“Kamu sangat berbakat, lihatlah orang-orang bahkan terpukau dengan penampilanmu.”
Kata-kata Adam itu terus terngiang di kepala Ana, Managernya itu memang paling bisa untuk membangkitkan semangatnya kembali, moodnya yang tadi pagi anjlok bahkan sampai ke dasar sekarang sudah lebih baik, bahkan dia sudah kembali optimis kalau dia akan mendapatkan kontrak kerja yang lain.“Selamat malam, Mbak,” sapa satpam yang membukakan pintu untuk Ana.Adam memang sengaja tidak masuk, entah kenapa Ana juga tak tahu, tapi terlihat jelas kalau Adam sangat tidak menyukai Raffael.“Malam, Pak,” jawab Ana, matanya sedikit melirik pada jam tangan mahal yang masih dikenakan satpam itu,Masih ada sesak di hatinya, tapi Ana mencoba menyikapi dengan biasa saja, tidak mungkin bukan dia meminta jam itu kembali, Satpam itu sama sekali tidak bersalah, dan mungkin dia juga tak tahu kalau jam mahal itu adalah pemberian darinya.Raffael tidak perlu menjadi jenius untuk tahu kalau Manager Ana, memandang Ana bukan hanya sebagai manager saja, dia laki-laki dan tentu sedikit banyak tahu apa yang dirasakan laki-laki lain, entah Ana tahu atau malah pura-pura tak tahu. Sebagai suami meski dia tak pernah menginginkan Ana dalam hidupnya dia tetap saja tak terima miliknya bersama orang lain. Tanpa memperdulikan perkataan Ana lagi, Raffael masuk ke dalam ruang kerjanya.“Mbak Ana baik-baik saja?” tanya bibi yang terlihat begitu khawatir pada Ana, mungkin dia juga mendengar pertengkarannya dengan Raffael tadi. “Saya baik-baik saja, Bi, jangan khawatir,” jawabnya lembut. “Tuan dari tadi mengkhawatirkan Mbak Ana, sejak pulang kerja tak tahu kalau Mbak Ana pergi dan tidak mau makan sejak pagi tuan menghubungi semua orang untuk mencari Mbak Ana.” Raffael? Khawatir? Kenapa Ana sedikit tidak percaya ya? Meski cintanya cukup besar untuk R
Ana sering bermimpi suatu saat dia akan menikah dengan laki-laki yang mencintainya dan memperlakukannya dengan lemah lembut, seperti ayah dalam ingatannya yang telah samar. Mencintai dan dicintai, kata itu terdengar sangat indah, sangat beruntung orang yang menjalin hubungan karena cinta yang saling bersambut, tapi bagi Ana cinta suami adalah sebuah kemustahilan, apalagi dengan kesalahpahaman yang membuat jurang di antara mereka semakin dalam, dan tak mungkin lagi ada jembatan untuk menyebrang. “Kenapa? Bukankah kamu sudah sering menggoda laki-laki, tidak usah sok suci seperti itu, aku tidak akan tertipu,” kata Raffael sinis.Ana hanya diam terpaku, desiran pendingin ruangan yang memenuhi ruangan itu bahkan tak lagi bisa memberikannya kesejukan. Raffael melangkah mendekati Ana, seperti hewan buas yang siap mencabik-cabik mangsanya, tanpa sadar Ana memundurkan langkahnya, berharap kalau Raffael berbelas kasihan padanya.
