Erwin mengangkat alisnya. “Oh ya? Dia memang hebat, tapi dia juga adalah pria yang menyebalkan. Sudahlah, tidak usah membahas lagi tentang Om Kian. Aku ingin mengajakmu untuk jalan-jalan di sekitar sini.”Erwin mengulurkan tangannya, tapi Laureta ragu-ragu dan tidak berani menerima tangannya.“Ah ya, aku hampir lupa kalau kamu bukan pacarku lagi.”Sebagai sikap sopannya, ia melipat tangannya di dada supaya Erwin tidak perlu mengulurkan lagi tangannya.“Kenapa kamu tidak mengajak Reksi ke sini?” tanya Laureta.Erwin diam saja, tidak segera menjawab perkataan Laureta. Mereka berjalan berdua dengan santai sambil menikmati udara yang mulai terasa agak sejuk karena di sana terdapat banyak sekali pepohonan.“Aku tidak tahu apa yang aku lakukan,” ucap Erwin. “Terlalu banyak penyesalan yang aku rasakan.”Laureta baru menyadari jika seharusnya ia tidak menanyakan tentang Reksi. Perasaannya pada Reksi pasti tidak tulus, ia cukup yakin akan hal itu. Sungguh Reksi yang malang. Andai sahabatnya ad
Sepertinya putaran jam tangan Kian bergerak terlalu lambat. Waktu sepertinya sengaja mengejeknya. Rasanya ia sudah meeting selama berjam-jam, tapi ternyata waktu baru saja menunjukkan pukul tiga sore.Kian sungguh tak sabar ingin bertemu dengan Laureta untuk menonton pertunjukkan putri duyung. Masih ada waktu dua jam lagi hingga pekerjaannya selesai.Usai bertemu dengan Janeta, Kian pun lanjut meeting bersama para staff-nya. Kian membuat semuanya jadi lebih cepat.Usai rapat, Clara menghampiri Kian. “Pak, apa Bapak sedang buru-buru? Sepertinya meeting kali ini terasa lebih cepat dari biasanya.”Kian mengangkat alisnya lalu ia tersenyum. “Ya, Clara. Aku ingin segera bertemu dengan Laura. Kami akan menonton pertunjukkan putri duyung. Apa kamu mau ikut menonton juga, Clara?”Clara tersenyum sambil mengangguk. “Tidak apa-apa, Pak. Nanti saya hanya akan mengganggu Bapak jika ikut menonton.”“Tentu saja tidak. Aku kan menonton pertunjukkan itu di tempat umu, bersama pengunjung yang lain. Co
Kian terkejut bukan main. Ia melepaskan punggung Clara hingga sekretarisnya itu terjatuh ke lantai.“Auuww!” teriak Clara sambil mengernyit, mengusap pinggulnya.“Apa yang baru saja kamu lakukan?!” bentak Kian.Clara susah payah membalikkan badannya, berlutut, lalu berdiri. Ia tampak kesakitan, wajahnya kemerahan, dan matanya berair.“Maaf, Pak,” ucapnya dengan suara tercekat.Kian merasa sepertinya ada yang tidak beres dengan Clara. “Apa kamu baik-baik saja, Clara?”“Punggung saya sakit sekali, Pak,” ucapnya sambil memejamkan mata.Kian mendecak kesal. “Aku harus membawamu ke rumah sakit.”Tanpa banyak bicara lagi, Kian pun menelepon karyawannya dan meminta tolong untuk membantu memapah Clara menuju ke mobil. Kian yang menyetir mobilnya.Tidak jauh dari The Prince terdapat rumah sakit. Salah satu karyawannya, Ardi ikut ke rumah sakit. Ia menolong memapah Clara dan membawanya masuk ke IGD. Clara masih terus meringis, wajahnya menjadi pucat dan dahinya berkeringat.Tak berapa lama kemu
Ketika rasa kesal dan menyesal menjadi satu, maka rasanya hati pun menjadi tidak tenang. Kian mencoba untuk menenangkan dirinya begitu mendengar jika Erwin yang menemani Laureta menonton pertunjukkan putri duyung.“Kamu tampak seperti yang kesal padaku,” ujar Laureta.Kian membuka matanya dan menatap Laureta yang seperti hendak menangis. “Tentu saja aku kesal!”“Aku yang seharusnya marah padamu!” seru Laureta. “Kamu sudah berjanji akan menonton pertunjukkan putri duyung denganku! Kamu bilang kamu selesai bekerja jam lima. Mana? Aku menunggumu cukup lama. Aku berdiri terus di dekat pintu masuk, tapi kamu tidak muncul juga! Di mana kamu tadi? Kamu tidak bilang di mana ruangan meeting-mu. Kamu benar-benar meeting atau tidak pun aku tidak tahu!”“Aku benar-benar meeting, Laura!” timpal Kian yang tidak ingin dituduh sembarangan.“Lalu kenapa lama sekali meeting-nya?” Setetes air mata meluncur di pipi Laureta.“Aku bukannya sengaja berlama-lama ….”“Kamu membuatku membiarkan Erwin yang mene
