Elang pulang membawa perasaan sedih dan kecewa tanpa bahagia. Ekspresi datar tersirat perasaan sedih masih terpancar dari wajah tampan yang dulu berhasil menaklukkan hati Rachel Anatha.
Memasukkan satu demi satu barang yang dibawanya selama bepergian ke dalam sebuah koper hitam miliknya.
Elang termenung sejenak ketika otak memutar kejadian yang langsung terjadi dihadapan mata kepalanya sendiri.
"Dia Barra. Calon suami aku."
Terngiang-ngiang kalimat dari mulut mantan istri yang masih ia cintai sampai detik ini.
Senyuman kecut terbit menghiasinya, "Perjuangan yang kamu lakuin, sia-sia sekarang," monolognya kemudian.
Tidak lupa memeriksa satu kali lagi dengan mata yang menyapu bersih penjuru ruang kamar hotel tempat menginapnya sebelum melangkahkan kaki meninggalkan ruangan.
"Apa perlu aku pamit sama Rachel?"
Bimbang, tiba-tiba berat hatinya meninggalkan kota dimana ia berhasil bertemu dan telah mengetahui mantan istrinya selama ini tinggal. Elang dalam hati kecilnya masih sangat ingin berada di sini.
Daripada rasa kecewa yang kemarin didapatkan sampai sekarang meninggalkan bekas, Elang juga sangat ingin bisa membawa serta Rachel ikut bersamanya, tak lupa Elang yang juga nantinya akan memberi Rachel bukti bahwa dirinya tidak berselingkuh. Tuduhan yang beberapa tahun silam Rachel layangkan, salah total.
"Tapi, dia udah punya orang lain dan kelihatan lebih bahagia daripada sama aku."
Semakin bertambah bimbang bercampur kebingungan yang Elang rasakan.
TING!
Suara yang berasal dari sebuah benda pipih yang dimasukkan oleh Elang ke dalam saku celana berbunyi.
"Laura." Tercetus satu nama wanita yang sudah tidak asing lagi bagi siapapun mendengarnya.
Membaca sekilas pesan yang wanita itu sampaikan daripada membalasnya dengan kata-kata, Elang yang lebih suka menelepon pun langsung menghubungi nomor yang tertera atas nama sang wanita tanpa embel-embel apapun dibelakangnya.
Sembari melanjutkan langkah, Elang terus berbicara dengan Laura dari balik sambungan telepon, keluar menemui seorang yang sudah ia tugaskan untuk menjemputnya segera.
"Pekerjaan kamu di sana, apa belum semuanya selesai, Mas?" tanya Laura mengundang protesan dari mulut Elang.
"Jaga bicara kamu, Laura. Saya ini atasan kamu bukan suami kamu."
Kesal, sebenarnya apa yang diinginkan oleh wanita licik dan jahat ini setelah berhasil menghancurkan rumah tangganya bahkan sebagian hidupnya.
*
"Malam ini bisa aku ketemu kamu?"
Tidak peduli keadaan tubuhnya yang lelah sepulangnya dari kota seberang, begitu tiba di kota asal pada malam harinya tepat pukul delapan Elang kembali pergi menyetujui permintaan Laura yang mengajaknya bertemu hanya berdua di sebuah restoran yang sudah dipesankan.
"Kali ini apa yang perempuan itu rencanakan lagi?" lirih Elang melirik tajam ke arah tempat ia dan Laura nantinya akan duduk berhadapan pada satu meja yang sama.
Jika boleh jujur, Elang sudah lelah untuk melawan setiap perkataan yang Laura ucapkan rasanya sudah tidak ada tenaga, sungguh.
Entah keputusan yang Elang ambil ini salah atau justru tepat karena memilih untuk mengikuti alur atau rencana yang sudah Laura jalankan.
"Yang terpenting ikuti saja semuanya apapun itu." Begitu kata yang Elang ucap sewaktu di dalam mobil perjalanan menuju ke tempat mereka akan bertemu.
