Ana menatap sang manajer dengan dada berdebar, perbuatannya malam itu akan berakibat sangat buruk pada perjalanan karirnya, kerja kerasnya akan musnah, Ana menggigil saat membayangkan semuanya akan hancur dan neneknya… wanita yang susah payah membesarkannya, akan sangat kecewa, belum lagi cemoohan para tetangga yang pastinya akan dengan senang hati menggunjingkannya.
“Apa yang harus aku lakukan, Mas, aku tahu kesalahanku sangat fatal.”Sejenak Adam terdiam, bibir sang manajer memang tersenyum, tapi Ana bisa melihat tidak ada binar bahagia di wajah sang manajer, dan itu berarti satu hal… buruk.akan tetapi dalam keadaan seperti ini mereka memang harus memilih hal yang buruk untuk menghindari hal yang lebih buruk lagi.“Kamu harus menikah dengan Rafael, itu keputusan manajemen,” kata Adam lirih.“Mas Adam bercanda?” tanya Ana tak yakin dengan jawaban Adam. “Dia sudah beristri dan aku akan menjadi pelakor,” lanjutnya dengan nada yang sangat lemah di kata terakhir yang dia ucapkan.sungguh Ana sama sekali tidak pernah bercita-cita menjadi perebut kebahagian orang lain, bahkan dalam mimpinya sekalipun.“Kita ke kantor, orang-orang di sana akan menjelaskan lebih detail solusi itu,” putus Adam.Ana hanya bisa mengangguk. setengah jam kemudian mereka sudah bergabung dengan padatnya lalu lintas yang merambat pelan. Tak ada yang mengeluarkan suara dari dalam mobil itu dua orang yang ada di dalamnya sibuk dengan pikiran masing-masing.“Dengarkan dulu penjelasan mereka, aku yakin mereka melakukan ini semua juga untuk menyelamatkan karirmu.”Sekali lagi Ana mengangguk.Adam menatap punggung Ana yang berjalan di depannya dengan hati goyah, rasa tak rela memenuhi dadanya, senyum sinis langsung terbit di bibirnya.Dia yang menyuruh Ana untuk mendengarkan pendapat manajemen dulu, tapi lihatlah dia sendiri yang sakit hati dan tidak rela. Adam menggelengkan kepalanya mengusir bayangan negatif yang mampir ke otaknya, ini semua demi Ana dia tak boleh egois.ruangan besar itu sudah penuh dengan orang-orang penting, staff humas, pengacara bahkan pimpinan manajemen artis tempatnya bernaung juga hadir langsung.“Silahkan duduk, lebih cepat kita menemukan solusi lebih baik,” kata seorang laki-laki paruh baya, yang Ana kenal sebagai pimpinan manajemen artis tempatnya bernaung.“Sa… saya minta maaf untuk apa yang telah terjadi, tapi sungguh saya tidak bermaksud seperti itu, sa..saya hanya ingin ke kamar mandi tapi ternyata di sana ada tuan Raffael yang sedang mabuk,” kata Ana menjelaskan dengan gugup dan … malu.“Apa kamu juga mabuk saat itu?” tanya salah satu staff humas yang ada di sana.“Tidak, saya tidak pernah minum alkohol, bahkan saya belum minum apapun di pesta itu,” bantah Ana.Sang staff tersenyum meski agak samar. “Aku sering mabuk dan saat itu tidak sepenuhnya kesadaranku hilang, jangan khawatir Ana aku mengerti perasaanmu, Raffael memang sangat tampan,” katanya dengan kerlingan.Ana melongo sama sekali tak menduga jawaban itu, Rafael tidak hanya sekedar mabuk, tapi pasti ada obat lain yang dia minum, misalnya… obat perangsang, Ana yakin hal itu, tapi genggaman tangan Adam yang duduk di sampingnya membuatnya menoleh, sang manajer menggelengkan kepala dengan samar.