Ponsel Laureta berbunyi. Ia melihat nama Marisa tertera di sana.“Halo, Kak Marisa.”“Halo, Tata. Apa kamu sedang sibuk?” tanya Marisa.“Tidak, Kak,” jawab Laureta. Sudah lebih dari dua minggu ini, ia tidak pernah menjadi instruktur zumba lagi. Ia telah menyerahkan segalanya pada Reksi. “Ada apa?”“Helga meneleponku dan mengajakku untuk fitnes bersama,” kata Marisa.“Oke. Lalu?” ucap Laureta hati-hati.“Dia menyebut namamu,” ujar Marisa, membuat Laureta melebarkan matanya. “Katanya, dia sudah berjanji untuk fitnes bersamamu. Apa dia meneleponmu?”“Tidak. Uhm, jadi aku harus ikut?”Marisa terkekeh. “Terserah padamu. Kalau kamu sibuk, aku tidak akan memaksa.”Laureta berpikir sejenak. Ia teringat saat minggu lalu ia bertemu dengan Helga, keadaan cukup kacau. Namun, Kian pernah menyuruhnya untuk menghadapi Helga. Jadi, untuk apa ia menghindar?“Tidak masalah. Aku akan datang. Kapan kita bertemu?” tanya Laureta.“Rencananya besok pagi. Kita akan berangkat bersama,” kata Marisa.“Oke, samp
Kian hanya tersenyum. “Tunggu sebentar. Aku mau menandatangi beberapa dokumen, setelah itu kita berangkat.”“Oke.”Kian langsung bergegas kembali ke kursinya dan menekuni beberapa dokumen sambil melihat layar laptop sesekali. Laureta duduk di sofa sambil menghirup aroma kopi yang kuat. Ia menoleh ke arah mesin kopi yang ada di sana.“Kamu suka membuat kopi sendiri?” tanya Laureta.“Ya. Clara yang membuatkan kopi untukku.”Laureta menghampiri mesin kopi itu dan melihat sebuah toples kaca yang berisi bungkus kopi warna hitam dengan logo dan merk kopi yang tertera di sana. Ia melihat tulisannya. “Kopi Aceh Gayo. Waw!”Ia membuka toples itu dan menghirup aromanya yang wangi sekali. Ditaruhnya kembali toples itu di meja.“Aku tidak tahu kalau kamu suka minum kopi Aceh,” ujar Laureta.“Ah ya,” jawab Kian sambil lalu.“Jadi, Clara yang selalu membuatkan kopi untukmu? Ah, aku iri sekali. Seharusnya aku yang membuatkan kopi untukmu.”Kian sudah mematikan laptopnya dan menutupnya. Lalu ia mengh
Mata Laureta otomatis membelalak begitu mendengar pernyataan Kian. Ia tertawa histeris, lalu kembali menatap Kian tak percaya.“Kamu bercanda!” seru Laureta.“Untuk apa aku bercanda? Sungguh, Laura, aku membelikan motor itu untukmu, bukannya aku sengaja membeli motor itu untuk Clara. Dia memang sekretarisku yang terbaik, tapi aku tidak pernah berniat untuk memberinya motor karena tidak ada alasan khusus.”Laureta menggelengkan kepalanya. “Aku harap, kamu tidak berbohong padaku.”Kian mendecak kesal. “Kamu mempercayai kata-kata Clara begitu saja, tapi kamu tidak mempercayaiku. Kamu sudah krisis kepercayaan padaku ya?”“Tidak, tidak. Bukan begitu, Kian.” Laureta menggerakkan tangannya dengan cepat. “Hanya saja, aku terlalu mual mendengar cerita Clara. Aku percaya padamu, Kian. Sungguh, aku hanya memastikan saja. Dan yah, itu artinya Clara telah berbohong padaku. Dia sengaja memanas-manasiku supaya aku kesal padamu.”Kian menggelengkan kepalanya. “Untuk apa dia membohongimu?”“Itu karena
