Share

Awal pertemuan

"Tanya alamat," jawabku asal.

"Mana ada orang nanya alamat di gedung penelitian?"

Aku hanya mengangkat bahuku, lalu kembali sibuk dengan layar ponselku.

"Malam ini aku akan pulang ke rumahku. Nathan dan Mbak Miranda juga pulang ke rumah orang tua mereka. Kamu gak papa sendirian?"

Aku menoleh, "Iya, nanti aku akan ke rumah Natalia. Makasih sudah mengkhawatirkan aku."

"Bagus kalau kamu tahu. Jadi, jangan sampai tidak mengangkat telpon."

"Siap," jawabku.

Aku tak pernah berhenti bersyukur mendapatkan kesempatan bertemu orang-orang baik seperti mereka bertiga. Ardi sudah seperti saudara kembar yang selalu tahu dan faham perubahan moodku.

Nathan lebih ke seorang kakak yang selalu perhatian dan siap menjagaku. Dan Mbak Mirna dibalik ketegasannya ada kasih seorang ibu yang perhatian.

Terima kasih Tuhan.... diantara kepahitan dan penderita masih Engkau selipkan orang-orang baik di perjalan hidupku.

Sampai di rumah aku segera membersihkan diri sebelum bersantai.

Hanya saja, baru keluar kamar mandi, getaran dari ponsel yang ada di atas nakas menarik perhatianku.

Siapa lagi yang menelpon?

'Pasti Ardi kalau tidak Nathan.'

Dengan malas aku berjalan menuju meja kecil dekat ranjang.

Tunggu.....

Dahiku berkerut saat sebuah nomor tak dikenal nampak di layar benda pipih itu.

[Halo, selamat sore, dengan Nona Ashilla Shafazea?] Suaranya terdengar tak asing di telingaku.

"Iya, dengan siapa ini?"

[Saya Putra. Asisten pribadi Tuan Elgar Kalandra Romanov. Saya yang tadi siang menemui Anda.]

Astaga..... laki-laki itu tak menyerah.

"Lalu?" Tak ingin basa basi.

[Seperti yang saya katakan tadi, Tuan Elgar ingin bertemu dengan Anda. Beliau...]

"Maaf, bukankah tadi saya juga sudah bilang, saya tidak bisa. Saya tidak mengenal Anda juga bos anda itu. Jika itu tentang pekerjaan silahkan langsung hubungi kantor saya atau pimpinan tim saya. Terima kasih."

Segera aku akhiri panggilan tanpa menunggu respon dari lawan bicaraku.

Entah apa yang sebenarnya diinginkan oleh pria bernama Putra itu, kenapa memaksa sekali. Jika itu tentang penelitian harusnya Nathan atau Mbak Miranda yang dia temui.

Ya, kami memang sering disewa perusahaan farmasi untuk meneliti suatu formula atau obat baru untuk menguji kandungan didalam berbahaya atau tidak.

Tapi sepengetahuanku dari nama belakang yang disebutkan tadi bukan perusahaan yang bergerak dalam bidang farmasi. Jadi, untuk apa pria keturunan keluarga Romanov itu ingin bertemu denganku?

Pusing, kuputuskan untuk langsung memblokir nomornya!

[Blokir Kontak Putra]

Sayangnya, pria itu terus menghubungi meski dari nomor lain. Selama hampir empat jam pria itu sudah menelponku lebih dari seratus kali panggilan!

Jadi, di sinilah aku, tepat jam 8 malam, menyerah dan menerima undangan pria bernama Putra itu.

Begitu sampai di restoran yang dimaksud, kusebutkan nama Wirandaka Putra.

Dengan cepat, pelayan langsung mengantarkan aku ke sebuah private room.

Ternyata, di depan pintu sudah menunggu pria yang sejak lima jam yang lalu mengganggu ketenanganku.

Meski kesal aku tetap memasang wajah datar dan menerima uluran tangannya untuk berjabat tangan.

"Silahkan masuk, Mister Elgar sudah menunggu di dalam." Dengan sopan pria berjas hitam itu membukakan pintu dan mempersilahkan aku masuk terlebih dulu.

Begitu kakiku melangkah memasuki ruangan itu, aku langsung disambut tatapan angkuh dan sombong dari seorang pria yang aku akui wajahnya memang tampan.

Inikah Elgar Khalandra Dimitri Romanov?

Seperti namanya, pria itu bukan pribumi asli. Wajahnya perpaduan Indo-Turki-Jerman, alisnya tebal dengan mata tajam dan rahang tegas.