“Aku paham kalian sama-sama dua orang dewasa dan saling tertarik satu sama lain, meski yah Raffael sudah menikah secara diam-diam, tapi itu bukan masalah, laki-laki seperti Raffael sangat mampu memiliki istri lebih dari seorang,” kata sang pimpinan puncak dengan tatapan langsung ke mata Ana.“Tapi, Pak saya bukan pelakor.”“Aku mengerti pasti kalian melakukan itu hanya untuk bersenang-senang saja, masalahnya adalah media sudah mencium semuanya dan tentu saja jika kamu tetap menjadi simpanan Raffael karirmu akan tamat, bukankah itu sangat disayangkan, dengan kamu menikahi Raffael yang berkuasa itu akan sangat membantumu lebih tenar lagi, tentu saja dengan masih dibawah manajemen kita.”Ini pernikahan bisnis, otak cerdas Ana langsung langsung berpikir ke sana.“Bagaimana?” tanya sang pimpinan melihat baik Ana maupun Adam yang terdiam.Ana memandang Adam, meminta pendapat pada laki-laki yang sudah diaanggap kakaknya sendiri itu.“Kurasa itu jalan keluar yang paling baik,” kata Adam lirih. “Karirmu pasti akan tamat jika kamu tidak melakukan hal itu.” Dengan berat hati Adam harus mengatakannya.Ana mengusap wajahnya kasar, tidak ada jalan lain lagi memang, itu salah satu cara terbaik saat ini.“Kamu sangat berbakat Ana jangan sia-siakan bakatmu itu hanya karena kejadian ini,” kata Adam lagi.Ana teringat dengan kehidupan dulu yang harus membantu sang nenek untuk bekerja di kebun, setiap hari dia berteman dengan lumpur dan tanah, bahkan untuk makan sekalipun mereka harus mengharapkan belas kasih orang lain.Sekarang kehidupannya dan sang nenek jauh lebih baik, rumah mereka sudah tidak bocor saat hujan turun, bahkan kalau sang nenek ingin makan di restoran mewah tiga kali sehari, Ana mampu mewujudkannya.Ana tak mungkin tega melihat binar kebahagian di wajah tua sang nenek hilang karena masalah ini.Jujur saya Ana juga tidak mau hidup seperti dulu lagi, selalu kekurangan uang dan hidup dengan mengandalkan belas kasihan orang lain, dia akan berusaha keras mengubah hidupnya, jika menikah dengan Raffael bisa membuatnya tak kehilangan semuanya dia akan lakukan itu.Apalagi Ana juga tidak bisa membohongi dirinya sendiri, kalau rasa kagum yang dulu ada untuk Raffael, kini telah berubah menjadi rasa cinta yang semakin dalam, bisa menikah dengan Raffael serasa mimpi untuk Ana, dan mimpi itu sekarang tersaji di depannya dengan piring emas.Ana seakan sedang dilambungkan rasa bahagia yang tidak terkira, hanya satu hal yang sangat menggangu Ana.Raffael sudah memiliki seorang istri yang sangat dia cintai.Rasa pahit itu langsung menyergapnya, mampukah dia menjadi istri kedua?Akan tetapi tekad kuat sudah terpasung di hatinya.“Saya akan meminta Raffael menikahi saya,” kata Ana penuh tekad.Di sebuah ruangan dalam rumah mewah keluarga Alexander, Raffael berdiri sambil menunduk di hadapan kedua orang tuanya.“Apa yang telah kamu lakukan ini! kamu tahu tindakanmu ini bisa menghancurkan kita semua!” katanya dengan suara yang menggelegar. Tangannya mencengkeram erat foto-foto yang telah terlanjur terbit di media dan membantingnya kasar.Raffael tahu sang ayah akan marah besar, dunia yang mereka geluti saat ini sangat rentan, sedikit saja nama baiknya tercoreng akan membuat publik tak lagi percaya pada mereka dan itu berarti satu hal… kehancuran.