Dua hari yang lalu di apartemen Ana.
Mata Ana mengerjap mendengar suara gedoran di pintu dengan brutal, digelengkannya kepala mengusir kantuk dan rasa pening yang masih setia menemaninya.Dilihatnya jam berbentuk hello kitty di atas nakas.Astaga dia baru tidur satu jam, siapa yang menggedor pintunya?Terseok-seok Ana melangkah ke arah pintu, bahkan dia hanya menggunakan sebelah sandal hello kitty kesayangannya itu."Aku akan mencekik siapapun orang yang seenaknya menggangguku kalau tidak penting.""Anaaa!"Pelukan erat itu hampir saja membuat Ana terjengkang kalau saja tangannya tidak sigap memegang daun pintu yang masih terbuka."Mas Adam, apa-apaan, sih," sentaknya antara kaget juga kesal.Bukannya merasa bersalah laki-laki di depannya itu malah tertawa dengan riangnya."Mas Adam mabuk ya," tuduh Ana."Enak saja, ada berita gembira untukmu," katanya tak terpengaruh oleh sikap Ana tadi.Mendengar itu, Ana langsung duduk di samping Adam dan mengamati wajah managernya yang hari ini seolah bersinar dengan kebahagiaan."Melihat wajah Mas Adam aku yakin ini pasti berita gembira, jadi ada apa?""Kamu diundang untuk menemui direktur XAM," katanya dengan antusias."XAM? Xander Artist Management?" tanya Ana memastikan."Yup, siapa lagi, sekertarisnya langsung yang menghubungiku. Astaga Ana jantungku mau copot rasanya, itu perusahan manajemen paling top negri ini, bisa kamu bayangkan karirmu akan makin bersinar, bahkan bisa menutup kemungkinan kamu bisa go internasional seperti mimpimu," kata Adam dengan antusias."Tapi kenapa?" tanya Ana seolah tak yakin dengan keberuntungan yang dikatakan sang manager."Kenapa apanya?""Kenapa tiba-tiba beliau mengundangku?""Kamu cantik, berbakat dan seantero negeri mengenalmu, jadi direktur XAM pasti tertarik untuk bekerja sama denganmu,” kata Adam meyakinkan."Jadi kapan beliau ingin bertemu? apa yang harus aku kenakan? Dan juga aku harus berkata apa saat bertemu dengannya?"Adam tertawa dengan pertanyaan Ana yang sangat antusias, dia sendiri juga merasakannya, rasa lelah mereka selama ini seolah terbayar sudah.Esok harinya dengan diantar oleh Adam secara langsung, Ana menyambangi kantor XAM yang terletak di jalan setia budi, sebuah gedung perkantoran yang mewah berdiri angkuh di depan mereka."Aku antar sampai lobi saja, direktur XAM ingin bertemu denganmu secara pribadi, tenang saja dia tidak akan macam-macam," kata Adam yang dapat membaca kekhawatiran di wajah Ana.Benar saja saat sampai di lantai sepuluh yang dimaksud mbak-mbak resepsionis tadi, Ana disambut oleh seorang sekretaris yang cantik jelita, dengan pakaian yang sopan dan tentu saja meneriakkan kata mahal, dari situ Ana bisa menyimpulkan bagaimana pimpinan perusahaan ini."Selamat Pagi, Mbak Ana, Pak Rafael sudah menunggu anda di dalam, mari," katanya dengan sopan.Seorang laki-laki luar biasa tampan duduk di sana, matanya yang tajam bersinar ramah menyambut Ana, tapi bukan itu yang membuat Ana bagai terkena mantra sihir.Dia laki-laki itu, laki-laki yang sudah lama menghiasi mimpi-mimpinya, dan membuat hari-harinya berwarna dengan indah.Ah... itu sudah tiga tahun berlalu, waktu itu Ana masih seorang artis pendatang baru yang masih hijau, undangan pesta malam yang dia harapkan bisa memuluskan kariernya, nyatanya hanya isapan jempol belaka.Laki-laki yang dengan gagah berani menyelamatkannya dari seorang sutradara sialan yang ingin melecehkan dirinya. Satu-satunya laki-laki yang membelanya, meski dia bukan siapa-siapa waktu itu."Silahkan