Raffael ingin sekali menggigit lidahnya sendiri yang dengan lancang bicara seperti itu.
Dia bukan jenis orang yang begitu mudah mempermainkan pernikahan, apalagi tak ada cinta sama sekali untuk wanita di depannya itu, seluruh hatinya sudah terisi penuh dengan nama Bella istrinya yang cantik jelita itu.Hanya karena sebuah kecelakaan yang dilakukan dengan sengaja oleh wanita licik di depannya ini, Raffael melanggar semua prinsip hidup yang dipegangnya.“Saya mengerti, tapi ini solusi yang harus kita tempuh saat ini.”Raffael mendecih kesal dengan kata-kata sok bijak wanita di depannya ini.Baiklah kamu yang memulai kamu juga yang akan terima akibatnya, batin Raffael.Dia ingin mlihat sampai di mana wanita ini bisa bertahan.“Jika sudah tidak ada yang dibicarakan kamu tahu bukan di mana pintu keluar.”Ana mengangguk dan buru-buru berdiri dari duduknya, dengan anggun dia melangkah keluar ruangan Raffael.“Bagaimana?” tanya Adam yang memang sudah menunggunya di ruang tunggu.“Dia menerima,” kata Ana dengan senyum tersungging di bibirnya.“Tanpa syarat?” tanya Adam lagi yang seolah tidak mempercayai pendengarannya.“Dia hanya minta aku untuk mengandung dan melahirkan anaknya, bukankah itu hal yang wajar untuk pasangan suami istri?”Adam hanya mengangguk dengan kaku, dia bisa melihat wajah bahagia Ana.“Kamu bahagia bisa menikah dengannya?”“Bahagia dan tidak.”“Karena dia sudah beristri?”“Ya salah satunya, siapa yang tidak bahagia menikah dengan laki-laki idamannya, tapi kenyataan bahwa aku orang ketiga dalam hubungan mereka membuat aku merasa bersalah, apalagi kami menikah dengan cara memalukan seperti ini.”“Bertahanlah, aku akan selalu ada untukmu.”Ana memandang laki-laki di sampingnya dengan mata berkaca-kaca, entah bagaimana caranya nanti untuk membalas semua kebaikan Adam.“Terima kasih, Mas.”Keesokan harinya, berita tentang rencana pernikahannya mereka sudah tersebar di semua media baik online maupun offline, bahkan akun media sosial milik Ana, juga dibanjiri dengan berbagai komentar.“Wah ternyata memang mereka pasangan kekasih.”“Pasangan yang serasi.”“Hari patah hati sedunia.”“Pasangan terkece abad ini.”Banyak lagi komentar yang ada di medsos Ana, dia membacanya dengan senyum lega, meski masih ada saja yang mencemooh mereka, tapi setidaknya sudah banyak dari penggemar yang memberikan respon positif untuk rencana pernikahan ini.Di tempat lain, Bella sedang berada di lokasi syuting drama terbarunya, dia dibuat geram dengan berita pernikahan suaminya dengan Ana.Bella merasa dia tak bisa lagi tinggal diam, wanita itu telah merebut suaminya tapi publik malah mendukungnya dan membuatnya menjadi lebih populer.“Argh! ini tak bisa dibiarkan!“Apa-apaan itu, Raf, kamu mau mengadakan pesta pernikahan dengan wanita lain di atas penderitaanku!” kata Bella tanpa basa-basi setelah Raffael mengangkat panggilan teleponnya.“Tenang, Sayang, itu hanya strategi bisnis, lagi pula aku menikahinya juga karena ingin membalas semua kelicikannya,” kata Raffael di seberang sana, dia sendiri juga sangat geram dengan pemberitaan di luar sana, tapi dia tak bisa berbuat banyak keputusan itu telah diambil.