Ana merasa dia pasti sedang tidur dan saat ini sedang bermimpi buruk, ya sangat buruk sampai dia ingin cepat-cepat bangun dan mencuci muka supaya mimpi ini cepat hilang dari ingatannya dan tak pernah menjadi kenyataan. Tapi teriakan khawatir Adam di ujung sana membuatnya sadar, ini bukan mimpi.
“Mas Adam bercandanya nggak lucu tahu, Aku tahu Mas Adam pasti masih tak percaya dengan keberuntungan kita,” kata Ana mencoba mengelak, meyakinkan hatinya bahwa semuanya baik-baik saja, meski hati kecilnya sudah sangat khawatir.Terdengar hembusan napas berat di seberang sana. “Aku tidak sedang bercanda Ana, aku juga sangat kecewa dengan ini semua.”“Tapi kenapa, Mas, bukankah kemarin mereka juga memuji aktingku sangat baik dan hari ini kita akan menandatangani kontrak?”“Karena kamu harus istirahat dan tidak boleh terlalu lelah,” jawab Adam lemah.“Eh? Apa maksudnya dengan ini, aku tidak sedang sakit parah.”Ana memang baik, tapi bagaimanapun posisinya di rumah ini adalah sebagai istri Raffael, tidak pantas rasanya kalau dia yang mengantar kopi untuk satpam. “Sudah, Bi, saya sedang nganggur dari pada bengong, bibi juga tak mau saya bantuin tadi,” kata Ana pura-pura cemberut. Akhirnya bibi mengalah dan memberikan nampan di tangannya pada Ana. “Eh, kok Mbak Ana yang membawa kemari,” kata satpam agak sungkan. “Nggk papa, Pak, bibi sedang sibuk di dapur.” Sang satpam terlihat tak enak hati, dia lalu mengambil nampan di tangan Ana dan mengucapkan terima kasih, saat itulah mata Ana menangkap sebuah kejanggalan. “Jam tangan bapak bagus,” kata Ana ringan. “Oh, ini saya tadi lihat Tuan mau membuang jam tangan, saat saya mau buang sampah, saat saya tanya jam tangannya apa rusak, dia hanya bilang tak suka modelnya, padahal ini bagus sekali, tapi mungkin selera saya dan tuan berbeda, eh, maaf M
Ana memang sudah lama tahu dengan istilah sudah jatuh tertimpa tangga, tapi dia tidak tahu kalau hari ini dia akan mengalami itu semua. Bukan dalam artinya nyata memang, karena dia memang tidak tertimpa tangga, tapi tetap saja dia terjatuh, jatuh terpuruk dengan pembatalan kontrak yang tiba-tiba lalu tangga yang diharapkan dapat menolongnya untuk naik ke atas malah menimpanya, yah jam tangan itu, hal yang sukses membuat Ana bersedih hati. “Kamu baik-baik saja, Ana?” tanya Adam saat mereka sudah duduk di dalam sebuah cafe yang cozy, Adam sengaja memilih cafe ini karena suasananya yang nyaman juga full musik, dia berharap Ana sedikit bisa melupakan rasa sedihnya. “Tentu,” sahut Ana datar, tapi Adam yang memang sangat mengenal karakter Ana memandang wanita di depannya dengan kening berkerut, Ana terpaksa mengangkat sudut bibirnya semoga dengan begitu dia jadi lebih tampak manis dan meyakinkan di mata Adam. Sebenarnya Ana ingi
“Jangan menangis karena kontrak itu, setelah ini aku yakin akan banyak lagi tawaran yang lain, sebaiknya sekarang kamu konsentrasi saja supaya bisa cepat hamil, kita bisa mengambil beberapa job yang tidak membuatmu lelah.” Andai saja masalahnya semudah itu. “Aku tidak menangis.” Entah mengapa malah kalimat itu yang muncul di otaknya. “Benarkah? Matamu terlihat bengkak dan hidungmu memerah, apa itu bukan tanda orang yang habis menangis semalam penuh,” kata Adam sedikit mengejek Ana yang tak juga mau mengaku. “Ternyata aku tak pandai bermake up,” kata Ana dengan sedih. “Karena kamu memang tidak membutuhkannya, kamu sudah cantik alami, bahkan para MUA itu bilang tak perlu banyak memoleskan make up ke wajahmu, make up fungsinya bukan menutupi tangis, tapi cobalah jangan bersedih, kamu wanita yang kuat.” “Apa menurut Mas Adam aku wanita lemah dan cengeng?” tanya AnaAdam terdiam, dia terlihat berpik
“Kamu sangat berbakat, lihatlah orang-orang bahkan terpukau dengan penampilanmu.” Kata-kata Adam itu terus terngiang di kepala Ana, Managernya itu memang paling bisa untuk membangkitkan semangatnya kembali, moodnya yang tadi pagi anjlok bahkan sampai ke dasar sekarang sudah lebih baik, bahkan dia sudah kembali optimis kalau dia akan mendapatkan kontrak kerja yang lain. “Selamat malam, Mbak,” sapa satpam yang membukakan pintu untuk Ana. Adam memang sengaja tidak masuk, entah kenapa Ana juga tak tahu, tapi terlihat jelas kalau Adam sangat tidak menyukai Raffael. “Malam, Pak,” jawab Ana, matanya sedikit melirik pada jam tangan mahal yang masih dikenakan satpam itu,Masih ada sesak di hatinya, tapi Ana mencoba menyikapi dengan biasa saja, tidak mungkin bukan dia meminta jam itu kembali, Satpam itu sama sekali tidak bersalah, dan mungkin dia juga tak tahu kalau jam mahal itu adalah pemberian darinya.
