The Prince adalah restoran yang juga merupakan tempat wisata yang sangat besar di kota Bandung. Mimpi apa Laureta bisa menikah dengan putra sang pemilik tempat ini? Laureta tersenyum-senyum sambil memandangi aquarium yang sebelumnya tidak pernah ia nikmati.Waktu pertama kali ia datang ke tempat ini, ia dijemput paksa oleh Pak Karsa. Kian menyuruhnya mengenakan gaun hijau yang tak sengaja ia coba di rumah. Ia hanya iseng saja, tapi malah justru Kian menyuruhnya memakai gaun itu.Kian marah besar karena Laureta tidak mengindahkan keinginannya. Entah apa yang ada di pikiran Kian. Laureta tidak paham saat itu. Ia hanya ingin tampil sesantai mungkin, tapi Kian ingin semua orang melihat jika istrinya adalah wanita yang keren.Laureta tidak merasa seperti itu. Ia hanyalah wanita biasa yang tidak suka mengenakan riasan macam itu. Sampai sekarang, Laureta tidak pernah lagi mengenakan gaun hijau itu karena gaunnya terlalu seksi. Mungkin malam ini, ia akan mengenakannya h
“Sama halnya denganku! Aku juga hanya ingin hidup tanpa ada gangguan darimu, tapi kamu terus menerus menggangguku.”“Ya sudahlah. Kita tidak usah bertengkar lagi. Aku memang pria yang berengsek, kamu puas?”Laureta mengedikkan bahunya sambil membuang wajah. “Kamu tidak akan pernah menyesali perbuatanmu.”Erwin mencondongkan wajahnya ke arah Laureta. “Aku sudah pernah meminta maaf padamu, Ta. Apa kamu lupa? Aku sudah pernah memohon-mohon padamu untuk kembali, tapi kamu tidak mau menerimaku lagi.”Seketika jantung Laureta berdebar-debar. Wajah Erwin terasa begitu dekat, hanya berjarak sedikit sekali dari wajahnya. Ia bisa merasakan nafas Erwin menyapu wajahnya.“Kamu sadar kalau ini tidak hanya sekedar tempat umum,” ujar Laureta pelan. “Aku tidak ingin orang lain, karyawan Kian melihat kita berbicara sedekat ini. Aku tidak suka.”Erwin mendengus samibl tersenyum. “Kamu khawatir omku akan marah padamu? Memangnya dia benar-benar mencintaimu? Kamu terlalu percaya diri.”“Aku tidak memintam
Erwin mengangkat alisnya. “Oh ya? Dia memang hebat, tapi dia juga adalah pria yang menyebalkan. Sudahlah, tidak usah membahas lagi tentang Om Kian. Aku ingin mengajakmu untuk jalan-jalan di sekitar sini.”Erwin mengulurkan tangannya, tapi Laureta ragu-ragu dan tidak berani menerima tangannya.“Ah ya, aku hampir lupa kalau kamu bukan pacarku lagi.”Sebagai sikap sopannya, ia melipat tangannya di dada supaya Erwin tidak perlu mengulurkan lagi tangannya.“Kenapa kamu tidak mengajak Reksi ke sini?” tanya Laureta.Erwin diam saja, tidak segera menjawab perkataan Laureta. Mereka berjalan berdua dengan santai sambil menikmati udara yang mulai terasa agak sejuk karena di sana terdapat banyak sekali pepohonan.“Aku tidak tahu apa yang aku lakukan,” ucap Erwin. “Terlalu banyak penyesalan yang aku rasakan.”Laureta baru menyadari jika seharusnya ia tidak menanyakan tentang Reksi. Perasaannya pada Reksi pasti tidak tulus, ia cukup yakin akan hal itu. Sungguh Reksi yang malang. Andai sahabatnya ad
