku panik. Jangan sampai kejadian delapan tahun lalu terulang lagi. Rasa bersalah itu selalu mengukungku dalam sesal yang berkepanjangan. Orang yang tak bersalah jadi korban balad dendamku. Dan itu benar-benar sangat menyiksaku. Sore ini begitu menginjakkan kaki di negara yang saat tengah mengalami musim dingin aku langsung menelpon Veronica memintanya datang. Di sebuah kafe kami bertemu. "Sampai hari aku belum bisa bertemu dengannya. Nathan dan Miranda itu sangat over protect sama Shilla. Tidak ada yang bisa menjenguknya." Ceritanya saat aku tanya keadaan Shilla. "Tidak, dia tidak dibawa ke rumah sakit. Entahlah sakit apa? Yang pasti saat itu Nathan sampai menyusul ke ke Jakarta begitu mendapatkan kabar Shila pingsan di jalan dari saudaranya Ardi." "Tiga orang itu begitu panik. Bahkan Miranda sampai histeris dan menangis. Miranda sangat
"Karena orang yang menginginkan pernikahan ini sudah tiada. Apa tidak sebaiknya kita akhiri saja sampai disini." Degh..... Sudah bisa kuduga, tak mungkin semudah itu Shilla memberi maaf. Mahluk yang namanya wanita itu selalu memperbesar masalah. Dan terbukti dengan sikap wanita ini. "Menurutmu itu yang terbaik?" "Iya," "Bagaimana dengan My mom?" Shilla menunduk, wajahnya sedikit tertutupi rambut sehingga aku tak bisa melihat dengan jelas ekspresinya. "Dia sangat menyukaimu. Hampir setiap hari dia menanyakan kapan aku membawamu menemuinya lagi. Katanya dia rindu," Si gadis menghela nafas, wajahnya pucat yang sedikit merona di kedua pipinya. Marahkah? Atau kesal? "Aku tahu kemarin aku sudah sangat keterlaluan. Tapi aku sudah minta maaf. Come on.... Jangan terlalu sensitif. Yang sudah berlalu biarlah berlalu." Karena kesal nada suaraku naik satu oktaf. Kembali terdengar helaan nafas dari bibir tipis yang terlihat pucat itu. Sepertinya dia benar-benar sakit. Mendadak aku mera iba.
Terdengar dering ponsel dari dalam rumah. Elgar yang sedang menyirami tanaman di teras langsung bergegas masuk. Dering panggilan itu sudah di stel khusus untuk satu nomor saja. Sampai didalam segera diraihnya benda pipih yang ada di atas meja ruang tamu. Sebuah senyum merekah dari bibir tegas pria berwajah bule itu saat terlihat kontak dengan nama My Wife nampak dilayar ponselnya. "Halo, assalamu'alaikum," sapanya dengan wajah berbinar dan langsung dijawab oleh lawan bicaranya. [Kamu sedang apa?] Suara dari seberang sana. Elgar pun mengerutkan dahinya. Tidak biasa sang istri tiba-tiba menelpon dan menanyakan kegiatannya. Shilla tipe wanita yang percaya dan memberi kebebasan pada pasangannya. Bukan pencemburu yang selalu meminta pasangannya untuk melaporkan setiap yang dilakukan. "Aku sedang menyiram bunga saat mendengar ponsel berdering." [Sambil bernyanyi dan tertawa sendiri?] "Ya?" Elgar belum bisa mengerti maksud Shilla. "Maksudnya?" [Ya maksud kamu apa, seny
Sudah satu bulan sepasang suami istri itu menepi di pinggiran kota. Hidup sebagai orang biasa. Pagi hari Shilla dan Elgar berolahraga lari berkeliling jalanan yang masih sepi dan asri. Melewati sawah dan sungai yang airnya terlihat jernih. Perjalanan mereka berakhir di pasar tradisional yang banyak menjajakan jajanan dan makanan tradisional. Elgar yang sebelumnya tidak pernah memakan makanan tradisional sangat senang. "Bukan sehat yang ada gula darahmu naik," tegur Shilla saat sang suami mulai lepas kendali. Sudah satu kantong plastik penuh dengan jajanan pasar di tangan kiri Elgar namun pria blasteran itu masih sibuk memilih makanan lain lagi. "Anggap saja kita berbagi rejeki dengan ibu-ibu penjual di sini," bisik Elgar lalu kembali sibuk dengan deretan jajanan yang dominan berasa manis yang ada di depannya. Jika untuk berbagi Shilla sama sekali tidak keberatan. Sayangnya itu hanyalah alasan Elgar saja. Setiap. sampai di rumah dia memang akan memanggil. beberapa anak kecil
