Ana tidak pernah menyukai pesta.
Hingar bingar musik langsung menyambutnya begitu dia menginjakkan kaki di gedung ini, meski keningnya mengernyit tak suka, tapi sebagai seorang artis profesional dia tetap saja menampilkan senyum lebar khasnya.ini pesta yang khusus diadakan untuk dirinya sangat konyol kalau dia terlihat tidak bahagia.Ana mencoba menarik turun gaun malam yang dia pakai, kalung mutiara yang tadi terlihat sangat cantik serasa mencekiknya.Ana mencari sosok penting yang berada di balik kemeriahan pesta kali ini.“Itu Pak Ridwan, sapa dia dulu,” bisik Adam, sang manager yang mendampinginya.“Setelah ini apa aku bisa pergi?” tanya Ana dengan penuh harap.“Memangnya kamu mau ke mana?”“Toilet, kemana lagi, setidaknya di sana tidak berisik seperti di sini,” kata Ana.Adam langsung memutar bola matanya dengan malas. “Jangan bilang kamu akan melarikan diri lagi, kalau sampai itu kamu lakukan, aku akan mengikatmu,” ancamnya.“Ya… ya aku tahu apa yang akan kamu katakan tenang saja aku hanya akan ke toilet sebentar.”Tanpa menunggu jawaban Adam, Ana lalu menghampiri orang nomor satu di agensinya itu dan menyapanya dengan hangat, juga beberapa orang yang dikenalnya, setelah itu Ana langsung melipir menghindar.“Ughh akhirnya bisa bebas juga,” Ana tersenyum senang dan satu tujuannya kini. Toilet.Ana tidak akan melarikan diri kok tenang saja, tapi mungkin dia akan bersemedi sebentar di toilet, dia bisa membayangkan wajah cemberut managernya yang pasti akan mengomel panjang lebar."Selamat, Pak Adam anda memang manager yang luar biasa.”Adam tersenyum lebar menyambut jabatan tangan Robert Alexander, laki-laki blasteran italia yang sudah berusia awal enam puluh, saat ini adalah pemilik management artist yang sangat berpengaruh di Indonesia.“Ini juga berkat bimbingan anda Pak, dan juga bakat luar biasa yang dimiliki artis saya,” kata Adam merendah.“Anda terlalu merendah, oh ya lalu di mana bintang kita malam ini, saya belum melihat sinarnya yang indah itu.”“Ah...Ana dia tadi berpamitan ke toilet, mungkin sebentar lagi akan kembali.”“Ah sayang sekali saya harus menghadiri acara penting setelah ini, padahal saya ingin mengucapkan selamat untuknya,” kata laki-laki yang lebih senior itu.“Saya mewakili Ana minta maaf untuk itu.”“Bukan masalah, panggilan alam memang tak boleh ditunda,” seloroh laki-laki itu.Adam menatap punggung laki-laki itu sekilas, lalu menghela napas panjang. semoga saja Ana tidak melarikan diri dari pesta ini seperti yang sudah-sudah.Ana berjalan dengan ceria menuju toilet rumah ini. dia menolehkan kepala ke kanan kiri, mencari kir-kira di mana letak toilet berada.“Maaf, Toilet di mana, ya?” tanya Ana pada seorang wanita berpakaian pelayan yang kebetulan lewat.“Maaf, Nona, toilet di lantai satu ini sedang diperbaiki, mari saya antar ke toilet di lantai atas.”Ana mengangguk dan mengikuti pelayan itu, rumah ini memang benar-benar luas, mirip dengan sebuah hotel bintang lima, pantas saja dipilih untuk mengadakan pesta untuknya, tempatnya pun lebih privat, jadi mereka tidak khawatir dengan adanya orang lain yang tidak berkepentingan.“Silahkan masuk Nona,” kata sang pelayan dengan ramah.“Ini toilet?” tanya Ana dengan heran, dilihat dari pintunya saja terlalu bagus untuk ukuran toilet.“Ini memang kamar tamu, Nona dan toilet yang ada di sana memang dipersiapkan untuk anda.”toilet untuknya? agak aneh juga tapi Ana segera menepis pikiran buruk itu, dia hari ini adalah bintang utama tak heran kalau fasilitas untuknya memang sudah dipersiapkan dengan baik.“Ugh gelap, di mana saklar lampunya.” Ana meraba tembok mencari saklar.