Sepertinya putaran jam tangan Kian bergerak terlalu lambat. Waktu sepertinya sengaja mengejeknya. Rasanya ia sudah meeting selama berjam-jam, tapi ternyata waktu baru saja menunjukkan pukul tiga sore.Kian sungguh tak sabar ingin bertemu dengan Laureta untuk menonton pertunjukkan putri duyung. Masih ada waktu dua jam lagi hingga pekerjaannya selesai.Usai bertemu dengan Janeta, Kian pun lanjut meeting bersama para staff-nya. Kian membuat semuanya jadi lebih cepat.Usai rapat, Clara menghampiri Kian. “Pak, apa Bapak sedang buru-buru? Sepertinya meeting kali ini terasa lebih cepat dari biasanya.”Kian mengangkat alisnya lalu ia tersenyum. “Ya, Clara. Aku ingin segera bertemu dengan Laura. Kami akan menonton pertunjukkan putri duyung. Apa kamu mau ikut menonton juga, Clara?”Clara tersenyum sambil mengangguk. “Tidak apa-apa, Pak. Nanti saya hanya akan mengganggu Bapak jika ikut menonton.”“Tentu saja tidak. Aku kan menonton pertunjukkan itu di tempat umu, bersama pengunjung yang lain. Co
Kian terkejut bukan main. Ia melepaskan punggung Clara hingga sekretarisnya itu terjatuh ke lantai.“Auuww!” teriak Clara sambil mengernyit, mengusap pinggulnya.“Apa yang baru saja kamu lakukan?!” bentak Kian.Clara susah payah membalikkan badannya, berlutut, lalu berdiri. Ia tampak kesakitan, wajahnya kemerahan, dan matanya berair.“Maaf, Pak,” ucapnya dengan suara tercekat.Kian merasa sepertinya ada yang tidak beres dengan Clara. “Apa kamu baik-baik saja, Clara?”“Punggung saya sakit sekali, Pak,” ucapnya sambil memejamkan mata.Kian mendecak kesal. “Aku harus membawamu ke rumah sakit.”Tanpa banyak bicara lagi, Kian pun menelepon karyawannya dan meminta tolong untuk membantu memapah Clara menuju ke mobil. Kian yang menyetir mobilnya.Tidak jauh dari The Prince terdapat rumah sakit. Salah satu karyawannya, Ardi ikut ke rumah sakit. Ia menolong memapah Clara dan membawanya masuk ke IGD. Clara masih terus meringis, wajahnya menjadi pucat dan dahinya berkeringat.Tak berapa lama kemu
Ketika rasa kesal dan menyesal menjadi satu, maka rasanya hati pun menjadi tidak tenang. Kian mencoba untuk menenangkan dirinya begitu mendengar jika Erwin yang menemani Laureta menonton pertunjukkan putri duyung.“Kamu tampak seperti yang kesal padaku,” ujar Laureta.Kian membuka matanya dan menatap Laureta yang seperti hendak menangis. “Tentu saja aku kesal!”“Aku yang seharusnya marah padamu!” seru Laureta. “Kamu sudah berjanji akan menonton pertunjukkan putri duyung denganku! Kamu bilang kamu selesai bekerja jam lima. Mana? Aku menunggumu cukup lama. Aku berdiri terus di dekat pintu masuk, tapi kamu tidak muncul juga! Di mana kamu tadi? Kamu tidak bilang di mana ruangan meeting-mu. Kamu benar-benar meeting atau tidak pun aku tidak tahu!”“Aku benar-benar meeting, Laura!” timpal Kian yang tidak ingin dituduh sembarangan.“Lalu kenapa lama sekali meeting-nya?” Setetes air mata meluncur di pipi Laureta.“Aku bukannya sengaja berlama-lama ….”“Kamu membuatku membiarkan Erwin yang mene
Perasaan Kian jauh lebih lega begitu mereka berciuman. Terlebih, Laureta telah menyatakan cintanya. Ia langsung merasa hatinya berbunga-bunga.Malam itu, mereka makan malam seafood seperti yang Kian janjikan. Tidak perlu menunggu lama, masakan itu langsung datang dengan cepat.“Omong-omong, tempat apa ini sebenarnya?” tanya Laureta sambil mengunyah makanan.“Aku membangun tempat ini khusus untuk ruang pribadi. Misalkan ada keluarga yang ingin merayakan pesta, bisa di sini. Aku melengkapi ruangan ini dengan televisi dan ada juga sound system untuk karaoke. Kamu mau menyanyi, Laura?”Laureta terkekeh. “Tidak. Aku tidak bisa menyanyi.”“Oh ya? Aku pikir suaramu pasti bagus kalau menyanyi.”“Ah jangan! Lebih baik simpan saja itu mic-nya. Jika aku bernyanyi, aku hanya akan merusak suasana.” Laureta terkekeh. “Aku lebih suka menari daripada menyanyi.”Kian tersenyum penuh arti. “Selama ini, aku hanya tahu kamu sebagai seorang instruktur senam, tapi tidak pernah sekalipun melihatmu memimpin
