Satu minggu kemudian...Sudah dua minggu lamanya Tristan tidak pernah kembali ke rumah, seolah dia meninggalkan sebagian dirinya di sana, tetapi jiwanya enggan untuk kembali. Bahkan bujukan dari Gave pun tak lagi memiliki daya.Dalam hatinya yang penuh luka dan ego yang terasa teriris, Tristan bertekad—dia tidak akan pulang sampai bisa membuktikan bahwa dirinya benar, meskipun dunia menganggapnya salah."Tristan, aku menemukan keberadaan Aluna!" Jay tiba-tiba datang, suaranya sedikit tergesa, namun penuh dengan ketegasan.Di sana, di ruang kerjanya, Tristan berdiri diam seperti patung yang kehilangan cahaya, matanya menatap kosong pada pemandangan kota yang terbentang di balik jendela kaca, seakan menyembunyikan segala badai di hatinya.Mendengar nama itu, Tristan menoleh cepat ke arah Jay. Ekspresinya datar, namun sorot matanya tajam bak pisau yang siap menusuk."Beritahu aku di mana wanita jalang itu berada," ucapnya, suaranya datar namun sarat dengan dingin yang mencekam, seperti m
Jam dinding menunjuk angka sembilan pagi ketika Revana berjalan mendekat ke arah Hendri, yang tengah duduk di mini bar, menyesap kopi hitamnya yang masih hangat. Ruangan itu dipenuhi aroma kopi yang pekat, menghangatkan suasana pagi yang tenang."Hendri, Kak Gave ke mana?" tanyanya dengan suara lembut, ada nada keingintahuan di matanya yang teduh.Hendri menatap Revana dan tersenyum kecil. "Gave dipanggil ke kantor sama suami kamu, Revana. Ada apa?" tanyanya dengan nada ingin tahu.Revana mengangguk pelan, bibirnya melengkungkan senyum tipis. "Oh, jadi lagi di kantor Mas Tristan," ucapnya, suaranya hampir seperti bisikan yang tenggelam dalam pikirannya sendiri.Hendri menatapnya, melihat ada sesuatu yang lain di balik senyumnya. "Ada apa?" tanyanya sekali lagi, penuh perhatian.Revana mengusap perutnya dengan lembut, matanya menatap penuh kasih pada kehidupan yang tumbuh di dalamnya. "Usia kandunganku sudah tujuh bulan, Hendri. Tapi, aku belum membeli apa pun untuk anakku," katanya, s
Setelah hampir tiga jam di mal, Hendri dan Revana memutuskan untuk pulang, membawa tas-tas berisi baju dan perlengkapan mungil yang penuh warna-warni, siap menyambut bayi yang segera lahir ke dunia.Di dalam mobil, Revana duduk sambil merapikan kantung belanja mereka, dan tiba-tiba, ia teringat sesuatu yang selama ini membuatnya penasaran."Hendri?" panggil Revana lembut.Hendri menoleh dari kursi kemudi, tersenyum ramah. "Ada apa, Revana?""Kamu betah, kerja dengan Mas Tristan?" tanyanya, matanya memancarkan ketulusan yang ingin benar-benar memahami sosok yang selama ini berdiri di sisi suaminya.Hendri tersenyum, mengangguk penuh keyakinan. "Tentu saja. Tuan Tristan sudah seperti kakakku sendiri, Revana. Dia sangat baik meskipun kadang… menyebalkan juga. Apalagi kalau sudah memerintah," candanya dengan nada santai.Revana terkekeh pelan, ada kehangatan dalam tawa ringannya. "Kalau sudah mau, harus cepat-cepat dituruti, ya?" tanyanya, nada suaranya seperti memahami betul apa yang dik