Hari itu juga, mobilnya sudah bisa dibawa pulang karena unitnya sudah siap. Sepertinya Kian sudah memprediksi jika Laureta akan memilih SUV itu dengan warna merah yang sesuai dengan karakter Laureta. Jadi, pihak delaer mobil pun telah mempersiapkan segalanya.Meski Laureta sudah tahu akan diberikan mobil, pihak dealer tetap menyiapkan pita yang sangat besar di mobil itu sebagai simbol kado. Laureta menutup mulutnya sambil menatap mobil itu dengan mata berbinar-binar.“Kamu suka?” tanya Kian.“Suka sekali!” pekik Laureta yang menahan diri untuk tidak menjerit.Laureta masuk ke dalam mobil, mencoba duduk di balik kemudi. Ia menggerak-gerakkan setirnya dan mencoba mendengar suara derum mobilnya yang terdengar sangat keren.Ia benar-benar terkesima. Senyumnya mengembang sembari tangan dan kakinya gemetar. Hari itu juga, Kian membawa mobil baru Laureta. Sementara mobilnya dijemput oleh supir untuk diantar pulang ke rumah.“Nanti plastiknya harus dilepas,” ujar Kian yang tampak risih meliha
Laureta mendengarkan dengan saksama. Ia mengunyah makanannya lebih santai. Berbeda dengan Kian yang memang sejak awal selalu bersikap santai dan anggun. Ia tak pernah terusik dengan keadaan di sekitarnya.“Apanya yang berubah?” tanya Laureta sambil mengunyah makanannya.“Kamu membuatku merasa dicintai,” ungkap Kian dengan suaranya yang dalam dan ngebass.Laureta terdiam sejenak sementara dalam hatinya ia semakin mengagumi pria tampan di hadapannya ini. Di usianya yang matang, Kian tampak sangat luar biasa dan percaya atau tidak, pria itu adalah suaminya.“Aku pikir,” lanjut Kian. “aku akan melewati hari-hariku dengan penuh tekanan. Aku berencana akan tidur terpisah denganmu, memperbanyak jam kerja. Aku akan membuat jadwal dengan dokter kandungan dan hanya akan melakukan hubungan denganmu saat kamu masa subur saja. Setelah kamu melahirkan, aku akan menunggu sampai anaknya berusia satu tahun, lalu kita akan berpisah.”Laureta tercengang mendengar pengakuan Kian. Terasa sekarang betapa d
Sudah cukup lama Laureta tidak pernah datang ke tempat fitnes lagi. Selama ini, ia hanya olahraga tipis-tipis saja. Ia masih rutin push up dan peregangan. Namun, mengangkat beban sepertinya badannya bisa kaget lagi.Marisa terlalu rajin hingga menunggu Laureta tepat di depan pintu kamar sebelum sarapan. Kian menatap adiknya sambil menautkan alisnya.“Ada apa kamu ke sini pagi-pagi?” tanya Kian.“Oh, apa Tata belum memberitahumu jika aku akan mengajaknya fitnes pagi ini?” Marisa memasang wajah polos.“Sudah, aku sudah memberitahunya,” ujar Laureta yang kemudian maju. Ia sudah menenteng tas olahraganya. Beberapa pakaian olahraganya masih baru dan belum tersentuh sama sekali, begitu pula sepatunya.“Aku pikir, kamu tidak akan menjemput Laura sampai ke depan kamar,” gumam Kian.Marisa terkekeh, lalu ia menggandeng tangan Laureta. “Ayo, Kakak Ipar. Kita langsung berangkat. Kita sarapan setelah olahraga ya.”“Apa tidak masalah? Nanti papa ….”“Tidak apa-apa. Kita kan tidak setiap hari seper
“Yang bisa sit up sampai seratus kali, dia pemenangnya,” ucap Laureta.“Apa?!” seru Marisa. “Seratus? Nanti perutku bisa pegal. Jangan seratus ya. Lima puluh saja.”Laureta terkekeh. “Baiklah kalau begitu. Sampai lima puluh ya.”“Oke!” seru Marisa semangat.Hanya Helga yang diam saja, tapi ia seperti yang mengikuti aba-aba Laureta dan mereka sama-sama sit up bersama. Tanpa disangka, Helga cukup jago sit up. Gerakan Helga sangat bagus dan seimbang, berbeda dengan Marisa yang sepertinya agak kepayahan.Kecepatan gerakan Laureta dan Helga nyaris sama. Mulut mereka sama-sama menghitung. Bagi Laureta, sit up lima puluh kali bukan masalah. Marisa sudah tumbang lebih dulu sampai di angka dua puluh lima.Sementara, Laureta dan Helga masih terus menghitung. Helga tidak mau menyerah, ia terus sit up tanpa lelah. Laureta juga tidak mau kalah. Ia terus bergerak.Begitu angka mencapai lima puluh, terlalu sulit untuk menentukan siapa yang lebih dulu mencapai lima puluh karena mereka bergerak bersam
