"Rachel."
Sebuah suara yang hampir selama dua tahun ini Rachel dengar kembali menyapa gendang telinga. Ditolehkannya menghadap samping kanan membalas tatapan Barra Alexander yang ternyata tengah menatapnya.
"Kamu ada masalah? Saya lihat dari tadi banyak melamun. Kamu nggak suka saya ajak pergi?" Sederet pertanyaan Barra lontarkan sesekali mengalihkan pandangannya pada jalan yang dilalui oleh mobil hitam yang ia kendarai.
Menggeleng sambil memberi senyum, "Saya baik, Pak," jawab Rachel jujur.
Nyatanya memang dirinya baik-baik saja, ia kembali mengalihkan pandangannya menatap ke arah jendela mobil menikmati pemandangan tepi jalan.
Cuacanya cerah tapi tidak dengan hatinya. Perasaan takut juga gelisah datang menyapa tanpa diminta membuat suasananya terasa berbeda.
Diam, melamunkan banyak hal. Empat tahun tanpa terasa sudah Rachel lalui bersama anak yang tanpa sadar ia ikut sertakan semenjak masih dalam kandungan.
Mengurus segala sesuatu dan keinginannya selama mengandung buah cintanya dengan Elang Algerian, Rachel lakukan sendirian. Sempat terlintas dalam pikiran mungkin Elang akan datang menemuinya kembali tapi lamanya penantian yang ia harapkan berujung kekecewaan mendalam Rachel rasakan.
"Elang udah bahagia sama istri barunya."
Kalimat yang sempat Rachel ucap tepat dihadapan anaknya yang kala itu tertidur pulas dalam pangkuan. Malaikat kecil berjenis kelamin laki-laki, Tuhan titipkan padanya sebagai teman juga semangat untuk Rachel terus berjuang melanjutkan hidup.
"Ini kartu nama saya. Bisa datang dan temui saya di kantor. Tempat dan namanya tertera di sana."
Pria bernama Barra Alexander, sosok yang sangat berjasa dalam hidup Rachel Anatha karena datang di waktu yang tepat saat Rachel tak tahu harus melakukan apa.
Barra yang dengan begitu mudahnya menawarkan untuk ia bergabung, bekerjasama dengan perusahaannya hingga kini mantan istri dari seorang Elang Algerian tersebut telah berhasil masuk dan menjadi bagian dari perusahaan yang dikelola juga dimiliki langsung oleh Barra.
"Kamu takut?" tanya Barra saat sekilas dirinya melihat ada pancaran cemas dan khawatir dari kedua mata cantik Rachel.
"Sedikit," jawabnya.
Kedua mata Rachel membulat sempurna ketika tanpa aba-aba, Barra menarik satu tangan yang berada didekatnya untuk ia genggam dan ia elus punggung tangannya dengan lembut. Ingin protes tetapi Rachel disadarkan bahwa dirinya banyak sekali berhutang budi kepada pria disampingnya ini. Diam dan menerima segala perlakuan dari Barra terhadapnya sedang Rachel lakukan.
"Tenang, Rachel." Singkat kalimat dari Barra didapatkannya.
Sedikit menundukkan kepala, helaan napas panjang Rachel keluarkan berusaha menenangkan hati, diri dan pikiran. Barra menampilkan senyum tipis. Dilihat dari jarak sedekat ini Rachel begitu cantik.
*
"Rachel."
Seorang yang tak sengaja tertangkap oleh kedua matanya berhasil Elang lihat secara jelas dan nyata. Selepas ia selesai dengan urusan didalam sebuah restoran bertemu dengan rekan bisnisnya guna mensurvei dan membicarakan tentang bisnis yang akan mereka kembangkan nanti di kota ini.
Keberuntungan selanjutnya mendatangi dirinya. Dapat Elang pastikan kali ini ia tidak mungkin salah orang.
Elang bawa kedua kakinya melangkah cepat dan lebar berusaha mengejar Rachel yang pergi bersama seorang pria.