Itu memang keinginanku. “Kamu tahu aku menyayangimu.” “Oh tentu saja, Mas aku juga menyayangi, kamu seperti malaikat pelindung untukku.” Adam menghela napas pasrah. “Karena itu tolong bantu aku dengan menjaga dirimu sendiri dengan baik, malaikat pelindungmu ini tak pernah selalu ada di dekatmu.” “Baik kapten akan dilaksanakan.” “An, aku serius, lakukanlah hal-hal yang kamu suka dan bisa membuatmu bahagia.” Ana tertegun suara Adam terdengar sangat tulus dan serius, setidaknya ada satu orang yang tulus menyayangi selain nenek. Seperti biasa pagi hari Ana akan turun membantu bibi di dapur, kegiatan rutin yang selalu dia lakukan sejak menginjakkan kaki di rumah ini dan dia juga sangat menyukainya. Langkah kaki Ana berhenti pada sofa ruang tengah, Raffael duduk di sana, masih menggunakan bajunya yang tadi malam dan sibuk dengan tablet di tangannya. Kenapa tidak bekerja
Raffael tidak bisa begini terus, dia tidak ingin terpengaruh oleh kehadiran Ana, dibutuh Bella istri yang sangat dia cintai. Pagi harinya, Raffael melajukan mobil seperti orang gila, dia harus menemui Bella, persetan dengan orang tuanya, dia hanya menemui istrinya, bukan sedang berselingkuh. Sejak dua hari yang lalu ponsel Bella memang tak bisa dihubungi ratusan pesan dan puluhan panggilan dia kirimkan, tapi tidak ada satu jawaban pun yang datang, terpaksa Raffael menghubungi asisten Bella. Wanita itu bilang kalau Bella sedang sangat sibuk dengan film terbarunya, tapi syukurlah hari ini istrinya itu tidak memiliki jadwal syuting, jadi dia akan mempergunakan kesempatan ini untuk mengunjungi Bella. “Selamat pagi, Pak?” sapa satpam yang sedang berjaga ramah. Raffael memang memiliki beberapa unit apartemen di sini, dan pernah beberapa kali tidur di sini, jadi wajahnya cukup familiar di mata satpam sekali pun, apa
Raffael diam, dia masih saja menunduk, tak juga bersuara membiarkan papa Bella menumpahkan kemarahannya, pernikahannya dengan Ana kemarin memang tidak bicara langsung dengan mertuanya, tapi melalui Bella. Istrinya itu sangat khawatir jika dia akan kena marah sang papa, jadi Bella perlu merayu papanya dulu dan menjelaskan semuanya, supaya orang tuanya bisa mengerti. Raffael merasa sangat bersalah pada Bella, dia sudah banyak berkorban untuknya, dia berjanji akan berusaha sekuat tenaga untuk melindungi Bella dan membahagiakannya, bahkan dia akan siap pasang badan jika orang tuanya menentang. “Saya benar-benar minta maaf, Pa, ini juga bukan kemauan saya, saya sangat mencintai Bella dan saya berjanji akan menceraikan Ana begitu dia sudah bisa memberi saya anak,” kata Raffael setelah lama dia terdiam. Sang papa menyipitkan matanya, posisi mereka yang belum beranjak dari depan pintu rumah membuat Raffael terlihat bagai pesakitan
Raffael tak pulang semalam, itu yang dikatakan bibi saat dia membantunya untuk membuat sarapan pagi tadi. Sungguh memalukan memang, dia harus tahu kabar tentang suaminya dari pembantu rumah tangganya, tapi kondisi rumah tangganya memang sangat tidak biasa. Tadi malam dia memilih menyerah dan masuk kamarnya saat jam dinding sudah menunjukkan angka dua belas malam, tanpa memakan hasil masakan yang telah dia buat dengan susah payah tadi, Ana memasukkan semua makanan ke dalam kulkas, berharap Raffael mungkin saja akan pulang dalam keadaan kelaparan, meski kemungkina itu sangat kecil. “Bersemangatlah, aku akan menjemputmu sebentar lagi, ada beberapa casting yang bisa kamu ikuti.” Ana membaca pesan dari Adam yang masuk ke ponselnya itu.“Baik aku akan bersiap.” Dan terkirim. Ana tidak tahu casting macam apa yang dimaksud Adam, karenanya dia lebih memilih baju yang casual dan terlihat pantas untuk dipa