Ponsel Laureta berbunyi. Ia melihat nama Marisa tertera di sana.“Halo, Kak Marisa.”“Halo, Tata. Apa kamu sedang sibuk?” tanya Marisa.“Tidak, Kak,” jawab Laureta. Sudah lebih dari dua minggu ini, ia tidak pernah menjadi instruktur zumba lagi. Ia telah menyerahkan segalanya pada Reksi. “Ada apa?”“Helga meneleponku dan mengajakku untuk fitnes bersama,” kata Marisa.“Oke. Lalu?” ucap Laureta hati-hati.“Dia menyebut namamu,” ujar Marisa, membuat Laureta melebarkan matanya. “Katanya, dia sudah berjanji untuk fitnes bersamamu. Apa dia meneleponmu?”“Tidak. Uhm, jadi aku harus ikut?”Marisa terkekeh. “Terserah padamu. Kalau kamu sibuk, aku tidak akan memaksa.”Laureta berpikir sejenak. Ia teringat saat minggu lalu ia bertemu dengan Helga, keadaan cukup kacau. Namun, Kian pernah menyuruhnya untuk menghadapi Helga. Jadi, untuk apa ia menghindar?“Tidak masalah. Aku akan datang. Kapan kita bertemu?” tanya Laureta.“Rencananya besok pagi. Kita akan berangkat bersama,” kata Marisa.“Oke, samp
Zion adalah anak yang sangat lucu dan pintar. Di usianya yang menginjak lima bulan, anak itu sudah bisa diajak bercanda. Siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan gemas dengan tingkah lakunya.Hari itu adalah pertama kalinya Kian bertemu dengan Zion. Kian tampak tegang sekali seperti hendak bertemu dengan presiden. Laureta terkekeh sejak tadi menertawakan sikap Kian.Laureta baru saja pulang kerja dan Kian yang menjemputnya. Pria itu menyetir mobil menuju ke rumahnya tanpa Laureta perlu menunjukkan arah seolah ia sudah tahu alamatnya di mana.“Bagaimana kamu bisa tahu alamat rumahku? Ah, kamu memang memata-mataiku, ya kan.”Kian tidak menggubris candaannya. Pria itu fokus menyetir hingga berhenti di depan rumahnya.“Aku memang pernah mengikuti Ivan sampai ke rumah ini. Aku ingin tahu apakah benar kamu tinggal bersama dengannya di sini,” ungkap Kian.Laureta pun tersenyum. “Ya sudah. Kali ini aku akan memaafkan
Kian memutar tubuh Laureta, lalu wanita itu pun menengadahkan kepalanya sambil mengangkat kakinya hingga berada dalam dekapan Kian. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.Kian pun mendekatkan bibirnya dan mencium Laureta dengan lembut. Laureta pikir lututnya akan goyah hingga ia tidak sanggup untuk berpijak di bumi. Namun, Kian menopangnya, mendekapnya dengan erat.Laureta pun membalas ciuman itu. Ia yakin sekali jika dalam hidupnya, ia hanya mencintai satu pria, yaitu Kian seorang. Susah payah ia menutupi perasaannya, tapi ia tak akan sanggup. Kian benar-benar telah mencuri hatinya.Usai ciuman yang memabukkan itu, Kian pun melepaskan diri. Napas mereka sama-sama saling memburu. Kian mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, lalu berlutut di hadapan Laureta.“Laureta Widya, maukah kamu menikah denganku? Lagi?”Laureta terkesima menatap cincin berlian di dalam kotak mungil berwarna merah. Ia pun mengangguk dan berkata, “Ya, aku