duduk."Ana tersenyum malu karena ketahuan memandang wajah laki-laki di depannya sedikit lebih lama."Terima kasih.""Saya sudah sering melihat anda wara-wiri di televisi, tapi ini pertemuan pertama kita secara langsung, kenalkan saya Rafael Alexander, direktur utama XAM."Dia ternyata tidak ingat aku, batin Ana dengan kecewa, tapi dia bisa sedikit mengerti dia bukan siapa-siapa waktu itu dan laki-laki di depannya ini pasti menyelamatkannya karena kasihan saja.Buru-buru Ana menyambut uluran tangan Rafael. "Saya Anastasya senang bisa bertemu dengan anda lagi, menurut saya ini pertemuan kedua kita secara langsung.""Begitu maafkan, tapi saya benar-benar tidak mengingat pertemuan kita sebelumnya.""Hanya sebuah insiden kecil, tapi cukup membekas untuk saya, anda telah menyelamatkan saya dari pelecehan," Ana lalu menceritakan dengan ringkas peristiwa yang tak mungkin dia lupakan itu."Ah, ya saya ingat syukurlah waktu itu anda baik-baik saja.""Ini semua berkat anda dan saya belum mengucapkan terima kasih dengan layak.""Ah sudahlah itu hanya kebetulan."Kebetulan yang membuat aku menemukan cinta pertamaku, batin Ana, dia langsung merasakan panas di wajahnya mengingat hal itu dan duduknya pun jadi serba salah."Saya senang bertemu anda kembali, apalagi pertemuan ini juga atas undangan anda secara langsung," kata Ana dengan malu-malu."Ah ya, pertemuan ini. Begini, saya memiliki sebuah penawaran untuk anda, saya harap anda mau mempertimbangkannya.""Tawaran apa?""Saya dan istri belum memiliki anak, tapi keluarga saya sangat ingin kami segera memberi mereka cucu, tapi istri saya, Isabella, mungkin anda juga kenal dengannya, mempunyai karier yang sangat bagus, dan tidak memungkinkan untuk hamil dalam waktu dekat ini."Sedikit kecewa saat mendengar laki-laki di depannya ini sudah beristri, tapi Ana tahu laki-laki setampan dan semapan Rafael, tidak mungkin masih sendiri."Lalu?""Kami memutuskan untuk memakai ibu pengganti, memang bukan hal wajar di negara ini, tapi itu sama sekali tidak melanggar hukum, karena istri saya sangat mengagumi anda, dia ingin andalah yang mengandung anak kami."Ana menatap laki-laki di depannya lebih lama beberapa detik, khawatir telinga memang sedang bermasalah."Anda jangan khawatir, kami tentu saya tidak meminta secara cuma-cuma, anda tentu saja akan mendapatkan bayaran yang tidak sedikit, juga bantuan untuk memuluskan karier anda nantinya setelah anda melahirkan."Ana hanya bisa melongo, bibirnya bahkan tak sanggup mengatakan apapun, ini benar-benar gila.Ditariknya napas dengan dalam, dia tak akan merusak reputasinya dengan memukul kepala laki-laki di depannya, agar sedikit saja bisa berpikir normal.Ana tahu sejak awal dunia artis memang sedikit gila, tapi dia tak menyangka akan segila ini."Saya minta maaf sebelumnya, bagi saya menjadi seorang ibu adalah anugerah yang diberikan Tuhan pada seorang wanita yang nantinya diikuti tanggung jawab untuk membesarkan dan mendidiknya, jadi tidak sepantasnya rahim wanita untuk diperjualbelikan, sebanyak apapun uang yang nantinya anda berikan saya akan tetap menolaknya.”Rafael menghela napas panjang “Saya mengerti maksud anda, tapi tidak bisakah anda menolong kami, saya janji akan melakukan apapun yang anda minta,” bujuknya lagi.Ana menggeleng tegas.