Pandangan mata kedua orang yang statusnya sama-sama sebagai mantan kini tengah saling pandang. Belum hilang keterkejutan terpampang jelas pada wajah cantik Rachel.
"Ka-kamu." Dengan suara terbata, Rachel membuka mulutnya.
Tak berhenti dalam benaknya Rachel bertanya-tanya, bagaimana bisa seorang yang sudah bertahun-tahun berhasil ia hindari bahkan nyaris hilang dalam ingatan tiba-tiba muncul secara mengejutkan.
"Kita ketemu lagi, Rachel." Elang berucap. Rasa syukur yang begitu membuncah seketika datang bertamu dalam hati membuatnya lupa akan perasaan kesal juga emosi yang beberapa saat lalu Elang rasakan.
"Pencarian aku selama bertahun-tahun, nggak sia-sia. Aku masih bisa ketemu kamu."
Merasa tidak tahan, tangan kanan Elang tergerak menyentuh salah satu pipi Rachel memberikan elusan lembut di sana.
Menyalurkan rasa cinta dan sayang yang masih tetap sama seperti dulu bagi seorang Elang Algerian berharap Rachel bisa merasakan.
"Nggak." Rachel menggeleng pelan, menyangkal perkataan Elang yang dilayangkan padanya.
"Sia-sia kamu di sini. Buat apa? Bukannya kisah kita udah selesai?" tanya Rachel kemudian dengan sorot matanya tertuju menatap wajah sang mantan suami yang dahulu pernah sangat ia cintai.
"Kisah kita belum sama sekali selesai." Dengan cepat kalimat itu meluncur begitu mulusnya dari mulut Elang.
"Kejadian yang kamu lihat waktu itu, salah paham. Itu nggak seperti apa yang ada dipikiran kamu selama ini."
Sama sekali tidak berubah, Elang masih mengelak dan terus memberikan jawaban yang sama yang menurut Rachel sebagai bentuk pembelaan agar dirinya kembali percaya sepenuhnya kepada Elang.
"Terus-terusan kamu bilang kaya gitu tapi nggak ada niat untuk kasih aku penjelasan."
"Sekarang bakal aku jelasin semuanya sama kamu," cetus Elang secara cepat. Genggaman tangannya semakin ia eratkan pada kedua tangan lentik berkulit putih milik Rachel.
Sejenak mengabaikan pria lain yang berada dan sedang menyaksikan pertemuan antara pegawai kepercayaannya bersama pria yang telah ia ketahui adalah mantan suaminya.
"Terlambat."
Kedua alis mata Elang menukik tajam disertai keningnya yang mengernyit tanda kebingungan.
"Apa maksud kamu terlambat?" tanyanya.
"Aku berhasil dapat laki-laki lebih baik dari kamu," kata Rachel tanpa sadar membuat hati Elang ketakutan. Jangan sampai firasatnya benar.
"Laki-laki itu?"
Barra, sosok yang Elang maksud langsung mengalihkan pandangan ke arah mereka. Menatap bergantian antara Rachel juga Elang.
Ia tidak tahu-menahu tentang masalah ini tetapi sekarang dirinya diikutsertakan.
Sebelah tangan Rachel yang berada di dekat Barra tanpa keraguan perlahan mulai menggenggam tangan milik Barra.
"Dia Barra," ucap Rachel bermaksud memperkenalkan pria tersebut kepada mantan suaminya. "Pengganti kamu dihati aku sekaligus calon suami aku," lanjutnya lagi.
Bukan hanya Elang saja yang dibuat terkejut bukan main karena pernyataan Rachel, Barra pun demikian.
Dari lirikan mata yang diberikannya untuk wanita cantik itu seolah Barra bertanya sekaligus meminta penjelasan atas apa yang baru saja Rachel katakan.
"Bercanda kamu sama sekali nggak lucu," kelakar Elang.
"Dari cara bicara aku, apa menurut kamu ini semua candaan?" timpa Rachel. Tatapannya begitu tajam menusuk seolah ingin meyakinkan mantan suaminya bahwa yang ia ucap benar-benar serius.
Mengusap wajahnya secara kasar, Elang berusaha sekuat tenaga agar tidak terpancing emosi dalam menghadapi sang mantan istri.
"Kamu udah bukan lagi Rachel yang aku kenal. Banyak yang berubah—"
"Dan, itu semua karena kamu!" cibir Rachel menggantungkan ucapan Elang yang belum terselesaikan.
*
Suasananya mendadak hening ketika Rachel dan Barra tiba di hunian sederhana yang terhitung sudah empat tahun ia tinggali bersama anak lelaki semata wayang yang selalu menemani disetiap keadaan.
"Rachel." Lagi, suara itu menyapa gendang telinga wanita yang berstatus sebagai orang tua tunggal.
"Pak, saya benar-benar minta maaf. Bukan maksud saya berucap seperti itu di hadapan mantan suami, saya sungguh—" Bibir yang masih memberikan warna kemerahan tersebut tertutup rapat seketika lantaran Barra mulai mengeluarkan kata demi kata dari mulutnya.
"Kamu boleh pakai nama saya kalau ketemu sama mantan suami kamu kapan saja."