Ana termangu, bukankah ini sudah keterlaluan, Raffael terlalu ikut campur urusannya, bahkan perekrutan artis kali ini terbuka untuk siapa saja dan tak ada kerja sama dengan agensi milik Raffael atau siapapun. “Mungkin terjadi kesalahpahaman, aku akan bicara dengannya.” “Aku mengerti, tapi kalau Raffael tak mengijinkan kami juga tidak berani memakaimu, kamu tahu sendiri suamimu bisa melakukan apa saja, saranku rayu saja suamimu jika kamu benar-benar menginginkan peran ini,” kata sutradara sambil tersenyum. “Baiklah terima kasih untuk kesempatannya.” Ana mengusap peluh yang menetes di pelipisnya, sejak pagi dia sudah bekerja keras untuk bisa mendapatkan peran ini, tapi dengan mudahnya Raffael menggagalkannya. “Jangan sedih, aku masih punya beberapa tempat lagi, kita coba di sana.” Ana menggeleng dengan putus asa, dia hanya menatap kosong pada jalanan di depannya, mereka memang sekarang sedang dal
“Wow Mbak Ana!” Seruan itu langsung terdengar saat Ana menginjakkan kakinya di geduang XAM, seorang resepsionis yang dihampirinya langsung menjerit heboh, tak hanya iu, gadis cantik yang Ana perkirakan masih berusia di bawahnya itu langsung keluar dari mejanya dan menghampiri Ana. “Halo apa kabar?’ sapa Ana dengan ramah. Hatinya boleh saja sedang marah dan kecewa, tapi dia seorang artis, yang harus menjaga imagenya di hadapan semua orang. Orang tak akan peduli dia sedang marah, sedih ataupun senang bagi mereka tetap harus tersenyum ramah. Sejak kecil hidup Ana tak pernah mudah, harus kehilangan orang tuanya sejak kecil, lalu hidup dalam pengasuhan sang nenek dalam kondisi yang serba kekurangan membuat Ana selalu berusaha keras untuk membuat hidupnya lebih baik, dan saat Adam datang memintanya untuk casting dan menjadi bintang iklan, itu seperti membuka pintu keberuntungan untuk Ana. Perlahan tapi pasti denga
“Jangan cepat-cepat jalannya, asistenku sudah mengurus semuanya.” Sofi tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini, jika ada orang yang mengatakan hal ini satu tahun yang lalu Sofi pasti langsung mengatakan orang itu sedang mabuk. Operasi tangannya emang berhasil dengan baik, dia bisa bermain biola lagi dengan baik, beberapa event baik di dalam dan di luar negeri telah dia ikuti, seperti impiannya. Dan bagi Sofi itu sudah cukup, bahkan tidak ada penyesalan di hatinya saat tiga bulan yang lalu dia memutuskan pansiun dini dan hanya akan menerima permintaan bermain biola saat event itu tak jauh dari kediaman mereka. Dia memang memutuskan memberi kesempatan pada dirinya dan Romeo untuk bisa bersama. Laki-laki itu memang telah membuktikan ucapannya, perhatian yang Sofi inginkaan dari sang suami sekarang bukan hanya impian, bahkan Romeo sangat protektif padanya, apalagi sejak sebulan yang lalu Sofi dinyatakan hamil. Laki-laki itu bahkan mekad menyetir dari Bandung setelah syuti
“Kamu apa kabar?” Deg. Rasanya seperti mimpi mereka jalan berdua melintasi pematang sawah dan Romeo berbicara lembut padanya. Ingat ya lembut bukan kasar seperti biasanya dan tanpa senyum sinis yang menghiasi bibirnya. Ah mungkin karena Ara sudah menjelaskan semuanya dan hubungan mereka toh akan berakhir setelah dia menandatangani surat cerai itu. “Ehm ba.. baik.” Sofi merutuki dirinya sendiri kenapa harus gagap sih. Mereka kembali diam menyusuri pematang sawah sambil sesekali Sofi membantu Romeo yang hampir jatuh karena tak biasa berjalan di sawah, sebelum sampai ke rumah orang tua Sofi Romeo mencekap tangan sang istri lalu berkata. “Kita harus bicara.” Inilah saatnya. Sofi mengangguk. “Iya, tapi ibu sudah memanggil, makanlah dulu meski menunya mungkin tak sesuai seleramu.” Sejujurnya Sofi belum siap mendengar kata cerai dari mulut Romeo, dia sudah berusaha menguatkan hati sejak kembali ke rumah orang tuanya tapi saat berhadapan dengan Romeo langsung nyalinya menjadi ciut.