“Maafkan saya, jawaban saya tetap sama, saya akan berusaha keras membangun karir saya sendiri, tanpa bantuan siapapun.”Rafael tersenyum, sorot mata kegum terpancar jelas dari matanya, wanita yang sangat berprinsip. “Baiklah saya akan berusaha mengerti keputusan anda.”Suara tangisan Bella membuat Ana tersadar dari lamunannya, dia tak mengerti bagaimana dia bisa terjebak di sini.Tangan Ana bergetar, saat sadar betapa seriusnya masalah ini, dia telah melukai hati wanita lain dengan tidur bersama suaminya, tapi sungguh dia tak bermaksud seperti itu.Tapi kamu menikmatinya setelah tahu orang itu, sisi batin Ana memaki, itu makin membuatnya merasa bersalah air mata langsung berderai di pipinya."Maafkan saya, seseorang menyeret saya kemari dan mengunci kami dari luar, dan tiba-tiba Rafael datang dan memaksa saya melayani-""Cukup! Bagaimana mungkin kamu memfitnah saya sekeji itu, aku pikir kamu wanita baik-baik, tapi ternyata kamu lebih licik dari yang aku kira.""Tapi Raf, aku-""Jangan mengarang cerita, oh... sekarang aku tahu alasanmu menolak menjadi ibu pengganti, ternyata kamu ingin aku menghamilimu secara langsung dan menjadi Nyonya Rafael Alexander, jangan mimpi kamu, aku hanya mencintai istriku, kamu sama sekali tak sebanding dengannya."Cepat-cepat Rafael mengenakan bajunya dan menghampiri sang istri yang masih menangis sesegukan, mengajaknya untuk meninggalkan tempat ini.Ana tertunduk dengan malu, dia sadar kebenaran kata-kata Rafael. Dia menatap kepergian pasangan itu dengan rasa bersalah yang menggunung, entah bagaimana caranya dia meminta maaf untuk kesalahan ini.Pandangan Ana jatuh pada Bella yang diam-diam menoleh padanya dan tersenyum penuh kemenangan.Media cetak dan elektronik semuanya dihiasi oleh wajah Rafael dan Ana saat tertangkap basah kemarin malam, banyak para ahli dadakan yang menganalisa apa foto itu asli atau hanya sekedar rekayasa saja. Bukannya hanya itu akun media sosial Ana dan juga manajemen yang menaunginya banjir oleh komentar, terpaksa mereka harus menonaktifkan kolom komentar. Dalam semalam hancur sudah karier yang dia bangun dengan tetesan keringat dan air mata, Ana sangat berharap kalau ini hanya sebuah mimpi buruk yang akan segera berakhir saat ini melemparkan selimutnya dan terbangun. “Nyesel aku dulu mengidolakan dia ternyata dia pelakor, tapi nggak heran orang jaman sekarang melakukan segala cara untuk kaya lebih cepat, kabarnya laki-laki itu Direktur XAM, pasti duitnya banyak.” “Dasar murahan boikot saja filmnya.” “Mukanya polos tapi ternyata jalang juga.” “Kukira berbakat, ternyata....”“Tutup Laptopnya tidak perlu melihat komentar yang akan membuatmu semakin terjatuh.” Sang manajer berkata dengan
Ana menatap sang manajer dengan dada berdebar, perbuatannya malam itu akan berakibat sangat buruk pada perjalanan karirnya, kerja kerasnya akan musnah, Ana menggigil saat membayangkan semuanya akan hancur dan neneknya… wanita yang susah payah membesarkannya, akan sangat kecewa, belum lagi cemoohan para tetangga yang pastinya akan dengan senang hati menggunjingkannya. “Apa yang harus aku lakukan, Mas, aku tahu kesalahanku sangat fatal.”Sejenak Adam terdiam, bibir sang manajer memang tersenyum, tapi Ana bisa melihat tidak ada binar bahagia di wajah sang manajer, dan itu berarti satu hal… buruk. akan tetapi dalam keadaan seperti ini mereka memang harus memilih hal yang buruk untuk menghindari hal yang lebih buruk lagi. “Kamu harus menikah dengan Rafael, itu keputusan manajemen,” kata Adam lirih. “Mas Adam bercanda?” tanya Ana tak yakin dengan jawaban Adam. “Dia sudah beristri dan aku akan menjadi pelakor,” lanjutnya dengan nada yang sangat lemah di kata terakhir yang dia ucapkan.