"Mas, kamu udah datang?" Baru saja Elang mendudukkan diri, Laura datang mengenakkan gaun berwarna merah lengkap dengan rias wajah terlihat mencolok.
"Maaf, aku terlambat dijalan macet banget ya ampun," ucap Laura sedikit diiringi tawa.
Mengambil alih kursi kosong di hadapan sang pimpinan perusahaan, Laura duduk dengan gayanya yang anggun bertujuan agar Elang mulai terpancing.
"Langsung saja, Laura. Sebenarnya ada apa kamu ajak saya ketemu di sini?"
Seolah sudah tidak betah berlama-lama, Elang segera menanyakan maksud dan tujuan utama dari rencana Laura Abipraya, sang sekretaris.
"Aku dengar-dengar di kota seberang selain urus tentang pekerjaan, kamu juga cari keberadaan Rachel."
Ekspresi wajah yang ditunjukkan Elang biasa saja, tidak sama sekali terkejut walau nyatanya dalam hati ia tidak menyangka Laura mengetahuinya. Satu pertanyaan yang bersarang pada batinan, Laura tahu dari siapa?
"Gimana? Ketemu, Mas?" tanya Laura pura-pura penasaran padahal tidak sama sekali.
Tatapan mata malas Elang berikan, "Seharusnya kamu bisa ambil kesimpulan sendiri kalau saya datang ke tempat ini tanpa Rachel itu tandanya saya—"
"Nggak ketemu sama Rachel," timpal Laura secara cepat yang membuat ucapan Elang sebelumnya menggantung.
Tak lama setelah kalimat tersebut terucap dari diri Elang terdengar suara hembusan napas berat seperti mengeluarkan beban yang tersimpan dalam batinan.
"Mungkin ini salah satu cara Tuhan minta kamu buat sadar dan cari pengganti Rachel, Mas," cetus Laura memecah keheningan diantara mereka.
"Gimana kalau aku dan kamu saling jalin hubungan?" sambung Laura.
Wanita yang banyak orang kenal sebagai seorang pemilik kepribadian sangat menjunjung harga dirinya di depan para pria namun lihat kini Laura ketika berhadapan dengan Elang Algerian.
Rela menjatuhkan harga dan martabat sebagai wanita, tidak berpikir panjang karena bisa saja di penglihatan Elang, Laura sangatlah murahan.
"Kamu pasti tahu 'kan kalau aku udah lama banget sayang dan suka sama kamu, Mas?"
Elang sebagai yang mendengarkan memilih menutup mulutnya rapat.
Dengan berani, satu tangan Laura menyentuh punggung tangan besar Elang, menggenggam jari-jemarinya sambil mengelusnya perlahan.
*
"Kamu mau mulai dari awal sama aku 'kan, Mas?"
Terbalik, seharusnya bukan Laura yang mengucapkan kalimat demikian mengingat dia adalah wanita. Sebagai pria tindakan tersebut lebih pantas dilakukan oleh Elang.
Dilanda kebingungan karena tak tahu harus memberikan jawaban bagaimana. Namun, bersyukurlah pada otak yang bekerja sangat pintar mengingat Elang yang sudah sepakat dengan dirinya sendiri untuk mengikuti semua alur yang sedang Laura mainkan.
"Secara tidak langsung kamu menyatakan perasaan sama saya, Laura?" Anggukan sebanyak dua kali pun didapatkan Elang.
"Seperti yang kamu tahu, kepergian Rachel benar-benar buat saya terpukul, hancur." Tidak ingin kalah dengan Laura, drama yang dimainkan oleh Elang tak kalah luar biasa.
Siapa saja yang menyaksikannya pasti terkejut, Elang memiliki keahlian yang ternyata selama ini terpendam.
"Bertahun-tahun kepergian Rachel yang nggak saya tahu dimana dia." Melirik sekilas mengetahui perubahan ekspresi pada wajah Laura kini tengah sedih meski ia tahu itu hanya kepalsuan semata.