“Sudahlah, Sayang tenangkan dirimu, ingat kata dokter kamu tidak boleh terlalu stress,” kata sang ibu yang menghampiri sang ayah dan menenangkannya.Sang ayah menghela napas dalam dan memandang sang istri. “Lihat ulah anakmu itu,” katanya menunjuk Raffael dengan berang.“Ana tidak terlalu memalukan untuk dijadikan menantu,” kata sang ibu tenang.“Ibu..”“Sayang..”Seruan kaget dari tiga orang di depannya hanya ditanggapi dengan senyuman oleh sang ibu. ini memang sedikit gila tapi dia sudah jatuh cinta dengan Ana yang menjadi pemeran utama di drama favoritnya.“Kenapa bukankah itu solusi yang mudah, Bella tidak mau melahirkan cucu untuk kita dan meminta Ana menjadi ibu pengganti, jadi bukan masalah bukan kalau Ana menjadi istri kedua Raffael, dengan begitu anak yang nantinya akan lahir bisa mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya sejak awal, kamu setuju bukan Bella?”“Bu, apa ibu tidak memikirkan perasaanku, kita sama-sama wanita, ibu juga pasti tidak suka jika ayah menikah lagi.”sang ibu menanggapi kemarahan Bella dengan senyuman. “Bukankah kamu sendiri yang menginginkan hal itu dengan mengusulkan Ana menjadi ibu pengganti.”“Tapi bukan berarti Raffael harus menikah dengan Ana dan menjadikannya keluarga kita, Bu.” Bella memandang sang suami dan menampilkan wajah memelas keahliannya. “Sayang kamu tidak setuju bukan?” rajuk Bella.“Aku tidak akan menikahi wanita yang tidak aku cintai, dan aku sudah punya Bella itu lebih dari cukup,” kata Raffael menolak keras ide sang ibu.“Itu pilihan solusi terbaik saat ini, ayah juga setuju, segera siapkan pernikahan itu.”“Ayah! bagaimana mungkin ayah juga berpikir begitu.”“Jangan membantah, Raf kamu mau nama baik keluarga kita tercoreng oleh ulahmu ini,” kata sang ayah tak terbantahkan.Keesokan harinya Ana menemui Raffael di kantornya yang di sambut laki-laki itu dengan wajah dingin.“Saya mohon supaya anda mau menikahi saya,” kata Ana setelah mereka sudah duduk di sofa ruang kerja Raffael.Sejenak Ana memejamkan matanya, rasa malu dan canggung menghajarnya, sebagai seorang wanita yang dididik untuk mandiri sejak kecil dia tak pernah membayangkan akan mengemis seperti ini.Dasar perempuan licik. “Khayalanmu terlalu tinggi,” kata Raffael dengan seringai di wajahnya.“Sa… saya mohon, saya berjanji akan melakukan apa saja untuk anda termasuk mengandung anak anda,” kata Ana dengan air mata yang sudah berderai di wajahnya.Raffael tertegun, malam itu dia bisa mengingat dengan jelas, meski dia menganggap kalau Ana adalah Bella, dan itu adalah salah satu percintaan paling memuaskan untuknya.Tidak ada salahnya bukan dia menerima hal itu, apalagi perempuan ini juga sudah memohon padanya dan juga keluarganya juga setuju.“Oke sesuai keinginanmu, kita akan menikah.”Raffael ingin sekali menggigit lidahnya sendiri yang dengan lancang bicara seperti itu.Dia bukan jenis orang yang begitu mudah mempermainkan pernikahan, apalagi tak ada cinta sama sekali untuk wanita di depannya itu, seluruh hatinya sudah terisi penuh dengan nama Bella istrinya yang cantik jelita itu. Hanya karena sebuah kecelakaan yang dilakukan dengan sengaja oleh wanita licik di depannya ini, Raffael melanggar semua prinsip hidup yang dipegangnya. “Saya mengerti, tapi ini solusi yang harus kita tempuh saat ini.” Raffael mendecih kesal dengan kata-kata sok bijak wanita di depannya ini. Baiklah kamu yang memulai kamu juga yang akan terima akibatnya, batin Raffael. Dia ingin mlihat sampai di mana wanita ini bisa bertahan. “Jika sudah tidak ada yang dibicarakan kamu tahu bukan di mana pintu keluar.” Ana mengangguk dan buru-buru berdiri dari duduknya, dengan anggun dia melangkah keluar ruangan Raffael. “Bagaimana?” tanya Adam yang memang sudah menunggunya di ruang tunggu. “Di
