Kian khawatir akan apa yang akan Reksi katakan padanya. Wanita itu seperti yang kepahitan sekali pada Laureta. Apa yang sebenarnya terjadi? Kian jadi bertanya-tanya dalam hatinya.“Sebenarnya Tata itu bukanlah wanita yang terlalu baik,” ucap Reksi dengan wajah yang serius.Kian menautkan alisnya bingung. “Kamu itu kan sahabatnya Laura. Kenapa kamu berkata seperti itu tentangnya? Dia adalah wanita yang sangat baik.”“Ya, ya, ya. Dia memang baik, tapi ada alasan kenapa Erwin sampai berbuat sesuatu seperti itu yang menyebabkan Tata sangat marah dan akhirnya mereka putus. Tata tidak pernah memberikan perhatiannya pada Erwin karena dia terlalu sibuk mementingkan dirinya sendiri. Tata adalah orang yang sangat egois. Jadi, ya sebaiknya kamu berhati-hati dan bersiap-siap juga jika sampai suatu hari nanti dia tidak akan memperhatikanmu lagi.”Kian sungguh tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Reksi seperti berkata omong kosong.“Laura bukan orang yang seperti itu,” ucapnya sambil
Kian melebarkan matanya saat melihat adiknya. “Adinda!” serunya sambil tersenyum lebar. Ia pun langsung menghampiri Adinda dan memeluknya dengan erat.“Sudah lama sekali kita tidak bertemu, Kak,” ucap Adinda di dadanya.Kian melepaskan pelukannya. “Kamu terlalu sombong untuk menemuiku di rumah ini.”“Yang benar saja. Kakak terlalu sibuk untuk bertandang ke rumahku.”“Siapa suruh kamu tidak mau tinggal di rumah ini,” timpal Kian sambil menyipitkan matanya.Adinda terkekeh. “Kakak ini bisa saja. Aku pikir Kakak akan mengatakan kangen padaku.”“Iyaaaaa, adikku tersayang. Aku kangen padamu.”“Aku juga!” seru Adinda sambil menggenggam tangan Kian.“Omong-omong, tumben kamu datang ke sini. Apa kamu sengaja ke sini untuk menemuiku?”“Uhm, yaa. Salah satunya itu. Aku kan ke sini untuk rapat keluarga. Kak Marisa bilang kalau kemarin kalian sudah melakukan rapat, tapi hasilnya belum maksimal. Lalu dia memintaku untuk datang.”“Ah ya, tentu saja rapat keluarga. Aku hampir lupa.”Adinda tersenyum
“Apa kamu sudah selesai menstruasi?” tanya Kian di sela-sela bibir Laureta.“Su-sudah. Hari ini baru benar-benar bersih,” jawab Laureta sambil mendesah.“Bagus!”Laureta terkesiap ketika Kian menjilati tubuhnya dan mengemut pucuknya. Sebelah tangannya sibuk melepaskan celana dalamnya dan kemudian meraba-raba area sensitifnya yang ternyata mudah sekali becek.Jari tengah Kian menyusup ke tengah-tengah sana dan mencoleknya di sana tanpa ampun. Laureta ingin menjerit dan mendesah di saat bersamaan, tapi tak sanggup. Ia tidak ingin suaranya terdengar oleh adiknya Kian.Ini memang gila! Laureta menjerit dalam pikirannya. Ia tidak mungkin bercinta saat ini juga dengan Kian. Namun, bagaimana lagi, ia sendiri sudah dipenuhi gairah. Sudah berhari-hari lamanya ia dan Kian tidak melakukan hubungan suami istri, rasanya ia tak tahan lagi untuk mendapati hujaman kejantanan Kian di bagian bawah tubuhnya.“Jangan lama-lama ya,” bisik Laureta. "Lima menit saja."Kian mengangguk sambil tersenyum, lalu
Gawat, pikir Laureta. Apakah sejak tadi Kian mendengarkan pembicaraannya dengan Adinda? Laureta sungguh tidak yakin. Ia tidak ingin Kian sampai menegurnya jika telah berkata salah pada Adinda. Laureta jadi tegang.Kian duduk di samping Laureta dan langsung merangkul bahunya. Tubuhnya wangi sekali dan terasa sejuk, segar sehabis mandi.“Aku hanya berkata sejujurnya,” ucap Adinda cuek sambil mengedikkan bahunya. “Bagaimanapun juga aku mengatakan kalau kamu itu menyebalkan, dia tetap saja membelamu. Kalian memang pasangan yang sangat ideal meski perbedaan usia kalian terpaut sangat jauh.”Kian tersenyum sambil menoleh pada Laureta. “Aku juga beruntung menjadi suamimu, Laura.”Hati Laureta serasa dibawa terbang setinggi langit ketujuh. Ia khawatir akan jatuh kembali ke bumi dan merasa sakit. Namun, ucapan Kian terdengar begitu tulus. Jantung Laureta berdegup kencang sekali hingga ia merasa sekujur tubuhnya gemetar. Senyumannya pun membuat bibirnya jadi agak bergetar seperti orang bodoh.A