“Sayang, kamu sudah di sini rupanya?” suara itu terasa familiar, tapi ingatannya kabur tak dapat mengenali siapa ini.Ana belum sempat menjawab saat sebuah tangan memeluk tubuhnya erat.tangan siapa?Mungkin Ana memang sudah gila, bahkan Ana tak memberontak saat laki-laki itu memeluknya, pelukan itu terasa hangat dan familiar, dan Ana suka.Tapi tidak, laki-laki itu bukan hanya memeluk Ana sekarang, bahkan tangan laki-laki itu sudah masuk ke dalam gaun panjang yang dipakainya, tidak ini salah.“Lepaskan aku!” serunya tak terima, untuk pertama kalinya Ana tidak percaya dengan feelingnya lagi.“Kumohon biarkan aku pergi,” ratapnya saat lagi-lagi tenaganya tak sanggup untuk mengimbangi tenaga laki-laki yang berniat buruk padanya.Laki-laki itu bahkan seolah tuli dengan permohonannya, sinar lampu yang dibuat temaram membuat Ana kesulitan mengenali laki-laki di atasnya ini.“Kenapa, Sayang, biasanya kamu sangat menyukai ini.”Tidak! Ana sama sekali tak menyukai ini, dia bukan wanita yang biasa tidur dengan sembarang orang, dia akan melakukannya dengan orang yang dia cinta.“Tidak lepaskan.”Sia-sia permohonan Ana laki-laki itu makin brutal mengeksplor tubuhnya, bahkan seluruh bagian wajahnya tak luput dari bibirnya.“Aku tak tahan lagi,” kata laki-laki itu dengan pandangan mata yang tajam menatapnya.Mata… mata itu, Ana seperti mengenalnya, mata laki-laki yang diam-diam dia kagumi. Rafael Alexander, tapi benarkah itu dia?“Rafael kau kah itu?”“Iya ini aku Rafael siapa lagi?”Ana tersenyum mendengar jawaban itu, tapi otaknya tak mampu untuk berpikir lebih lanjut lagi, Rafael sudah melakukan aksinya lagi, kali ini Ana tidak menolak, meski sedikit sakit karena Rafael memperlakukannya dengan sedikit kasar tapi rasa bahagia karena kembali bertemu dengan laki-laki yang diam-diam telah menggenggam hatinya membuat Ana terlena.Hari ini benar-benar anugerah untuknya dia sudah memenangkan penghargaan sebagai artis terbaik dan sekarang dia ada dalam dekapan Rafael Alexander, orang yang sangat dia kagumi.Perlahan kegelapan mulai menelan kesadaran Ana, tapi bibirnya masih melengkungkan senyum, seolah dia adalah wanita yang paling bahagia di dunia ini.Suara dobrakan pintu itu membuat Rafael terkejut, kepalanya sedikit pusing karena dibangunkan dengan paksa, matanya sedikit menyipit karena lampu blitz mengenai matanya, ada apa ini?Bella di sana berdiri dengan wajah marah, tapi air mata yang mengalir di pipinya membuat Rafael tertegun, kalau Bella di sana, siapa tubuh yang dia peluk tadi?Perlahan Rafael memutar kepalanya dan menatap wajah wanita yang semalam tidur dengannya. Wajahnya langsung memerah saat mengenali siapa wanita itu. Dia Anastasya, Sang pemenang penghargaan artis terbaik, tapi bagaimana mungkin?“Apa yang kalian lakukan di sini! Pergi! Atau aku akan menamatkan karier kalian!” teriakan itu menggelegar bahkan sanggup untuk membangunkan orang pingsan sekali pun.Tanpa diperintah dua kali para wartawan meninggalkan kamar itu, hanya tinggal Bella yang menangis di depan pintu kamar.“Sa... sayang ini tidak seperti yang kamu pikirkan, dia menjebakku,” kata Rafael pada sang istri yang sudah bersimbah air mata.Tergesa. Laki-laki itu memakai bajunya sembarangan dan berjalan mendekati sang istri, memeluknya dengan lembut.“Apa salahku? Raf, kenapa kamu mengkhianatiku? Apa kamu sudah tak mencintaiku lagi?” ratap Bela, membuat hati Rafael teriris,Rafael tak pernah mampu melihat air mata wanita yang dicintainya ini mengalir, dia pasti akan menghancurkan semuanya, tapi naasnya sekarang air mata itu karena dirinya yang tertangkap basah berada satu ranjang dengan wanita lain.Bukan Rafael bukan sengaja berkhianat, ingatannya kembali saat dia meminum Wine terkutuk itu... yah wine itu pasti dicampur dengan sesuatu yang membuat dia terlena dan... Oh Tuhan, apakah dia memang benar-benar sudah tidur dengan wanita itu.“Aku bisa terima saat dia memenangkan penghargaan itu, tapi bukan berarti kamu juga bisa merebut suamiku!” teriak Bella histeris.