"Pasti buat Mas takut untuk mulai membina rumah tangga yang baru lagi," tebak Laura asal.
Sempat memasang wajah datar terkesan dingin dan seram, Elang akhirnya luluh dengan perubahan ekspresi pertama yang ditampilkan adalah senyum lembut dan tulus.
"Tapi, kali ini kamu sama aku. Kita bangun dan bina sama-sama rumah tangga yang selama ini jadi impian kamu."
Laura selain mempunyai mulut yang tajam, pandai bersilat lidah, keahlian lainnya Laura pandai meyakinkan orang dengan segala macam bentuk kata-kata yang terlontar.
"Saya nggak pernah main-main soal hubungan." Menjeda ucapannya, Elang ikut serta balas menggenggam tangan sang wanita.
"Jadi, apa kamu mau secepatnya menikah dengan saya?" celetuk Elang hingga mampu membuat Laura menutup mulutnya dengan satu tangan yang terbebas lantaran saking terkejutnya.
Fokus terduduk bersandar pada kepala sofa panjang yang terletak di ruang tengah dekat dengan area dapur apartemen-nya, jari-jemari Rachel sibuk terus tergerak mengetikkan banyak kata yang sudah sebelumnya tersusun di kepala. Minggu yang seharusnya libur dan dapat digunakan untuk menghabiskan waktu bermain bersama si kecil Delvin serta mengistirahatkan tubuh tetapi Rachel rela bekerja. "Mama, main?" Anak yang usianya sudah menginjak tiga tahun datang dari arah kamar menghampiri sang ibu. "Hai, sayang!" sapa Rachel terdahulu. Menghentikan aktivitasnya sejenak untuk bersiap memberi dan menerima sebuah pelukan hangat. "Delvin main sendiri dulu, ya? Mama kerja sebentar." Terdongak kepala si kecil, matanya menghadap Rachel. "Kelja?" tanyanya. Rachel mengangguk sekali, "Mama kerja supaya Delvin bisa jajan dan kita nanti jalan-jalan." "Sama Om baik?" Om baik panggilan khusus yang disematkan oleh Delvin untuk Barra Alexander seorang. Lelaki yang sangat tampan di penglihatan ana
"Elang."Satu kata yang berhasil mulut wanita bernama Rachel Anatha ucapkan kala kedua mata menangkap jelas sosok pria yang diyakininya adalah sang suami.Keluar dari mobil hitam bersama seorang wanita susah payah memapah tubuh lemas Elang guna berjalan masuk ke sebuah kamar hotel yang sepertinya telah dipesan."Laura."Melangkahkan kedua kakinya, berjalan cepat mengikuti dari belakang secara diam-diam, hati Rachel was-was seketika ia sampai di depan pintu salah satu kamar dimana kini Elang dan Laura tengah berada di dalam sana hanya berdua.Semakin tak menentu perasaan hati dibuatnya saat telinga yang sengaja Rachel dekatkan pada pintu bercat coklat tua yang telah tertutup dan terkunci rapat mendengar suara merdu berasal dari dalam sana."Eemmpphhh."Pikiran positif yang beberapa waktu kebelakang selal
"Rachel."Sebuah suara yang hampir selama dua tahun ini Rachel dengar kembali menyapa gendang telinga. Ditolehkannya menghadap samping kanan membalas tatapan Barra Alexander yang ternyata tengah menatapnya."Kamu ada masalah? Saya lihat dari tadi banyak melamun. Kamu nggak suka saya ajak pergi?" Sederet pertanyaan Barra lontarkan sesekali mengalihkan pandangannya pada jalan yang dilalui oleh mobil hitam yang ia kendarai.Menggeleng sambil memberi senyum, "Saya baik, Pak," jawab Rachel jujur.Nyatanya memang dirinya baik-baik saja, ia kembali mengalihkan pandangannya menatap ke arah jendela mobil menikmati pemandangan tepi jalan.Cuacanya cerah tapi tidak dengan hatinya. Perasaan takut juga gelisah datang menyapa tanpa diminta membuat suasananya terasa berbeda.Diam, melamunkan banyak hal. Empat tahun tanpa terasa sudah Rachel lalui ber