Rasa tak nyaman yang menggulung di dada Tristan telah berubah menjadi badai. Setiap detik terasa lambat, membekukan hatinya dalam gelisah yang tak berkesudahan.Kabar kecelakaan itu datang bagai badai mendadak, membawa ketakutan yang tak pernah ia bayangkan. Revana, istrinya yang sedang mengandung, terlibat kecelakaan bersama Hendri yang kini sedang menjalani perawatan di ruang yang berbeda dengan Revana.Mereka dirawat di rumah sakit, dan Tristan kini berdiri di sana, dilanda ketakutan yang semakin menguat tiap detiknya.Setelah berlari melewati koridor, Tristan akhirnya mencapai ruang tunggu darurat. Pemandangan di sekelilingnya samar, seolah dunia di sekitar telah menjadi kabur, meninggalkan satu fokus: Revana."Di mana istriku? Di mana Revana?" Suaranya pecah, disertai air mata yang menetes tanpa bisa ia tahan.Wajahnya berantakan, tak lagi peduli bagaimana ia terlihat. Yang ada hanyalah rasa panik, cemas, dan ketakutan yang tak terkendali.Perawat yang berjaga berusaha menenangka
Operasi telah usai, dan seketika dokter keluar dari ruang operasi, Tristan yang telah menunggu dengan perasaan tak menentu langsung mendekatinya, matanya penuh dengan kecemasan yang membara."Bagaimana operasinya, Dok?" tanyanya dengan suara yang bergetar, penuh ketakutan yang tak mampu ia sembunyikan.Dokter menghela napas dalam sebelum menjawab, "Operasinya berjalan lancar. Namun, istri Anda mengalami koma akibat luka parah di kepala dan kekurangan darah. Dia bersikeras pada kami untuk menyelamatkan anak kalian."Seketika, hati Tristan serasa tercabik. “Lantas?” Ia bertanya lagi, nyaris tak mampu menahan debaran keras di dadanya yang seolah menuntut jawaban."Kami berhasil menyelamatkan keduanya," ucap dokter dengan nada yang pelan, namun penuh harap. "Bayi Anda berjenis kelamin perempuan. Tetapi, kondisinya sangat lemah, sehingga harus segera dirawat di ruang inkubator."Sebuah senyum tipis terbentuk di wajah Tristan yang penuh air mata. Ia menatap bayi mungil itu dari balik kaca s
"Pelaku sabotase telah ditemukan. Ini, alamatnya." Anak buah Tristan menyerahkan sebuah iPad, menampilkan gambar yang menohok tajam di matanya—pelaku tampak begitu tenang, seolah tanpa hati, saat dengan cermat mencabut kabel rem dari mobil yang ditumpangi Revana dan Hendri.“Berengsek!” Tristan menggeram, nada suaranya dipenuhi racun amarah. Wajahnya memucat seketika, lalu memerah oleh luapan dendam yang tak tertahankan.“Aku akan membunuh kalian, sialan!” Suaranya terdengar rendah, hampir serupa bisikan penuh murka, namun cukup dingin untuk membekukan siapa pun yang mendengarnya.Anak buahnya yang bernama Erick menatap Tristan dengan khawatir. “Tuan, jangan gegabah. Kami akan menemani dan menghabisinya untuk Anda. Tetaplah di sini, di samping Nyonya Revana.”Tristan menggeleng, tatapannya berubah keras, tidak bisa dibantah. "Tidak! Aku ingin melihat mereka merangkak di bawah kakiku, memohon ampun, dan memberi tahu siapa yang memberi mereka perintah," ucapnya, tiap katanya terdengar s
“Masih belum mau memberitahu siapa yang sudah membayarmu untuk mencelakai istriku?” suara Tristan menusuk udara, tenang namun berbahaya, menggambarkan kesabaran yang tinggal setipis benang.Bimo menelan ludah, mengepalkan tangannya dengan keras. Di dalam hati, ia berjuang melawan desakan ketakutan yang mengiris keyakinannya.Ia sudah bersumpah untuk menjaga rahasia ini sampai mati, namun tatapan dingin Tristan menusuk pertahanannya, seolah mampu menggali sampai dasar ketakutannya.Tristan menatapnya sejenak, lalu menghela napas, wajahnya datar tapi penuh ancaman terselubung. “Baiklah,” ucapnya dengan nada tenang yang tak menyembunyikan niat kejam di baliknya.Dia memberi isyarat pada anak buahnya untuk segera menyebarkan rekaman CCTV yang menunjukkan Bimo sedang mencabut kabel rem mobil Revana.“Alfrod!” suara Bimo terdengar putus asa, seolah kekuatannya telah hilang seketika.“Alfrod yang sudah menyuruhku membunuh istrimu. Dia juga yang memerintahkan untuk menabrak mobilnya sebelum k