Sepasang mata mereka saling beradu pandang dengan Rachel yang menatap Barra penuh dengan keterkejutan sedangkan sang lelaki hanya memberi senyum penuh arti.
Tidak ada yang melarangnya jika suatu saat nanti atau mulai detik ini seorang Barra Alexander menyukai wanita di hadapannya bernama Rachel Anatha.
"Dekati dia secara perlahan, jangan terburu-buru." Dalam batin Barra berucap.
Jantungnya bahkan sampai berdetak tak beraturan hanya karena terus memandang takjub wajah cantik wanita yang yang berstatus sebagai pegawai di perusahaan miliknya.
"Dimana Delvin?" tanya Barra memecah keheningan, sekejab membuat Rachel mengedipkan mata cepat seolah tersadar dari lamunan.
*
Di tepi ranjang sebuah kamar dengan luasnya yang tidak seberapa, tempat biasanya bagi Rachel bersama anak lelakinya beristirahat.
Setelah menyaksikan langsung interaksi yang terjadi antara sang anak yang memiliki panggilan akrab Delvin bermain ditemani oleh Barra meski hanya sebentar. Dalam kepalanya saat ini sangat berisik ia rasakan.
"Pak Barra kelihatan dekat banget sama Delvin." Dari mulutnya terdengar pelan Rachel bergumam mengenai sosok Barra Alexander.
"Dia juga kelihatannya sayang banget sama Delvin." Sembari berucap, satu tangan Rachel mengusap perlahan kening anak lelaki satu-satunya yang begitu disayang.
Terlihat dari mata Delvin telah berwarna merah tanda si kecil mengantuk, tak lama pasti akan terlelap.
Senyumnya sempat tercetak jelas di wajah cantiknya sebelum kembali meredup dengan kepala yang Rachel gerakan pelan ke kanan dan kiri.
"Kamu nggak boleh jatuh cinta, Rachel," cetusnya menolak segala pemikiran yang bersarang dalam otak.
Pandangannya beralih menatap wajah tampan sang anak yang sudah terlelap dengan mulut mungilnya sedikit terbuka guna menghilangkan bayang-bayang pikiran tentang Barra.
"Aku nggak mungkin bisa jatuh cinta lagi selain sama Elang, 'kan?" monolog Rachel.
Memandangi wajah anak lelakinya yang parasnya sangat mirip dengan sang mantan suami bahkan bisa disebut sebagai duplikat seorang Elang Algerian. Satu hal yang membuat Rachel berat hatinya untuk kembali ia buka.
"Gimana aku bisa lupa bahkan cari pengganti kamu kalau wajah anak kita mirip banget sama kamu, Elang."
Perasaan sedih lagi dan lagi datang menyapa tanpa diminta, Rachel sangat benci.
Sangat bersalah karena telah memisahkan si kecil dengan ayah biologisnya tapi dipikirkan lagi jika pada saat itu Rachel tidak mengetahui secara langsung Elang yang bermain api dibelakangnya dan dirinya sadar tengah mengandung buah hati mereka mungkin Rachel akan mempertahankan rumah tangganya meski cinta dari Elang padanya tidak lagi sama seperti waktu dulu.
"Maaf," lirih kata itu terucap disertai air mata jatuh ke pipi kala mengingat perlakuannya terhadap Elang beberapa waktu lalu ketika tidak sengaja dipertemukan.
"Mama minta maaf, sayang." Dengan mata berlinang, wajahnya Rachel dekatkan sehingga bibirnya berada dan berhasil mengecup kening si kecil, Delvin.
Elang pulang membawa perasaan sedih dan kecewa tanpa bahagia. Ekspresi datar tersirat perasaan sedih masih terpancar dari wajah tampan yang dulu berhasil menaklukkan hati Rachel Anatha. Memasukkan satu demi satu barang yang dibawanya selama bepergian ke dalam sebuah koper hitam miliknya. Elang termenung sejenak ketika otak memutar kejadian yang langsung terjadi dihadapan mata kepalanya sendiri. "Dia Barra. Calon suami aku." Terngiang-ngiang kalimat dari mulut mantan istri yang masih ia cintai sampai detik ini. Senyuman kecut terbit menghiasinya, "Perjuangan yang kamu lakuin, sia-sia sekarang," monolognya kemudian. Tidak lupa memeriksa satu kali lagi dengan mata yang menyapu bersih penjuru ruang kamar hotel tempat menginapnya sebelum melangkahkan kaki meninggalkan ruangan. "Apa perlu aku pamit sama Rachel?" Bimbang, tiba-tiba berat hatinya meninggalkan kota dimana ia berhasil bertemu dan telah mengetahui mantan istrinya selama ini tinggal. Elang dalam hati kecilnya masih