“Kamu ada di mana?”Kian mengirimi Laureta pesan singkat. Ia baru saja selesai mandi dan membuka ponselnya. Segera saja ia membalas pesan itu.“Aku masih di tempat fitnes. Ada apa, Kian? Kamu mau menyusul ke sini?”Ternyata Kian sedang daring. Ia pun segera membalas pesan Laureta.“Baiklah. Aku akan menyusulmu sekarang,” jawab Kian.Laureta melebarkan matanya. Ia tidak menyangka jika Kian akan datang ke tempat ini. Ia pun bergegas untuk mengeringkan rambutnya. Marisa baru saja keluar dari kamar mandi. Ia sedang menyisir rambutnya di sebelah Laureta.“Kak, sepertinya aku akan pergi lebih dulu,” kata Laureta.“Oh ya?”“Iya. Kian akan menyusul ke sini.”“Ah, dia posesif sekali. Dia pasti takut jika aku melakukan sesuatu padamu.” Marisa terkekeh.Laureta pun ikut tertawa pelan. Kemudian tawanya langsung terhenti begitu Helga menghampiri mereka.Helga mengenakan gaun biru muda tanpa lengan dengan rok yang lebar. Lalu ia memadankannya dengan rompi berwarna krem, berbahan tweed. Ia tampak sa
Zion adalah anak yang sangat lucu dan pintar. Di usianya yang menginjak lima bulan, anak itu sudah bisa diajak bercanda. Siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan gemas dengan tingkah lakunya.Hari itu adalah pertama kalinya Kian bertemu dengan Zion. Kian tampak tegang sekali seperti hendak bertemu dengan presiden. Laureta terkekeh sejak tadi menertawakan sikap Kian.Laureta baru saja pulang kerja dan Kian yang menjemputnya. Pria itu menyetir mobil menuju ke rumahnya tanpa Laureta perlu menunjukkan arah seolah ia sudah tahu alamatnya di mana.“Bagaimana kamu bisa tahu alamat rumahku? Ah, kamu memang memata-mataiku, ya kan.”Kian tidak menggubris candaannya. Pria itu fokus menyetir hingga berhenti di depan rumahnya.“Aku memang pernah mengikuti Ivan sampai ke rumah ini. Aku ingin tahu apakah benar kamu tinggal bersama dengannya di sini,” ungkap Kian.Laureta pun tersenyum. “Ya sudah. Kali ini aku akan memaafkan
Kian memutar tubuh Laureta, lalu wanita itu pun menengadahkan kepalanya sambil mengangkat kakinya hingga berada dalam dekapan Kian. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.Kian pun mendekatkan bibirnya dan mencium Laureta dengan lembut. Laureta pikir lututnya akan goyah hingga ia tidak sanggup untuk berpijak di bumi. Namun, Kian menopangnya, mendekapnya dengan erat.Laureta pun membalas ciuman itu. Ia yakin sekali jika dalam hidupnya, ia hanya mencintai satu pria, yaitu Kian seorang. Susah payah ia menutupi perasaannya, tapi ia tak akan sanggup. Kian benar-benar telah mencuri hatinya.Usai ciuman yang memabukkan itu, Kian pun melepaskan diri. Napas mereka sama-sama saling memburu. Kian mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, lalu berlutut di hadapan Laureta.“Laureta Widya, maukah kamu menikah denganku? Lagi?”Laureta terkesima menatap cincin berlian di dalam kotak mungil berwarna merah. Ia pun mengangguk dan berkata, “Ya, aku
