Fokus terduduk bersandar pada kepala sofa panjang yang terletak di ruang tengah dekat dengan area dapur apartemen-nya, jari-jemari Rachel sibuk terus tergerak mengetikkan banyak kata yang sudah sebelumnya tersusun di kepala.
Minggu yang seharusnya libur dan dapat digunakan untuk menghabiskan waktu bermain bersama si kecil Delvin serta mengistirahatkan tubuh tetapi Rachel rela bekerja.
"Mama, main?" Anak yang usianya sudah menginjak tiga tahun datang dari arah kamar menghampiri sang ibu.
"Hai, sayang!" sapa Rachel terdahulu. Menghentikan aktivitasnya sejenak untuk bersiap memberi dan menerima sebuah pelukan hangat.
"Delvin main sendiri dulu, ya? Mama kerja sebentar."
Terdongak kepala si kecil, matanya menghadap Rachel.
"Kelja?" tanyanya.
Rachel mengangguk sekali, "Mama kerja supaya Delvin bisa jajan dan kita nanti jalan-jalan."
"Sama Om baik?"
Om baik panggilan khusus yang disematkan oleh Delvin untuk Barra Alexander seorang.
Lelaki yang sangat tampan di penglihatan anak semata wayang Rachel.
Paham jika arah pembahasan mereka sudah mengenai tentang pimpinannya, Rachel walau sempat terbata di awal kalimat pun terus berucap.
"I-iya. Ajak Om baik jalan-jalan sama kita nanti. Tapi, kalau Om baik nggak sibuk, ya, sayang." Rachel menjawab meski sempat terbata di awal.
Percakapan singkat disertai bujuk rayu yang Rachel berikan agar sang anak mau bermain sendirian sementara di ia menyelesaikan sedikit pekerjaan yang tersisa.
Suara dari sebuah benda berukuran sedang tepat di ruang Rachel dan Delvin berada sekarang telah dinyalakan untuk beberapa saat keadaan begitu tenang dan Rachel pun bisa fokus menyelesaikan pekerjaan yang sudah menjadi tanggung jawab.
"Pemilik perusahaan Independen Algerian yaitu, Elang Algerian secara mendadak memberitahukan bahwa akan menikahi wanita yang tidak lain adalah sekretaris pribadinya bernama, Laura Abipraya."
Jari-jemari bahkan seluruh anggota tubuh Rachel pada saat itu seperti kaku dan secara tiba-tiba tak dapat ia gerakkan. Pandangan mata yang tadinya fokus ke layar laptop beralih menjadi menatap penuh pada layar televisi tepat di depannya.
"Baik Elang maupun Laura, keduanya kompak memberi jawaban bahwa pernikahan mereka akan dilangsungkan besok hari, pukul sembilan pagi."
Terlihat kepala Rachel menggeleng seolah menolak percaya atas perkataan yang baru ia dengar.
"Nggak," cetusnya masih dengan kepala yang sesekali menggeleng pelan. "Ini semua pasti mimpi. Berita itu cuma kebohongan."
Membuka ponsel yang terus ada di dekatnya, Rachel mencari informasi tentang kebenaran berita tersebut.
"Benar. Mereka mau menikah, Elang dan Laura." Kedua tangan gemetar luar biasa, dalam kepala berputar segala peristiwa yang dulu sempat terbayang bukan hanya angan melainkan kini nyata adanya.
"Mama." Panggilan dari mulut si kecil Delvin, anak itu melangkahkan kaki mendekat ke arah sang ibu begitu sadar Rachel sedang tidak baik-baik saja sekarang.
Laptop yang sudah tidak lagi berada di atas pahanya membuat sang anak dengan mudah berada di tengah-tengah antara kedua kaki Rachel.
"Mama, nangis," ujar Delvin langsung merubah ekspresi wajahnya menjadi bersedih seolah ikut merasakan apa yang saat ini Rachel rasakan.
"Peluk Mama, sayang." Permintaan Rachel tidak mungkin mendapat penolakan dari si kecil karena terbukti sebuah pelukan hangat keduanya dapatkan dengan saling menyalurkan perasaan sayang.