"Siapa laki-laki itu, Rachel?" monolog Elang. Atensinya tak pernah lepas dari sang mantan istri juga seorang pria yang tidak Elang kenali.
Fokus, atensi seorang Elang Algerian hanya tertuju pada mantan istrinya —Rachel Anatha. Padatnya lalu lintas dan jalan yang dilalui membuat Elang bukan hanya sesekali mendongakkan kepalanya untuk memastikan bahwa mantan istrinya masih berada dalam jangkauan.
"Rachel," cetus Elang mulai panik. Tidak ada satu menit dirinya mengalihkan pandang, sosok Rachel tak lagi dalam penglihatan.
Mulai kelimpungan mencari keberadaannya, dikerumuni banyak orang asing yang terus lewat. Elang mencoba memanggil sang mantan istri, harap-harap sang empu dapat mendengar.
"RACHEL!" teriak Elang begitu lantang sebelum mulutnya meloloskan sebuah umpatan. "Sial!"
Rachel bersama seorang pria tak dikenalinya pergi, berlalu terlalu cepat. Berjalan menjauh dari tempat Elang berusaha mengejar Rachel berujung kegagalan ia kembali dapatkan.
Perasaan menyesal Elang rasakan, dalam benak dan otak berusaha memikirkan langkah apa yang harus ia lakukan. Elang kembali dipertemukan dengan istrinya —Rachel Anatha. Ia tidak ingin kehilangan lagi dan menyia-nyiakan kesempatan.
"Urus semua pekerjaan yang berhubungan dengan perusahaan. Masih ada hal yang harus saya urus di sini. Semuanya saya percayakan ke kamu."
Begitu kalimat yang Elang ucap kepada seorang lawan bicaranya dari balik sambungan telepon. Memutuskan untuk tidak langsung kembali pulang dan memilih tinggal ditempat ini sedikit lebih lama guna ia bisa bertemu dan jika kesempatan kembali datang, Elang pastikan kali ini akan memberitahukan kepada Rachel semuanya.
"Waktu itu, nggak seperti apa yang kamu pikirkan. Semuanya salah paham. Aku nggak mungkin melakukan itu disaat aku masih cinta sama kamu, Rachel," gumam Elang tatapan matanya tajam mengarah ke jalanan dengan kedua kaki melangkah kembali menuju dimana tempat mobilnya ia parkirkan.
*
Tak peduli langit mulai gelap pertanda malam akan menjelang, Elang yang sempat kehilangan jejak sang mantan istri terus berusaha mengejar dan mencari.
Mobil yang dikendarainya melaju dengan kecepatan tak menentu, bola matanya tak pernah diam terus melirik ke segala arah.
"Kita harus ketemu, Rachel."
Disertai perasaan gelisah yang lebih didominasi oleh rasa menyesal teramat sangat, Elang meramalkan doa agar Tuhan berbaik hati memberikannya kesempatan lagi.
"Itu—" Menjeda ucapannya kala kedua mata tak sengaja menangkap papan besar yang terpasang di sebuah gedung. "Rachel."
Wajah cantik yang tak bisa Elang lupa dan begitu dikenalinya. Sosok mantan istrinya. Mobil hitam begitu mengkilap segera Elang arahkan untuk masuk ke kawasan tersebut.
Nampak gedung tinggi menjulang dengan banyaknya orang berlalu-lalang tanpa bertanya pun Elang dapat pastikan bahwa gedung yang ia lihat sekarang adalah sebuah perusahaan yang namanya sangat terkenal.
"Rachel kerja di sini?" monolognya mencoba menebak-nebak.
Tanpa berniat untuk keluar ataupun turun dari mobil, Elang tetap di sana. Menanti kepulangan Rachel agar ia bisa berbicara hanya mereka berdua saja.
*
"Dia sebenarnya siapa kamu, Rachel?"