Raffael ingin sekali menggigit lidahnya sendiri yang dengan lancang bicara seperti itu.Dia bukan jenis orang yang begitu mudah mempermainkan pernikahan, apalagi tak ada cinta sama sekali untuk wanita di depannya itu, seluruh hatinya sudah terisi penuh dengan nama Bella istrinya yang cantik jelita itu. Hanya karena sebuah kecelakaan yang dilakukan dengan sengaja oleh wanita licik di depannya ini, Raffael melanggar semua prinsip hidup yang dipegangnya. “Saya mengerti, tapi ini solusi yang harus kita tempuh saat ini.” Raffael mendecih kesal dengan kata-kata sok bijak wanita di depannya ini. Baiklah kamu yang memulai kamu juga yang akan terima akibatnya, batin Raffael. Dia ingin mlihat sampai di mana wanita ini bisa bertahan. “Jika sudah tidak ada yang dibicarakan kamu tahu bukan di mana pintu keluar.” Ana mengangguk dan buru-buru berdiri dari duduknya, dengan anggun dia melangkah keluar ruangan Raffael. “Bagaimana?” tanya Adam yang memang sudah menunggunya di ruang tunggu. “Di
Ada yang retak di dalam hati Ana, terasa sangat sakit, meski tak ada darah yang keluar. Nyonya Sandra buru-buru memutus panggilan telepon dengan sang putra, dengan kikuk dia memasukkan kembali ponsel ke dalam tas tangan yang dibawanya, dia mengulum bibirnya dengan gugup. Dalam hati dia merutuki sikap Raffael yang bisa bicara sekasar itu. Oh Tuhan apa yang salah dengan putranya. Andai saja Raffael ada di dekatnya saat ini, pasti sudah dia remas mulutnya yang tanpa saringan itu. Di helanya napas panjang, sejenak dia memandang ke arah Ana, ada kekecewaan yang kentara sekali di mata gadis itu, meski dia yang terbiasa berakting dengan apik berusaha menyamarkan dengan sebuah senyuman kecil yang tersungging di bibirnya. “Maafkan Raffael, sayang, dia memang sangat menyebalkan kalau diinterupsi dalam bekerja,” kata sang ibu tak enak hati. “Bukan masalah, Ibu, saya tidak apa-apa, mungkin ibu bisa membantu saya untuk membelikan satu saja baju
Makan siang bersama itu membuat keduanya makin dekat, bahkan tanpa malu-malu lagi, calon itu mertuanya itu mengaku kalau dia adalah penggemar berat Ana, bahkan tak pernah ketinggalan mengikuti semua drama atau pun film yang Ana bintangi. “Jadi boleh ya ibu ikut denganmu ke lokasi syuting, ibu mau pamer pada teman-teman ibu, mendatangi tempat syuting artis idola.” Apa yang bisa Ana lakukan selain menganggukkan kepala. “Lebarkan lagi senyummu Ana… yak begitu bagus sekali, selesai sudah, kita bisa istirahat,” kata sang fotografer. Ana tersenyum dan menggumamkan terima kasih pada beberapa pihak yang membantunya. “Silahkan yang mau makan dan minum, oh ya ini juga ada kue untuk kalian semua, silahkan dinikmati, Ana ayo sini sayang,” kata sang ibu mertua yang sudah heboh sendiri menyiapkan makanan yang tadi dia pesan, entah dari restoran mana, Ana sendiri juga tak tahu, tiba-tiba saja ada mobil yang datang dan menurunkan berbagai macam ma
Kelakuan Ana makin membuat Raffael muak, apalagi Bella yang tadi sudah susah payah dia buat tersenyum kini kembali menangis dan terluka. Bella adalah belahan jiwanya sejak kecil mereka terbiasa untuk bersama dan saat para tetua menjodohkan mereka, langsung disambut dengan begitu antusias. gadis kecil yang dulu selalu ingin dilindunginya kini malah lebih sering terluka saat berada di sampingnya, dan Raffael sama sekali tak bisa menerima hal itu, siapapun yang membuat Bella menangis dan bersedih harus merasakan akibatnya. “Dia sengaja mendekati ibu,” gumam Bella di antara tangisnya. Raffael hanya bisa terdiam dengan amarah yang membakar dadanya. Bella menatap sang suami dengan sendu, Raffael tahu, Bella adalah korban sesungguhnya dari kelicikan wanita itu, dan sialnya dia tak bisa apa-apa untuk menentang kehendak ayahnya.“Jangan khawatir aku akan mengurusnya, kamu mandi saja dulu, aku akan memberinya peringatan keras.”