"Jangan nangis, Mama. Abang sedih," ucap Delvin yang memanggil dirinya sendiri dengan sebutan Abang.
"Maaf, Mama udah buat kamu sedih, ya, sayang." Melepas pelukannya, Rachel serta Delvin saling bertatap mata. Satu tangan lentiknya ia gerakkan menghapus jejak air mata yang sudah sempat membasahi pipi putih anak tersayangnya.
*
Terduduk sendirian dalam keadaan termenung, Rachel melamun. Hati dan pikirannya dilanda kebingungan, ia tidak tahu harus apa dan bagaimana sekarang.
Dikedua tangan lentiknya masih terpegang undangan pernikahan yang entah bagaimana bisa sampai kepadanya.
"Elang dan Laura." Menatap dengan perasaan sengit ke arah kertas putih gading tersebut.
"Baru kemarin kita ketemu, kamu bahkan nggak ada pembicaraan apapun tentang ini. Gimana bisa aku percaya kalau kalian tiba-tiba mau menikah," jelas Rachel diiringi air mata yang menetes membasahi pipinya begitu saja.
Kecewa, sakit hati rasanya mengetahui orang yang bertahun-tahun masih menghuni dalam hati, meninggalkan banyak kenangan pahit - manis yang selalu dikenang.
Begitu mudahnya dia melupakan dan kembali membangun sebuah rumah dengan orang baru. Memang perihal hidup ini tetap akan terus berjalan, dunianya hari itu boleh saja hancur tapi ketika memandang ke luar dunia tetap terasa baik-baik saja bagi setiap orang.
"Mama, Papa," lirih Rachel memanggil kedua orang tuanya yang berada jauh di sana. "Sekarang Rachel nggak tahu harus apa."
Untuk beberapa saat, terdiam dengan pandangan mata tertuju ke arah belakang dimana anaknya, Delvin tertidur pulas memeluk boneka semangka, salah satu barang pemberian dari Barra.
*
Waktu hampir menunjukkan tengah malam tapi Rachel tak kunjung bisa memejamkan mata untuk mengistirahatkan tubuh lelahnya. Berbaring dengan posisi terlentang, Rachel menatap langit-langit kamar.
"Datang aja." Terucapnya kalimat itu tiba-tiba dalam batinan kala otak terbayang surat undangan pernikahan yang ia dapat dari sang mantan suami, Elang Algerian.
"Barra." Satu nama, sosok lelaki yang sangat dekat dengannya baik di lingkungan pekerjaan maupun di luar pekerjaan.
"Ajak dia datang ke acara pernikahan Elang?" monolognya. "Tapi, apa dia mau?" Keraguan mulai muncul dalam benaknya.
Bangun dari tidurnya secara perlahan, bersandar pada kepala ranjang, satu tangan tergerak mengambil ponsel yang letaknya di atas meja kecil samping tempat tidurnya.
Membuang napas berat, daripada semalaman terus dihantui rasa penasaran, Rachel mencoba menghubungi Barra di waktu yang sebentar lagi akan menuju tengah malam.
"Barra pasti udah tidur," celetuknya ketika melihat pesan yang ia kirimkan terdapat tanda ceklis satu dilayar.
Belum ada niat untuk menyerah, kini Rachel mencoba menghubungi Barra dengan cara meneleponnya. Terbilang nekat dan sangat berharap Barra akan menjawab panggilan telepon darinya.
"Bodoh." Rachel mengumpat yang kata itu ditunjukkan untuk dirinya sendiri. "Tengah malam begini, kamu malah ganggu jam istirahat orang lain."
Tersenyum kecut, Rachel kembali meletakkan benda pipih itu ke atas meja. Akan ia paksakan kedua matanya untuk terpejam mengingat esok hari dirinya sudah harus kembali bekerja.
"Telepon?" monolognya kembali, tak berselang lama setelah Rachel membaringkan tubuhnya miring ke kanan.