“Maafkan aku sayang, sungguh aku tak pernah mengkhianatimu, hanya kamu wanita yang aku cintai.”Perlahan Rafael menuntun sang istri untuk duduk di sofa, dia lalu memutar langkah menghampiri Ana, matanya menatap wanita yang baru saja bangun karena pertengkaran yang chaos ini.“Kupikir kamu wanita baik-baik ternyata kamu tak ubahnya wanita murahan yang melakukan apapun demi ambisimu, kamu kira dengan kamu melakukan ini kamu bisa memuluskan karir mu, kamu salah aku akan dengan senang hati menghancurkanmu.”Ana duduk dengan tubuh yang gemetar, bukan karena takut tapi kekecewaan yang menghajar dirinya tanpa ampun, bagaimana mungkin rafael menuduhnya seperti itu.“Aku tidak tahu apapun, bukankah kamu yang memaksaku-“tatapan mata tajam Rafael membuat nyali Ana menciut, ada apa dengan laki-laki ini, bukankah yang dia katakan itu memang kenyataan.“Apakah kamu menolak permintaanku sebelumnya hanya untuk hari ini?” tanyanya dingin.Dua hari yang lalu di apartemen Ana.Mata Ana mengerjap mendengar suara gedoran di pintu dengan brutal, digelengkannya kepala mengusir kantuk dan rasa pening yang masih setia menemaninya. Dilihatnya jam berbentuk hello kitty di atas nakas. Astaga dia baru tidur satu jam, siapa yang menggedor pintunya?Terseok-seok Ana melangkah ke arah pintu, bahkan dia hanya menggunakan sebelah sandal hello kitty kesayangannya itu. "Aku akan mencekik siapapun orang yang seenaknya menggangguku kalau tidak penting." "Anaaa!" Pelukan erat itu hampir saja membuat Ana terjengkang kalau saja tangannya tidak sigap memegang daun pintu yang masih terbuka. "Mas Adam, apa-apaan, sih," sentaknya antara kaget juga kesal. Bukannya merasa bersalah laki-laki di depannya itu malah tertawa dengan riangnya. "Mas Adam mabuk ya," tuduh Ana. "Enak saja, ada berita gembira untukmu," katanya tak terpengaruh oleh sikap Ana tadi. Mendengar itu, Ana langsung duduk di samping Adam dan mengamati wajah managernya yang
Media cetak dan elektronik semuanya dihiasi oleh wajah Rafael dan Ana saat tertangkap basah kemarin malam, banyak para ahli dadakan yang menganalisa apa foto itu asli atau hanya sekedar rekayasa saja. Bukannya hanya itu akun media sosial Ana dan juga manajemen yang menaunginya banjir oleh komentar, terpaksa mereka harus menonaktifkan kolom komentar. Dalam semalam hancur sudah karier yang dia bangun dengan tetesan keringat dan air mata, Ana sangat berharap kalau ini hanya sebuah mimpi buruk yang akan segera berakhir saat ini melemparkan selimutnya dan terbangun. “Nyesel aku dulu mengidolakan dia ternyata dia pelakor, tapi nggak heran orang jaman sekarang melakukan segala cara untuk kaya lebih cepat, kabarnya laki-laki itu Direktur XAM, pasti duitnya banyak.” “Dasar murahan boikot saja filmnya.” “Mukanya polos tapi ternyata jalang juga.” “Kukira berbakat, ternyata....”“Tutup Laptopnya tidak perlu melihat komentar yang akan membuatmu semakin terjatuh.” Sang manajer berkata dengan
Ana menatap sang manajer dengan dada berdebar, perbuatannya malam itu akan berakibat sangat buruk pada perjalanan karirnya, kerja kerasnya akan musnah, Ana menggigil saat membayangkan semuanya akan hancur dan neneknya… wanita yang susah payah membesarkannya, akan sangat kecewa, belum lagi cemoohan para tetangga yang pastinya akan dengan senang hati menggunjingkannya. “Apa yang harus aku lakukan, Mas, aku tahu kesalahanku sangat fatal.”Sejenak Adam terdiam, bibir sang manajer memang tersenyum, tapi Ana bisa melihat tidak ada binar bahagia di wajah sang manajer, dan itu berarti satu hal… buruk. akan tetapi dalam keadaan seperti ini mereka memang harus memilih hal yang buruk untuk menghindari hal yang lebih buruk lagi. “Kamu harus menikah dengan Rafael, itu keputusan manajemen,” kata Adam lirih. “Mas Adam bercanda?” tanya Ana tak yakin dengan jawaban Adam. “Dia sudah beristri dan aku akan menjadi pelakor,” lanjutnya dengan nada yang sangat lemah di kata terakhir yang dia ucapkan.