Rela menunggu lama demi bisa bertemu dan memberitahukan kepada Rachel kejadian yang sebenarnya tetapi justru sepasang matanya disuguhi pemandangan dimana sang mantan istri nampak jelas sedang berjalan beriringan dengan pria yang beberapa saat lalu Elang melihatnya.
Begitu dekat bahkan sangat akrab, keduanya berbincang sembari terus mengeluarkan suara tawa. Terlihat Rachel begitu bahagia.
"Nggak ada hak orang lain untuk masuk ke hati kamu selain aku."
Hatinya seketika penuh akan rasa cemburu, segera Elang turun dari mobil, menghampiri sang mantan istri.
"Rachel!" panggil Elang dengan nada tinggi agar nama yang dipanggilnya dapat mendengar.
Tidak hanya sang empu pemilik nama yang langsung menolehkan kepalanya ke sumber suara tapi Barra pun melakukan hal yang sama.
Tidak ada satu pun kata atau kalimat keluar dari mulut Rachel Anatha. Bibir tipis dengan warna pink cherry tersebut tertutup rapat. Jantungnya terasa berhenti berdetak dalam hati menolak percaya kala melihat siapa sosok yang saat ini sudah berdiri tepat di depannya.
Pandangan mata kedua orang yang statusnya sama-sama sebagai mantan kini tengah saling pandang. Belum hilang keterkejutan terpampang jelas pada wajah cantik Rachel. "Ka-kamu." Dengan suara terbata, Rachel membuka mulutnya. Tak berhenti dalam benaknya Rachel bertanya-tanya, bagaimana bisa seorang yang sudah bertahun-tahun berhasil ia hindari bahkan nyaris hilang dalam ingatan tiba-tiba muncul secara mengejutkan. "Kita ketemu lagi, Rachel." Elang berucap. Rasa syukur yang begitu membuncah seketika datang bertamu dalam hati membuatnya lupa akan perasaan kesal juga emosi yang beberapa saat lalu Elang rasakan. "Pencarian aku selama bertahun-tahun, nggak sia-sia. Aku masih bisa ketemu kamu." Merasa tidak tahan, tangan kanan Elang tergerak menyentuh salah satu pipi Rachel memberikan elusan lembut di sana. Menyalurkan rasa cinta dan sayang yang masih tetap sama seperti dulu bagi seorang Elang Algerian berharap Rachel bisa merasakan. "Nggak." Rachel menggeleng pelan, menyangkal perk
Elang pulang membawa perasaan sedih dan kecewa tanpa bahagia. Ekspresi datar tersirat perasaan sedih masih terpancar dari wajah tampan yang dulu berhasil menaklukkan hati Rachel Anatha. Memasukkan satu demi satu barang yang dibawanya selama bepergian ke dalam sebuah koper hitam miliknya. Elang termenung sejenak ketika otak memutar kejadian yang langsung terjadi dihadapan mata kepalanya sendiri. "Dia Barra. Calon suami aku." Terngiang-ngiang kalimat dari mulut mantan istri yang masih ia cintai sampai detik ini. Senyuman kecut terbit menghiasinya, "Perjuangan yang kamu lakuin, sia-sia sekarang," monolognya kemudian. Tidak lupa memeriksa satu kali lagi dengan mata yang menyapu bersih penjuru ruang kamar hotel tempat menginapnya sebelum melangkahkan kaki meninggalkan ruangan. "Apa perlu aku pamit sama Rachel?" Bimbang, tiba-tiba berat hatinya meninggalkan kota dimana ia berhasil bertemu dan telah mengetahui mantan istrinya selama ini tinggal. Elang dalam hati kecilnya masih