“Tenang, katamu bagaimana aku bisa tenang, kalau suamiku akan menikah lagi dengan wanita lain!’Bella memelankan ucapannya saat sadar beberapa kru memandang penuh tanya padanya, pernikahannya dengan Raffael memang hanya diketahui oleh keluarga besar saja, Bella tidak mau pamornya akan meredup setelah dia menikah.“Kapan kamu selesai syuting aku akan menjemputmu, kita akan menghabiskan waktu bersama sekaligus akan menjelaskan semuanya, percayalah hanya kamu satu-satunya wanita yang aku cintai.”Berita pernikahan mempunyai dampak yang sangat luar biasa, saham perusahaan Xander group langsung meroket, begitu juga Ana yang kebanjiran tawaran di sana-sini, Adam sampai kerepotan mengatur semua jadwal sang artis agar tidak bentrok.“Padahal ini baru rencana lihatlah pengaruhnya,” kata Adam sambil menunjukkan tablet di tangannya.Ana memperhatikan itu semua dengan seksama, jadwalnya full dari pagi sampai malam, tawaran iklan, film dan drama bermunculan bak jamur di musim hujan.“Aku tidak tahu kalau pengaruh nama besar Raffael bisa sehebat ini.”“Tentu saja, saham Xander Group juga naik, semua orang berlomba-lomba mencari muka di depan Raffael dengan menggunakanmu, yang mereka kira wanita yang dicintai Raffael.”Ana tersenyum kecut mendengar kalimat terakhir sang manajer.“Memangnya kapan rencana pernikahan kalian akan digelar?” tanya Adam, mereka memang belum memberikan tanggal pasti.“Entahlah, mungkin bulan depan, tadi ibu Raffael menghubungiku dan memintaku fitting baju pengantin.”“Kapan?”“Satu jam lagi.”“Apa dia menjemputmu kemari?”“Tidak kami janjian di butik.”“Sebaiknya kamu berangkat sekarang, sore nanti kamu ada jadwal syuting iklan di beberapa tempat.”Sebelumnya Ana berpikir kalau ibu Raffael, Sandra Alexander menghubunginya hanya untuk sekedar basa basi saja, ternyata Ana salah, wanita itu ternyata sudah datang di butik dan menyambutnya dengan hangat, deretan baju pengantin dengan desain mewah telah dipilihnya.Entah apa yang dipikirkan wanita itu, apa dia tidak marah padanya karena sang putra yang memang sudah beristri ketahuan tidur dengannya.“Astaga, Anastasya, kamu memang secantik yang ada di televisi, ibu seperti mimpi bertemu denganmu dan sebentar lagi akan jadi menantu ibu pula,” kata Sandra yang langsung memeluk Ana dengan erat, tidak kalah dengan ibu-ibu penggemar Ana yang lain.“Ehm... Tante Maaf kalau saya terlambat,” kata Ana dengan terbata.“Jangan panggil tante, panggil saja ibu seperti Raffael, sebentar lagi kita juga akan jadi keluarga, kamu tidak terlambat sayang, ibu saja yang datang terlalu cepat.”Meski sedikit aneh dengan antusiasme itu Ana tetap tersenyum dan berkata. “Terima kasih, Ibu.”“Sama-sama, Sayang. Ibu tadi sudah memilihkan beberapa baju pengantin untukmu, Ibu tahu kamu sangat sibuk, tapi kalau kamu tidak suka bisa pilih yang lain.”Tidak heran jika butik ini mematok harga yang sangat fantastis untuk sebuah gaun pengantin, lihatlah betapa indahnya gaun-gaun itu, taburan kristal di atasnya menambah indah gaun itu.