"Elang."
Satu kata yang berhasil mulut wanita bernama Rachel Anatha ucapkan kala kedua mata menangkap jelas sosok pria yang diyakininya adalah sang suami.
Keluar dari mobil hitam bersama seorang wanita susah payah memapah tubuh lemas Elang guna berjalan masuk ke sebuah kamar hotel yang sepertinya telah dipesan.
"Laura."
Melangkahkan kedua kakinya, berjalan cepat mengikuti dari belakang secara diam-diam, hati Rachel was-was seketika ia sampai di depan pintu salah satu kamar dimana kini Elang dan Laura tengah berada di dalam sana hanya berdua.
Semakin tak menentu perasaan hati dibuatnya saat telinga yang sengaja Rachel dekatkan pada pintu bercat coklat tua yang telah tertutup dan terkunci rapat mendengar suara merdu berasal dari dalam sana.
"Eemmpphhh."
Pikiran positif yang beberapa waktu kebelakang selalu Rachel tanamkan langsung sirna begitu saja.
Hatinya diliputi rasa marah, mata cantiknya memerah menahan air mata yang jika tidak ditahan mati-matian dapat turun begitu saja tanpa diminta.
"KAMU NGAPAIN DI DALAM SANA? ELANG! BUKA!"
Dengan gerakan brutal tak hanya menggunakan satu tangan, Rachel mengetuk kencang pintu itu. Menimbulkan bunyi nyaring hingga menggema di seluruh lorong.
Laura yang sedang asyik bermain pada kedua benda kenyal milik Elang Algerian memberikan kecupan lembut disertai lumatan-lumatan bibir atas dan bawah bergantian, berdecak kesal membuatnya terpaksa menghentikan kegiatan panas antara dirinya dan sang pimpinan.
Pakaian yang telah Laura ganti menjadi dress berwarna merah berbahan tipis membiarkan bagian atasnya terekspos memperlihatkan sedikit belahannya.
"Bajunya dibuka dulu, Mas."
Tersenyum tipis sarat akan banyak artian terbit menghiasi wajah cantik Laura sebelum dibawa kedua kakinya berjalan melangkah ke arah pintu untuk mengetahui siapa orang yang telah berani menganggu.
Tatapan mata kedua wanita yang masing-masing memiliki status berbeda dalam hidup seorang Elang Algerian saling bertemu. Ekspresi datar, nampak biasa saja, Laura tunjukan.
Sempat mendapat sapaan hangat dari orang yang tidak lain adalah sang sahabat tetapi Rachel acuh dan tak mempedulikan.
Lagi dan lagi, dibelakang sana tanpa Rachel ketahui Laura mengeluarkan senyumannya. Membiarkan Rachel masuk untuk melihat sendiri apa yang telah terjadi.
Laura yakin, suara merdu yang diciptakannya dari hasil berciuman dengan Elang sampai ke telinga sahabatnya—Rachel Anatha.
Berantakan, begitulah kondisi yang berhasil Rachel tangkap. Belum lagi mendapati sang suami yang kini masih terbaring seolah tak berdaya di atas ranjang.
"INI YANG KAMU BILANG SAMA AKU PESTA?"
Teriakan keras Rachel lontarkan kepada Elang yang perlahan mulai sadar. Berusaha membuka mata yang entah mengapa terasa sangat berat bahkan kepalanya terasa sangat pusing.
"PESTA KALIAN BERDUA. IYA?"
Kedua kali, Rachel berteriak. Tak mampu bagi hatinya untuk menahan lebih lama perasaan emosi yang kini lebih mendominasi. Matanya serta bibir tipis Rachel gemetar.
"APA MAKSUD KAMU, ELANG!?"
Berhasil terbangun dan telah terduduk di atas ranjang, Elang membulatkan matanya mendapati kehadiran sang istri yang entah sejak kapan telah berada di dalam kamar ini.