Fokus terduduk bersandar pada kepala sofa panjang yang terletak di ruang tengah dekat dengan area dapur apartemen-nya, jari-jemari Rachel sibuk terus tergerak mengetikkan banyak kata yang sudah sebelumnya tersusun di kepala. Minggu yang seharusnya libur dan dapat digunakan untuk menghabiskan waktu bermain bersama si kecil Delvin serta mengistirahatkan tubuh tetapi Rachel rela bekerja. "Mama, main?" Anak yang usianya sudah menginjak tiga tahun datang dari arah kamar menghampiri sang ibu. "Hai, sayang!" sapa Rachel terdahulu. Menghentikan aktivitasnya sejenak untuk bersiap memberi dan menerima sebuah pelukan hangat. "Delvin main sendiri dulu, ya? Mama kerja sebentar." Terdongak kepala si kecil, matanya menghadap Rachel. "Kelja?" tanyanya. Rachel mengangguk sekali, "Mama kerja supaya Delvin bisa jajan dan kita nanti jalan-jalan." "Sama Om baik?" Om baik panggilan khusus yang disematkan oleh Delvin untuk Barra Alexander seorang. Lelaki yang sangat tampan di penglihatan ana
"Elang."Satu kata yang berhasil mulut wanita bernama Rachel Anatha ucapkan kala kedua mata menangkap jelas sosok pria yang diyakininya adalah sang suami.Keluar dari mobil hitam bersama seorang wanita susah payah memapah tubuh lemas Elang guna berjalan masuk ke sebuah kamar hotel yang sepertinya telah dipesan."Laura."Melangkahkan kedua kakinya, berjalan cepat mengikuti dari belakang secara diam-diam, hati Rachel was-was seketika ia sampai di depan pintu salah satu kamar dimana kini Elang dan Laura tengah berada di dalam sana hanya berdua.Semakin tak menentu perasaan hati dibuatnya saat telinga yang sengaja Rachel dekatkan pada pintu bercat coklat tua yang telah tertutup dan terkunci rapat mendengar suara merdu berasal dari dalam sana."Eemmpphhh."Pikiran positif yang beberapa waktu kebelakang selal
"Rachel."Sebuah suara yang hampir selama dua tahun ini Rachel dengar kembali menyapa gendang telinga. Ditolehkannya menghadap samping kanan membalas tatapan Barra Alexander yang ternyata tengah menatapnya."Kamu ada masalah? Saya lihat dari tadi banyak melamun. Kamu nggak suka saya ajak pergi?" Sederet pertanyaan Barra lontarkan sesekali mengalihkan pandangannya pada jalan yang dilalui oleh mobil hitam yang ia kendarai.Menggeleng sambil memberi senyum, "Saya baik, Pak," jawab Rachel jujur.Nyatanya memang dirinya baik-baik saja, ia kembali mengalihkan pandangannya menatap ke arah jendela mobil menikmati pemandangan tepi jalan.Cuacanya cerah tapi tidak dengan hatinya. Perasaan takut juga gelisah datang menyapa tanpa diminta membuat suasananya terasa berbeda.Diam, melamunkan banyak hal. Empat tahun tanpa terasa sudah Rachel lalui ber
"Elang." Satu kata yang berhasil mulut wanita bernama Rachel Anatha ucapkan kala kedua mata menangkap jelas sosok pria yang diyakininya adalah sang suami. Keluar dari mobil hitam bersama seorang wanita susah payah memapah tubuh lemas Elang guna berjalan masuk ke sebuah kamar hotel yang sepertinya telah dipesan. "Laura." Melangkahkan kedua kakinya, berjalan cepat mengikuti dari belakang secara diam-diam, hati Rachel was-was seketika ia sampai di depan pintu salah satu kamar dimana kini Elang dan Laura tengah berada di dalam sana hanya berdua. Semakin tak menentu perasaan hati dibuatnya saat telinga yang sengaja Rachel dekatkan pada pintu bercat coklat tua yang telah tertutup dan terkunci rapat mendengar suara merdu berasal dari dalam sana. "Eemmpphhh." Pikiran positif yang beberapa waktu kebelakang selalu Rachel tanamkan langsung sirna begitu saja. Hatinya diliputi rasa marah, mata cantiknya memerah menahan air mata yang jika tidak ditahan mati-matian dapat turun begitu s