“Bagaimana kamu suka dengan pilihan ibu?”“Mereka semua sangat indah,” kata Ana dengan penuh kagum.Sang ibu dan pemilik butik yang menemani mereka tertawa mendengar komentar Ana.“Cobalah.”Dengan dibantu salah satu asisten pemilik butik Ana mencoba gaun itu, dia bahkan tak henti-hentinya mengagumi penampilannya sendiri.“Wah! anda cantik sekali, saya pikir tadi ada bidadari di sini,” kata sang asisten dengan wajah berbinar gembira.Ana hanya tertawa, sudah biasa menghadapi para penggemar seperti asisten ini, bahkan banyak yang lebih ekstrem.Ini memang bukan kali pertama Ana memakai gaun pengantin, bukan berarti dia sudah pernah menikah. Bukan.Beberapa peran yang dimainkan menuntutnya untuk mengenakan gaun pengantin yang indah, tapi kali ini berbeda, Ana akan benar-benar menikah dengan laki-laki yang dicintainya, meski laki-laki itu tidak menginginkannya.“Sudah ibu duga kamu pasti akan cantik sekali, coba yang lain lagi,” kata sang ibu yang memandang Ana penuh kekaguman. “Mbak tolong bawakan yang lain saya akan ambil semuanya yang dipilih calon menantu saya.”Apa! oh tidak! “Ibu maafkan saya, tapi itu tidak perlu, saya hanya perlu saja gaun saja.”Sang ibu terlihat tak senang dengan penolakan Ana, buru-buru Ana menjelaskan. “Saya tidak enak hati pada Bella, ehm... lagi pula bukankah yang penting dalam sebuah pernikahan doa restu.”Sang ibu berpikir sejenak. “Menurut ibu, kamu selalu cantik memakai baju apapun!” kata sang ibu dengan binar kagum di matanya.“Ibu bisa saja.”“Kamu ingat peranmu saat menjadi bidadari,” sang ibu lalu menyebutkan salah satu judul film yang Ana bintangi. “Bagi ibu kamu selalu terlihat seperti malaikat kecil.”Lagi-lagi Ana hanya tersenyum tak tahu harus berkata apa, sikap ibu Raffael di luar ekspektasinya, dia tadi sudah membayangkan ibu-ibu sosialita sengak yang sudah mengganggu kebahagiaan anaknya, tapi ternyata…Ibu Raffael sosok yang sangat mudah untuk dicintai seperti …. anaknya.eh?“Dari pada bingung pilih yang mana, kita ganggu saja yuk calon suamimu yang gila kerja itu, dia punya selera yang bagus untuk pakaian,” kata sang ibu sambil mengedipkan matanya penuh konspirasi.Satu menit, dua menit bahkan sampai seperempat jam sang ibu menunggu jawaban dari sang putra tapi, foto-foto itu hanya dibaca saja tanpa mau membalas.“Hih! Kebiasaan anak ini.”Dengan gemas sang ibu menekan tombol video untuk melakukan panggilan.Ana meremas kedua tangannya dengan cemas, Raffael pasti sengaja tidak mengangkat panggilan ibunya, bagaimanapun pernikahan ini bukan yang diharapkan wanita itu.“Ada apa, Bu?”Dada Ana rasanya mau copot mendengar suara itu.“Kenapa kamu tidak membalas pesan ibu?” tanya sang ibu dengan galak. “Lihatlah calon istrimu sangat cantik bukan.”Ana masih menundukkan kepalanya tak berani menatap ke arah ponsel sang ibu dengan Raffael di ujung sana.Raffael memandang ponselnya dengan acuh, dia sama sekali tak tertarik dengan itu.