Ada yang retak di dalam hati Ana, terasa sangat sakit, meski tak ada darah yang keluar. Nyonya Sandra buru-buru memutus panggilan telepon dengan sang putra, dengan kikuk dia memasukkan kembali ponsel ke dalam tas tangan yang dibawanya, dia mengulum bibirnya dengan gugup. Dalam hati dia merutuki sikap Raffael yang bisa bicara sekasar itu. Oh Tuhan apa yang salah dengan putranya. Andai saja Raffael ada di dekatnya saat ini, pasti sudah dia remas mulutnya yang tanpa saringan itu. Di helanya napas panjang, sejenak dia memandang ke arah Ana, ada kekecewaan yang kentara sekali di mata gadis itu, meski dia yang terbiasa berakting dengan apik berusaha menyamarkan dengan sebuah senyuman kecil yang tersungging di bibirnya. “Maafkan Raffael, sayang, dia memang sangat menyebalkan kalau diinterupsi dalam bekerja,” kata sang ibu tak enak hati. “Bukan masalah, Ibu, saya tidak apa-apa, mungkin ibu bisa membantu saya untuk membelikan satu saja baju
Makan siang bersama itu membuat keduanya makin dekat, bahkan tanpa malu-malu lagi, calon itu mertuanya itu mengaku kalau dia adalah penggemar berat Ana, bahkan tak pernah ketinggalan mengikuti semua drama atau pun film yang Ana bintangi. “Jadi boleh ya ibu ikut denganmu ke lokasi syuting, ibu mau pamer pada teman-teman ibu, mendatangi tempat syuting artis idola.” Apa yang bisa Ana lakukan selain menganggukkan kepala. “Lebarkan lagi senyummu Ana… yak begitu bagus sekali, selesai sudah, kita bisa istirahat,” kata sang fotografer. Ana tersenyum dan menggumamkan terima kasih pada beberapa pihak yang membantunya. “Silahkan yang mau makan dan minum, oh ya ini juga ada kue untuk kalian semua, silahkan dinikmati, Ana ayo sini sayang,” kata sang ibu mertua yang sudah heboh sendiri menyiapkan makanan yang tadi dia pesan, entah dari restoran mana, Ana sendiri juga tak tahu, tiba-tiba saja ada mobil yang datang dan menurunkan berbagai macam ma
Kelakuan Ana makin membuat Raffael muak, apalagi Bella yang tadi sudah susah payah dia buat tersenyum kini kembali menangis dan terluka. Bella adalah belahan jiwanya sejak kecil mereka terbiasa untuk bersama dan saat para tetua menjodohkan mereka, langsung disambut dengan begitu antusias. gadis kecil yang dulu selalu ingin dilindunginya kini malah lebih sering terluka saat berada di sampingnya, dan Raffael sama sekali tak bisa menerima hal itu, siapapun yang membuat Bella menangis dan bersedih harus merasakan akibatnya. “Dia sengaja mendekati ibu,” gumam Bella di antara tangisnya. Raffael hanya bisa terdiam dengan amarah yang membakar dadanya. Bella menatap sang suami dengan sendu, Raffael tahu, Bella adalah korban sesungguhnya dari kelicikan wanita itu, dan sialnya dia tak bisa apa-apa untuk menentang kehendak ayahnya.“Jangan khawatir aku akan mengurusnya, kamu mandi saja dulu, aku akan memberinya peringatan keras.”