Segera ia geser ke atas pada simbol berwarna hijau dilayar ponselnya ketika tertera nama seorang Barra Alexander.
"Maaf, kalau saya ganggu waktu istirahat kamu," cetus Barra dari seberang telepon.
"Saya telepon kamu karena kamu duluan yang telepon ke saya. Ada apa?" lanjut Barra bertanya.
Sangat merasa tidak enak hati karena telah menganggu Barra di jam istirahat malamnya, sebelum menuju ke pembicaraan inti, Rachel terlebih dahulu meminta maaf.
"Saya pengen ajak Bapak datang ke pesta pernikahan suami saya. Itupun kalau Bapak berkenan."
Hening menyapa keduanya tetapi sambungan telepon antar keduanya masih terhubung. Detak jantung yang semula normal kembali berdetak tak beraturan. Rachel takut ajakannya akan ditolak mentah-mentah dan ia akan mendapat amarah.
"Kapan acaranya, Rachel?"
Katakan pada Rachel sekarang bahwa dirinya tidak salah dengar. Barra menyanggupi ajakannya tanpa ia duga.
Terbata mulut itu berucap lantaran masih terkejut sekaligus merasa tak percaya. Rachel memberitahukan hari, tanggal dan jam berapa acara pernikahan sang mantan suami di gelar.
"Elang."Satu kata yang berhasil mulut wanita bernama Rachel Anatha ucapkan kala kedua mata menangkap jelas sosok pria yang diyakininya adalah sang suami.Keluar dari mobil hitam bersama seorang wanita susah payah memapah tubuh lemas Elang guna berjalan masuk ke sebuah kamar hotel yang sepertinya telah dipesan."Laura."Melangkahkan kedua kakinya, berjalan cepat mengikuti dari belakang secara diam-diam, hati Rachel was-was seketika ia sampai di depan pintu salah satu kamar dimana kini Elang dan Laura tengah berada di dalam sana hanya berdua.Semakin tak menentu perasaan hati dibuatnya saat telinga yang sengaja Rachel dekatkan pada pintu bercat coklat tua yang telah tertutup dan terkunci rapat mendengar suara merdu berasal dari dalam sana."Eemmpphhh."Pikiran positif yang beberapa waktu kebelakang selal
"Rachel."Sebuah suara yang hampir selama dua tahun ini Rachel dengar kembali menyapa gendang telinga. Ditolehkannya menghadap samping kanan membalas tatapan Barra Alexander yang ternyata tengah menatapnya."Kamu ada masalah? Saya lihat dari tadi banyak melamun. Kamu nggak suka saya ajak pergi?" Sederet pertanyaan Barra lontarkan sesekali mengalihkan pandangannya pada jalan yang dilalui oleh mobil hitam yang ia kendarai.Menggeleng sambil memberi senyum, "Saya baik, Pak," jawab Rachel jujur.Nyatanya memang dirinya baik-baik saja, ia kembali mengalihkan pandangannya menatap ke arah jendela mobil menikmati pemandangan tepi jalan.Cuacanya cerah tapi tidak dengan hatinya. Perasaan takut juga gelisah datang menyapa tanpa diminta membuat suasananya terasa berbeda.Diam, melamunkan banyak hal. Empat tahun tanpa terasa sudah Rachel lalui ber
"Elang." Satu kata yang berhasil mulut wanita bernama Rachel Anatha ucapkan kala kedua mata menangkap jelas sosok pria yang diyakininya adalah sang suami. Keluar dari mobil hitam bersama seorang wanita susah payah memapah tubuh lemas Elang guna berjalan masuk ke sebuah kamar hotel yang sepertinya telah dipesan. "Laura." Melangkahkan kedua kakinya, berjalan cepat mengikuti dari belakang secara diam-diam, hati Rachel was-was seketika ia sampai di depan pintu salah satu kamar dimana kini Elang dan Laura tengah berada di dalam sana hanya berdua. Semakin tak menentu perasaan hati dibuatnya saat telinga yang sengaja Rachel dekatkan pada pintu bercat coklat tua yang telah tertutup dan terkunci rapat mendengar suara merdu berasal dari dalam sana. "Eemmpphhh." Pikiran positif yang beberapa waktu kebelakang selalu Rachel tanamkan langsung sirna begitu saja. Hatinya diliputi rasa marah, mata cantiknya memerah menahan air mata yang jika tidak ditahan mati-matian dapat turun begitu s
