Akan lebih baik jika pria angkuh itu tidak tahu keberadaanku! Jadi, kuhiraukan pesan asisten Elgar itu.Untungnya, tak ada lagi gangguan dari keduanya. Bahkan saat aku dan timku akhirnya sampai di negara yang terkenal dengan keindahan bunga sakuranya itu. Negara dimana tugas pertamaku dulu saat masih menjadi junior. Banyak pelajaran dan ilmu yang aku dapatkan di sini. Aku dan Ardi juga menyelesaikan S2 kami di negara ini, dua tahun yang lalu. Di negara ini aku seperti mengulang kenangan lama saat pertama kali mengenal Nathan, senior angkuh dan dingin yang omongan sepedas cabe gunung Bromo. Namun setelah mengenalnya lebih dekat, aku tahu sikap tegas adalah bentuk dari rasa peduli dan perhatiannya. "Minum obatmu," bisik Nathan sambil menyerahkan sebutir pil berwarna putih. Kuurai senyum tipis dan segera menuruti perintahnya. Jangan salah sangka, semua perhatian Nathan bukan karena dia mencintaiku melainkan karena rasa bersalah atas sebuah insiden yang terjadi dua tahun yang lalu. Da
"Sepertinya aku lupa belum minum obat." Aku berlari masuk ke dalam kamar. Tak lupa menguncinya dari dalam, takut salah satu dari trio kepo itu menyusul dan menerobos masuk. Kuhela nafas panjang berulang kali untuk menetralkan degup jantungku yang terasa berlompatan karena perbuatan Putra. Dag... dig... dug..... Detak jantungku masih bersahutan bak genderang perang. Namun tak menghentikan jemariku menari lincah diatas layar ponsel. Menulis pesan pada asisten pribadi pria sombong itu. [Putra, apa kamu mengirimkan paket untukku?]Perasaan panik membuatku tak tenang. Sambil berjalan mondar mandir aku menunggu balasan dari Putra. Ting..... Sebuah pesan masuk.[Iya, Nona Ashilla. Saya mengirim sebuah paket atas perintah Tuan Elgar,] balasnya. Kuhela nafas untuk menahan emosi yang tiba-tiba memenuhi dadaku. 'Tenang Shila....Tenang! Jaga emosimu.....'[Untuk apa? Bukankah sudah ada perjanjian, kami tidak akan berinteraksi. Aku dengan hidupku, dia dengan hidupnya.] Apa si Elgar itu lupa
Untungnya, aku tak melihat sosok yang mirip Putra itu lagi. Bahkan, tiga hari berturutu-turut. Jadi, kusimpulkan bahwa aku salah lihat!Oleh sebab itu, selama free, aku memutuskan mengitari kota Frankfurt, salah satu kota metropolitan di Jerman dan pusat bank besar Tak lupa, aku mampir ke jembatan cinta, jembatan yang dipenuhi gembok yang bertuliskan nama pasangan kekasih. "Konon katanya, jika menuliskan nama pasangan masing-masing pada gembok yang di kunci dan kuncinya dibuang ke sungai maka hubungannya akan langgeng selamanya!" Ucapan Ardi membuatku menuliskan inisial namaku dan Devon pada gembok, menguncinya, kemudian membuang kuncinya ke sungai. Ya, Devon Darius Admaja adalah kekasihku yang katanya telah meninggal karena kecelakaan di Belanda. Namun, aku tak percaya sebelum kulihat sendiri makamnya. Selama itu, aku akan tetap menganggapnya masih hidup. Tak peduli orang-orang menganggapku gila atau sakit jiwa. Kusematkan foto gembong bertuliskan inisial A dan D di sosmed deng
"Benar! Teman-teman ini, Kak Elgar yang sudah kuanggap seperti saudarku sendiri," ucap Veronika, "Oh, iya dia kakak dari almarhum sahabatku, Eliza." Kupasang senyum pura-pura ramah saat Elgar menatapku dengan satu alis terangkat. Tatapannya beralih pada tangan kananku yang ada diatas meja dan entah sejak kapan sudah digenggam oleh Nathan. Aku dan Nathan sangat dekat dan terbiasa bergandengan tangan. Sangking biasanya aku sampai tak pernah merasa risih saat Nathan memegang tanganku. Kurasakan genggaman tangan Nathan mengerat. Seolah menunjukkan kami memiliki hubungan. Itu selalu Nathan lakukan untuk melindungiku dari tatapan dan niat buruk pria hidung belang. "Aku akan mentraktir kalian, pesan minuman lagi." Elgar memanggil pelayanan dan memesan beberapa makanan dan minuman berwarna merah yang tentu saja mahal dan memabukkan. "Silahkan," Elgar mengangkat gelasnya. Hanya Gerald dan Veronika saja yang menerima ajakan minum itu. "Kalian tidak minum?" tanya Elgar berlagak bingung. C