Raffael dan bella mengakhiri liburan mereka lebih awal, karena kekacauan yang disebabkan oleh foto itu. Raffael perlahan menghentikan mobilnya dan memperhatikan Bella yang duduk di kursi penumpang, dia terlihat sangat sedih, rasa bersalah langsung menyelimuti hatinya, juga kemarahan di saat yang hampir sama.Di sinilah sekarang mereka, di rumah orang tuanya, dia harus meminta penjelasan pada sang ibu. “Aku ingin bicara sebentar, bu.” Sang ibu yang sedang asyik menonton drama yang dibintangi oleh Ana, hanya menoleh sekilas. “Kalian datang, bicara saja.” Raffael menghela napas terlihat tak sabar dengan sikap tenang sang ibu. “Bisakah kita bicara di ruang yang lebih privat, mungkin di ruang kerja ayah.” Sang ibu mengangkat alis, dilihatnya kembali drama di televisi yang sedang seru-serunya, rasanya enggan untuk meninggalkannya, tapi ekspresi sang anak yang terlihat serius membuatnya harus mengalah. “Kenap
Akhir bulan Juli pun tiba, hari di mana pernikahan Raffael dan Ana akan segera di langsungkan. Bukan perhelatan mewah seperti yang sudah diduga oleh publik memang, hanya sebuah pesta tertutup dengan beberapa kerabat dan teman dekat mereka yang diundang, meski sedikit lebih besar dari pernikahan Raffael dan Bella yang memang digelar sangat tertutup dengan hanya mengundang keluarga inti saja, tapi tetap saja pernikahan ini terasa sangat hambar bagi Raffael. Tak bosan-bosannya dia merutuki dirinya sendiri yang malam itu sampai jatuh dalam jebakan Ana dan berakhir mengkhianati istrinya. Raffael memandang Ana yang di dudukkan di sampingnya dengan memakai gaun yang senada dengan bajunya sendiri, tapi entah mengapa Raffael merasa ada yang salah dengan gaun itu. Yang salah bukan bajunya, tapi orang yang memakainya, batinnya sinis. Dia tahu gaun itu pilihan ibunya, dan sang ibu juga sudah mengatakan-meskipun Raffael malas untuk mendengarkan- harga gau
“Jangan cepat-cepat jalannya, asistenku sudah mengurus semuanya.” Sofi tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini, jika ada orang yang mengatakan hal ini satu tahun yang lalu Sofi pasti langsung mengatakan orang itu sedang mabuk. Operasi tangannya emang berhasil dengan baik, dia bisa bermain biola lagi dengan baik, beberapa event baik di dalam dan di luar negeri telah dia ikuti, seperti impiannya. Dan bagi Sofi itu sudah cukup, bahkan tidak ada penyesalan di hatinya saat tiga bulan yang lalu dia memutuskan pansiun dini dan hanya akan menerima permintaan bermain biola saat event itu tak jauh dari kediaman mereka. Dia memang memutuskan memberi kesempatan pada dirinya dan Romeo untuk bisa bersama. Laki-laki itu memang telah membuktikan ucapannya, perhatian yang Sofi inginkaan dari sang suami sekarang bukan hanya impian, bahkan Romeo sangat protektif padanya, apalagi sejak sebulan yang lalu Sofi dinyatakan hamil. Laki-laki itu bahkan mekad menyetir dari Bandung setelah syuti
“Kamu apa kabar?” Deg. Rasanya seperti mimpi mereka jalan berdua melintasi pematang sawah dan Romeo berbicara lembut padanya. Ingat ya lembut bukan kasar seperti biasanya dan tanpa senyum sinis yang menghiasi bibirnya. Ah mungkin karena Ara sudah menjelaskan semuanya dan hubungan mereka toh akan berakhir setelah dia menandatangani surat cerai itu. “Ehm ba.. baik.” Sofi merutuki dirinya sendiri kenapa harus gagap sih. Mereka kembali diam menyusuri pematang sawah sambil sesekali Sofi membantu Romeo yang hampir jatuh karena tak biasa berjalan di sawah, sebelum sampai ke rumah orang tua Sofi Romeo mencekap tangan sang istri lalu berkata. “Kita harus bicara.” Inilah saatnya. Sofi mengangguk. “Iya, tapi ibu sudah memanggil, makanlah dulu meski menunya mungkin tak sesuai seleramu.” Sejujurnya Sofi belum siap mendengar kata cerai dari mulut Romeo, dia sudah berusaha menguatkan hati sejak kembali ke rumah orang tuanya tapi saat berhadapan dengan Romeo langsung nyalinya menjadi ciut.