Langkah gontai, Elang mendekati Rachel. Belum sadar jika penampilannya pun sama berantakannya dengan kondisi kamar.
"Sa-Sayang, aku bisa jelasin," cetus Elang. Membawa kedua tangan lentik Rachel untuk digenggam. "Aku nggak ada melakukan apapun sama dia. Yang kamu lihat nggak sesuai sama apa yang sebenarnya terjadi, sayang."
Gelengan kepala pelan dari Rachel, Elang dapatkan. Tatapan yang tak berani menatap balik manik mata suaminya, Rachel menolak percaya atas penjelasan yang Elang berikan.
Sudah jelas dirinya melihat sejak awal hingga mendengar suara merdu dari pasangan yang sedang bercumbu tanpa ia duga telah sang suami lakukan bersama sahabatnya—Laura yang juga merangkap sebagai sekretaris seorang Elang Algerian.
Pantas belakangan ini Elang selalu meminta ijin kepadanya untuk pergi dengan banyak alasan yang diucapkan.
Jika bukan karena rasa curiga tak mungkin Rachel berhasil ada di sini dan mengetahui apa yang sebenarnya diam-diam Elang sembunyikan. Prianya telah berselingkuh.
Berbagai macam makian pun terus keluar dari mulut Rachel ditujukan pada orang yang sudah resmi menikahinya tetapi tega mengkhianati cintanya.
"Aku mau kita cerai," cetus Rachel.
"Minggir kamu! Wanita sialan!" Elang menepis secara kasar kala tangan lentik Laura menahannya agar tetap di sana dan tidak mengejar Rachel yang memilih pergi.
*
Berlinang air mata begitu sangat deras membasahi pipinya, Rachel tiba lebih dulu di rumah dibandingkan dengan Elang. Membuka lemari besar yang menjadi tempat semua pakaiannya dengan Elang diletakkan.
Sembari sesenggukan disertai hatinya yang hancur lebur, Rachel memasukan semua pakaian miliknya ke sebuah koper besar.
Tekad serta niatnya sudah bulat, Rachel akan pergi meninggalkan rumah, sang suami juga kota ini. Meninggalkan selembar catatan kecil berharap agar Elang membacanya nanti.
Kota dan tempat pulang yang telah memberikan Rachel banyak kenangan serta luka mendalam harus ia tinggalkan. Memulai dari awal hidupnya yang baru ditempat tinggal yang baru meski dalam hati Rachel ragu.
"RACHEL!" Kebingungan begitu tercetak di wajah tampan Elang mendapati kondisi rumahnya sepi. Seorang yang terus dipanggilnya sedari tadi bahkan tak memberikannya sahutan.
"SAYANG!" Deru napas serta detak jantung Elang semakin tak menentu, kamar yang ia masuki menjadi tempat istirahatnya dengan Rachel, kosong.
Pandangannya mengedar, menyapu bersih seluruh penjuru ruangan sebelum akhirnya manik mata itu berhenti saat melihat selembar kertas kecil tertinggal di dekat lemari besar.
Banyak kata tertulis di sana, pesan juga ada permintaan dari Rachel yang belum sempat tadi diberitahukannya.
"Urus berkas perceraian kita dan jangan pernah sekali pun kamu cari aku."
Elang merasa marah, ia merasa tak terima ketika membaca kalimat terakhir tertulis di sana. Rachel yang juga menyuruhnya untuk menyerahkan berkas perceraian mereka pada pengacara yang telah Rachel percayakan.
Pernikahan yang masih terbilang sangat baru sudah harus kandas akibat kesalahpahaman yang belum sempat Elang jelaskan berujung ia harus menghadapi perceraian yang Rachel ajukan.
Elang dapat menduga bahwa keputusan untuk berpisah yang Rachel minta dikarenakan adanya rasa curiga. Belakangan ini Elang sadar selalu meminta ijin keluar tanpa memberi alasan pasti kepada sang istri. Keputusan yang tidak sama sekali disukai oleh Elang pasti Rachel putuskan setelah istrinya melihat dan mengetahui langsung kejadian yang sempat menimpanya beberapa menit lalu.