Laureta tersenyum membaca pesan singkat dari Ivan. “Pacar?” gumamnya.“Ada apa?” tanya Kian.“Uhm, tidak ada apa-apa.”“Ayolah! Aku ingin tahu. Kamu tadi bilang pacar. Pacar siapa?”Kian merebut ponselnya dari tangannya. Ia malu sekali saat Kian membaca pesan itu dari Ivan. Kian pun tertawa lepas.“Astaga! Jadi, apakah aku harus memanggil Ivan kakak mulai sekarang? Dia itu kakakmu kan?”Laureta terkekeh. “Mungkin begitu. Dia pernah menyuruhku untuk memanggilnya kakak, tapi aku tidak mau.”“Kenapa? Sepertinya usianya lebih tua darimu.” Kian menautkan alisnya, tapi Laureta menggelengkan kepala. “Kamu saja selalu memanggilku nama padahal usia kita terpaut delapan belas tahun. Atau mungkin sekarang aku punya panggilan baru?”“Apa itu?”“Papa?”Laureta terkejut. “Papa? Kamu kan bukan ayahku!&rdq
“Kamu siap?” tanya Ivan sambil mengulurkan tangannya pada Laureta.Ia tersenyum dan kemudian menyerahkan tangannya pada Ivan. Ia baru saja turun dari mobil. Lalu mereka berjalan bergandengan, masuk ke dalam gedung mewah. Di dalam sana sedang ada acara pernikahan seorang anak pengusaha importir, rekan kerjanya Ivan.Sebenarnya, Laureta tidak perlu datang ke sini karena ia sama sekali tidak mengenal siapa pun di sini. Namun, Ivan bersikeras mengajaknya karena menurutnya Laureta pasti akan senang mencicipi berbagai macam makanan yang unik-unik di sana.Laureta pun terpaksa ikut. Ia melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri. Ivan membelikannya gaun yang ia pakai sekarang. Gaun itu berwarna biru tua dengan belahan rok yang tinggi hingga menampilkan kakinya yang tampak jenjang berbalut sepatu hak tinggi bertali hingga ke betisnya.Banyak sekali tamu yang datang ke acara pernikahan itu. Semua wanitanya mengenakan gaun yang sangat cantik dan para
Laureta menatap kedua tangannya yang gemetar. Ia pikir ia sudah gila karena menyerahkan amplop berisi cek satu setengah milyar. Laureta menepi di pinggir jalan, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia tak kuasa lagi menahan semua emosi yang ada di dalam dadanya.Demi Tuhan, ia baru saja bertemu dengan Kian Aleandro, pria yang pernah menjadi suaminya. Meski pertemuannya hanya berlangsung selama beberapa menit, tapi efeknya luar biasa. Sekujur tubuhnya gemetar dan ia kesusahan untuk menginjak gas di kakinya.Dengan susah payah, Laureta menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Lalu ia pun kembali menangis sambil menutup muka dengan kedua tangannya.Kian begitu tampan mempesona. Tatapan matanya begitu tajam seperti biasanya dan seakan Laureta bisa tenggelam di dalamnya. Lalu pria itu memeluknya begitu saja.Hati Laureta dilingkupi oleh kehangatan yang tak pernah ia rasakan selama lebih dari satu tahun ini. Perasaannya jungkir balik seolah kakinya ber
