Debar jantung Laureta masih belum tenang juga. Ia dan Kian sedang berpelukan di atas sofa, masih tanpa busana. Kian dan Laureta telah sama-sama mencapai klimaks. Laureta berhasil banjir dua kali hingga lantainya jadi basah.Kulit Kian terasa begitu panas seperti api. Mereka baru saja bercinta habis-habisan hingga kaki Laureta pegal. Ia tidak pernah melihat Kian seliar itu selama ini.Lengan Kian melingkar di pinggangnya dengan sikap protektif seolah pria itu khawatir Laureta bisa kabur ke mana saja. Padahal Laureta sedang dibekam oleh tubuh Kian hingga ia sendiri kepanasan.“Jangan bergerak,” gumam Kian.“Panas, Kian,” ungkap Laureta dengan suara parau.Sejak tadi ia terlalu banyak mendesah-desah, membuka mulutnya hingga tenggorokannya kering. Ia haus sekali dan ingin mengambil minum, tapi ia tidak boleh bergerak oleh Kian.“Diamlah sebentar saja,” pinta Kian. “Aku masih ingin memelukmu.”Laureta pun menghela napas, pasrah. Ia diam saja sambil memperhatikan kulit Kian yang kecoklatan.
Erwin selesai sarapan lebih dulu, lalu pergi tanpa mengucapkan apa-apa. Laureta memperhatikannya hingga Erwin benar-benar pergi dari ruang makan.Pembicaraan sederhana saja bisa memancing emosi Erwin dan Kian. Tak terbayang di pikiran Laureta, apa yang terjadi kalau sampai Kian tahu jika dirinya dulu pernah menjadi kekasihnya Erwin. Ia masih tidak berani menceritakan hal tersebut pada Kian.Ternyata Kian pun makan dengan cepat. Laureta menyudahi sarapannya dan mengikuti Kian ke parkiran mobil. Kian tiba-tiba berhenti di tengah jalan hingga Laureta menabrak punggungnya.Kian berbalik dengan cepat dan berkata, “Jadi, kamu tidak akan ikut naik mobil denganku?”“Ti-tidak,” jawab Laureta terbata-bata. “Aku akan pergi dengan Pak Karsa saja.”Melihat Kian yang tampak galak seperti itu membuat Laureta semakin enggan berdua di mobil dengannya. Bisa saja pria itu menerkamnya tiba-tiba.“Baiklah,” ucapnya ketus. “Aku pergi duluan.”Laureta melambai pada Kian saat mobilnya sudah bergerak. Kian me
Laureta memaksakan senyumannya. Ibunya mengajak Laureta untuk duduk di luar.“Aku tidak terbiasa hidup sendirian seperti ini. Meski papamu tidak selalu ada di rumah, tapi rumah ini tidak pernah benar-benar kosong. Aku sangat merindukan papamu, Ta. Lalu kamu sekarang sudah menikah dan tinggal bersama suamimu.” Ibunya mendesah sambil memasang wajah memelas.Laureta mengangguk perlahan. “Ya sudah. Sabar saja. Lebih baik Mama tinggal di sini, daripada tinggal di luar. Aku juga tidak tahu Mama tinggal di mana selama ini.”“Suamimu mengusirku dari rumah ini,” ucap ibunya dengan mata yang berkaca-kaca. “Tapi aku juga tidak berani melawan. Tidak ikut dimasukkan ke dalam penjara saja sudah bagus. Waktu itu, aku takut sekali, Ta. Tolong jangan sampai suamimu itu tahu kalau aku tinggal di rumah ini ya.”“Iya, Ma,” janji Laureta sambil mengangguk. “Lagi pula, dia tidak pernah ke sini kalau tidak sedang mencariku. Untuk itu, aku tidak bisa berlama-lama di sini.”“Baiklah,” ucap ibunya pasrah. “Oh
Laureta nyengir, ia jadi mulai sebal melihat Clara. “Begitu ya. Jadi, itu memang bukan kado ulang tahun kan ya.”“Bukan, Bu. Ulang tahun saya sudah lewat. Waktu ulang tahun saya, beliau memberi saya hadiah tiket berlibur ke Jepang.”“Wah! Ke Jepang ya. Hebat sekali,” ucap Laureta yang merasa kalah telak dari sekretaris Kian yang cantik dan serba bisa ini.“Iya, Bu. Sayang sekali ya, Ibu Laureta belum pernah pergi ke luar negeri,” ucap Clara dengan wajah simpati yang sungguh tidak perlu.“Hmmm,” gumam Laureta. Ia jadi merasa terhina karena tidak pernah pergi ke luar negeri, kalah dari sekretarisnya Kian.“Jepang itu sangat indah sekali. Saya selalu bercita-cita untuk pergi ke Jepang dan kemudian Pak Kian mengabulkan keinginan saya itu. Ah, Pak Kian memang orang yang sangat perhatian dan baik hati. Saya merasa beruntung bisa melayani beliau selama ini,” ucap Clara dengan sungguh-sungguh.“Begitu ya.”“Iya, Bu. Saya akan melakukan apa saja untuk Pak Kian asalkan beliau senang.”Laureta m