Fokus terduduk bersandar pada kepala sofa panjang yang terletak di ruang tengah dekat dengan area dapur apartemen-nya, jari-jemari Rachel sibuk terus tergerak mengetikkan banyak kata yang sudah sebelumnya tersusun di kepala. Minggu yang seharusnya libur dan dapat digunakan untuk menghabiskan waktu bermain bersama si kecil Delvin serta mengistirahatkan tubuh tetapi Rachel rela bekerja. "Mama, main?" Anak yang usianya sudah menginjak tiga tahun datang dari arah kamar menghampiri sang ibu. "Hai, sayang!" sapa Rachel terdahulu. Menghentikan aktivitasnya sejenak untuk bersiap memberi dan menerima sebuah pelukan hangat. "Delvin main sendiri dulu, ya? Mama kerja sebentar." Terdongak kepala si kecil, matanya menghadap Rachel. "Kelja?" tanyanya. Rachel mengangguk sekali, "Mama kerja supaya Delvin bisa jajan dan kita nanti jalan-jalan." "Sama Om baik?" Om baik panggilan khusus yang disematkan oleh Delvin untuk Barra Alexander seorang. Lelaki yang sangat tampan di penglihatan ana
"Elang."Satu kata yang berhasil mulut wanita bernama Rachel Anatha ucapkan kala kedua mata menangkap jelas sosok pria yang diyakininya adalah sang suami.Keluar dari mobil hitam bersama seorang wanita susah payah memapah tubuh lemas Elang guna berjalan masuk ke sebuah kamar hotel yang sepertinya telah dipesan."Laura."Melangkahkan kedua kakinya, berjalan cepat mengikuti dari belakang secara diam-diam, hati Rachel was-was seketika ia sampai di depan pintu salah satu kamar dimana kini Elang dan Laura tengah berada di dalam sana hanya berdua.Semakin tak menentu perasaan hati dibuatnya saat telinga yang sengaja Rachel dekatkan pada pintu bercat coklat tua yang telah tertutup dan terkunci rapat mendengar suara merdu berasal dari dalam sana."Eemmpphhh."Pikiran positif yang beberapa waktu kebelakang selal
"Rachel."Sebuah suara yang hampir selama dua tahun ini Rachel dengar kembali menyapa gendang telinga. Ditolehkannya menghadap samping kanan membalas tatapan Barra Alexander yang ternyata tengah menatapnya."Kamu ada masalah? Saya lihat dari tadi banyak melamun. Kamu nggak suka saya ajak pergi?" Sederet pertanyaan Barra lontarkan sesekali mengalihkan pandangannya pada jalan yang dilalui oleh mobil hitam yang ia kendarai.Menggeleng sambil memberi senyum, "Saya baik, Pak," jawab Rachel jujur.Nyatanya memang dirinya baik-baik saja, ia kembali mengalihkan pandangannya menatap ke arah jendela mobil menikmati pemandangan tepi jalan.Cuacanya cerah tapi tidak dengan hatinya. Perasaan takut juga gelisah datang menyapa tanpa diminta membuat suasananya terasa berbeda.Diam, melamunkan banyak hal. Empat tahun tanpa terasa sudah Rachel lalui ber
"Elang." Satu kata yang berhasil mulut wanita bernama Rachel Anatha ucapkan kala kedua mata menangkap jelas sosok pria yang diyakininya adalah sang suami. Keluar dari mobil hitam bersama seorang wanita susah payah memapah tubuh lemas Elang guna berjalan masuk ke sebuah kamar hotel yang sepertinya telah dipesan. "Laura." Melangkahkan kedua kakinya, berjalan cepat mengikuti dari belakang secara diam-diam, hati Rachel was-was seketika ia sampai di depan pintu salah satu kamar dimana kini Elang dan Laura tengah berada di dalam sana hanya berdua. Semakin tak menentu perasaan hati dibuatnya saat telinga yang sengaja Rachel dekatkan pada pintu bercat coklat tua yang telah tertutup dan terkunci rapat mendengar suara merdu berasal dari dalam sana. "Eemmpphhh." Pikiran positif yang beberapa waktu kebelakang selalu Rachel tanamkan langsung sirna begitu saja. Hatinya diliputi rasa marah, mata cantiknya memerah menahan air mata yang jika tidak ditahan mati-matian dapat turun begitu s
"Rachel." Sebuah suara yang hampir selama dua tahun ini Rachel dengar kembali menyapa gendang telinga. Ditolehkannya menghadap samping kanan membalas tatapan Barra Alexander yang ternyata tengah menatapnya. "Kamu ada masalah? Saya lihat dari tadi banyak melamun. Kamu nggak suka saya ajak pergi?" Sederet pertanyaan Barra lontarkan sesekali mengalihkan pandangannya pada jalan yang dilalui oleh mobil hitam yang ia kendarai. Menggeleng sambil memberi senyum, "Saya baik, Pak," jawab Rachel jujur. Nyatanya memang dirinya baik-baik saja, ia kembali mengalihkan pandangannya menatap ke arah jendela mobil menikmati pemandangan tepi jalan. Cuacanya cerah tapi tidak dengan hatinya. Perasaan takut juga gelisah datang menyapa tanpa diminta membuat suasananya terasa berbeda. Diam, melamunkan banyak hal. Empat tahun tanpa terasa sudah Rachel lalui bersama anak yang tanpa sadar ia ikut sertakan semenjak masih dalam kandungan. Mengurus segala sesuatu dan keinginannya selama mengandung buah c