Raffael ingin sekali menggigit lidahnya sendiri yang dengan lancang bicara seperti itu.Dia bukan jenis orang yang begitu mudah mempermainkan pernikahan, apalagi tak ada cinta sama sekali untuk wanita di depannya itu, seluruh hatinya sudah terisi penuh dengan nama Bella istrinya yang cantik jelita itu. Hanya karena sebuah kecelakaan yang dilakukan dengan sengaja oleh wanita licik di depannya ini, Raffael melanggar semua prinsip hidup yang dipegangnya. “Saya mengerti, tapi ini solusi yang harus kita tempuh saat ini.” Raffael mendecih kesal dengan kata-kata sok bijak wanita di depannya ini. Baiklah kamu yang memulai kamu juga yang akan terima akibatnya, batin Raffael. Dia ingin mlihat sampai di mana wanita ini bisa bertahan. “Jika sudah tidak ada yang dibicarakan kamu tahu bukan di mana pintu keluar.” Ana mengangguk dan buru-buru berdiri dari duduknya, dengan anggun dia melangkah keluar ruangan Raffael. “Bagaimana?” tanya Adam yang memang sudah menunggunya di ruang tunggu. “Di
Ada yang retak di dalam hati Ana, terasa sangat sakit, meski tak ada darah yang keluar. Nyonya Sandra buru-buru memutus panggilan telepon dengan sang putra, dengan kikuk dia memasukkan kembali ponsel ke dalam tas tangan yang dibawanya, dia mengulum bibirnya dengan gugup. Dalam hati dia merutuki sikap Raffael yang bisa bicara sekasar itu. Oh Tuhan apa yang salah dengan putranya. Andai saja Raffael ada di dekatnya saat ini, pasti sudah dia remas mulutnya yang tanpa saringan itu. Di helanya napas panjang, sejenak dia memandang ke arah Ana, ada kekecewaan yang kentara sekali di mata gadis itu, meski dia yang terbiasa berakting dengan apik berusaha menyamarkan dengan sebuah senyuman kecil yang tersungging di bibirnya. “Maafkan Raffael, sayang, dia memang sangat menyebalkan kalau diinterupsi dalam bekerja,” kata sang ibu tak enak hati. “Bukan masalah, Ibu, saya tidak apa-apa, mungkin ibu bisa membantu saya untuk membelikan satu saja baju
Makan siang bersama itu membuat keduanya makin dekat, bahkan tanpa malu-malu lagi, calon itu mertuanya itu mengaku kalau dia adalah penggemar berat Ana, bahkan tak pernah ketinggalan mengikuti semua drama atau pun film yang Ana bintangi. “Jadi boleh ya ibu ikut denganmu ke lokasi syuting, ibu mau pamer pada teman-teman ibu, mendatangi tempat syuting artis idola.” Apa yang bisa Ana lakukan selain menganggukkan kepala. “Lebarkan lagi senyummu Ana… yak begitu bagus sekali, selesai sudah, kita bisa istirahat,” kata sang fotografer. Ana tersenyum dan menggumamkan terima kasih pada beberapa pihak yang membantunya. “Silahkan yang mau makan dan minum, oh ya ini juga ada kue untuk kalian semua, silahkan dinikmati, Ana ayo sini sayang,” kata sang ibu mertua yang sudah heboh sendiri menyiapkan makanan yang tadi dia pesan, entah dari restoran mana, Ana sendiri juga tak tahu, tiba-tiba saja ada mobil yang datang dan menurunkan berbagai macam ma
Kelakuan Ana makin membuat Raffael muak, apalagi Bella yang tadi sudah susah payah dia buat tersenyum kini kembali menangis dan terluka. Bella adalah belahan jiwanya sejak kecil mereka terbiasa untuk bersama dan saat para tetua menjodohkan mereka, langsung disambut dengan begitu antusias. gadis kecil yang dulu selalu ingin dilindunginya kini malah lebih sering terluka saat berada di sampingnya, dan Raffael sama sekali tak bisa menerima hal itu, siapapun yang membuat Bella menangis dan bersedih harus merasakan akibatnya. “Dia sengaja mendekati ibu,” gumam Bella di antara tangisnya. Raffael hanya bisa terdiam dengan amarah yang membakar dadanya. Bella menatap sang suami dengan sendu, Raffael tahu, Bella adalah korban sesungguhnya dari kelicikan wanita itu, dan sialnya dia tak bisa apa-apa untuk menentang kehendak ayahnya.“Jangan khawatir aku akan mengurusnya, kamu mandi saja dulu, aku akan memberinya peringatan keras.”