Setelah mendapatkan rumah sakit yang tepat Elgar dan Shilla memutuskan untuk pulang ke Surabaya. Sejenak melipir ke pinggiran kota untuk menenangkan diri. Di sana Shilla dan Elgar disambut oleh Budhe Siti dan Rizal. Dua orang itu sangat bersyukur melihat Shilla kembali bersama Elgar. Rasa syukur Budhe Siti ucapkan karena Shilla sudah bisa memaafkan Elgar. "Alhamdulillah... Nak, akhirnya kamu bisa membuka hatimu, mengikhlaskan semua yang telah terjadi." Ucap Budhe Situ setelah adegan penyambutan yang diwarna dengan tangis haru. "Shilla ingin seperti Mama, bisa memaafkan meski sakit." "Iya sayang, kamu memang seperti mamamu, punya hati yang lembut dan penuh kasih." Budhe Siti memeluk satu-satunya keponakan yang dimilikinya itu erat. Elgar yang menyaksikan ikut terharu. Pria itu berjalan mendekat lalu berjongkok di depan dua wanita yang duduk di sofa ruang tamu. "Budhe sebagai saksinya, saya janji tidak akan mengulangi kesalahan saya. Saya akan menjaga dan mencintai Shilla
Meski bersedia memberi kesempatan kedua namun Shilla masih enggan untuk tidur satu kamar dengan Elgar. Wanita cantik dengan rambut panjang sepunggung itu memilih tidur kamar tamu yang ada di lantai bawah rumah mewah peninggalan papa mertuanya. Berbagai alasan Elgar utarakan untuk memaksa istrinya itu tidur di kamar utama namun seperti yang Elgar tahu, istrinya itu sangat keras kepala. "Aku bilang nggak. Kalau kamu maksa aku akan pulang ke Surabaya." Kekeh Shilla sambil mendelik. "Kurasa ikut tinggal di Surabaya lebih baik dari pada tinggal di ibu kota yang udara sangat panas dan banyak polusi." Balas Elgar bersemangat. "Ck...." Tak menyahut Shilla berlalu menuju teras samping. Menyirami bunga-bunga lebih menyenangkan dari pada berdebat dengan Elgar. "Shilla aku lapar. Pengen makan buah." Shilla menoleh, matanya memicing. Pria yang tadi ditinggalkannya di ruang tengah kini sudah duduk kursi panjang dekat pintu penghubung teras samping dan ruang tengah. "Kau punya ka
"Sepertinya kita terlalu lunak dengan wanita itu." Sebuah senyum sinis terlihat di bibir Putra. Pagi ini saat di baru sampai di depan pintu kamar inap bosnya, dua anak buahnya langsung memberi laporan. "Ingat, jangan biarkan dia masuk. Kita tidak tahu apa tujuannya mendekati Tuan." "Benar. Mr. Elgar punya banyak musuh baik dalam. urusan bisnis juga pribadi." Sahut Johan. "Ck, Tuan Elgar." Gerald membetulkan ucapan rekannya. "Perbaiki panggilanmu, jangan membuat Tuan Elgar marah." Ya, sejak kesalahpahaman tentang panggilan Olivia oleh security di mansion kini Elgar meminta semua anak buahnya dan karyawannya untukmu memanggilnya Tuan dan memanggil Shilla dengan panggilan Nyonya. "Biasakan lidahmu dengan bahasa Indonesia. Atau Tuan Elgar akan mengirimmu kembali ke Jerman." "Saya mengerti," ujar Johan mengangguk paham. Dan Putra pun menepuk pundak anak buahnya itu. "Berjaga dengan baik. Saya akan masuk melihat keadaan Tuan." Sebelum masuk Putra mengetuk pintu kamar. Baru setelah