Sudah satu bulan Sofi tinggal di rumah orang tuanya. Kota kecil yang sebagian penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Dan Sofi merasa hidupnya lebih tentram dan damai meski rasa rindu pada sosok sang suami yang tak pernah mengharapkannya kian meninggi. Romeo sudah sadar dan sudah kembali beraktifitas. Dari mana Sofi tahu tentu saja mama mertunya yang setiap hari menghubunginya, dan mengatakan kabar Romeo pada Sofi, beliau bukannya tidak meminta Sofi untuk kembali tapi dengan halus Sofi menolak apalagi saat infoteiment mengabarkan kalau Ara sudah ditemukan dan beberapa kali Ara juga terlihat bersama Romeo. Sofi ikut bahagia jika mereka bersama, bukankah itu yang seharusnya terjadi, sejak awal dia hanya orang luar yang sama sekali tidak diharapkan kehadirannya, meski tak bisa dipungkiri hatinya begitu sakit. Dia hanya harus lebih menguatkan hati jika sewaktu-waktu menerima kiriman surat cerai dari Romeo. “Bagaimana persiapan penampilan anak-anak bu Sofi... b
Hal pertama yang dilihat Sofi saat membuka mata adalah semua putih dan bau tajam obat-obatan menusuk hidungnya. “Kamu sudah sadar, Nak?” Sofi menoleh dan mendapati mama Ara ada di sana, Sofi berusaha bangun tapi saat tak sengaja dia bertumpu pada tangannya dia mengernyit kesakitan. “Hati-hati tanganmu terluka parah.” Sofi ingat tusukan itu dan darah yang merembes keluar, begitu deras bercampur dengan ... darah Romeo. “Romeo bagaimana dia tante?” tanya Sofi begitu ingat kejadian malam itu, Romeo yang tak bergerak meski dia berteriak memanggil namanya. “Dia baik-baik saja kan?” “Tenanglah, dia sudah ditangani dokter, sekarang operasinya masih berlangsung,” kata wanita itu dengan senyum menenangkan. “Dimana?” Mama Ara langsung menggeleng dan menatap luka di tangan Sofi. Sofi mengikuti pandangan itu dan tangannya berdenyut begitu sakit sampai dia menyadari sesuatu... tapi sebelum dia bertanya pintu ruangan terbuka dan beberapa orang berpakaian dokter melangkah masuk. “Apa yang terj
Ternyata ke pesta bersama Romeo tak sehoror yang Sofi bayangkan. Paling tidak laki-laki itu memperlakukannya dengan baik meski Sofi tahu kalau itu hanya pencitraan saja. Yup tentu saja Romeo sang bintang yang tengah bersinar tidak akan sudi kalau nama baiknya akan tercemar lagi, apalagi perusahaan papanya juga pasti terkena dampaknya. “Jangan salah paham aku hanya tidak ingin nama baikku dan keluargaku hancur.” Tuhkan benar dugaan Sofi. Saat ini mereka memang sudah kembali berkendara meninggalkan pesta, dengan Romeo sendiri yang menyetir mobilnya, tanpa didampingi asisten atau bodyguard seperti b iasanya. Hal yang tadi sempat menjadi perdebatan dengan orang tua laki-laki itu di telepon. Sofi baru menyadari kalau menjadi orang kaya itu tidak selalu menyenangkan, bayangkan saja kalau hanya ingin pergi sebentar harus dikawal beberapa orang. Hah! “Aku tahu,” jawab Sofi sambil menunduk menatap kuku jarinya yang entah kenapa jadi lebih menarik. Tak dipungkiri ada sedikit rasa bahag
“Siapkan dirimu untuk menghadiri undangan ini besok.” Sofi menatap kertas undangan mewah yang dilemparkan Romeo padanya, dia baru saja mandi dan akan naik ke tempat tidur saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan sosok Romeo masuk tanpa perlu repot-repot mengetuk pintu atau mengucap salam. Untung saja aku tidak sedang ganti baju, batin Sofi. Status mereka memang suami istri tapi Sofi seperti masih berada di kamar kosnya yang dulu, serba tak peduli. “Apa aku harus ikut?” tanya Sofi nekad saar Romeo sudah membalikkan badannya, bukan apa-apa sih dia sangat mau memang untuk mendampingi laki-laki itu ke sebuah pesta, tapi masalahnya Romeo terlihat sangat membencinya, dan terlihat tak sudi bercakap-cakap dengannya bisa mati gaya dia datang terus dicuekin semua orang. “Mama yang minta,” kata Romeo seolah menjelaskan segalanya. “Apa beliau juga datang?” Mata Romeo langsung menyipit curiga membuat Sofi kesal. Segitunya dia hanya memastikan nanti ada orang yang dia kenal. “Aku tidak tah