Akhirnya, meeting pun usai. Selama satu jam berlangsung, isinya hanya tawa canda yang tiada habisnya. Hanya butuh waktu lima menit untuk semua orang memberi suara, tempat apa yang akan mereka tuju untuk berlibur.Menurut pengalaman Elisa, keliling Eropa tidak cukup hanya satu atau dua minggu saja karena terlalu banyak destinasi wisata yang tidak terjelajah. Akhirnya, diputuskan sekeluarga akan berlibur hanya ke satu negara saja, yaitu Inggris.“Apa kamu sudah mengurus paspormu, Ta?” tanya Marisa pada Laureta.Laureta mendongak kaget karena namanya disebut. Tangannya gemetaran. “Eh, belum, Kak. Aku akan mempersiapkan berkas-berkasnya. Clara yang akan membantuku.”“Baguslah kalau begitu. Lebih cepat lebih baik,” ucap Marisa sambil tersenyum. Lalu ia beralih ke semua orang. “Untuk segala urusan tiket pesawat dan sebagainya nanti biar aku yang urus. Kalau kalian punya saran atau ide lain, bisa kalian bicarakan langsung denganku. Baiklah kalau begitu. Meeting kita cukup sampai di sini saja
Debar jantung Laureta masih belum tenang juga. Ia dan Kian sedang berpelukan di atas sofa, masih tanpa busana. Kian dan Laureta telah sama-sama mencapai klimaks. Laureta berhasil banjir dua kali hingga lantainya jadi basah.Kulit Kian terasa begitu panas seperti api. Mereka baru saja bercinta habis-habisan hingga kaki Laureta pegal. Ia tidak pernah melihat Kian seliar itu selama ini.Lengan Kian melingkar di pinggangnya dengan sikap protektif seolah pria itu khawatir Laureta bisa kabur ke mana saja. Padahal Laureta sedang dibekam oleh tubuh Kian hingga ia sendiri kepanasan.“Jangan bergerak,” gumam Kian.“Panas, Kian,” ungkap Laureta dengan suara parau.Sejak tadi ia terlalu banyak mendesah-desah, membuka mulutnya hingga tenggorokannya kering. Ia haus sekali dan ingin mengambil minum, tapi ia tidak boleh bergerak oleh Kian.“Diamlah sebentar saja,” pinta Kian. “Aku masih ingin memelukmu.”Laureta pun menghela napas, pasrah. Ia diam saja sambil memperhatikan kulit Kian yang kecoklatan.
Erwin selesai sarapan lebih dulu, lalu pergi tanpa mengucapkan apa-apa. Laureta memperhatikannya hingga Erwin benar-benar pergi dari ruang makan.Pembicaraan sederhana saja bisa memancing emosi Erwin dan Kian. Tak terbayang di pikiran Laureta, apa yang terjadi kalau sampai Kian tahu jika dirinya dulu pernah menjadi kekasihnya Erwin. Ia masih tidak berani menceritakan hal tersebut pada Kian.Ternyata Kian pun makan dengan cepat. Laureta menyudahi sarapannya dan mengikuti Kian ke parkiran mobil. Kian tiba-tiba berhenti di tengah jalan hingga Laureta menabrak punggungnya.Kian berbalik dengan cepat dan berkata, “Jadi, kamu tidak akan ikut naik mobil denganku?”“Ti-tidak,” jawab Laureta terbata-bata. “Aku akan pergi dengan Pak Karsa saja.”Melihat Kian yang tampak galak seperti itu membuat Laureta semakin enggan berdua di mobil dengannya. Bisa saja pria itu menerkamnya tiba-tiba.“Baiklah,” ucapnya ketus. “Aku pergi duluan.”Laureta melambai pada Kian saat mobilnya sudah bergerak. Kian me
Laureta memaksakan senyumannya. Ibunya mengajak Laureta untuk duduk di luar.“Aku tidak terbiasa hidup sendirian seperti ini. Meski papamu tidak selalu ada di rumah, tapi rumah ini tidak pernah benar-benar kosong. Aku sangat merindukan papamu, Ta. Lalu kamu sekarang sudah menikah dan tinggal bersama suamimu.” Ibunya mendesah sambil memasang wajah memelas.Laureta mengangguk perlahan. “Ya sudah. Sabar saja. Lebih baik Mama tinggal di sini, daripada tinggal di luar. Aku juga tidak tahu Mama tinggal di mana selama ini.”“Suamimu mengusirku dari rumah ini,” ucap ibunya dengan mata yang berkaca-kaca. “Tapi aku juga tidak berani melawan. Tidak ikut dimasukkan ke dalam penjara saja sudah bagus. Waktu itu, aku takut sekali, Ta. Tolong jangan sampai suamimu itu tahu kalau aku tinggal di rumah ini ya.”“Iya, Ma,” janji Laureta sambil mengangguk. “Lagi pula, dia tidak pernah ke sini kalau tidak sedang mencariku. Untuk itu, aku tidak bisa berlama-lama di sini.”“Baiklah,” ucap ibunya pasrah. “Oh