10.Paginya. Karena masih sangat mengantuk, aku kembali naik ke atas tempat tidur setelah melaksanakan sholat shubuh. Menyambung mimpi yang sempat terputus. Semalam kami sampai menjelang shubuh. Ya..... si gadis bule itu tak berhenti membuat ulah. Meski aku sudah menuruti permintaannya tapi Vero tetap menolak saat diajak pulang. Akhirnya, kami memutuskan membawanya secara paksa. Meski dengan menahan malu sepanjang jalan karena Vero berteriak-teriak. Beruntung Gerald masih dengan sabar menggendongnya. Samar-samar aku mendengar pintu kamar di ketuk. "Shilla masih tidur?" Suara Nathan.Sudah menjadi kebiasaan Nathan mendatangi kamarku setiap pagi hanya untuk memastikan kondisiku baik-baik saja. Romantis sekali kan? Seandainya itu Devon, "Tadi dia sudah bangun untuk sholat shubuh. Mungkin masih ngantuk jadi tidur lagi. Tidak perlu khawatir, dia baik-baik saja," jawab Miranda. Selang beberapa detik terasa ranjang bergerak di bagian ujungnya. Seperti biasa, Nathan akan ikut tidur di
"Lets go!!!" Seru Veronica. Gadis itu mengedipkan matanya kearahku lalu masuk ke dalam mobil dan diikuti Miranda dan Ardi. Di sampingku Nathan mendengus sambil membuang muka. "Ayo," ajakku menggandeng tangannya. Kami pun ikut masuk, duduk di kursi belakang. Entah apa yang dikatakan Vero pada Mbak Miranda dan Ardi, sampai-sampai dua orang itu rela berdebat panjang dengan Nathan, memaksa untuk memenuhi undangan Elgar, si pria arrogant. Jujur, aku sangat malas memenuhu udangan pria itu. Namun aku tak bisa menolak keinginan Mbak Miranda. Wanita 30 tahun itu sangat dominan dan tak suka dibantah. "Jadi, kamu lebih nurut sama Nathan ketimbang aku? Ingat, siapa yang lebih dulu mengenal dan membimbingmu?" Aku teringat perdebatan yang terjadi dua jam yang lalu saat aku menolak usulannya untuk menerima undangan makan siang dari si Tuan Romanov. "Kamu jangan lupa, apa yang sudah Nathan lakukan sampai kamu harus menjalani terapi dan minum obat setiap hari?" Sambung Mbak Miranda yang membuat
"Kenapa Shilla harus memanggil Aunty Rosa, Mommy?" Dari tempatnya berdiri Veronica memicingkan matanya, curiga. Duh.... gusti.... Habislah aku kalau sampai Mommynya Elgar membuka status hubunganku dengan putranya itu. "Dulu aku punya sahabat yang wajahnya mirip sekali dengan Shilla dan dia juga memliki anak yang umurnya Sama dengan Shilla. Jadi, aku ingin menganggapnya sebagai dari sahabatku." Nyesssss....... Perlahan rasa dingin menyebar dalam dadaku. Tanpa sadar aku mengembuskan nafas lega. 'Syukurlah....' gumamku dalam hati. "Bolehkan saya menganggap kamu anak dari sahabat saya. Melihatmu serasa mengobati rinduku padanya." Nyonya Rosa menatapku sendu. Tak tega aku pun mengangguk. "I-iya boleh." Meski canggung aku berusaha tersenyum. Tak menunggu lama, wanita berwajah ayu itu membawaku ke arah meja makan. Dia memintaku duduk disebelahnya. "Mari silahkan cicipi masakan Aunty." Nyonya Rosa mempersilahkan kami semua makan. Beberapa kali wanita yang masih telihat cantik di usia
"Kumohon..." Kupasang wajah paling melas yang aku bisa, namun wajah angkuh itu tetap tak peduli. Dia malah membuang muka. Anehnya detik berikutnya perlahan genggaman di pergelangan tanganku perlahan merenggang. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan kutarik tanganku dan segera berlalu dari hadapan Elgar. Kuhela nafas lega begitu sampai di halaman belakang Mansion. Sambil mengatur nafas aku berjalan pelan mengejar Nathan yang ternyata berjalan kearah halaman samping. Plak..... Kutepuk pundak Nathan dari belakang. "Hai....." Tak lupa kupasang senyum tipis saat Nathan menoleh untuk menyamarkan raut panik yang mungkin masih nampak diwajahku. "Dari mana saja kamu? Bikin orang khawatir saja," omel Nathan dengan wajah seriusnya. "Maaf, tadi.... aku lihat tanaman bunga sebentar. Di sana, ya ada di taman sana." Sebuah alasan terlintas begitu saja di otakku. Aku pun berbohong. Nathan memicingkan matanya, nampak sekali dia tak percaya. Mungkin wajahku terlihat gugup. "Tadi..... aku lihat ada