Tristan melangkah perlahan mendekati tabung inkubator, tempat bayi mungilnya tertidur dengan damai, seolah terlelap dalam dunia kecilnya yang penuh ketenangan.Wajahnya yang lembut dan polos dipagari tabung kaca, memberikan Tristan pandangan pertama pada keajaiban yang kini menjadi bagian dari hidupnya.Dengan hati yang penuh haru, Tristan mengulas senyum lirih, menyadari bahwa dirinya kini seorang ayah.“Hai, Nak,” bisiknya lembut, suaranya nyaris serak oleh emosi yang meluap. “Ini Papi… Ayah yang selalu menunggumu sejak tahu kamu hadir di perut mamimu.”Kata-katanya mengalir pelan, penuh kehangatan dan kasih sayang yang mendalam. Ia menatap buah hatinya dengan sorot penuh kelembutan, mengagumi setiap detail wajah mungil itu—wajah yang begitu mirip dirinya.Di sampingnya, Gave tersenyum lebar sambil melihat lebih dekat keponakan kecilnya. “Wajahnya mirip sekali denganmu, Tristan. Sepertinya Revana hanya mengandung saja,” canda Gave, tertawa pelan.Tristan tersenyum, teringat betapa b
Tristan yang sejak tadi diam, mengangguk kecil. Ia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Gave. Tak butuh waktu lama, suara Gave yang penuh semangat terdengar dari seberang."Laura di sana? Serius? Dia melahirkan?!" seru Gave, suaranya melonjak kegirangan. Terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa, seperti Gave sedang berjalan sambil berputar-putar karena terlalu bahagia."Iya, Laura ada di sini. Bayi kalian lahir dengan selamat," jawab Tristan sambil tersenyum kecil.Dari seberang, suara Gave terdengar gemetar penuh haru. "Aku memang ingin menikahi Laura. Aku sudah mengajukan cuti untuk menyiapkan semuanya. Aku tidak menyangka bayi kami lahir lebih cepat dari prediksi dokter. Aku akan segera ke sana!"Tristan menutup telepon dan menatap Revana dengan tatapan geli. "Nah, kamu dengar sendiri, kan? Semua sudah jelas sekarang."Ketika Gave akhirnya tiba di rumah sakit, suasana menjadi semakin hangat. Dengan wajah penuh kerinduan, ia memeluk Laura erat, mengecup keningnya, lalu mengali
Revana akhirnya mengangguk pelan, meskipun hatinya masih penuh dengan keraguan dan luka.Sementara Tristan dan Hendri membantu wanita itu berjalan ke luar rumah, Revana berdiri diam di ambang pintu, menyaksikan mereka dengan campuran emosi yang tak terungkapkan."Revana!! Kenapa kamu diam. Ayo kita ke mobil. Tuntun Laura, cepat." Suara Tristan meninggi pada Revana.Revana mendengkus kesal dan tanpa suara air matanya menetes saat membukakan pintu mobil. Sementara erangan Laura makin membuat suasana begitu menegangkan."Aagh ... Aduh!" tak urung Laura memegang erat tangan Revana menahan rasa sakit tak tertahankan yang sebentar datang lalu reda. Lalu datang lagi sakitnya.Tristan mengemudi. Hendri dan Revana duduk di jok belakang di sisi kiri kanan Laura, sementara Laura merintih dengan wajah pucat.Jeritan Revana memenuhi lorong rumah sakit, bergema seperti sembilu yang menyayat hati Revana.Napasnya memburu, dadanya berdebar, namun bukan karena rasa simpati.Ia duduk di kursi tunggu d