Raffael dan bella mengakhiri liburan mereka lebih awal, karena kekacauan yang disebabkan oleh foto itu. Raffael perlahan menghentikan mobilnya dan memperhatikan Bella yang duduk di kursi penumpang, dia terlihat sangat sedih, rasa bersalah langsung menyelimuti hatinya, juga kemarahan di saat yang hampir sama.Di sinilah sekarang mereka, di rumah orang tuanya, dia harus meminta penjelasan pada sang ibu. “Aku ingin bicara sebentar, bu.” Sang ibu yang sedang asyik menonton drama yang dibintangi oleh Ana, hanya menoleh sekilas. “Kalian datang, bicara saja.” Raffael menghela napas terlihat tak sabar dengan sikap tenang sang ibu. “Bisakah kita bicara di ruang yang lebih privat, mungkin di ruang kerja ayah.” Sang ibu mengangkat alis, dilihatnya kembali drama di televisi yang sedang seru-serunya, rasanya enggan untuk meninggalkannya, tapi ekspresi sang anak yang terlihat serius membuatnya harus mengalah. “Kenap
Akhir bulan Juli pun tiba, hari di mana pernikahan Raffael dan Ana akan segera di langsungkan. Bukan perhelatan mewah seperti yang sudah diduga oleh publik memang, hanya sebuah pesta tertutup dengan beberapa kerabat dan teman dekat mereka yang diundang, meski sedikit lebih besar dari pernikahan Raffael dan Bella yang memang digelar sangat tertutup dengan hanya mengundang keluarga inti saja, tapi tetap saja pernikahan ini terasa sangat hambar bagi Raffael. Tak bosan-bosannya dia merutuki dirinya sendiri yang malam itu sampai jatuh dalam jebakan Ana dan berakhir mengkhianati istrinya. Raffael memandang Ana yang di dudukkan di sampingnya dengan memakai gaun yang senada dengan bajunya sendiri, tapi entah mengapa Raffael merasa ada yang salah dengan gaun itu. Yang salah bukan bajunya, tapi orang yang memakainya, batinnya sinis. Dia tahu gaun itu pilihan ibunya, dan sang ibu juga sudah mengatakan-meskipun Raffael malas untuk mendengarkan- harga gau
“Sudah cukup jangan bicara apapun, tidak ada yang lebih penting untukku dari pada kamu.” Raffael memeluk Bella dengan erat, dia ingin meyakinkan Bella dengan pelukannya bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahkan Raffael tidak ambil pusing dengan para tamu di luar sana yang ingin dia lakukan sekarang adalah bagaimana membuat Bella percaya padanya dan tidak bersedih lagi. “kamu tidak akan kembali ke bawah?” tanya Bella sambil mengatur nafasnya yang memburu, setelah apa yang mereka lakukan bersama tadi, tubuh keduanya pun masih sama-sama polos di bawah selimut. Raffael berbaring miring dan menatap sang istri dengan sayang, dia selalu kagum dengan wajah cantik sang istri dan akan makin cantik setelah apa yang mereka lakukan tadi. cintanya pada Bella memang sangat besar tapi entah kenapa setelah kejadian malam itu hubungan percintaan mereka menjadi lebih hambar, dia tak lagi merasa puas seperti sebelumnya. Raffael menggelengkan kepalanya, demi Tuha