Raffael dan bella mengakhiri liburan mereka lebih awal, karena kekacauan yang disebabkan oleh foto itu. Raffael perlahan menghentikan mobilnya dan memperhatikan Bella yang duduk di kursi penumpang, dia terlihat sangat sedih, rasa bersalah langsung menyelimuti hatinya, juga kemarahan di saat yang hampir sama.Di sinilah sekarang mereka, di rumah orang tuanya, dia harus meminta penjelasan pada sang ibu. “Aku ingin bicara sebentar, bu.” Sang ibu yang sedang asyik menonton drama yang dibintangi oleh Ana, hanya menoleh sekilas. “Kalian datang, bicara saja.” Raffael menghela napas terlihat tak sabar dengan sikap tenang sang ibu. “Bisakah kita bicara di ruang yang lebih privat, mungkin di ruang kerja ayah.” Sang ibu mengangkat alis, dilihatnya kembali drama di televisi yang sedang seru-serunya, rasanya enggan untuk meninggalkannya, tapi ekspresi sang anak yang terlihat serius membuatnya harus mengalah. “Kenap
“Jangan cepat-cepat jalannya, asistenku sudah mengurus semuanya.” Sofi tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini, jika ada orang yang mengatakan hal ini satu tahun yang lalu Sofi pasti langsung mengatakan orang itu sedang mabuk. Operasi tangannya emang berhasil dengan baik, dia bisa bermain biola lagi dengan baik, beberapa event baik di dalam dan di luar negeri telah dia ikuti, seperti impiannya. Dan bagi Sofi itu sudah cukup, bahkan tidak ada penyesalan di hatinya saat tiga bulan yang lalu dia memutuskan pansiun dini dan hanya akan menerima permintaan bermain biola saat event itu tak jauh dari kediaman mereka. Dia memang memutuskan memberi kesempatan pada dirinya dan Romeo untuk bisa bersama. Laki-laki itu memang telah membuktikan ucapannya, perhatian yang Sofi inginkaan dari sang suami sekarang bukan hanya impian, bahkan Romeo sangat protektif padanya, apalagi sejak sebulan yang lalu Sofi dinyatakan hamil. Laki-laki itu bahkan mekad menyetir dari Bandung setelah syuti
“Kamu apa kabar?” Deg. Rasanya seperti mimpi mereka jalan berdua melintasi pematang sawah dan Romeo berbicara lembut padanya. Ingat ya lembut bukan kasar seperti biasanya dan tanpa senyum sinis yang menghiasi bibirnya. Ah mungkin karena Ara sudah menjelaskan semuanya dan hubungan mereka toh akan berakhir setelah dia menandatangani surat cerai itu. “Ehm ba.. baik.” Sofi merutuki dirinya sendiri kenapa harus gagap sih. Mereka kembali diam menyusuri pematang sawah sambil sesekali Sofi membantu Romeo yang hampir jatuh karena tak biasa berjalan di sawah, sebelum sampai ke rumah orang tua Sofi Romeo mencekap tangan sang istri lalu berkata. “Kita harus bicara.” Inilah saatnya. Sofi mengangguk. “Iya, tapi ibu sudah memanggil, makanlah dulu meski menunya mungkin tak sesuai seleramu.” Sejujurnya Sofi belum siap mendengar kata cerai dari mulut Romeo, dia sudah berusaha menguatkan hati sejak kembali ke rumah orang tuanya tapi saat berhadapan dengan Romeo langsung nyalinya menjadi ciut.
