“Saya kira bapak mempercepat bulan madu karena gosip itu, ternyata memang bapak dan Mbak Ana sama-sama sibuk.”
Raffael menoleh pada Aris, Asistennya sekaligus orang kepercayaannya.Pernikahannya dengan Bella memang hanya diketahui oleh pihak keluarga dan orang-orang yang bekerja di rumah keluarga mereka, orang-orang di sekitar mereka hanya tahu kalau Raffael dan Bella memang dekat sejak dulu, tapi hubungan mereka hanya sebatas sahabat baik dan bahkan cenderung seperti kakak adik, jadi meski Bella sering mengunjungi Raffael semua orang merasa itu hal yang biasa.Pernah memang orang-orang mengira kalau mereka ada hubungan asmara, tapi dengan tegas Raffael dan Bella membantahnya, yah tentu saja itu semua mereka lakukan atas permintaan Bella, wanita itu tak mau pamornya turun karena sudah terikat pernikahan.Kejadian Ana dan Raffael memang membuat petinggi manajeman Ana mengetahui pernikahan Bella dan Raffael, tapi dengan kekuRaffael memang melarang Adam untuk masuk ke dalam rumahnya, dia tak mau laki-laki itu mengetahui semuanya, dan membuat rumit keadaan. “Mas Adam terlihat bahagia?” tanya Ana yang langsung masuk ke dalam mobil setelah menaruh barang-barangnya di jok belakang. “Lihat, kamu semakin bersinar, kalau begini terus tahun depan kamu sudah bisa beli pulau pribadi,” goda Adam. “Wow, kupikir mereka hanya iseng saat menawariku peran utama tadi malam.” “No... no... buktinya mereka menghubungiku jadi ini bukan iseng, ini rejeki namanya.” Keduanya tertawa bahagia, seolah tak ada beban. “Jadi setelah pemotretan aku harus casting ke sana.” “Yup, benar sekali tuan putri.” Ternyata bukan hanya satu casting yang harus di datangi Ana, ada dua buah film dna drama menginginkannya sebagai pemeran utama. Ini seperti mimpi, tawaran pekerjaan yang datang padanya tentu saja akan
“Sialan! Apa hebatnya perempuan itu, dia bahkan tak becus untuk berakting!” Sita hanya meringis ngeri menerima lemparan ponsel itu, dia sudah bekerja selama lima tahun pada Bella sebagai manager pribadi sekaligus asisten yang mengurusi semua kebutuhannya sebagai artis, tentunya sikapnya yang temperamen dan meledak-ledak, ini sudah sangat sering dia saksiakan, meski dulu dia sangat ketakutan dan hampir saja mengundurkan diri, tapi iming-iming gaji yang sangat tinggi yang diberikan padanya membuat Sita tetap bertahan. “Saya keluar dulu!” “Kamu Sialan hanya bisa melarikan diri, kapan kamu becus untuk bekerja!” Sita memilih diam dan menulikan telinganya, dia lalu beranjak pergi dan menutup pintu kamar Bella, tak dipedulikannya Bella yang masih saja berteriak-teriak tak jelas. Suara barang pecah memenuhi ruangan itu, Bella memporak-porandakan isi kamar yang dia tempati, lpecahan kaca dan juga kursi dan meja tergul
“Tentu saja,,” kata Bella terlalu bersemangat, tapi untunglah dia segera sadar. “Maksudku, kamu tahu bukan kalau aku sangat menyukai ceritanya, akan sangat menyenangkan kalau aku bisa berperan sebagai tokoh utamanya.” “Baiklah, menurutku memang hanya kamu yang pantas mendapatkan peran itu, aku akan bicara dengan sutradaranya.” “Terima kasih, Raf, aku sungguh mencintaimu.” Bella menutup ponselnya dengan senyum lebar, dia tahu bagaimana kekutan yang dimiliki suaminya itu, jika Raffael sudah bilang begitu, artinya dia akan mendapatkannya dan bisa dipastikan Raffael akan membatalkan semua kontrak kerja Ana. Bella tersenyum sinis, dia tak sabar untuk melihat kehancuran Ana, selama ini Ana adalah rival yang sulit untuk dia taklukkan, dan itu membuatnya benci pada perempuan itu. Siang pun berganti malam, Ana berjalan mondar-mandir dengan tidak sabar, dia juga sudah memasak dan menyiapkan makan malam untuknya dan jug
Ana merasa dia pasti sedang tidur dan saat ini sedang bermimpi buruk, ya sangat buruk sampai dia ingin cepat-cepat bangun dan mencuci muka supaya mimpi ini cepat hilang dari ingatannya dan tak pernah menjadi kenyataan. Tapi teriakan khawatir Adam di ujung sana membuatnya sadar, ini bukan mimpi. “Mas Adam bercandanya nggak lucu tahu, Aku tahu Mas Adam pasti masih tak percaya dengan keberuntungan kita,” kata Ana mencoba mengelak, meyakinkan hatinya bahwa semuanya baik-baik saja, meski hati kecilnya sudah sangat khawatir. Terdengar hembusan napas berat di seberang sana. “Aku tidak sedang bercanda Ana, aku juga sangat kecewa dengan ini semua.” “Tapi kenapa, Mas, bukankah kemarin mereka juga memuji aktingku sangat baik dan hari ini kita akan menandatangani kontrak?” “Karena kamu harus istirahat dan tidak boleh terlalu lelah,” jawab Adam lemah. “Eh? Apa maksudnya dengan ini, aku tidak sedang sakit parah.”