"Elang." Satu kata yang berhasil mulut wanita bernama Rachel Anatha ucapkan kala kedua mata menangkap jelas sosok pria yang diyakininya adalah sang suami. Keluar dari mobil hitam bersama seorang wanita susah payah memapah tubuh lemas Elang guna berjalan masuk ke sebuah kamar hotel yang sepertinya telah dipesan. "Laura." Melangkahkan kedua kakinya, berjalan cepat mengikuti dari belakang secara diam-diam, hati Rachel was-was seketika ia sampai di depan pintu salah satu kamar dimana kini Elang dan Laura tengah berada di dalam sana hanya berdua. Semakin tak menentu perasaan hati dibuatnya saat telinga yang sengaja Rachel dekatkan pada pintu bercat coklat tua yang telah tertutup dan terkunci rapat mendengar suara merdu berasal dari dalam sana. "Eemmpphhh." Pikiran positif yang beberapa waktu kebelakang selalu Rachel tanamkan langsung sirna begitu saja. Hatinya diliputi rasa marah, mata cantiknya memerah menahan air mata yang jika tidak ditahan mati-matian dapat turun begitu s
"Rachel." Sebuah suara yang hampir selama dua tahun ini Rachel dengar kembali menyapa gendang telinga. Ditolehkannya menghadap samping kanan membalas tatapan Barra Alexander yang ternyata tengah menatapnya. "Kamu ada masalah? Saya lihat dari tadi banyak melamun. Kamu nggak suka saya ajak pergi?" Sederet pertanyaan Barra lontarkan sesekali mengalihkan pandangannya pada jalan yang dilalui oleh mobil hitam yang ia kendarai. Menggeleng sambil memberi senyum, "Saya baik, Pak," jawab Rachel jujur. Nyatanya memang dirinya baik-baik saja, ia kembali mengalihkan pandangannya menatap ke arah jendela mobil menikmati pemandangan tepi jalan. Cuacanya cerah tapi tidak dengan hatinya. Perasaan takut juga gelisah datang menyapa tanpa diminta membuat suasananya terasa berbeda. Diam, melamunkan banyak hal. Empat tahun tanpa terasa sudah Rachel lalui bersama anak yang tanpa sadar ia ikut sertakan semenjak masih dalam kandungan. Mengurus segala sesuatu dan keinginannya selama mengandung buah c
Pandangan mata kedua orang yang statusnya sama-sama sebagai mantan kini tengah saling pandang. Belum hilang keterkejutan terpampang jelas pada wajah cantik Rachel. "Ka-kamu." Dengan suara terbata, Rachel membuka mulutnya. Tak berhenti dalam benaknya Rachel bertanya-tanya, bagaimana bisa seorang yang sudah bertahun-tahun berhasil ia hindari bahkan nyaris hilang dalam ingatan tiba-tiba muncul secara mengejutkan. "Kita ketemu lagi, Rachel." Elang berucap. Rasa syukur yang begitu membuncah seketika datang bertamu dalam hati membuatnya lupa akan perasaan kesal juga emosi yang beberapa saat lalu Elang rasakan. "Pencarian aku selama bertahun-tahun, nggak sia-sia. Aku masih bisa ketemu kamu." Merasa tidak tahan, tangan kanan Elang tergerak menyentuh salah satu pipi Rachel memberikan elusan lembut di sana. Menyalurkan rasa cinta dan sayang yang masih tetap sama seperti dulu bagi seorang Elang Algerian berharap Rachel bisa merasakan. "Nggak." Rachel menggeleng pelan, menyangkal perk