Perasaan Kian jauh lebih lega begitu mereka berciuman. Terlebih, Laureta telah menyatakan cintanya. Ia langsung merasa hatinya berbunga-bunga.Malam itu, mereka makan malam seafood seperti yang Kian janjikan. Tidak perlu menunggu lama, masakan itu langsung datang dengan cepat.“Omong-omong, tempat apa ini sebenarnya?” tanya Laureta sambil mengunyah makanan.“Aku membangun tempat ini khusus untuk ruang pribadi. Misalkan ada keluarga yang ingin merayakan pesta, bisa di sini. Aku melengkapi ruangan ini dengan televisi dan ada juga sound system untuk karaoke. Kamu mau menyanyi, Laura?”Laureta terkekeh. “Tidak. Aku tidak bisa menyanyi.”“Oh ya? Aku pikir suaramu pasti bagus kalau menyanyi.”“Ah jangan! Lebih baik simpan saja itu mic-nya. Jika aku bernyanyi, aku hanya akan merusak suasana.” Laureta terkekeh. “Aku lebih suka menari daripada menyanyi.”Kian tersenyum penuh arti. “Selama ini, aku hanya tahu kamu sebagai seorang instruktur senam, tapi tidak pernah sekalipun melihatmu memimpin
Ponsel Laureta berbunyi. Ia melihat nama Marisa tertera di sana.“Halo, Kak Marisa.”“Halo, Tata. Apa kamu sedang sibuk?” tanya Marisa.“Tidak, Kak,” jawab Laureta. Sudah lebih dari dua minggu ini, ia tidak pernah menjadi instruktur zumba lagi. Ia telah menyerahkan segalanya pada Reksi. “Ada apa?”“Helga meneleponku dan mengajakku untuk fitnes bersama,” kata Marisa.“Oke. Lalu?” ucap Laureta hati-hati.“Dia menyebut namamu,” ujar Marisa, membuat Laureta melebarkan matanya. “Katanya, dia sudah berjanji untuk fitnes bersamamu. Apa dia meneleponmu?”“Tidak. Uhm, jadi aku harus ikut?”Marisa terkekeh. “Terserah padamu. Kalau kamu sibuk, aku tidak akan memaksa.”Laureta berpikir sejenak. Ia teringat saat minggu lalu ia bertemu dengan Helga, keadaan cukup kacau. Namun, Kian pernah menyuruhnya untuk menghadapi Helga. Jadi, untuk apa ia menghindar?“Tidak masalah. Aku akan datang. Kapan kita bertemu?” tanya Laureta.“Rencananya besok pagi. Kita akan berangkat bersama,” kata Marisa.“Oke, samp
Kian hanya tersenyum. “Tunggu sebentar. Aku mau menandatangi beberapa dokumen, setelah itu kita berangkat.”“Oke.”Kian langsung bergegas kembali ke kursinya dan menekuni beberapa dokumen sambil melihat layar laptop sesekali. Laureta duduk di sofa sambil menghirup aroma kopi yang kuat. Ia menoleh ke arah mesin kopi yang ada di sana.“Kamu suka membuat kopi sendiri?” tanya Laureta.“Ya. Clara yang membuatkan kopi untukku.”Laureta menghampiri mesin kopi itu dan melihat sebuah toples kaca yang berisi bungkus kopi warna hitam dengan logo dan merk kopi yang tertera di sana. Ia melihat tulisannya. “Kopi Aceh Gayo. Waw!”Ia membuka toples itu dan menghirup aromanya yang wangi sekali. Ditaruhnya kembali toples itu di meja.“Aku tidak tahu kalau kamu suka minum kopi Aceh,” ujar Laureta.“Ah ya,” jawab Kian sambil lalu.“Jadi, Clara yang selalu membuatkan kopi untukmu? Ah, aku iri sekali. Seharusnya aku yang membuatkan kopi untukmu.”Kian sudah mematikan laptopnya dan menutupnya. Lalu ia mengh
Mata Laureta otomatis membelalak begitu mendengar pernyataan Kian. Ia tertawa histeris, lalu kembali menatap Kian tak percaya.“Kamu bercanda!” seru Laureta.“Untuk apa aku bercanda? Sungguh, Laura, aku membelikan motor itu untukmu, bukannya aku sengaja membeli motor itu untuk Clara. Dia memang sekretarisku yang terbaik, tapi aku tidak pernah berniat untuk memberinya motor karena tidak ada alasan khusus.”Laureta menggelengkan kepalanya. “Aku harap, kamu tidak berbohong padaku.”Kian mendecak kesal. “Kamu mempercayai kata-kata Clara begitu saja, tapi kamu tidak mempercayaiku. Kamu sudah krisis kepercayaan padaku ya?”“Tidak, tidak. Bukan begitu, Kian.” Laureta menggerakkan tangannya dengan cepat. “Hanya saja, aku terlalu mual mendengar cerita Clara. Aku percaya padamu, Kian. Sungguh, aku hanya memastikan saja. Dan yah, itu artinya Clara telah berbohong padaku. Dia sengaja memanas-manasiku supaya aku kesal padamu.”Kian menggelengkan kepalanya. “Untuk apa dia membohongimu?”“Itu karena