Gawat, pikir Laureta. Apakah sejak tadi Kian mendengarkan pembicaraannya dengan Adinda? Laureta sungguh tidak yakin. Ia tidak ingin Kian sampai menegurnya jika telah berkata salah pada Adinda. Laureta jadi tegang.Kian duduk di samping Laureta dan langsung merangkul bahunya. Tubuhnya wangi sekali dan terasa sejuk, segar sehabis mandi.“Aku hanya berkata sejujurnya,” ucap Adinda cuek sambil mengedikkan bahunya. “Bagaimanapun juga aku mengatakan kalau kamu itu menyebalkan, dia tetap saja membelamu. Kalian memang pasangan yang sangat ideal meski perbedaan usia kalian terpaut sangat jauh.”Kian tersenyum sambil menoleh pada Laureta. “Aku juga beruntung menjadi suamimu, Laura.”Hati Laureta serasa dibawa terbang setinggi langit ketujuh. Ia khawatir akan jatuh kembali ke bumi dan merasa sakit. Namun, ucapan Kian terdengar begitu tulus. Jantung Laureta berdegup kencang sekali hingga ia merasa sekujur tubuhnya gemetar. Senyumannya pun membuat bibirnya jadi agak bergetar seperti orang bodoh.A
Akhirnya, meeting pun usai. Selama satu jam berlangsung, isinya hanya tawa canda yang tiada habisnya. Hanya butuh waktu lima menit untuk semua orang memberi suara, tempat apa yang akan mereka tuju untuk berlibur.Menurut pengalaman Elisa, keliling Eropa tidak cukup hanya satu atau dua minggu saja karena terlalu banyak destinasi wisata yang tidak terjelajah. Akhirnya, diputuskan sekeluarga akan berlibur hanya ke satu negara saja, yaitu Inggris.“Apa kamu sudah mengurus paspormu, Ta?” tanya Marisa pada Laureta.Laureta mendongak kaget karena namanya disebut. Tangannya gemetaran. “Eh, belum, Kak. Aku akan mempersiapkan berkas-berkasnya. Clara yang akan membantuku.”“Baguslah kalau begitu. Lebih cepat lebih baik,” ucap Marisa sambil tersenyum. Lalu ia beralih ke semua orang. “Untuk segala urusan tiket pesawat dan sebagainya nanti biar aku yang urus. Kalau kalian punya saran atau ide lain, bisa kalian bicarakan langsung denganku. Baiklah kalau begitu. Meeting kita cukup sampai di sini saja
Debar jantung Laureta masih belum tenang juga. Ia dan Kian sedang berpelukan di atas sofa, masih tanpa busana. Kian dan Laureta telah sama-sama mencapai klimaks. Laureta berhasil banjir dua kali hingga lantainya jadi basah.Kulit Kian terasa begitu panas seperti api. Mereka baru saja bercinta habis-habisan hingga kaki Laureta pegal. Ia tidak pernah melihat Kian seliar itu selama ini.Lengan Kian melingkar di pinggangnya dengan sikap protektif seolah pria itu khawatir Laureta bisa kabur ke mana saja. Padahal Laureta sedang dibekam oleh tubuh Kian hingga ia sendiri kepanasan.“Jangan bergerak,” gumam Kian.“Panas, Kian,” ungkap Laureta dengan suara parau.Sejak tadi ia terlalu banyak mendesah-desah, membuka mulutnya hingga tenggorokannya kering. Ia haus sekali dan ingin mengambil minum, tapi ia tidak boleh bergerak oleh Kian.“Diamlah sebentar saja,” pinta Kian. “Aku masih ingin memelukmu.”Laureta pun menghela napas, pasrah. Ia diam saja sambil memperhatikan kulit Kian yang kecoklatan.