Pernikahan adalah sebuah momen yang sangat membahagiakan bagi sepasang insan, tapi sepertinya hal itu tidak akan terjadi pada Ana. Jauh-jauh hari dia sudah mempelajari semuanya, menghafalkan semuanya seperti dia membaca skrip film atau drama yang akan dia bintangi, mensugesti dirinya sendiri bahwa ini hanya bagian lakon yang akan mengantarkannya pada kesuksesan dan juga membuatnya lebih dekat dengan laki-laki yang dia cintai, akan tetapi rasa sedih dan malu ini sangat nyata, dia bahkan bisa mendengar bisik-bisik beberapa orang yang memandangnya sebelah mata, dongeng indah yang tersebar di depan publik nyatanya hanya isapan jempol belaka. Ana hanya sendiri di sini, berusaha berdiri dengan tenang untuk menyalami para tamu undangan. “Di mana Raffael Ana? seharusnya dia menemui tamu bersamamu?” tanya salah seorang dikenal Ana sebagai seorang produser ternama, dan Ana juga pernah bekerja sama dengannya. “Ah itu, Maafkan, Raffael sedang sakit perut dia ke belakang sebentar,” kata Ana de
“Jangan cepat-cepat jalannya, asistenku sudah mengurus semuanya.” Sofi tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini, jika ada orang yang mengatakan hal ini satu tahun yang lalu Sofi pasti langsung mengatakan orang itu sedang mabuk. Operasi tangannya emang berhasil dengan baik, dia bisa bermain biola lagi dengan baik, beberapa event baik di dalam dan di luar negeri telah dia ikuti, seperti impiannya. Dan bagi Sofi itu sudah cukup, bahkan tidak ada penyesalan di hatinya saat tiga bulan yang lalu dia memutuskan pansiun dini dan hanya akan menerima permintaan bermain biola saat event itu tak jauh dari kediaman mereka. Dia memang memutuskan memberi kesempatan pada dirinya dan Romeo untuk bisa bersama. Laki-laki itu memang telah membuktikan ucapannya, perhatian yang Sofi inginkaan dari sang suami sekarang bukan hanya impian, bahkan Romeo sangat protektif padanya, apalagi sejak sebulan yang lalu Sofi dinyatakan hamil. Laki-laki itu bahkan mekad menyetir dari Bandung setelah syuti
“Kamu apa kabar?” Deg. Rasanya seperti mimpi mereka jalan berdua melintasi pematang sawah dan Romeo berbicara lembut padanya. Ingat ya lembut bukan kasar seperti biasanya dan tanpa senyum sinis yang menghiasi bibirnya. Ah mungkin karena Ara sudah menjelaskan semuanya dan hubungan mereka toh akan berakhir setelah dia menandatangani surat cerai itu. “Ehm ba.. baik.” Sofi merutuki dirinya sendiri kenapa harus gagap sih. Mereka kembali diam menyusuri pematang sawah sambil sesekali Sofi membantu Romeo yang hampir jatuh karena tak biasa berjalan di sawah, sebelum sampai ke rumah orang tua Sofi Romeo mencekap tangan sang istri lalu berkata. “Kita harus bicara.” Inilah saatnya. Sofi mengangguk. “Iya, tapi ibu sudah memanggil, makanlah dulu meski menunya mungkin tak sesuai seleramu.” Sejujurnya Sofi belum siap mendengar kata cerai dari mulut Romeo, dia sudah berusaha menguatkan hati sejak kembali ke rumah orang tuanya tapi saat berhadapan dengan Romeo langsung nyalinya menjadi ciut.