Terdiam seperti patung, larut dalam suasana hati dan pikirannya yang kacau. Menyudutkan diri sendiri atas apa yang terjadi.
Rachel, satu-satunya orang yang paling Elang cinta tidak akan ia lepaskan dan membiarkannya pergi begitu saja. Kemana pun cantiknya itu pergi, Elang akan mengikuti.
Tak peduli seberapa jauh jarak yang harus ditempuh, Elang akan pastikan mereka kembali bertemu.
Tak terbesit dalam benaknya mendua atau berselingkuh karena ia sangat amat mencintai Rachel, sungguh. Elang bersumpah akan mencari keberadaan sang istri, menjelaskan semua kesalahpahaman ini.
"Rachel."Sebuah suara yang hampir selama dua tahun ini Rachel dengar kembali menyapa gendang telinga. Ditolehkannya menghadap samping kanan membalas tatapan Barra Alexander yang ternyata tengah menatapnya."Kamu ada masalah? Saya lihat dari tadi banyak melamun. Kamu nggak suka saya ajak pergi?" Sederet pertanyaan Barra lontarkan sesekali mengalihkan pandangannya pada jalan yang dilalui oleh mobil hitam yang ia kendarai.Menggeleng sambil memberi senyum, "Saya baik, Pak," jawab Rachel jujur.Nyatanya memang dirinya baik-baik saja, ia kembali mengalihkan pandangannya menatap ke arah jendela mobil menikmati pemandangan tepi jalan.Cuacanya cerah tapi tidak dengan hatinya. Perasaan takut juga gelisah datang menyapa tanpa diminta membuat suasananya terasa berbeda.Diam, melamunkan banyak hal. Empat tahun tanpa terasa sudah Rachel lalui ber
"Elang." Satu kata yang berhasil mulut wanita bernama Rachel Anatha ucapkan kala kedua mata menangkap jelas sosok pria yang diyakininya adalah sang suami. Keluar dari mobil hitam bersama seorang wanita susah payah memapah tubuh lemas Elang guna berjalan masuk ke sebuah kamar hotel yang sepertinya telah dipesan. "Laura." Melangkahkan kedua kakinya, berjalan cepat mengikuti dari belakang secara diam-diam, hati Rachel was-was seketika ia sampai di depan pintu salah satu kamar dimana kini Elang dan Laura tengah berada di dalam sana hanya berdua. Semakin tak menentu perasaan hati dibuatnya saat telinga yang sengaja Rachel dekatkan pada pintu bercat coklat tua yang telah tertutup dan terkunci rapat mendengar suara merdu berasal dari dalam sana. "Eemmpphhh." Pikiran positif yang beberapa waktu kebelakang selalu Rachel tanamkan langsung sirna begitu saja. Hatinya diliputi rasa marah, mata cantiknya memerah menahan air mata yang jika tidak ditahan mati-matian dapat turun begitu s
"Rachel." Sebuah suara yang hampir selama dua tahun ini Rachel dengar kembali menyapa gendang telinga. Ditolehkannya menghadap samping kanan membalas tatapan Barra Alexander yang ternyata tengah menatapnya. "Kamu ada masalah? Saya lihat dari tadi banyak melamun. Kamu nggak suka saya ajak pergi?" Sederet pertanyaan Barra lontarkan sesekali mengalihkan pandangannya pada jalan yang dilalui oleh mobil hitam yang ia kendarai. Menggeleng sambil memberi senyum, "Saya baik, Pak," jawab Rachel jujur. Nyatanya memang dirinya baik-baik saja, ia kembali mengalihkan pandangannya menatap ke arah jendela mobil menikmati pemandangan tepi jalan. Cuacanya cerah tapi tidak dengan hatinya. Perasaan takut juga gelisah datang menyapa tanpa diminta membuat suasananya terasa berbeda. Diam, melamunkan banyak hal. Empat tahun tanpa terasa sudah Rachel lalui bersama anak yang tanpa sadar ia ikut sertakan semenjak masih dalam kandungan. Mengurus segala sesuatu dan keinginannya selama mengandung buah c