Sudah satu bulan Sofi tinggal di rumah orang tuanya. Kota kecil yang sebagian penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Dan Sofi merasa hidupnya lebih tentram dan damai meski rasa rindu pada sosok sang suami yang tak pernah mengharapkannya kian meninggi. Romeo sudah sadar dan sudah kembali beraktifitas. Dari mana Sofi tahu tentu saja mama mertunya yang setiap hari menghubunginya, dan mengatakan kabar Romeo pada Sofi, beliau bukannya tidak meminta Sofi untuk kembali tapi dengan halus Sofi menolak apalagi saat infoteiment mengabarkan kalau Ara sudah ditemukan dan beberapa kali Ara juga terlihat bersama Romeo. Sofi ikut bahagia jika mereka bersama, bukankah itu yang seharusnya terjadi, sejak awal dia hanya orang luar yang sama sekali tidak diharapkan kehadirannya, meski tak bisa dipungkiri hatinya begitu sakit. Dia hanya harus lebih menguatkan hati jika sewaktu-waktu menerima kiriman surat cerai dari Romeo. “Bagaimana persiapan penampilan anak-anak bu Sofi... b
Hal pertama yang dilihat Sofi saat membuka mata adalah semua putih dan bau tajam obat-obatan menusuk hidungnya. “Kamu sudah sadar, Nak?” Sofi menoleh dan mendapati mama Ara ada di sana, Sofi berusaha bangun tapi saat tak sengaja dia bertumpu pada tangannya dia mengernyit kesakitan. “Hati-hati tanganmu terluka parah.” Sofi ingat tusukan itu dan darah yang merembes keluar, begitu deras bercampur dengan ... darah Romeo. “Romeo bagaimana dia tante?” tanya Sofi begitu ingat kejadian malam itu, Romeo yang tak bergerak meski dia berteriak memanggil namanya. “Dia baik-baik saja kan?” “Tenanglah, dia sudah ditangani dokter, sekarang operasinya masih berlangsung,” kata wanita itu dengan senyum menenangkan. “Dimana?” Mama Ara langsung menggeleng dan menatap luka di tangan Sofi. Sofi mengikuti pandangan itu dan tangannya berdenyut begitu sakit sampai dia menyadari sesuatu... tapi sebelum dia bertanya pintu ruangan terbuka dan beberapa orang berpakaian dokter melangkah masuk. “Apa yang terj
Ternyata ke pesta bersama Romeo tak sehoror yang Sofi bayangkan. Paling tidak laki-laki itu memperlakukannya dengan baik meski Sofi tahu kalau itu hanya pencitraan saja. Yup tentu saja Romeo sang bintang yang tengah bersinar tidak akan sudi kalau nama baiknya akan tercemar lagi, apalagi perusahaan papanya juga pasti terkena dampaknya. “Jangan salah paham aku hanya tidak ingin nama baikku dan keluargaku hancur.” Tuhkan benar dugaan Sofi. Saat ini mereka memang sudah kembali berkendara meninggalkan pesta, dengan Romeo sendiri yang menyetir mobilnya, tanpa didampingi asisten atau bodyguard seperti b iasanya. Hal yang tadi sempat menjadi perdebatan dengan orang tua laki-laki itu di telepon. Sofi baru menyadari kalau menjadi orang kaya itu tidak selalu menyenangkan, bayangkan saja kalau hanya ingin pergi sebentar harus dikawal beberapa orang. Hah! “Aku tahu,” jawab Sofi sambil menunduk menatap kuku jarinya yang entah kenapa jadi lebih menarik. Tak dipungkiri ada sedikit rasa bahag
“Siapkan dirimu untuk menghadiri undangan ini besok.” Sofi menatap kertas undangan mewah yang dilemparkan Romeo padanya, dia baru saja mandi dan akan naik ke tempat tidur saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan sosok Romeo masuk tanpa perlu repot-repot mengetuk pintu atau mengucap salam. Untung saja aku tidak sedang ganti baju, batin Sofi. Status mereka memang suami istri tapi Sofi seperti masih berada di kamar kosnya yang dulu, serba tak peduli. “Apa aku harus ikut?” tanya Sofi nekad saar Romeo sudah membalikkan badannya, bukan apa-apa sih dia sangat mau memang untuk mendampingi laki-laki itu ke sebuah pesta, tapi masalahnya Romeo terlihat sangat membencinya, dan terlihat tak sudi bercakap-cakap dengannya bisa mati gaya dia datang terus dicuekin semua orang. “Mama yang minta,” kata Romeo seolah menjelaskan segalanya. “Apa beliau juga datang?” Mata Romeo langsung menyipit curiga membuat Sofi kesal. Segitunya dia hanya memastikan nanti ada orang yang dia kenal. “Aku tidak tah