“Saya tidak berencana mengadakan pesta pernikahan, kenapa membeli gaun pengantin?” tanyanya datar.Ada yang retak di dalam hati Ana, terasa sangat sakit, meski tak ada darah yang keluar. Nyonya Sandra buru-buru memutus panggilan telepon dengan sang putra, dengan kikuk dia memasukkan kembali ponsel ke dalam tas tangan yang dibawanya, dia mengulum bibirnya dengan gugup. Dalam hati dia merutuki sikap Raffael yang bisa bicara sekasar itu. Oh Tuhan apa yang salah dengan putranya. Andai saja Raffael ada di dekatnya saat ini, pasti sudah dia remas mulutnya yang tanpa saringan itu. Di helanya napas panjang, sejenak dia memandang ke arah Ana, ada kekecewaan yang kentara sekali di mata gadis itu, meski dia yang terbiasa berakting dengan apik berusaha menyamarkan dengan sebuah senyuman kecil yang tersungging di bibirnya. “Maafkan Raffael, sayang, dia memang sangat menyebalkan kalau diinterupsi dalam bekerja,” kata sang ibu tak enak hati. “Bukan masalah, Ibu, saya tidak apa-apa, mungkin ibu bisa membantu saya untuk membelikan satu saja baju
Makan siang bersama itu membuat keduanya makin dekat, bahkan tanpa malu-malu lagi, calon itu mertuanya itu mengaku kalau dia adalah penggemar berat Ana, bahkan tak pernah ketinggalan mengikuti semua drama atau pun film yang Ana bintangi. “Jadi boleh ya ibu ikut denganmu ke lokasi syuting, ibu mau pamer pada teman-teman ibu, mendatangi tempat syuting artis idola.” Apa yang bisa Ana lakukan selain menganggukkan kepala. “Lebarkan lagi senyummu Ana… yak begitu bagus sekali, selesai sudah, kita bisa istirahat,” kata sang fotografer. Ana tersenyum dan menggumamkan terima kasih pada beberapa pihak yang membantunya. “Silahkan yang mau makan dan minum, oh ya ini juga ada kue untuk kalian semua, silahkan dinikmati, Ana ayo sini sayang,” kata sang ibu mertua yang sudah heboh sendiri menyiapkan makanan yang tadi dia pesan, entah dari restoran mana, Ana sendiri juga tak tahu, tiba-tiba saja ada mobil yang datang dan menurunkan berbagai macam ma
Kelakuan Ana makin membuat Raffael muak, apalagi Bella yang tadi sudah susah payah dia buat tersenyum kini kembali menangis dan terluka. Bella adalah belahan jiwanya sejak kecil mereka terbiasa untuk bersama dan saat para tetua menjodohkan mereka, langsung disambut dengan begitu antusias. gadis kecil yang dulu selalu ingin dilindunginya kini malah lebih sering terluka saat berada di sampingnya, dan Raffael sama sekali tak bisa menerima hal itu, siapapun yang membuat Bella menangis dan bersedih harus merasakan akibatnya. “Dia sengaja mendekati ibu,” gumam Bella di antara tangisnya. Raffael hanya bisa terdiam dengan amarah yang membakar dadanya. Bella menatap sang suami dengan sendu, Raffael tahu, Bella adalah korban sesungguhnya dari kelicikan wanita itu, dan sialnya dia tak bisa apa-apa untuk menentang kehendak ayahnya.“Jangan khawatir aku akan mengurusnya, kamu mandi saja dulu, aku akan memberinya peringatan keras.”