Revana menatap meja makan dengan rasa puas. Ia merasa seperti ini adalah momen yang tepat.Sebentar lagi Tristan akan pulang, dan mereka akan merayakan ulang tahunnya bersama keluarga kecil mereka. Namun, di balik itu semua, ada sebuah kabar besar yang ingin ia bagi—kabar yang akan mengubah segalanya.Dengan hati yang penuh harapan, Revana duduk di kursi dan menunggu. Waktu terasa berjalan begitu lambat, seakan momen yang diinginkan belum tiba.Tetapi, ia tahu, kejutan ini akan menjadi awal dari babak baru dalam hidup mereka. Sebuah babak yang akan membuat mereka semakin dekat, semakin kuat, dan semakin bahagia.Tak lama kemudian, terdengar suara pintu terbuka, dan langkah kaki Tristan masuk ke dalam rumah. Revana berdiri, matanya bersinar penuh kebahagiaan, siap untuk memberi kejutan yang sudah ia siapkan dengan penuh cinta.Bau kue manis masih tercium di dapur ketika suara pintu depan terbuka. Revana, yang tengah mengatur meja makan, mendongak dengan senyum lebar di wajahnya."Mas T
Revana menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Semua pengorbanan, semua perjuangan yang mereka lakukan, kini membuahkan hasil yang indah.Mereka bukan hanya pasangan, tapi juga sahabat sejati, yang saling mendukung dalam segala hal. Mereka telah melewati masa-masa sulit, dan kini mereka bisa menikmati momen-momen indah ini bersama.Ketika Naira kembali berlari ke arah mereka, wajahnya dipenuhi kegembiraan yang tak terbendung, Revana dan Tristan saling berpandangan, dan senyum lebar pun terukir di wajah mereka.Mereka tahu, kebahagiaan ini adalah hasil dari cinta yang telah tumbuh dalam hati mereka, dari segala perjuangan yang mereka lakukan bersama.Pada saat itulah, Revana merasakan kebahagiaan yang sejati, sebuah kebahagiaan yang tak terduga.Cinta yang dulu hanya dimulai dari keinginan sementara, kini berubah menjadi sebuah ikatan yang tak terpisahkan. Dalam pelukan keluarga kecil mereka, Revana merasa dunia ini penuh dengan kemungkinan yang tak terbatas.Dan dengan suara gelak
Pantai itu tampak indah dengan pasir putih yang membentang luas, dipadu dengan air laut yang berkilauan di bawah sinar matahari.Ombak datang bergulung-gulung, menghantam bibir pantai, menciptakan suara gemuruh yang menenangkan.Di tengah pemandangan yang menakjubkan itu, Tristan, dengan wajah lelah, berlari mengejar seorang gadis kecil yang tak kenal lelah, Naira.Matanya yang penuh kegembiraan dan keceriaan, tak bisa berhenti berlari di sepanjang garis pantai, membiarkan pasir menempel pada kaki telanjang kecilnya."Naira! Jangan lari ke sana, sayang!" seru Tristan dengan napas terengah-engah, mencoba mengejar anaknya yang semakin menjauh.Namun Naira justru tertawa riang, melangkah lebih cepat, seolah menikmati kebebasannya yang tidak terbatas.Dengan senyum penuh ceria, dia menoleh sebentar untuk melihat ayahnya, seolah mengatakan, "Kejar aku, Papi!" Lalu, tanpa peringatan, dia berlari lagi, menari-nari di tepi laut, membiarkan ombak menerjang kakinya yang mungil.Tristan tersenyu
Pesta itu meriah. Lampu-lampu indah berpendar di seluruh sudut ballroom yang luas, menciptakan atmosfer magis yang terasa seperti sebuah dunia terpisah.Para tamu berdiri, berbincang, dan tertawa, sementara musik lembut mengalun dari panggung, menambah kehangatan suasana.Di tengah keramaian itu, Tristan berdiri di depan mikrofon, mengenakan jas hitam yang sempurna, dengan senyum yang penuh kasih sayang untuk satu orang yang paling ia cintai di dunia ini—Revana.“Selamat malam semuanya,” suara Tristan menggema, menyentuh hati setiap orang yang mendengarnya Anggukan tamu undangan menjawab sapa Tristan. “Terima kasih telah hadir di acara spesial kami malam ini. Hari ini, aku dan Revana merayakan dua tahun yang penuh kebahagiaan, dan aku ingin berbagi sedikit cerita dengan kalian semua.”Revana berdiri di sampingnya, wajahnya terlihat begitu cantik dengan gaun merah yang berkilau, rambut panjangnya yang tertata rapi menambah pesona.Matanya memandang Tristan penuh cinta, seolah tidak p