“Kemasi semua barang-barangmu.” Mata Sofi langsung melebar saat mendengar perintah Romeo, dia hanya menatap laki-laki itu dengan pias. Apa lagi salahnya sekarang? Apa Romeo akan menceraikannya sekarang? Padahal baru saja dia berniat mengikuti saran mama mertuanya. “Kenapa? Apa Ara sudah kamu temukan?” tanya Sofi dengan dada bergemuruh kencang. “Bukan urusanmu.” Dan laki-laki itu langsung keluar kamar, Sofi terdiam ditempat benarkah ini akhir dari pernikahan mereka, dan sebentar lagi dia akan menyandang predikat janda. Sofi sudah memegang handle pintu, apa dia harus bercerita pada mama mertuanya? Tapi... Sofi menggeleng pelan, apa enaknya memiliki orang yang jelas-jelas tak mau kita miliki apalagi alasan pernikahan mereka sudah tidak ada lagi jika Ara sudah kembali. Dia bukan Ana yang mau saja menjadi istri kedua meski bukan keinginannya. Sofi menghela napas panjang dan membuka lemari pakaian, mengambil baju-bajunya yang beberapa hari lalu baru saja menjadi penghuni lemari ini d
“Dimana?” Mata Sofi membulat saar mendengar suara di ujung sana, tentu saja dia mengenali suara Romeo dengan baik, dia tadi sempat tak percaya nomer Romeo yang sudah lama dia simpan tiba-tiba menghubunginya. “Ehm.... ini siapa?” rasa marah membuat Sofi tidak ingin langsung menjawab. “Kamu tahu siapa aku,” kata orang diujung sana. Sofi menghela napas. “Baiklah aku matikan jika bukan hal penting.” Sofi menatap ponselnya, ada godaan untuk menonaktifkan ponselnya, tapi ada juga rasa penasaran kenapa laki-laki itu tiba-tiba mencarinya, apakah dia sedang ada masalah? Ah sial kenapa dia masih peduli padanya? Bukankah Romeo sama sekali tidak menginginkannya, bahkan laki-laki itu juga menghinanya padahal dia hanya berniat membantu. Tak lama ponselnya kembali berdering dan nomer yang sama kembali menghubungi, Sofi hanya menatap layar ponselnya, hatinya masih bimbang lalu meletakkan ponsel itu lagi, tak lama panggilan itu berhenti. Sofi menghela napas panjang dan merebahkan tubuhnya di r
Air mata Sofi menetes membasahi pipinya. Bukan hanya karena dagunya yang dicengkeram erat oleh Romeo tapi juga kata-kata kasar penuh hinaan dari laki-laki itu. Sampai kapan dia harus seperti ini. “Sudah aku bilang bukan jangan pedulikan aku, jangan pernah berharap menjadi istriku yang sebenarnya.” Setelah berkata begitu Romeo menyambar kemeja yang tadi malam dia pakai dan memakainya dengan cepat sebelum pergi dari kamar itu tak lupa membanting pintu kamar. Sofi langsung tersenyum begitu pintu kamar dibanting, meski air matanya menetes dengan deras. “Memangnya apa yang kamu harapkan, Sof. Menoleh padamu saja dia tidak sudi,” gumam Sofi.Dengan kasar Sofi mengusap air matanya, dia lalu beranjak dari atas ranjang. Sudah tak ada gunanya di sini. Orang yang ingin dia lindungi malah menuduhnya dengan keji. Sejenak Sofi menatap bayangan wajahnya di dalam cermin dan yang menatap balik di sana hanya wanita menyediihkan dengan mata bengkak dan dagu memerah juga rambut yang awut-awutan