Laureta tersenyum membaca pesan singkat dari Ivan. “Pacar?” gumamnya.“Ada apa?” tanya Kian.“Uhm, tidak ada apa-apa.”“Ayolah! Aku ingin tahu. Kamu tadi bilang pacar. Pacar siapa?”Kian merebut ponselnya dari tangannya. Ia malu sekali saat Kian membaca pesan itu dari Ivan. Kian pun tertawa lepas.“Astaga! Jadi, apakah aku harus memanggil Ivan kakak mulai sekarang? Dia itu kakakmu kan?”Laureta terkekeh. “Mungkin begitu. Dia pernah menyuruhku untuk memanggilnya kakak, tapi aku tidak mau.”“Kenapa? Sepertinya usianya lebih tua darimu.” Kian menautkan alisnya, tapi Laureta menggelengkan kepala. “Kamu saja selalu memanggilku nama padahal usia kita terpaut delapan belas tahun. Atau mungkin sekarang aku punya panggilan baru?”“Apa itu?”“Papa?”Laureta terkejut. “Papa? Kamu kan bukan ayahku!&rdq
“Kamu siap?” tanya Ivan sambil mengulurkan tangannya pada Laureta.Ia tersenyum dan kemudian menyerahkan tangannya pada Ivan. Ia baru saja turun dari mobil. Lalu mereka berjalan bergandengan, masuk ke dalam gedung mewah. Di dalam sana sedang ada acara pernikahan seorang anak pengusaha importir, rekan kerjanya Ivan.Sebenarnya, Laureta tidak perlu datang ke sini karena ia sama sekali tidak mengenal siapa pun di sini. Namun, Ivan bersikeras mengajaknya karena menurutnya Laureta pasti akan senang mencicipi berbagai macam makanan yang unik-unik di sana.Laureta pun terpaksa ikut. Ia melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri. Ivan membelikannya gaun yang ia pakai sekarang. Gaun itu berwarna biru tua dengan belahan rok yang tinggi hingga menampilkan kakinya yang tampak jenjang berbalut sepatu hak tinggi bertali hingga ke betisnya.Banyak sekali tamu yang datang ke acara pernikahan itu. Semua wanitanya mengenakan gaun yang sangat cantik dan para
Laureta menatap kedua tangannya yang gemetar. Ia pikir ia sudah gila karena menyerahkan amplop berisi cek satu setengah milyar. Laureta menepi di pinggir jalan, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia tak kuasa lagi menahan semua emosi yang ada di dalam dadanya.Demi Tuhan, ia baru saja bertemu dengan Kian Aleandro, pria yang pernah menjadi suaminya. Meski pertemuannya hanya berlangsung selama beberapa menit, tapi efeknya luar biasa. Sekujur tubuhnya gemetar dan ia kesusahan untuk menginjak gas di kakinya.Dengan susah payah, Laureta menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Lalu ia pun kembali menangis sambil menutup muka dengan kedua tangannya.Kian begitu tampan mempesona. Tatapan matanya begitu tajam seperti biasanya dan seakan Laureta bisa tenggelam di dalamnya. Lalu pria itu memeluknya begitu saja.Hati Laureta dilingkupi oleh kehangatan yang tak pernah ia rasakan selama lebih dari satu tahun ini. Perasaannya jungkir balik seolah kakinya ber