Sudah satu bulan Sofi tinggal di rumah orang tuanya. Kota kecil yang sebagian penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Dan Sofi merasa hidupnya lebih tentram dan damai meski rasa rindu pada sosok sang suami yang tak pernah mengharapkannya kian meninggi. Romeo sudah sadar dan sudah kembali beraktifitas. Dari mana Sofi tahu tentu saja mama mertunya yang setiap hari menghubunginya, dan mengatakan kabar Romeo pada Sofi, beliau bukannya tidak meminta Sofi untuk kembali tapi dengan halus Sofi menolak apalagi saat infoteiment mengabarkan kalau Ara sudah ditemukan dan beberapa kali Ara juga terlihat bersama Romeo. Sofi ikut bahagia jika mereka bersama, bukankah itu yang seharusnya terjadi, sejak awal dia hanya orang luar yang sama sekali tidak diharapkan kehadirannya, meski tak bisa dipungkiri hatinya begitu sakit. Dia hanya harus lebih menguatkan hati jika sewaktu-waktu menerima kiriman surat cerai dari Romeo. “Bagaimana persiapan penampilan anak-anak bu Sofi... b
Hal pertama yang dilihat Sofi saat membuka mata adalah semua putih dan bau tajam obat-obatan menusuk hidungnya. “Kamu sudah sadar, Nak?” Sofi menoleh dan mendapati mama Ara ada di sana, Sofi berusaha bangun tapi saat tak sengaja dia bertumpu pada tangannya dia mengernyit kesakitan. “Hati-hati tanganmu terluka parah.” Sofi ingat tusukan itu dan darah yang merembes keluar, begitu deras bercampur dengan ... darah Romeo. “Romeo bagaimana dia tante?” tanya Sofi begitu ingat kejadian malam itu, Romeo yang tak bergerak meski dia berteriak memanggil namanya. “Dia baik-baik saja kan?” “Tenanglah, dia sudah ditangani dokter, sekarang operasinya masih berlangsung,” kata wanita itu dengan senyum menenangkan. “Dimana?” Mama Ara langsung menggeleng dan menatap luka di tangan Sofi. Sofi mengikuti pandangan itu dan tangannya berdenyut begitu sakit sampai dia menyadari sesuatu... tapi sebelum dia bertanya pintu ruangan terbuka dan beberapa orang berpakaian dokter melangkah masuk. “Apa yang terj
Ternyata ke pesta bersama Romeo tak sehoror yang Sofi bayangkan. Paling tidak laki-laki itu memperlakukannya dengan baik meski Sofi tahu kalau itu hanya pencitraan saja. Yup tentu saja Romeo sang bintang yang tengah bersinar tidak akan sudi kalau nama baiknya akan tercemar lagi, apalagi perusahaan papanya juga pasti terkena dampaknya. “Jangan salah paham aku hanya tidak ingin nama baikku dan keluargaku hancur.” Tuhkan benar dugaan Sofi. Saat ini mereka memang sudah kembali berkendara meninggalkan pesta, dengan Romeo sendiri yang menyetir mobilnya, tanpa didampingi asisten atau bodyguard seperti b iasanya. Hal yang tadi sempat menjadi perdebatan dengan orang tua laki-laki itu di telepon. Sofi baru menyadari kalau menjadi orang kaya itu tidak selalu menyenangkan, bayangkan saja kalau hanya ingin pergi sebentar harus dikawal beberapa orang. Hah! “Aku tahu,” jawab Sofi sambil menunduk menatap kuku jarinya yang entah kenapa jadi lebih menarik. Tak dipungkiri ada sedikit rasa bahag
“Siapkan dirimu untuk menghadiri undangan ini besok.” Sofi menatap kertas undangan mewah yang dilemparkan Romeo padanya, dia baru saja mandi dan akan naik ke tempat tidur saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan sosok Romeo masuk tanpa perlu repot-repot mengetuk pintu atau mengucap salam. Untung saja aku tidak sedang ganti baju, batin Sofi. Status mereka memang suami istri tapi Sofi seperti masih berada di kamar kosnya yang dulu, serba tak peduli. “Apa aku harus ikut?” tanya Sofi nekad saar Romeo sudah membalikkan badannya, bukan apa-apa sih dia sangat mau memang untuk mendampingi laki-laki itu ke sebuah pesta, tapi masalahnya Romeo terlihat sangat membencinya, dan terlihat tak sudi bercakap-cakap dengannya bisa mati gaya dia datang terus dicuekin semua orang. “Mama yang minta,” kata Romeo seolah menjelaskan segalanya. “Apa beliau juga datang?” Mata Romeo langsung menyipit curiga membuat Sofi kesal. Segitunya dia hanya memastikan nanti ada orang yang dia kenal. “Aku tidak tah