Erwin selesai sarapan lebih dulu, lalu pergi tanpa mengucapkan apa-apa. Laureta memperhatikannya hingga Erwin benar-benar pergi dari ruang makan.Pembicaraan sederhana saja bisa memancing emosi Erwin dan Kian. Tak terbayang di pikiran Laureta, apa yang terjadi kalau sampai Kian tahu jika dirinya dulu pernah menjadi kekasihnya Erwin. Ia masih tidak berani menceritakan hal tersebut pada Kian.Ternyata Kian pun makan dengan cepat. Laureta menyudahi sarapannya dan mengikuti Kian ke parkiran mobil. Kian tiba-tiba berhenti di tengah jalan hingga Laureta menabrak punggungnya.Kian berbalik dengan cepat dan berkata, “Jadi, kamu tidak akan ikut naik mobil denganku?”“Ti-tidak,” jawab Laureta terbata-bata. “Aku akan pergi dengan Pak Karsa saja.”Melihat Kian yang tampak galak seperti itu membuat Laureta semakin enggan berdua di mobil dengannya. Bisa saja pria itu menerkamnya tiba-tiba.“Baiklah,” ucapnya ketus. “Aku pergi duluan.”Laureta melambai pada Kian saat mobilnya sudah bergerak. Kian me
Laureta memaksakan senyumannya. Ibunya mengajak Laureta untuk duduk di luar.“Aku tidak terbiasa hidup sendirian seperti ini. Meski papamu tidak selalu ada di rumah, tapi rumah ini tidak pernah benar-benar kosong. Aku sangat merindukan papamu, Ta. Lalu kamu sekarang sudah menikah dan tinggal bersama suamimu.” Ibunya mendesah sambil memasang wajah memelas.Laureta mengangguk perlahan. “Ya sudah. Sabar saja. Lebih baik Mama tinggal di sini, daripada tinggal di luar. Aku juga tidak tahu Mama tinggal di mana selama ini.”“Suamimu mengusirku dari rumah ini,” ucap ibunya dengan mata yang berkaca-kaca. “Tapi aku juga tidak berani melawan. Tidak ikut dimasukkan ke dalam penjara saja sudah bagus. Waktu itu, aku takut sekali, Ta. Tolong jangan sampai suamimu itu tahu kalau aku tinggal di rumah ini ya.”“Iya, Ma,” janji Laureta sambil mengangguk. “Lagi pula, dia tidak pernah ke sini kalau tidak sedang mencariku. Untuk itu, aku tidak bisa berlama-lama di sini.”“Baiklah,” ucap ibunya pasrah. “Oh
Laureta nyengir, ia jadi mulai sebal melihat Clara. “Begitu ya. Jadi, itu memang bukan kado ulang tahun kan ya.”“Bukan, Bu. Ulang tahun saya sudah lewat. Waktu ulang tahun saya, beliau memberi saya hadiah tiket berlibur ke Jepang.”“Wah! Ke Jepang ya. Hebat sekali,” ucap Laureta yang merasa kalah telak dari sekretaris Kian yang cantik dan serba bisa ini.“Iya, Bu. Sayang sekali ya, Ibu Laureta belum pernah pergi ke luar negeri,” ucap Clara dengan wajah simpati yang sungguh tidak perlu.“Hmmm,” gumam Laureta. Ia jadi merasa terhina karena tidak pernah pergi ke luar negeri, kalah dari sekretarisnya Kian.“Jepang itu sangat indah sekali. Saya selalu bercita-cita untuk pergi ke Jepang dan kemudian Pak Kian mengabulkan keinginan saya itu. Ah, Pak Kian memang orang yang sangat perhatian dan baik hati. Saya merasa beruntung bisa melayani beliau selama ini,” ucap Clara dengan sungguh-sungguh.“Begitu ya.”“Iya, Bu. Saya akan melakukan apa saja untuk Pak Kian asalkan beliau senang.”Laureta m
“Kian, aku ingin bertemu denganmu hari ini,” ucap Helga di teleponSebenarnya, Kian tidak ingin mengangkat telepon itu tapi layar ponselnya malah tidak sengaja tertekan oleh jarinya.“Aku tidak bisa bertemu denganmu lagi,” jawab Kian.“Kenapa? Apa semua karena kejadian waktu itu?” tanya Helga dengan nada suara yang meninggi.Kian mendesah sambil memijat tulang hidungnya. “Ya. Aku tidak mau bersama denganmu lagi.”“Setelah informasi yang aku berikan padamu, kamu lalu menjauh begitu saja. Kamu mencampakkanku? Aku bisa datang padamu kapan saja aku mau. Kenapa pula aku harus minta izin padamu? Aku akan datang ke kantormu sekarang juga!”“Tidak, Helga! Ayolah! Aku tidak mau bertemu denganmu lagi!” bentak Kian.“Aku tidak peduli! Kamu sudah membuatku sakit hati dengan meninggalkanku begitu saja waktu itu! Setidaknya kamu menghargai apa yang sudah aku berikan padamu! Seharusnya aku tidak perlu memberitahumu apa-apa tentang Laureta.”“Kamu memang tidak perlu memberitahuku waktu itu,” ucap Kia
Kian sungguh tak menyangka jika Laureta akan memintanya untuk memecat Clara.“Ya, memecat seseorang itu tidak semudah itu, Sayang. Aku harus mengetahui dulu alasannya. Kalau kamu tidak mau cerita, aku juga tidak akan pernah memecatnya. Clara itu adalah orang kepercayaanku. Dia melakukan banyak sekali tugas yang aku rasa, tidak ada karyawan lain yang mampu melakukannya seorang diri selain dia.”“Nah itulah,” ucap Laureta dengan wajah putus asa. “Percuma mengatakannya padamu karena kamu pasti akan sangat membelanya.”“Apa dia berkata kasar padamu?”“Ya!”Kian melebarkan matanya. “Oh ya? Lalu? Apa dia mengatakan sesuatu yang tidak sopan?”“Ya! Sangat sangat tidak sopan!”Kian menghela napas. “Ya sudah. Aku akan memanggilnya sekarang ke ruangan supaya kalian bisa meluruskannya berdua. Bagaimana?”“Apanya lagi yang harus diluruskan? Dia itu orang yang jahat! Kamu pecat saja dia!”Kian sudah bangkit berdiri dan hendak membuka pintu, tapi Laureta menahan tangannya.“Tunggu dulu!” seru Lauret