Raffael dan bella mengakhiri liburan mereka lebih awal, karena kekacauan yang disebabkan oleh foto itu. Raffael perlahan menghentikan mobilnya dan memperhatikan Bella yang duduk di kursi penumpang, dia terlihat sangat sedih, rasa bersalah langsung menyelimuti hatinya, juga kemarahan di saat yang hampir sama.Di sinilah sekarang mereka, di rumah orang tuanya, dia harus meminta penjelasan pada sang ibu. “Aku ingin bicara sebentar, bu.” Sang ibu yang sedang asyik menonton drama yang dibintangi oleh Ana, hanya menoleh sekilas. “Kalian datang, bicara saja.” Raffael menghela napas terlihat tak sabar dengan sikap tenang sang ibu. “Bisakah kita bicara di ruang yang lebih privat, mungkin di ruang kerja ayah.” Sang ibu mengangkat alis, dilihatnya kembali drama di televisi yang sedang seru-serunya, rasanya enggan untuk meninggalkannya, tapi ekspresi sang anak yang terlihat serius membuatnya harus mengalah. “Kenap
Akhir bulan Juli pun tiba, hari di mana pernikahan Raffael dan Ana akan segera di langsungkan. Bukan perhelatan mewah seperti yang sudah diduga oleh publik memang, hanya sebuah pesta tertutup dengan beberapa kerabat dan teman dekat mereka yang diundang, meski sedikit lebih besar dari pernikahan Raffael dan Bella yang memang digelar sangat tertutup dengan hanya mengundang keluarga inti saja, tapi tetap saja pernikahan ini terasa sangat hambar bagi Raffael. Tak bosan-bosannya dia merutuki dirinya sendiri yang malam itu sampai jatuh dalam jebakan Ana dan berakhir mengkhianati istrinya. Raffael memandang Ana yang di dudukkan di sampingnya dengan memakai gaun yang senada dengan bajunya sendiri, tapi entah mengapa Raffael merasa ada yang salah dengan gaun itu. Yang salah bukan bajunya, tapi orang yang memakainya, batinnya sinis. Dia tahu gaun itu pilihan ibunya, dan sang ibu juga sudah mengatakan-meskipun Raffael malas untuk mendengarkan- harga gau
“Sudah cukup jangan bicara apapun, tidak ada yang lebih penting untukku dari pada kamu.” Raffael memeluk Bella dengan erat, dia ingin meyakinkan Bella dengan pelukannya bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahkan Raffael tidak ambil pusing dengan para tamu di luar sana yang ingin dia lakukan sekarang adalah bagaimana membuat Bella percaya padanya dan tidak bersedih lagi. “kamu tidak akan kembali ke bawah?” tanya Bella sambil mengatur nafasnya yang memburu, setelah apa yang mereka lakukan bersama tadi, tubuh keduanya pun masih sama-sama polos di bawah selimut. Raffael berbaring miring dan menatap sang istri dengan sayang, dia selalu kagum dengan wajah cantik sang istri dan akan makin cantik setelah apa yang mereka lakukan tadi. cintanya pada Bella memang sangat besar tapi entah kenapa setelah kejadian malam itu hubungan percintaan mereka menjadi lebih hambar, dia tak lagi merasa puas seperti sebelumnya. Raffael menggelengkan kepalanya, demi Tuha
Pernikahan adalah sebuah momen yang sangat membahagiakan bagi sepasang insan, tapi sepertinya hal itu tidak akan terjadi pada Ana. Jauh-jauh hari dia sudah mempelajari semuanya, menghafalkan semuanya seperti dia membaca skrip film atau drama yang akan dia bintangi, mensugesti dirinya sendiri bahwa ini hanya bagian lakon yang akan mengantarkannya pada kesuksesan dan juga membuatnya lebih dekat dengan laki-laki yang dia cintai, akan tetapi rasa sedih dan malu ini sangat nyata, dia bahkan bisa mendengar bisik-bisik beberapa orang yang memandangnya sebelah mata, dongeng indah yang tersebar di depan publik nyatanya hanya isapan jempol belaka. Ana hanya sendiri di sini, berusaha berdiri dengan tenang untuk menyalami para tamu undangan. “Di mana Raffael Ana? seharusnya dia menemui tamu bersamamu?” tanya salah seorang dikenal Ana sebagai seorang produser ternama, dan Ana juga pernah bekerja sama dengannya. “Ah itu, Maafkan, Raffael sedang sakit perut dia ke belakang sebentar,” kata Ana de