Kian mendongak dan semua seolah terjadi dalam adegan lambat. Ia melihat Laureta masuk ke dalam ruangan dalam balutan kaus hitam ketat dengan potongan leher berbentuk kotak. Bagian lengannya berbahan tile halus hingga kulitnya jadi terlihat samar-samar. Bagian bawahnya ia mengenakan celana cargo dengan banyak kantung yang membuatnya tampak sangat keren.Kian terkesima melihat wanita yang pernah menjadi istrinya itu muncul lagi dalam hidupnya. Laureta tidak pernah terlihat secantik dan seanggun itu dalam hidupnya. Laureta terlihat tomboy, tapi juga elegan dalam waktu bersamaan.“Maaf aku terlambat,” ucapnya dengan suara yang terdengar amat merdu di kuping Kian.Tergerak untuk langsung melompat dari kursi dan memeluk wanita itu, Kian pun menahan dirinya.“Kamu memotong rambutmu,” ucap Kian yang masih melongo.Kalimat pertama yang ia ucapkan malah terdengar konyol dan tidak penting sama sekali. Ia jadi terlihat sangat bodoh di h
Betapa sedihnya Kian karena ia harus menerima kenyataan jika Laureta memang tidak mau bertemu lagi dengannya.“Ya. Kamu sudah membuatnya merasa terbuang dari rumahmu itu. Semua orang membencinya karena kalian menyebutnya anak perampok. Dia tidak mau menghalangimu untuk menikah dengan wanita yang kamu cintai. Ha! Kamu pun menikah dengan Helga, tapi kamu menyia-nyiakannya hingga dia harus mengembuskan napas terakhirnya.”“Aku tidak mencintai Helga. Aku menikah dengannya karena ayahku yang memaksa. Dan satu hal lagi, aku tidak pernah menyebut Laura dengan sebutan anak perampok. Akulah yang memintanya untuk menikah denganku meski aku tahu ayahnya seperti apa.”“Kamu terpaksa menikahi Laureta karena kamu ingin dia membayar utang ayahnya!” hardik Ivan. “Kamu pikir uang satu setengah milyar cukup untuk membayar seorang wanita untuk memuaskan nafsumu dan melahirkan seorang anak?”Kian pun terdiam. Ivan benar-benar t
Semalaman itu Kian benar-benar tidak bisa tidur. Ia mengingat tatapan Laureta saat melihatnya. Wanita itu jelas-jelas terkejut melihatnya. Lalu seperti ada sorot ketakutan yang membuatnya langsung memutuskan untuk kabur dari Kian.Lalu anak bayi itu. Anak siapakah itu? Bagaimana mungkin Ivan menikah dengan Laureta dan melahirkan anaknya? Kian pikir, Ivan masih mencintai Helga. Jika dilihat dari usia bayi itu dan waktu untuk mengandung selama sembilan bulan, Ivan mungkin sudah lama menikah dengan Laureta.Mana mungkin? Batin Kian menolak semua pemikiran itu.Entah sudah berapa kali Kian menghubungi Ivan hingga ponselnya pun tidak aktif lagi. Ivan benar-benar menghindarinya.Ia melihat jam di dinding dan memutuskan untuk bangun. Ia menyiapkan diri dan segera turun untuk sarapan. Marisa sudah ada di ruang makan lebih dulu.“Pagi, Kian,” sapa Marisa.“Pagi,” jawab Kian singkat yang langsung menuangkan kopi ke dalam cangki
Desti tampak bingung mendengar pernyataan Kian.“Tante Laureta? Kenapa? Bukankah kalian sudah berpisah lama?”Kian mendesah. “Aku selalu mencintai Laura, lebih dari apa pun. Aku menikah dengan Helga karena terpaksa, hanya untuk memenuhi keinginan kakekmu.”“Kenapa Om mau menurut?”“Ya, banyak hal yang membuatku harus menurut pada keinginan kakek.”Desti mengangguk dengan bibir yang tertekuk ke bawah. “Om pasti sedih sekali ya ditinggal wanita yang Om cintai.”“Kenapa kita tidak membahas tentangmu? Siapa itu Erik? Teman atau teman?”Desti tersenyum. “Teman, Om. Benar! Aku dan dia belum jadian.”“Baguslah! Tidak usah berpacaran dengan laki-laki yang meninggalkanmu di mall yang besar seperti ini! Nanti kamu menyesal. Cari lagi pria lain yang sepadan denganmu.”“Aku sebenarnya suka pria yang lebih tua dariku, seperti Om Kian