Setelah menjalani perawatan selama hampir satu bulan, hari ini Elgar aka menjalani operasi transplantasi ginjal. Tentu saja setelah Dokter menyatakan kondisinya siap untuk menjalani operasi. Malam ini operasi akan dilakukan, ruang operasi sudah siap juga dengan dokternya. Di ruang rawat inap VVIP Elgar sedang bersia dengan ditemani Shilla dan Putra DM juga Bik Saroh yang sudah seminggu ini ikut bergantian menjaga Elgar. Sebelum dibawa ke ruang operasi Elgar meminta waktu untuk berdua dengan Shilla. "Tolong jangan maafkan aku, aku mohon do'akan agar aku tetap hidup untuk menebus dosa-dosaku padamu." Permintaan Elgar membuat Shilla mengerutkan dahi, bingung. Bagi Shilla permintaan Elgar sangat tidak masuk akal. "Kau takut mati?" tanya Shilla penasaran. "Iya, aku takut mati. Aku takut karena belum menebus semua kesalahan dan dosaku. Dan yang paling kutakutkan kita tidak akan bisa berjodoh di akhirat karena kamu menikah lagi." Sontak saja Shilla melebarkan matanya, kaget dan
"Nanti saya akan kembali lagi, sekarang silahkan beristirahat." Dokter Arinda mengurai senyum termanisnya lalu berjalan menuju pintu. Elgar dan Shilla kompak menghembuskan nafas kasar. Dalam hati ingin sekali mengeluarkan kalimat kasar pada dokter yang menurutnya sangat tidak sopan. "Bagaimana bisa seorang dokter kepo dengan masalah pribadi pasiennya?" gerutu Shilla tanpa sadar. Wajahnya yang bisanya berekspresi datar kini terlihat kesal. Matanya melotot dan bibirnya mengerucut. Untuk apa dia menjaga Elgar jika sudah ada dokter yang begitu memperhatikan pria itu. Bukankah Shilla harusnya senang? Sekarang Shilla bisa pulang ke Surabaya dengan tenang. Tak perlu merasa bersalah apalagi merasa tak tega. Elgar tak hanya mendapatkan dokter yang tepat tapi mungkin bisa mendapatkan calon istri yang baru sebagai pengganti Shilla. Ya, semua sudah benar dan tepat. Tapi entahlah..... hati Shilla bukannya senang. Ada rasa kesal dan marah mengingat setiap perhatian yang dokter Arinda
Sudah dua minggu Shilla menemani dan merawat Elgar selama menjalani pengobatan di rumah sakit. Meski Maaf itu belum sepenuhnya terucap namun Shilla tak pernah meninggalkan pria yang masih sah menjadi suaminya itu. Bibirnya boleh berkata benci dan tak cinta lagi namun hatinya tak pernah bohong. Rasa peduli dan iba membuat wanita yang memiliki paras cantik khas pribumi itu berhenti peduli. Entah benar karena iba atau ada rasa lain yang tak ingin diakuinya. Setiap hari Shilla berada di sisi Elgar, menjaga, menyuapi makan, mengantar saat ingin ke kamar mandi dan sudah dua hari Shilla juga yang mengelap tubuh Elgar dengan air bersih. Semua itu Shilla lakukan dengan telaten meski kadang bibir tipis itu mengeluarkan kalimat gerutunya. "Badanku terasa lebih segar," ucap Elgar dengan senyum mengembang setelah Shilla membersihkan tubuhnya dengan waslap dan air bersih. Hatinya sangat bahagia karena bukan lagi perawat laki-laki yang membantunya membersihkan diri tapi sang istri yang me
Karena sudah memasuki waktu dhuhur aku putuskan untuk melaksanakan sholat dhuhur lebih dukungan sebelum makan siang. Aku memilih kamar tami di lantai atas sedangkan Elgar susah menaiki yanga menuju kamarnya yang ada di lantai dua rumah mewah ini. Di dinding ruang tengah masih terpasang foto Almarhum Papa Leonard dan Mommy Rosa. Dalam foto itu Mommy Rosa tersenyum tipis sedangkan Papa Leonard wajahnya datar. Bahkan dalam foto pun Papa Leonard tak mau berpura-pura bahagia. Tanpa sadar aku menghela nafas, serumit itu cinta mereka. Mungkin raga bisa mengalah namun hati tak mau berubah. Raga mungkin bersanding dengan orang lain namun perasaan cinta tak pernah berpaling. Pasti sangat sakit jadi Mommy Rosa, begitupun Papa Leonard. Dan lebih menderita lagi Mama, yang sudah mengalah namun tetap disalahkan. "Nyonya, silahkan." Aku tersentak saat seorang pelayan menyerahkan mukena yang tadi sempat aku minta. "Ah.... Terima kasih," ucapku berusaha menarik kedua sudut bibirku namun