“Kian, aku ingin bertemu denganmu hari ini,” ucap Helga di teleponSebenarnya, Kian tidak ingin mengangkat telepon itu tapi layar ponselnya malah tidak sengaja tertekan oleh jarinya.“Aku tidak bisa bertemu denganmu lagi,” jawab Kian.“Kenapa? Apa semua karena kejadian waktu itu?” tanya Helga dengan nada suara yang meninggi.Kian mendesah sambil memijat tulang hidungnya. “Ya. Aku tidak mau bersama denganmu lagi.”“Setelah informasi yang aku berikan padamu, kamu lalu menjauh begitu saja. Kamu mencampakkanku? Aku bisa datang padamu kapan saja aku mau. Kenapa pula aku harus minta izin padamu? Aku akan datang ke kantormu sekarang juga!”“Tidak, Helga! Ayolah! Aku tidak mau bertemu denganmu lagi!” bentak Kian.“Aku tidak peduli! Kamu sudah membuatku sakit hati dengan meninggalkanku begitu saja waktu itu! Setidaknya kamu menghargai apa yang sudah aku berikan padamu! Seharusnya aku tidak perlu memberitahumu apa-apa tentang Laureta.”“Kamu memang tidak perlu memberitahuku waktu itu,” ucap Kia
Kian sungguh tak menyangka jika Laureta akan memintanya untuk memecat Clara.“Ya, memecat seseorang itu tidak semudah itu, Sayang. Aku harus mengetahui dulu alasannya. Kalau kamu tidak mau cerita, aku juga tidak akan pernah memecatnya. Clara itu adalah orang kepercayaanku. Dia melakukan banyak sekali tugas yang aku rasa, tidak ada karyawan lain yang mampu melakukannya seorang diri selain dia.”“Nah itulah,” ucap Laureta dengan wajah putus asa. “Percuma mengatakannya padamu karena kamu pasti akan sangat membelanya.”“Apa dia berkata kasar padamu?”“Ya!”Kian melebarkan matanya. “Oh ya? Lalu? Apa dia mengatakan sesuatu yang tidak sopan?”“Ya! Sangat sangat tidak sopan!”Kian menghela napas. “Ya sudah. Aku akan memanggilnya sekarang ke ruangan supaya kalian bisa meluruskannya berdua. Bagaimana?”“Apanya lagi yang harus diluruskan? Dia itu orang yang jahat! Kamu pecat saja dia!”Kian sudah bangkit berdiri dan hendak membuka pintu, tapi Laureta menahan tangannya.“Tunggu dulu!” seru Lauret
Helga melenggang memasuki ruangan itu dengan langkahnya yang anggun. Rambutnya tergerai indah dengan ikal di bagian bawahnya. Kian menelan ludahnya, sungguh tak sanggup harus berkata apa lagi.Ia hanya bisa terdiam sambil menatap Laureta yang kemudian berdiri dan mencium pipi kiri kanan dengan Helga. Kian terperangah hingga ia pikir mulutnya bisa masuk serangga sekalipun.“Apa kabar, Kak Helga?” sapa Laureta ramah. Mereka tampak seperti yang sudah berteman lama sekali.“Aku baik sekali. Bagaimana denganmu, Laureta?”“Aku juga baik. Ah ya, kenalkan ini Kian, suamiku,” kata Laureta.Helga terkekeh. “Mana mungkin aku tidak mengenalnya. Dia itu kakaknya Marisa kan.”Ia tersenyum sambil mengulurkan tangannya pada Kian. Terpaksa Kian bersalaman dengan Helga. Sungguh sandiwara yang luar biasa, pikir Kian. Ia tak menyangka jika Helga akan menyapa Laureta dan menganggapnya seperti teman baik.&ld
Laureta sempat melirik Kian sebentar, seolah meminta bantuannya untuk menjawab perkataan Helga. Kian pun bingung harus berkata apa. Semua itu tergantung Laureta. Jika ia langsung melarang Laureta untuk menjadi PT-nya Helga, mungkin ia akan mendapat banyak serangan kata-kata yang ujung-ujungnya harus ia lawan. Laureta menghela napas. “Jadi begini, Kak. Aku rasa tujuan utamaku sekarang bukan untuk mencari uang.” “Benarkah?” “Ya, tentu saja. Aku kan sudah mempunyai suami yang sangat baik dan mencukupi segala kebutuhanku. Jadi, aku mohon maaf karena tidak bisa menjadi PT-nya Kak Helga.” Helga menyipitkan matanya, seperti yang memandang sinis pada Laureta. Beruntung Laureta tidak melihatnya karena ia sedang sibuk memotong ikan salmonnya dengan pisau dan garpu. Kian menunggu hingga Helga berani menghina Laureta atau apa pun itu, maka Kian akan segera bertindak. “Kalau memang bukan karena itu, lantas kenapa kamu tidak mau menjadi PT-ku?” tanya Helga dengan emosi yang sepertinya tertahan.