Share

Dikelilingi orang-orang baik.

"Dari mana saja kamu?"

Nathan berdiri di lobby kantor saat aku baru sampai. Sepertinya sengaja menungguku. Ya, tadi aku pergi tanpa pamit.

Begitu mendapat telpon dari tante Utari yang memintaku datang, tanpa pikir panjang aku langsung pergi. Aku pikir mereka menyesal karena kemarin telah mengusirku.

Tapi ternyata.......mereka hanya ingin memanfaatkan aku saja. Bod*h sekali aku jika mau menuruti permintaan pria yang tidak pernah menganggapku sebagai putrinya itu.

"Ck, ditanya malah ngelamun." Pria berkulit bersih itu berdecak kesal sembari menjentikkan jarinya di depan wajahku membuatku sedikit tersentak.

"Ketemu sama teman sebentar," jawabku lalu lanjut melangkah.

"Sudah kubilang jangan pergi sendirian. Apa lagi tidak pamit kayak tadi." Kami berjalan beriringan sambil sesekali menyapa rekan kerja yang tak sengaja berpapasan. "Dan lihat itu jam di pergelangan tanganmu, kamu telat." Nathan terus mengomel.

Aku telat setengah jam, setelah dari rumah Papa aku memilih untuk menenangkan diri sebentar di taman kota. Aku butuh waktu untuk menurunkan emosi yang bisa membuat pria di sampingku ini khawatir berlebihan.

"Dengar gak? Lain kali jangan pergi sendirian. Bilang mau kalau memang ada perlu." Ketua timku ini memegang lenganku dan membuat langkah kami berhenti.

Aku memutar mataku jengah. "Sekarang kamu lebih posesif dari Mbak Miranda," kataku menepis pelan tangannya lalu kembali berjalan.

"Aku lebih pantas posesif dari Miranda." Lelaki 29 tahun itu menyusul.

"Apa dulu kamu juga seposesif ini sama mantan kekasihmu?"

"Apa kamu dulu selalu membantah kekasihmu?"

"Tidak, dulu aku sangat penurut." Aku menjatuhkan bobot tubuhku diatas kursi kerjaku setelah sampai di ruang kerja kami.

"Kalau begitu mulai sekarang kamu harus menurut padaku!" tegasnya lalu menuju meja kerjanya sendiri.

"Apa nih? Kok ada kata penurut dan menurut?" Dari pojok ruangan Ardi menyahut. Dia teman satu angkatan denganku dibangku kuliah juga di tempat kerja ini.

Kami sudah seperti saudara, dia orang yang paling tahu tentang kehidupan pribadiku ketimbang dua atasanku, Nathan dan Mbak Miranda.

"Shila hanya harus menurut dan patuh padaku. Aku adalah pembimbing sekaligus atasannya." Nah ini suara Mbak Miranda, ketus dan tegas tapi penyayang.

"Aku Ketua tim ini. Jadi kalian semua dibawah kuasaku," sahut Nathan tak mau kalah.

"Mulai deh....." Ardi memutar matanya lalu kembali fokus dengan kertas-kertas di depannya.

"Debat aja terus lama-lama pasti jatuh cinta," selorohku menggoda dua seniorku itu.

"Astaghfirulloh......" ucap Mbak Miranda mengetuk meja kerja dan dahinya bergantian.

"Hei.... maksudnya apa?" Nathan mendelik.

Tak bisa menahan, aku dan Ardi tertawa lepas melihat dua atasan kami saling melempar tatapan permusuhan.

*****

Pukul dua siang kami berkumpul di ruang meeting. Untuk membahas keberangkatan kami besok ke Jepang untuk ikut berpartisipasi dalam sebuah proyek ilmiah.

Ada tiga tim yang akan berangkat ke negara sakura tersebut namun hanya timku saja yang akan tinggal di sana setelah proyek penelitian selesai. Itu karena kami sudah mendatangani kontrak kerja selama dua tahun di pusat penelitian di Jepang sebagai perwaklikan dari negara kami.

Tentu saja untuk membanggakan negara kami. Menciptakan formula dan obat-obatan yang berguna untuk umat manusia. Meneliti dan mencari obat dari virus penyakit yang sampai saat ini belum ditemukan penawarnya.

Meeting diisi dengan himbauan dan nasihat apa yang boleh dilakukan dan apa yang harus dihindari dari para senior kepada junior yang baru pertama ikut ke Jepang.

Ada beberapa peneliti yang baru bergabung. Mereka lulusan terbaik yang direkomendasikan oleh kampus-kampus ternama di negara ini.

Sama seperti aku dan Ardi. Kami salah satu mahasiswa yang beruntung terpilih. Bukan hal yang mudah, nilai kami sudah dijaring di dua semester akhir dengan nilai harus A di setiap mata kuliah dan IP tertinggi untuk bisa masuk dalam departemen ini.

Pukul tiga sore, aku dan Ardi bersiap pulang sedangkan Mbak Miranda dan Nathan masih harus meeting.

Kami berempat tinggal bersama di rumah milik Mbak Miranda. Dia paling senior diantara kami Namun Nathan yang paling tinggi jabatannya. Dia salah satu ilmuan muda terbaik di Asia.

Seperti biasa Ardi mengambil mobil di parkiran basement dan aku menunggu di depan lobby kantor sembari membalas pesan yang masuk di ponselku.

Aku tersenyum saat membaca pesan dari salah satu teman kuliahku, Raisa. Gadis cantik yang akan segera melepas masa lajangnya itu protes karena baru mengetahui tentang keberangkatanku ke Jepang selama dua tahun.

Secara otomatis aku tidak akan hadir di pesta pernikahannya. Dan itu membuatnya marah sampai mengirim pesan panjang lebar karena aku tidak mengangkat telponnya sejak semalam.

"Permisi, dengan Nona Ashila Shafazea Elshanum?" Suara berat membuatku mendongak.

"Anda siapa?" tanyaku setelah mundur satu langkah. Menjaga jarak, kebiasaan yang selalu aku terapkan jika bertemu orang asing.

"Perkenalkan nama saya, Wirandika Putra. Orang suruhan Tuan Elgar Khalandra Dimitri Romanov. Beliau ingin bertemu dengan Anda. Ada hal penting yang ingin dibicarakan," ungkapnya dengan sopan.

Romanov? Aku seperti tidak asing dengan nama itu. Kuamati pria berjas hitam di depanku ini. Dia sangat rapi dan terlihat berpendidikan. Pria yang menyuruhnya pastilah orang kaya.

"Maaf, saya tidak bisa." Tidak ingin terlibat masalah aku memilih menghindar. Jangan sampai ada hal yang membuat keberangkatanku ke Jepang batal.

"Kalau begitu kapan Nona Shila bisa meluangkan waktu." Laki-laki ini tidak menyerah.

"Sepertinya saya tidak bisa. Permisi,"

Tak kuhiraukan laki-laki yang mengaku bernama Putra itu masih ingin bicara. Segera aku berjalan pergi begitu melihat mobil milik Ardi keluar dari parkiran bawah gedung.

Aku segera masuk ke dalam mobil begitu kereta mesin itu berhenti tepat di depan lobby.

"Siapa tadi?" tanya Ardi yang duduk di kursi kemudi, tatapannya tertuju pada spion mobil yang menampilkan pria berjas di depan lobby kantor.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status