"Rachel." Sebuah suara yang hampir selama dua tahun ini Rachel dengar kembali menyapa gendang telinga. Ditolehkannya menghadap samping kanan membalas tatapan Barra Alexander yang ternyata tengah menatapnya. "Kamu ada masalah? Saya lihat dari tadi banyak melamun. Kamu nggak suka saya ajak pergi?" Sederet pertanyaan Barra lontarkan sesekali mengalihkan pandangannya pada jalan yang dilalui oleh mobil hitam yang ia kendarai. Menggeleng sambil memberi senyum, "Saya baik, Pak," jawab Rachel jujur. Nyatanya memang dirinya baik-baik saja, ia kembali mengalihkan pandangannya menatap ke arah jendela mobil menikmati pemandangan tepi jalan. Cuacanya cerah tapi tidak dengan hatinya. Perasaan takut juga gelisah datang menyapa tanpa diminta membuat suasananya terasa berbeda. Diam, melamunkan banyak hal. Empat tahun tanpa terasa sudah Rachel lalui bersama anak yang tanpa sadar ia ikut sertakan semenjak masih dalam kandungan. Mengurus segala sesuatu dan keinginannya selama mengandung buah c
Pandangan mata kedua orang yang statusnya sama-sama sebagai mantan kini tengah saling pandang. Belum hilang keterkejutan terpampang jelas pada wajah cantik Rachel. "Ka-kamu." Dengan suara terbata, Rachel membuka mulutnya. Tak berhenti dalam benaknya Rachel bertanya-tanya, bagaimana bisa seorang yang sudah bertahun-tahun berhasil ia hindari bahkan nyaris hilang dalam ingatan tiba-tiba muncul secara mengejutkan. "Kita ketemu lagi, Rachel." Elang berucap. Rasa syukur yang begitu membuncah seketika datang bertamu dalam hati membuatnya lupa akan perasaan kesal juga emosi yang beberapa saat lalu Elang rasakan. "Pencarian aku selama bertahun-tahun, nggak sia-sia. Aku masih bisa ketemu kamu." Merasa tidak tahan, tangan kanan Elang tergerak menyentuh salah satu pipi Rachel memberikan elusan lembut di sana. Menyalurkan rasa cinta dan sayang yang masih tetap sama seperti dulu bagi seorang Elang Algerian berharap Rachel bisa merasakan. "Nggak." Rachel menggeleng pelan, menyangkal perk
Elang pulang membawa perasaan sedih dan kecewa tanpa bahagia. Ekspresi datar tersirat perasaan sedih masih terpancar dari wajah tampan yang dulu berhasil menaklukkan hati Rachel Anatha. Memasukkan satu demi satu barang yang dibawanya selama bepergian ke dalam sebuah koper hitam miliknya. Elang termenung sejenak ketika otak memutar kejadian yang langsung terjadi dihadapan mata kepalanya sendiri. "Dia Barra. Calon suami aku." Terngiang-ngiang kalimat dari mulut mantan istri yang masih ia cintai sampai detik ini. Senyuman kecut terbit menghiasinya, "Perjuangan yang kamu lakuin, sia-sia sekarang," monolognya kemudian. Tidak lupa memeriksa satu kali lagi dengan mata yang menyapu bersih penjuru ruang kamar hotel tempat menginapnya sebelum melangkahkan kaki meninggalkan ruangan. "Apa perlu aku pamit sama Rachel?" Bimbang, tiba-tiba berat hatinya meninggalkan kota dimana ia berhasil bertemu dan telah mengetahui mantan istrinya selama ini tinggal. Elang dalam hati kecilnya masih