Pandangan mata kedua orang yang statusnya sama-sama sebagai mantan kini tengah saling pandang. Belum hilang keterkejutan terpampang jelas pada wajah cantik Rachel. "Ka-kamu." Dengan suara terbata, Rachel membuka mulutnya. Tak berhenti dalam benaknya Rachel bertanya-tanya, bagaimana bisa seorang yang sudah bertahun-tahun berhasil ia hindari bahkan nyaris hilang dalam ingatan tiba-tiba muncul secara mengejutkan. "Kita ketemu lagi, Rachel." Elang berucap. Rasa syukur yang begitu membuncah seketika datang bertamu dalam hati membuatnya lupa akan perasaan kesal juga emosi yang beberapa saat lalu Elang rasakan. "Pencarian aku selama bertahun-tahun, nggak sia-sia. Aku masih bisa ketemu kamu." Merasa tidak tahan, tangan kanan Elang tergerak menyentuh salah satu pipi Rachel memberikan elusan lembut di sana. Menyalurkan rasa cinta dan sayang yang masih tetap sama seperti dulu bagi seorang Elang Algerian berharap Rachel bisa merasakan. "Nggak." Rachel menggeleng pelan, menyangkal perk
Elang pulang membawa perasaan sedih dan kecewa tanpa bahagia. Ekspresi datar tersirat perasaan sedih masih terpancar dari wajah tampan yang dulu berhasil menaklukkan hati Rachel Anatha. Memasukkan satu demi satu barang yang dibawanya selama bepergian ke dalam sebuah koper hitam miliknya. Elang termenung sejenak ketika otak memutar kejadian yang langsung terjadi dihadapan mata kepalanya sendiri. "Dia Barra. Calon suami aku." Terngiang-ngiang kalimat dari mulut mantan istri yang masih ia cintai sampai detik ini. Senyuman kecut terbit menghiasinya, "Perjuangan yang kamu lakuin, sia-sia sekarang," monolognya kemudian. Tidak lupa memeriksa satu kali lagi dengan mata yang menyapu bersih penjuru ruang kamar hotel tempat menginapnya sebelum melangkahkan kaki meninggalkan ruangan. "Apa perlu aku pamit sama Rachel?" Bimbang, tiba-tiba berat hatinya meninggalkan kota dimana ia berhasil bertemu dan telah mengetahui mantan istrinya selama ini tinggal. Elang dalam hati kecilnya masih
Fokus terduduk bersandar pada kepala sofa panjang yang terletak di ruang tengah dekat dengan area dapur apartemen-nya, jari-jemari Rachel sibuk terus tergerak mengetikkan banyak kata yang sudah sebelumnya tersusun di kepala. Minggu yang seharusnya libur dan dapat digunakan untuk menghabiskan waktu bermain bersama si kecil Delvin serta mengistirahatkan tubuh tetapi Rachel rela bekerja. "Mama, main?" Anak yang usianya sudah menginjak tiga tahun datang dari arah kamar menghampiri sang ibu. "Hai, sayang!" sapa Rachel terdahulu. Menghentikan aktivitasnya sejenak untuk bersiap memberi dan menerima sebuah pelukan hangat. "Delvin main sendiri dulu, ya? Mama kerja sebentar." Terdongak kepala si kecil, matanya menghadap Rachel. "Kelja?" tanyanya. Rachel mengangguk sekali, "Mama kerja supaya Delvin bisa jajan dan kita nanti jalan-jalan." "Sama Om baik?" Om baik panggilan khusus yang disematkan oleh Delvin untuk Barra Alexander seorang. Lelaki yang sangat tampan di penglihatan ana