“Kemasi semua barang-barangmu.” Mata Sofi langsung melebar saat mendengar perintah Romeo, dia hanya menatap laki-laki itu dengan pias. Apa lagi salahnya sekarang? Apa Romeo akan menceraikannya sekarang? Padahal baru saja dia berniat mengikuti saran mama mertuanya. “Kenapa? Apa Ara sudah kamu temukan?” tanya Sofi dengan dada bergemuruh kencang. “Bukan urusanmu.” Dan laki-laki itu langsung keluar kamar, Sofi terdiam ditempat benarkah ini akhir dari pernikahan mereka, dan sebentar lagi dia akan menyandang predikat janda. Sofi sudah memegang handle pintu, apa dia harus bercerita pada mama mertuanya? Tapi... Sofi menggeleng pelan, apa enaknya memiliki orang yang jelas-jelas tak mau kita miliki apalagi alasan pernikahan mereka sudah tidak ada lagi jika Ara sudah kembali. Dia bukan Ana yang mau saja menjadi istri kedua meski bukan keinginannya. Sofi menghela napas panjang dan membuka lemari pakaian, mengambil baju-bajunya yang beberapa hari lalu baru saja menjadi penghuni lemari ini d
“Dimana?” Mata Sofi membulat saar mendengar suara di ujung sana, tentu saja dia mengenali suara Romeo dengan baik, dia tadi sempat tak percaya nomer Romeo yang sudah lama dia simpan tiba-tiba menghubunginya. “Ehm.... ini siapa?” rasa marah membuat Sofi tidak ingin langsung menjawab. “Kamu tahu siapa aku,” kata orang diujung sana. Sofi menghela napas. “Baiklah aku matikan jika bukan hal penting.” Sofi menatap ponselnya, ada godaan untuk menonaktifkan ponselnya, tapi ada juga rasa penasaran kenapa laki-laki itu tiba-tiba mencarinya, apakah dia sedang ada masalah? Ah sial kenapa dia masih peduli padanya? Bukankah Romeo sama sekali tidak menginginkannya, bahkan laki-laki itu juga menghinanya padahal dia hanya berniat membantu. Tak lama ponselnya kembali berdering dan nomer yang sama kembali menghubungi, Sofi hanya menatap layar ponselnya, hatinya masih bimbang lalu meletakkan ponsel itu lagi, tak lama panggilan itu berhenti. Sofi menghela napas panjang dan merebahkan tubuhnya di r
Air mata Sofi menetes membasahi pipinya. Bukan hanya karena dagunya yang dicengkeram erat oleh Romeo tapi juga kata-kata kasar penuh hinaan dari laki-laki itu. Sampai kapan dia harus seperti ini. “Sudah aku bilang bukan jangan pedulikan aku, jangan pernah berharap menjadi istriku yang sebenarnya.” Setelah berkata begitu Romeo menyambar kemeja yang tadi malam dia pakai dan memakainya dengan cepat sebelum pergi dari kamar itu tak lupa membanting pintu kamar. Sofi langsung tersenyum begitu pintu kamar dibanting, meski air matanya menetes dengan deras. “Memangnya apa yang kamu harapkan, Sof. Menoleh padamu saja dia tidak sudi,” gumam Sofi.Dengan kasar Sofi mengusap air matanya, dia lalu beranjak dari atas ranjang. Sudah tak ada gunanya di sini. Orang yang ingin dia lindungi malah menuduhnya dengan keji. Sejenak Sofi menatap bayangan wajahnya di dalam cermin dan yang menatap balik di sana hanya wanita menyediihkan dengan mata bengkak dan dagu memerah juga rambut yang awut-awutan