“Kemasi semua barang-barangmu.” Mata Sofi langsung melebar saat mendengar perintah Romeo, dia hanya menatap laki-laki itu dengan pias. Apa lagi salahnya sekarang? Apa Romeo akan menceraikannya sekarang? Padahal baru saja dia berniat mengikuti saran mama mertuanya. “Kenapa? Apa Ara sudah kamu temukan?” tanya Sofi dengan dada bergemuruh kencang. “Bukan urusanmu.” Dan laki-laki itu langsung keluar kamar, Sofi terdiam ditempat benarkah ini akhir dari pernikahan mereka, dan sebentar lagi dia akan menyandang predikat janda. Sofi sudah memegang handle pintu, apa dia harus bercerita pada mama mertuanya? Tapi... Sofi menggeleng pelan, apa enaknya memiliki orang yang jelas-jelas tak mau kita miliki apalagi alasan pernikahan mereka sudah tidak ada lagi jika Ara sudah kembali. Dia bukan Ana yang mau saja menjadi istri kedua meski bukan keinginannya. Sofi menghela napas panjang dan membuka lemari pakaian, mengambil baju-bajunya yang beberapa hari lalu baru saja menjadi penghuni lemari ini d
“Dimana?” Mata Sofi membulat saar mendengar suara di ujung sana, tentu saja dia mengenali suara Romeo dengan baik, dia tadi sempat tak percaya nomer Romeo yang sudah lama dia simpan tiba-tiba menghubunginya. “Ehm.... ini siapa?” rasa marah membuat Sofi tidak ingin langsung menjawab. “Kamu tahu siapa aku,” kata orang diujung sana. Sofi menghela napas. “Baiklah aku matikan jika bukan hal penting.” Sofi menatap ponselnya, ada godaan untuk menonaktifkan ponselnya, tapi ada juga rasa penasaran kenapa laki-laki itu tiba-tiba mencarinya, apakah dia sedang ada masalah? Ah sial kenapa dia masih peduli padanya? Bukankah Romeo sama sekali tidak menginginkannya, bahkan laki-laki itu juga menghinanya padahal dia hanya berniat membantu. Tak lama ponselnya kembali berdering dan nomer yang sama kembali menghubungi, Sofi hanya menatap layar ponselnya, hatinya masih bimbang lalu meletakkan ponsel itu lagi, tak lama panggilan itu berhenti. Sofi menghela napas panjang dan merebahkan tubuhnya di r
Air mata Sofi menetes membasahi pipinya. Bukan hanya karena dagunya yang dicengkeram erat oleh Romeo tapi juga kata-kata kasar penuh hinaan dari laki-laki itu. Sampai kapan dia harus seperti ini. “Sudah aku bilang bukan jangan pedulikan aku, jangan pernah berharap menjadi istriku yang sebenarnya.” Setelah berkata begitu Romeo menyambar kemeja yang tadi malam dia pakai dan memakainya dengan cepat sebelum pergi dari kamar itu tak lupa membanting pintu kamar. Sofi langsung tersenyum begitu pintu kamar dibanting, meski air matanya menetes dengan deras. “Memangnya apa yang kamu harapkan, Sof. Menoleh padamu saja dia tidak sudi,” gumam Sofi.Dengan kasar Sofi mengusap air matanya, dia lalu beranjak dari atas ranjang. Sudah tak ada gunanya di sini. Orang yang ingin dia lindungi malah menuduhnya dengan keji. Sejenak Sofi menatap bayangan wajahnya di dalam cermin dan yang menatap balik di sana hanya wanita menyediihkan dengan mata bengkak dan dagu memerah juga rambut yang awut-awutan