Ana memang baik, tapi bagaimanapun posisinya di rumah ini adalah sebagai istri Raffael, tidak pantas rasanya kalau dia yang mengantar kopi untuk satpam. “Sudah, Bi, saya sedang nganggur dari pada bengong, bibi juga tak mau saya bantuin tadi,” kata Ana pura-pura cemberut. Akhirnya bibi mengalah dan memberikan nampan di tangannya pada Ana. “Eh, kok Mbak Ana yang membawa kemari,” kata satpam agak sungkan. “Nggk papa, Pak, bibi sedang sibuk di dapur.” Sang satpam terlihat tak enak hati, dia lalu mengambil nampan di tangan Ana dan mengucapkan terima kasih, saat itulah mata Ana menangkap sebuah kejanggalan. “Jam tangan bapak bagus,” kata Ana ringan. “Oh, ini saya tadi lihat Tuan mau membuang jam tangan, saat saya mau buang sampah, saat saya tanya jam tangannya apa rusak, dia hanya bilang tak suka modelnya, padahal ini bagus sekali, tapi mungkin selera saya dan tuan berbeda, eh, maaf M
Ana memang sudah lama tahu dengan istilah sudah jatuh tertimpa tangga, tapi dia tidak tahu kalau hari ini dia akan mengalami itu semua. Bukan dalam artinya nyata memang, karena dia memang tidak tertimpa tangga, tapi tetap saja dia terjatuh, jatuh terpuruk dengan pembatalan kontrak yang tiba-tiba lalu tangga yang diharapkan dapat menolongnya untuk naik ke atas malah menimpanya, yah jam tangan itu, hal yang sukses membuat Ana bersedih hati. “Kamu baik-baik saja, Ana?” tanya Adam saat mereka sudah duduk di dalam sebuah cafe yang cozy, Adam sengaja memilih cafe ini karena suasananya yang nyaman juga full musik, dia berharap Ana sedikit bisa melupakan rasa sedihnya. “Tentu,” sahut Ana datar, tapi Adam yang memang sangat mengenal karakter Ana memandang wanita di depannya dengan kening berkerut, Ana terpaksa mengangkat sudut bibirnya semoga dengan begitu dia jadi lebih tampak manis dan meyakinkan di mata Adam. Sebenarnya Ana ingi
“Jangan menangis karena kontrak itu, setelah ini aku yakin akan banyak lagi tawaran yang lain, sebaiknya sekarang kamu konsentrasi saja supaya bisa cepat hamil, kita bisa mengambil beberapa job yang tidak membuatmu lelah.” Andai saja masalahnya semudah itu. “Aku tidak menangis.” Entah mengapa malah kalimat itu yang muncul di otaknya. “Benarkah? Matamu terlihat bengkak dan hidungmu memerah, apa itu bukan tanda orang yang habis menangis semalam penuh,” kata Adam sedikit mengejek Ana yang tak juga mau mengaku. “Ternyata aku tak pandai bermake up,” kata Ana dengan sedih. “Karena kamu memang tidak membutuhkannya, kamu sudah cantik alami, bahkan para MUA itu bilang tak perlu banyak memoleskan make up ke wajahmu, make up fungsinya bukan menutupi tangis, tapi cobalah jangan bersedih, kamu wanita yang kuat.” “Apa menurut Mas Adam aku wanita lemah dan cengeng?” tanya AnaAdam terdiam, dia terlihat berpik
“Kamu sangat berbakat, lihatlah orang-orang bahkan terpukau dengan penampilanmu.” Kata-kata Adam itu terus terngiang di kepala Ana, Managernya itu memang paling bisa untuk membangkitkan semangatnya kembali, moodnya yang tadi pagi anjlok bahkan sampai ke dasar sekarang sudah lebih baik, bahkan dia sudah kembali optimis kalau dia akan mendapatkan kontrak kerja yang lain. “Selamat malam, Mbak,” sapa satpam yang membukakan pintu untuk Ana. Adam memang sengaja tidak masuk, entah kenapa Ana juga tak tahu, tapi terlihat jelas kalau Adam sangat tidak menyukai Raffael. “Malam, Pak,” jawab Ana, matanya sedikit melirik pada jam tangan mahal yang masih dikenakan satpam itu,Masih ada sesak di hatinya, tapi Ana mencoba menyikapi dengan biasa saja, tidak mungkin bukan dia meminta jam itu kembali, Satpam itu sama sekali tidak bersalah, dan mungkin dia juga tak tahu kalau jam mahal itu adalah pemberian darinya.