Ana membuang pandangannya ke luar jendela saat mobil mulai melaju, senyum yang dari tadi ada di bibirnya makin melebar, meski dia sadar itu hanya akting belaka, tapi tetap saja tak bisa mencegah hatinya yang membuncah oleh harapan. Dia diam-diam melirik Raffael yang duduk di sampingnya dengan tegang, tak ada senyum atau perkataan basa-basi untuknya, pandangan laki-laki itu juga lurus ke depan, tapi tetap saja tak mengurangi kebahagian Ana. Di rumah yang memang menjadi tempat tinggal Raffael dan Bella, terlihat wanita cantik itu berjalan hilir mudik dengan kesal di ruang depan, berkali-kali dia menengok jam dinding, tapi orang yang ditunggu tak juga muncul, ponsel yang dari tadi tak lepas dari tanganya itu tetap saja terdiam, membuat Bella ingin menjerit frustasi. “Kurang ajar, berani-beraninya wanita itu merebut suamiku,” katanya dengan pandangan marah, ponsel di tangannya juga tak luput dari amarah, dan kini tergeletak mengenaskan di sisi dinding, para pe
“Jangan cepat-cepat jalannya, asistenku sudah mengurus semuanya.” Sofi tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini, jika ada orang yang mengatakan hal ini satu tahun yang lalu Sofi pasti langsung mengatakan orang itu sedang mabuk. Operasi tangannya emang berhasil dengan baik, dia bisa bermain biola lagi dengan baik, beberapa event baik di dalam dan di luar negeri telah dia ikuti, seperti impiannya. Dan bagi Sofi itu sudah cukup, bahkan tidak ada penyesalan di hatinya saat tiga bulan yang lalu dia memutuskan pansiun dini dan hanya akan menerima permintaan bermain biola saat event itu tak jauh dari kediaman mereka. Dia memang memutuskan memberi kesempatan pada dirinya dan Romeo untuk bisa bersama. Laki-laki itu memang telah membuktikan ucapannya, perhatian yang Sofi inginkaan dari sang suami sekarang bukan hanya impian, bahkan Romeo sangat protektif padanya, apalagi sejak sebulan yang lalu Sofi dinyatakan hamil. Laki-laki itu bahkan mekad menyetir dari Bandung setelah syuti
“Kamu apa kabar?” Deg. Rasanya seperti mimpi mereka jalan berdua melintasi pematang sawah dan Romeo berbicara lembut padanya. Ingat ya lembut bukan kasar seperti biasanya dan tanpa senyum sinis yang menghiasi bibirnya. Ah mungkin karena Ara sudah menjelaskan semuanya dan hubungan mereka toh akan berakhir setelah dia menandatangani surat cerai itu. “Ehm ba.. baik.” Sofi merutuki dirinya sendiri kenapa harus gagap sih. Mereka kembali diam menyusuri pematang sawah sambil sesekali Sofi membantu Romeo yang hampir jatuh karena tak biasa berjalan di sawah, sebelum sampai ke rumah orang tua Sofi Romeo mencekap tangan sang istri lalu berkata. “Kita harus bicara.” Inilah saatnya. Sofi mengangguk. “Iya, tapi ibu sudah memanggil, makanlah dulu meski menunya mungkin tak sesuai seleramu.” Sejujurnya Sofi belum siap mendengar kata cerai dari mulut Romeo, dia sudah berusaha menguatkan hati sejak kembali ke rumah orang tuanya tapi saat berhadapan dengan Romeo langsung nyalinya menjadi ciut.