Sudah satu bulan Sofi tinggal di rumah orang tuanya. Kota kecil yang sebagian penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Dan Sofi merasa hidupnya lebih tentram dan damai meski rasa rindu pada sosok sang suami yang tak pernah mengharapkannya kian meninggi. Romeo sudah sadar dan sudah kembali beraktifitas. Dari mana Sofi tahu tentu saja mama mertunya yang setiap hari menghubunginya, dan mengatakan kabar Romeo pada Sofi, beliau bukannya tidak meminta Sofi untuk kembali tapi dengan halus Sofi menolak apalagi saat infoteiment mengabarkan kalau Ara sudah ditemukan dan beberapa kali Ara juga terlihat bersama Romeo. Sofi ikut bahagia jika mereka bersama, bukankah itu yang seharusnya terjadi, sejak awal dia hanya orang luar yang sama sekali tidak diharapkan kehadirannya, meski tak bisa dipungkiri hatinya begitu sakit. Dia hanya harus lebih menguatkan hati jika sewaktu-waktu menerima kiriman surat cerai dari Romeo. “Bagaimana persiapan penampilan anak-anak bu Sofi... b
Hal pertama yang dilihat Sofi saat membuka mata adalah semua putih dan bau tajam obat-obatan menusuk hidungnya. “Kamu sudah sadar, Nak?” Sofi menoleh dan mendapati mama Ara ada di sana, Sofi berusaha bangun tapi saat tak sengaja dia bertumpu pada tangannya dia mengernyit kesakitan. “Hati-hati tanganmu terluka parah.” Sofi ingat tusukan itu dan darah yang merembes keluar, begitu deras bercampur dengan ... darah Romeo. “Romeo bagaimana dia tante?” tanya Sofi begitu ingat kejadian malam itu, Romeo yang tak bergerak meski dia berteriak memanggil namanya. “Dia baik-baik saja kan?” “Tenanglah, dia sudah ditangani dokter, sekarang operasinya masih berlangsung,” kata wanita itu dengan senyum menenangkan. “Dimana?” Mama Ara langsung menggeleng dan menatap luka di tangan Sofi. Sofi mengikuti pandangan itu dan tangannya berdenyut begitu sakit sampai dia menyadari sesuatu... tapi sebelum dia bertanya pintu ruangan terbuka dan beberapa orang berpakaian dokter melangkah masuk. “Apa yang terj
Ternyata ke pesta bersama Romeo tak sehoror yang Sofi bayangkan. Paling tidak laki-laki itu memperlakukannya dengan baik meski Sofi tahu kalau itu hanya pencitraan saja. Yup tentu saja Romeo sang bintang yang tengah bersinar tidak akan sudi kalau nama baiknya akan tercemar lagi, apalagi perusahaan papanya juga pasti terkena dampaknya. “Jangan salah paham aku hanya tidak ingin nama baikku dan keluargaku hancur.” Tuhkan benar dugaan Sofi. Saat ini mereka memang sudah kembali berkendara meninggalkan pesta, dengan Romeo sendiri yang menyetir mobilnya, tanpa didampingi asisten atau bodyguard seperti b iasanya. Hal yang tadi sempat menjadi perdebatan dengan orang tua laki-laki itu di telepon. Sofi baru menyadari kalau menjadi orang kaya itu tidak selalu menyenangkan, bayangkan saja kalau hanya ingin pergi sebentar harus dikawal beberapa orang. Hah! “Aku tahu,” jawab Sofi sambil menunduk menatap kuku jarinya yang entah kenapa jadi lebih menarik. Tak dipungkiri ada sedikit rasa bahag
“Siapkan dirimu untuk menghadiri undangan ini besok.” Sofi menatap kertas undangan mewah yang dilemparkan Romeo padanya, dia baru saja mandi dan akan naik ke tempat tidur saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan sosok Romeo masuk tanpa perlu repot-repot mengetuk pintu atau mengucap salam. Untung saja aku tidak sedang ganti baju, batin Sofi. Status mereka memang suami istri tapi Sofi seperti masih berada di kamar kosnya yang dulu, serba tak peduli. “Apa aku harus ikut?” tanya Sofi nekad saar Romeo sudah membalikkan badannya, bukan apa-apa sih dia sangat mau memang untuk mendampingi laki-laki itu ke sebuah pesta, tapi masalahnya Romeo terlihat sangat membencinya, dan terlihat tak sudi bercakap-cakap dengannya bisa mati gaya dia datang terus dicuekin semua orang. “Mama yang minta,” kata Romeo seolah menjelaskan segalanya. “Apa beliau juga datang?” Mata Romeo langsung menyipit curiga membuat Sofi kesal. Segitunya dia hanya memastikan nanti ada orang yang dia kenal. “Aku tidak tah