Aku tidak terlalu kaget, sebagai seorang ilmuan muda yang bekerja sebagai peneliti pastinya aku cukup sering ikut serta dalam penelitian bertaraf internasional yang membuatku bertemu dengan beberapa CEO tampan yang menjadi donatur. Mereka memang seperti cerita di novel-novel romansa, rupawan dan kaya.

"Silahkan duduk, Nona Ashilla." Suara Putra sedikit mengagetkan aku yang pikirannya sudah melalang buana.

"Terima kasih." Aku mengangguk dan menuruti Putra untuk duduk di kursi yang sudah ditariknya. Berhadapan dengan pria sombong yang sayang sangat tampan.

Beberapa saat kualihkan pandanganku pada pria yang masih setia dengan tatapan angkuhnya dan mulut terkunci. Sesekali pria itu berdecih dan tersenyum sinis.

Hampir sepuluh menit berlalu dan aku mulai merasa jengah menunggu pria itu berbicara.

Sebaiknya aku yang mengakhiri suasana tak nyaman ini. "Maaf, bisa katakan keperluan Anda meminta saya datang."

Pria itu malah tersenyum remeh sambil membuang muka. Menghadapi pria kaya dan sombong memang susah. Dan aku sudah dua kali mengalaminya.

Semakin dilawan dia akan semakin tertantang dan akibatnya akan semakin menyusahkan. Tapi sebaliknya, jika kita mengalah dan menurutinya, makan dia akan semakin menjadi dan mendominasi.

"Jika tidak ada yang dibicarakan, saya permisi." Tanpa menunggu jawaban aku segera beranjak dan berjalan keluar.

Putra terlihat bingung dan kaget. Pria itu mengarahkan pandangannya padaku dan pada pada bosnya.

"Tunggu!"

Akhirnya terdengar juga suara berat pria itu, namun aku sudah tak peduli. Aku terus melangkah hingga tanganku sudah memegang gagang pintu.

"Ini tentang perusahaan Papamu."

Degh....

Langkahku langsung terhenti, pelan memutar tubuhku kembali kearah pria yang saat ini mengukir senyum tipis.

"Duduklah kembali, aku ingin memberimu penawaran yang bagus."

Sombong sekali.

Kuhela nafas, tanpa berniat kembali duduk. "Silahkan bicara tak perlu mengaturku."

Muak sekali aku dengan sikap sombong laki-laki ini.

"Sombong sekali."

Aku mentapnya tak percaya. Haruskah kuberikan cermin padanya? Oh Tuhan.......

"Izinkan saya yang menjelaskan." Putra yang menengahi.

Hampir saja aku mengumpati pria itu jika Putra tak lebih dulu bicara. Aku yakin sama sepertiku, Putra pasti juga sangat muak.

"Langsung ke intinya!" kataku.

Putra mengangguk sopan.

"Garis besarnya, Mister Elgar ingin menawarkan sebuah kesepakatan. Mister Elgar akan membantu menyelesaikan masalah di perusahaan Tuan Haidar tapi dengan satu syarat, Nona Ashilla bersedia menikah dengan Tuan Elgar selama 3 tahun saja dan bercerai secara baik-baik tanpa menuntut apapun dan tentu saja dengan tunjungan yang cukup besar."

Ck! Sudah kuduga.

Kuhela nafas panjang.

"Terima kasih atas tawarannya. Hanya saja, masalah perusahaan itu bukan urusan saya. Silahkan Anda bicarakan dengan yang bersangkutan."

Pria itu mengangkat satu alisnya. "Jadi kamu tidak peduli jika perusahaan papamu gulung tikar?"

"Saya lebih takut dengan larangan Tuhan saya. Pernikahan itu sakral, bukan untuk main-main apalagi untuk kesepakatan bisnis." Tak mau memperpanjang pembicaraan akupun pergi meninggal ruangan itu.

Namun, baru saja memasuki taksi online yang aku pesan, ponselku bergetar.

[Tante Utari is Calling.......]

Ini pasti ulah Elgar yang sudah melapor jika aku menolak perjodohan kami.

Karena tak diangkat, panggilan berhenti dengan sendirinya. Namun beberapa saat, istri ayahku itu kembali memanggil.

Dengan enggan terpaksa aku angkat. "Assalamualaikum....."

"Papamu sekarang kritis di rumah sakit. Dia--"

"Apa?!" pekikku.

Ya Allah, ada apa lagi ini?

❄❄❄

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status