Sudah satu bulan Sofi tinggal di rumah orang tuanya. Kota kecil yang sebagian penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Dan Sofi merasa hidupnya lebih tentram dan damai meski rasa rindu pada sosok sang suami yang tak pernah mengharapkannya kian meninggi. Romeo sudah sadar dan sudah kembali beraktifitas. Dari mana Sofi tahu tentu saja mama mertunya yang setiap hari menghubunginya, dan mengatakan kabar Romeo pada Sofi, beliau bukannya tidak meminta Sofi untuk kembali tapi dengan halus Sofi menolak apalagi saat infoteiment mengabarkan kalau Ara sudah ditemukan dan beberapa kali Ara juga terlihat bersama Romeo. Sofi ikut bahagia jika mereka bersama, bukankah itu yang seharusnya terjadi, sejak awal dia hanya orang luar yang sama sekali tidak diharapkan kehadirannya, meski tak bisa dipungkiri hatinya begitu sakit. Dia hanya harus lebih menguatkan hati jika sewaktu-waktu menerima kiriman surat cerai dari Romeo. “Bagaimana persiapan penampilan anak-anak bu Sofi... b
Hal pertama yang dilihat Sofi saat membuka mata adalah semua putih dan bau tajam obat-obatan menusuk hidungnya. “Kamu sudah sadar, Nak?” Sofi menoleh dan mendapati mama Ara ada di sana, Sofi berusaha bangun tapi saat tak sengaja dia bertumpu pada tangannya dia mengernyit kesakitan. “Hati-hati tanganmu terluka parah.” Sofi ingat tusukan itu dan darah yang merembes keluar, begitu deras bercampur dengan ... darah Romeo. “Romeo bagaimana dia tante?” tanya Sofi begitu ingat kejadian malam itu, Romeo yang tak bergerak meski dia berteriak memanggil namanya. “Dia baik-baik saja kan?” “Tenanglah, dia sudah ditangani dokter, sekarang operasinya masih berlangsung,” kata wanita itu dengan senyum menenangkan. “Dimana?” Mama Ara langsung menggeleng dan menatap luka di tangan Sofi. Sofi mengikuti pandangan itu dan tangannya berdenyut begitu sakit sampai dia menyadari sesuatu... tapi sebelum dia bertanya pintu ruangan terbuka dan beberapa orang berpakaian dokter melangkah masuk. “Apa yang terj
Ternyata ke pesta bersama Romeo tak sehoror yang Sofi bayangkan. Paling tidak laki-laki itu memperlakukannya dengan baik meski Sofi tahu kalau itu hanya pencitraan saja. Yup tentu saja Romeo sang bintang yang tengah bersinar tidak akan sudi kalau nama baiknya akan tercemar lagi, apalagi perusahaan papanya juga pasti terkena dampaknya. “Jangan salah paham aku hanya tidak ingin nama baikku dan keluargaku hancur.” Tuhkan benar dugaan Sofi. Saat ini mereka memang sudah kembali berkendara meninggalkan pesta, dengan Romeo sendiri yang menyetir mobilnya, tanpa didampingi asisten atau bodyguard seperti b iasanya. Hal yang tadi sempat menjadi perdebatan dengan orang tua laki-laki itu di telepon. Sofi baru menyadari kalau menjadi orang kaya itu tidak selalu menyenangkan, bayangkan saja kalau hanya ingin pergi sebentar harus dikawal beberapa orang. Hah! “Aku tahu,” jawab Sofi sambil menunduk menatap kuku jarinya yang entah kenapa jadi lebih menarik. Tak dipungkiri ada sedikit rasa bahag
“Siapkan dirimu untuk menghadiri undangan ini besok.” Sofi menatap kertas undangan mewah yang dilemparkan Romeo padanya, dia baru saja mandi dan akan naik ke tempat tidur saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan sosok Romeo masuk tanpa perlu repot-repot mengetuk pintu atau mengucap salam. Untung saja aku tidak sedang ganti baju, batin Sofi. Status mereka memang suami istri tapi Sofi seperti masih berada di kamar kosnya yang dulu, serba tak peduli. “Apa aku harus ikut?” tanya Sofi nekad saar Romeo sudah membalikkan badannya, bukan apa-apa sih dia sangat mau memang untuk mendampingi laki-laki itu ke sebuah pesta, tapi masalahnya Romeo terlihat sangat membencinya, dan terlihat tak sudi bercakap-cakap dengannya bisa mati gaya dia datang terus dicuekin semua orang. “Mama yang minta,” kata Romeo seolah menjelaskan segalanya. “Apa beliau juga datang?” Mata Romeo langsung menyipit curiga membuat Sofi kesal. Segitunya dia hanya memastikan nanti ada orang yang dia kenal. “Aku tidak tah