Ruangan kantor terasa hening. Hanya suara jam dinding yang berdetak lembut menemani dua pria itu. Michael duduk di kursi di hadapan Tristan, wajahnya tertunduk dalam, menahan air mata yang sudah menggenang sejak tadi.Tristan baru saja menceritakan detail kejadian yang menimpa Mami karen ulah Alfrod. Sehingga Mami akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir.Michael tahu tidak ada kebohongan di sana. Semua yang dikisahkan Tristan mendukung bukti yang ia temukan.Sementara itu, Tristan bersandar di kursinya, menatap adiknya dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran kasih sayang dan rasa prihatin. Mengenang masa lalu itu begitu pahit dan nyeri bagi mereka berdua.“Michael, semua rasa ingin tahumu sudah terjawab. Bukti kuat sudah kamu dapatkan,” suara Tristan memecah keheningan. Lembut tapi tegas, seperti pelukan yang menenangkan.“Ada yang ingin kuberitahukan padamu. Sesuatu yang selama ini kupendam dan ingin kamu lakukan.”Michael mengangkat wajahnya perlahan, mata merahnya bertem
Satu bulan telah berlalu sejak insiden penembakan di kantor Tristan. Kehidupan perlahan kembali seperti biasa.Luka di tubuhnya memang sudah sembuh, tapi Tristan tahu, luka di hatinya dan keluarganya butuh waktu lebih lama untuk pulih.Bagaimanapun Alfrod adalah keluarga dan kini semua berakhir seperti ini. Tristan kadang tidak percaya ini akhir persaudaraan mereka. Kadang rasa sedih sebagai satu dalam ikatan saudara masih saja ada.Pagi itu, suasana di kantor terlihat tenang. Tristan duduk di balik meja kerjanya, menandatangani beberapa dokumen penting.Cahaya matahari menyelinap melalui jendela besar di belakangnya, menciptakan siluet yang menonjolkan ketegasan wajahnya.Pintu ruangannya terbuka perlahan. Michael melangkah masuk dengan ragu-ragu, membawa dua cangkir kopi. "Kupikir kamu butuh ini," katanya pelan, menaruh salah satu cangkir di meja Tristan.Tristan mendongak, tersenyum kecil. “Terima kasih. Duduklah. Apa kabarmu Michae
Tristan tersenyum penuh kemenangan. Dengan hati-hati, ia meraih bayi kecil itu dan meletakkannya di pelukan.Naira menggeliat kecil sebelum kembali tertidur dengan damai. Perasaan hangat menyelimuti dada Tristan. "Aku merindukanmu, Sayang," bisiknya lembut. "Bayiku yang cantik dan manis."Revana tersenyum melihat pemandangan itu, meski ia tetap mengawasi dengan cermat. “Aku akan membuatkan sup untukmu. Jangan coba-coba bergerak dari sini.”“Baiklah. Aku tidak akan pergi ke tempat gym, Sayang.” Tristan menjawab dengan nada bercanda, membuat Revana mendengus kecil sebelum pergi ke dapur.Saat Revana sibuk di dapur, Tristan duduk di tempat tidur sambil berbicara pelan dengan Naira. “Kamu tahu, Nak? Papi akan memastikan dunia ini aman untukmu. Apa pun yang terjadi, kamu tidak perlu takut.”Pintu depan terdengar diketuk, dan beberapa saat kemudian Gave muncul di ambang pintu kamar. "Aku boleh masuk?"&ldq