Kian mendongak dan semua seolah terjadi dalam adegan lambat. Ia melihat Laureta masuk ke dalam ruangan dalam balutan kaus hitam ketat dengan potongan leher berbentuk kotak. Bagian lengannya berbahan tile halus hingga kulitnya jadi terlihat samar-samar. Bagian bawahnya ia mengenakan celana cargo dengan banyak kantung yang membuatnya tampak sangat keren.Kian terkesima melihat wanita yang pernah menjadi istrinya itu muncul lagi dalam hidupnya. Laureta tidak pernah terlihat secantik dan seanggun itu dalam hidupnya. Laureta terlihat tomboy, tapi juga elegan dalam waktu bersamaan.“Maaf aku terlambat,” ucapnya dengan suara yang terdengar amat merdu di kuping Kian.Tergerak untuk langsung melompat dari kursi dan memeluk wanita itu, Kian pun menahan dirinya.“Kamu memotong rambutmu,” ucap Kian yang masih melongo.Kalimat pertama yang ia ucapkan malah terdengar konyol dan tidak penting sama sekali. Ia jadi terlihat sangat bodoh di h
Betapa sedihnya Kian karena ia harus menerima kenyataan jika Laureta memang tidak mau bertemu lagi dengannya.“Ya. Kamu sudah membuatnya merasa terbuang dari rumahmu itu. Semua orang membencinya karena kalian menyebutnya anak perampok. Dia tidak mau menghalangimu untuk menikah dengan wanita yang kamu cintai. Ha! Kamu pun menikah dengan Helga, tapi kamu menyia-nyiakannya hingga dia harus mengembuskan napas terakhirnya.”“Aku tidak mencintai Helga. Aku menikah dengannya karena ayahku yang memaksa. Dan satu hal lagi, aku tidak pernah menyebut Laura dengan sebutan anak perampok. Akulah yang memintanya untuk menikah denganku meski aku tahu ayahnya seperti apa.”“Kamu terpaksa menikahi Laureta karena kamu ingin dia membayar utang ayahnya!” hardik Ivan. “Kamu pikir uang satu setengah milyar cukup untuk membayar seorang wanita untuk memuaskan nafsumu dan melahirkan seorang anak?”Kian pun terdiam. Ivan benar-benar t
Semalaman itu Kian benar-benar tidak bisa tidur. Ia mengingat tatapan Laureta saat melihatnya. Wanita itu jelas-jelas terkejut melihatnya. Lalu seperti ada sorot ketakutan yang membuatnya langsung memutuskan untuk kabur dari Kian.Lalu anak bayi itu. Anak siapakah itu? Bagaimana mungkin Ivan menikah dengan Laureta dan melahirkan anaknya? Kian pikir, Ivan masih mencintai Helga. Jika dilihat dari usia bayi itu dan waktu untuk mengandung selama sembilan bulan, Ivan mungkin sudah lama menikah dengan Laureta.Mana mungkin? Batin Kian menolak semua pemikiran itu.Entah sudah berapa kali Kian menghubungi Ivan hingga ponselnya pun tidak aktif lagi. Ivan benar-benar menghindarinya.Ia melihat jam di dinding dan memutuskan untuk bangun. Ia menyiapkan diri dan segera turun untuk sarapan. Marisa sudah ada di ruang makan lebih dulu.“Pagi, Kian,” sapa Marisa.“Pagi,” jawab Kian singkat yang langsung menuangkan kopi ke dalam cangki
Desti tampak bingung mendengar pernyataan Kian.“Tante Laureta? Kenapa? Bukankah kalian sudah berpisah lama?”Kian mendesah. “Aku selalu mencintai Laura, lebih dari apa pun. Aku menikah dengan Helga karena terpaksa, hanya untuk memenuhi keinginan kakekmu.”“Kenapa Om mau menurut?”“Ya, banyak hal yang membuatku harus menurut pada keinginan kakek.”Desti mengangguk dengan bibir yang tertekuk ke bawah. “Om pasti sedih sekali ya ditinggal wanita yang Om cintai.”“Kenapa kita tidak membahas tentangmu? Siapa itu Erik? Teman atau teman?”Desti tersenyum. “Teman, Om. Benar! Aku dan dia belum jadian.”“Baguslah! Tidak usah berpacaran dengan laki-laki yang meninggalkanmu di mall yang besar seperti ini! Nanti kamu menyesal. Cari lagi pria lain yang sepadan denganmu.”“Aku sebenarnya suka pria yang lebih tua dariku, seperti Om Kian