“Kemasi semua barang-barangmu.” Mata Sofi langsung melebar saat mendengar perintah Romeo, dia hanya menatap laki-laki itu dengan pias. Apa lagi salahnya sekarang? Apa Romeo akan menceraikannya sekarang? Padahal baru saja dia berniat mengikuti saran mama mertuanya. “Kenapa? Apa Ara sudah kamu temukan?” tanya Sofi dengan dada bergemuruh kencang. “Bukan urusanmu.” Dan laki-laki itu langsung keluar kamar, Sofi terdiam ditempat benarkah ini akhir dari pernikahan mereka, dan sebentar lagi dia akan menyandang predikat janda. Sofi sudah memegang handle pintu, apa dia harus bercerita pada mama mertuanya? Tapi... Sofi menggeleng pelan, apa enaknya memiliki orang yang jelas-jelas tak mau kita miliki apalagi alasan pernikahan mereka sudah tidak ada lagi jika Ara sudah kembali. Dia bukan Ana yang mau saja menjadi istri kedua meski bukan keinginannya. Sofi menghela napas panjang dan membuka lemari pakaian, mengambil baju-bajunya yang beberapa hari lalu baru saja menjadi penghuni lemari ini d
“Dimana?” Mata Sofi membulat saar mendengar suara di ujung sana, tentu saja dia mengenali suara Romeo dengan baik, dia tadi sempat tak percaya nomer Romeo yang sudah lama dia simpan tiba-tiba menghubunginya. “Ehm.... ini siapa?” rasa marah membuat Sofi tidak ingin langsung menjawab. “Kamu tahu siapa aku,” kata orang diujung sana. Sofi menghela napas. “Baiklah aku matikan jika bukan hal penting.” Sofi menatap ponselnya, ada godaan untuk menonaktifkan ponselnya, tapi ada juga rasa penasaran kenapa laki-laki itu tiba-tiba mencarinya, apakah dia sedang ada masalah? Ah sial kenapa dia masih peduli padanya? Bukankah Romeo sama sekali tidak menginginkannya, bahkan laki-laki itu juga menghinanya padahal dia hanya berniat membantu. Tak lama ponselnya kembali berdering dan nomer yang sama kembali menghubungi, Sofi hanya menatap layar ponselnya, hatinya masih bimbang lalu meletakkan ponsel itu lagi, tak lama panggilan itu berhenti. Sofi menghela napas panjang dan merebahkan tubuhnya di r
Air mata Sofi menetes membasahi pipinya. Bukan hanya karena dagunya yang dicengkeram erat oleh Romeo tapi juga kata-kata kasar penuh hinaan dari laki-laki itu. Sampai kapan dia harus seperti ini. “Sudah aku bilang bukan jangan pedulikan aku, jangan pernah berharap menjadi istriku yang sebenarnya.” Setelah berkata begitu Romeo menyambar kemeja yang tadi malam dia pakai dan memakainya dengan cepat sebelum pergi dari kamar itu tak lupa membanting pintu kamar. Sofi langsung tersenyum begitu pintu kamar dibanting, meski air matanya menetes dengan deras. “Memangnya apa yang kamu harapkan, Sof. Menoleh padamu saja dia tidak sudi,” gumam Sofi.Dengan kasar Sofi mengusap air matanya, dia lalu beranjak dari atas ranjang. Sudah tak ada gunanya di sini. Orang yang ingin dia lindungi malah menuduhnya dengan keji. Sejenak Sofi menatap bayangan wajahnya di dalam cermin dan yang menatap balik di sana hanya wanita menyediihkan dengan mata bengkak dan dagu memerah juga rambut yang awut-awutan