Raffael tidak perlu menjadi jenius untuk tahu kalau Manager Ana, memandang Ana bukan hanya sebagai manager saja, dia laki-laki dan tentu sedikit banyak tahu apa yang dirasakan laki-laki lain, entah Ana tahu atau malah pura-pura tak tahu. Sebagai suami meski dia tak pernah menginginkan Ana dalam hidupnya dia tetap saja tak terima miliknya bersama orang lain. Tanpa memperdulikan perkataan Ana lagi, Raffael masuk ke dalam ruang kerjanya.“Mbak Ana baik-baik saja?” tanya bibi yang terlihat begitu khawatir pada Ana, mungkin dia juga mendengar pertengkarannya dengan Raffael tadi. “Saya baik-baik saja, Bi, jangan khawatir,” jawabnya lembut. “Tuan dari tadi mengkhawatirkan Mbak Ana, sejak pulang kerja tak tahu kalau Mbak Ana pergi dan tidak mau makan sejak pagi tuan menghubungi semua orang untuk mencari Mbak Ana.” Raffael? Khawatir? Kenapa Ana sedikit tidak percaya ya? Meski cintanya cukup besar untuk R
Ana sering bermimpi suatu saat dia akan menikah dengan laki-laki yang mencintainya dan memperlakukannya dengan lemah lembut, seperti ayah dalam ingatannya yang telah samar. Mencintai dan dicintai, kata itu terdengar sangat indah, sangat beruntung orang yang menjalin hubungan karena cinta yang saling bersambut, tapi bagi Ana cinta suami adalah sebuah kemustahilan, apalagi dengan kesalahpahaman yang membuat jurang di antara mereka semakin dalam, dan tak mungkin lagi ada jembatan untuk menyebrang. “Kenapa? Bukankah kamu sudah sering menggoda laki-laki, tidak usah sok suci seperti itu, aku tidak akan tertipu,” kata Raffael sinis.Ana hanya diam terpaku, desiran pendingin ruangan yang memenuhi ruangan itu bahkan tak lagi bisa memberikannya kesejukan. Raffael melangkah mendekati Ana, seperti hewan buas yang siap mencabik-cabik mangsanya, tanpa sadar Ana memundurkan langkahnya, berharap kalau Raffael berbelas kasihan padanya.
Itu memang keinginanku. “Kamu tahu aku menyayangimu.” “Oh tentu saja, Mas aku juga menyayangi, kamu seperti malaikat pelindung untukku.” Adam menghela napas pasrah. “Karena itu tolong bantu aku dengan menjaga dirimu sendiri dengan baik, malaikat pelindungmu ini tak pernah selalu ada di dekatmu.” “Baik kapten akan dilaksanakan.” “An, aku serius, lakukanlah hal-hal yang kamu suka dan bisa membuatmu bahagia.” Ana tertegun suara Adam terdengar sangat tulus dan serius, setidaknya ada satu orang yang tulus menyayangi selain nenek. Seperti biasa pagi hari Ana akan turun membantu bibi di dapur, kegiatan rutin yang selalu dia lakukan sejak menginjakkan kaki di rumah ini dan dia juga sangat menyukainya. Langkah kaki Ana berhenti pada sofa ruang tengah, Raffael duduk di sana, masih menggunakan bajunya yang tadi malam dan sibuk dengan tablet di tangannya. Kenapa tidak bekerja
Raffael tidak bisa begini terus, dia tidak ingin terpengaruh oleh kehadiran Ana, dibutuh Bella istri yang sangat dia cintai. Pagi harinya, Raffael melajukan mobil seperti orang gila, dia harus menemui Bella, persetan dengan orang tuanya, dia hanya menemui istrinya, bukan sedang berselingkuh. Sejak dua hari yang lalu ponsel Bella memang tak bisa dihubungi ratusan pesan dan puluhan panggilan dia kirimkan, tapi tidak ada satu jawaban pun yang datang, terpaksa Raffael menghubungi asisten Bella. Wanita itu bilang kalau Bella sedang sangat sibuk dengan film terbarunya, tapi syukurlah hari ini istrinya itu tidak memiliki jadwal syuting, jadi dia akan mempergunakan kesempatan ini untuk mengunjungi Bella. “Selamat pagi, Pak?” sapa satpam yang sedang berjaga ramah. Raffael memang memiliki beberapa unit apartemen di sini, dan pernah beberapa kali tidur di sini, jadi wajahnya cukup familiar di mata satpam sekali pun, apa