“Kemasi semua barang-barangmu.” Mata Sofi langsung melebar saat mendengar perintah Romeo, dia hanya menatap laki-laki itu dengan pias. Apa lagi salahnya sekarang? Apa Romeo akan menceraikannya sekarang? Padahal baru saja dia berniat mengikuti saran mama mertuanya. “Kenapa? Apa Ara sudah kamu temukan?” tanya Sofi dengan dada bergemuruh kencang. “Bukan urusanmu.” Dan laki-laki itu langsung keluar kamar, Sofi terdiam ditempat benarkah ini akhir dari pernikahan mereka, dan sebentar lagi dia akan menyandang predikat janda. Sofi sudah memegang handle pintu, apa dia harus bercerita pada mama mertuanya? Tapi... Sofi menggeleng pelan, apa enaknya memiliki orang yang jelas-jelas tak mau kita miliki apalagi alasan pernikahan mereka sudah tidak ada lagi jika Ara sudah kembali. Dia bukan Ana yang mau saja menjadi istri kedua meski bukan keinginannya. Sofi menghela napas panjang dan membuka lemari pakaian, mengambil baju-bajunya yang beberapa hari lalu baru saja menjadi penghuni lemari ini d
“Dimana?” Mata Sofi membulat saar mendengar suara di ujung sana, tentu saja dia mengenali suara Romeo dengan baik, dia tadi sempat tak percaya nomer Romeo yang sudah lama dia simpan tiba-tiba menghubunginya. “Ehm.... ini siapa?” rasa marah membuat Sofi tidak ingin langsung menjawab. “Kamu tahu siapa aku,” kata orang diujung sana. Sofi menghela napas. “Baiklah aku matikan jika bukan hal penting.” Sofi menatap ponselnya, ada godaan untuk menonaktifkan ponselnya, tapi ada juga rasa penasaran kenapa laki-laki itu tiba-tiba mencarinya, apakah dia sedang ada masalah? Ah sial kenapa dia masih peduli padanya? Bukankah Romeo sama sekali tidak menginginkannya, bahkan laki-laki itu juga menghinanya padahal dia hanya berniat membantu. Tak lama ponselnya kembali berdering dan nomer yang sama kembali menghubungi, Sofi hanya menatap layar ponselnya, hatinya masih bimbang lalu meletakkan ponsel itu lagi, tak lama panggilan itu berhenti. Sofi menghela napas panjang dan merebahkan tubuhnya di r
Air mata Sofi menetes membasahi pipinya. Bukan hanya karena dagunya yang dicengkeram erat oleh Romeo tapi juga kata-kata kasar penuh hinaan dari laki-laki itu. Sampai kapan dia harus seperti ini. “Sudah aku bilang bukan jangan pedulikan aku, jangan pernah berharap menjadi istriku yang sebenarnya.” Setelah berkata begitu Romeo menyambar kemeja yang tadi malam dia pakai dan memakainya dengan cepat sebelum pergi dari kamar itu tak lupa membanting pintu kamar. Sofi langsung tersenyum begitu pintu kamar dibanting, meski air matanya menetes dengan deras. “Memangnya apa yang kamu harapkan, Sof. Menoleh padamu saja dia tidak sudi,” gumam Sofi.Dengan kasar Sofi mengusap air matanya, dia lalu beranjak dari atas ranjang. Sudah tak ada gunanya di sini. Orang yang ingin dia lindungi malah menuduhnya dengan keji. Sejenak Sofi menatap bayangan wajahnya di dalam cermin dan yang menatap balik di sana hanya wanita menyediihkan dengan mata bengkak dan dagu memerah juga rambut yang awut-awutan