Raffael diam, dia masih saja menunduk, tak juga bersuara membiarkan papa Bella menumpahkan kemarahannya, pernikahannya dengan Ana kemarin memang tidak bicara langsung dengan mertuanya, tapi melalui Bella.
Istrinya itu sangat khawatir jika dia akan kena marah sang papa, jadi Bella perlu merayu papanya dulu dan menjelaskan semuanya, supaya orang tuanya bisa mengerti.Raffael merasa sangat bersalah pada Bella, dia sudah banyak berkorban untuknya, dia berjanji akan berusaha sekuat tenaga untuk melindungi Bella dan membahagiakannya, bahkan dia akan siap pasang badan jika orang tuanya menentang.“Saya benar-benar minta maaf, Pa, ini juga bukan kemauan saya, saya sangat mencintai Bella dan saya berjanji akan menceraikan Ana begitu dia sudah bisa memberi saya anak,” kata Raffael setelah lama dia terdiam.Sang papa menyipitkan matanya, posisi mereka yang belum beranjak dari depan pintu rumah membuat Raffael terlihat bagai pesakitanRaffael tak pulang semalam, itu yang dikatakan bibi saat dia membantunya untuk membuat sarapan pagi tadi. Sungguh memalukan memang, dia harus tahu kabar tentang suaminya dari pembantu rumah tangganya, tapi kondisi rumah tangganya memang sangat tidak biasa. Tadi malam dia memilih menyerah dan masuk kamarnya saat jam dinding sudah menunjukkan angka dua belas malam, tanpa memakan hasil masakan yang telah dia buat dengan susah payah tadi, Ana memasukkan semua makanan ke dalam kulkas, berharap Raffael mungkin saja akan pulang dalam keadaan kelaparan, meski kemungkina itu sangat kecil. “Bersemangatlah, aku akan menjemputmu sebentar lagi, ada beberapa casting yang bisa kamu ikuti.” Ana membaca pesan dari Adam yang masuk ke ponselnya itu.“Baik aku akan bersiap.” Dan terkirim. Ana tidak tahu casting macam apa yang dimaksud Adam, karenanya dia lebih memilih baju yang casual dan terlihat pantas untuk dipa
Ana termangu, bukankah ini sudah keterlaluan, Raffael terlalu ikut campur urusannya, bahkan perekrutan artis kali ini terbuka untuk siapa saja dan tak ada kerja sama dengan agensi milik Raffael atau siapapun. “Mungkin terjadi kesalahpahaman, aku akan bicara dengannya.” “Aku mengerti, tapi kalau Raffael tak mengijinkan kami juga tidak berani memakaimu, kamu tahu sendiri suamimu bisa melakukan apa saja, saranku rayu saja suamimu jika kamu benar-benar menginginkan peran ini,” kata sutradara sambil tersenyum. “Baiklah terima kasih untuk kesempatannya.” Ana mengusap peluh yang menetes di pelipisnya, sejak pagi dia sudah bekerja keras untuk bisa mendapatkan peran ini, tapi dengan mudahnya Raffael menggagalkannya. “Jangan sedih, aku masih punya beberapa tempat lagi, kita coba di sana.” Ana menggeleng dengan putus asa, dia hanya menatap kosong pada jalanan di depannya, mereka memang sekarang sedang dal
“Wow Mbak Ana!” Seruan itu langsung terdengar saat Ana menginjakkan kakinya di geduang XAM, seorang resepsionis yang dihampirinya langsung menjerit heboh, tak hanya iu, gadis cantik yang Ana perkirakan masih berusia di bawahnya itu langsung keluar dari mejanya dan menghampiri Ana. “Halo apa kabar?’ sapa Ana dengan ramah. Hatinya boleh saja sedang marah dan kecewa, tapi dia seorang artis, yang harus menjaga imagenya di hadapan semua orang. Orang tak akan peduli dia sedang marah, sedih ataupun senang bagi mereka tetap harus tersenyum ramah. Sejak kecil hidup Ana tak pernah mudah, harus kehilangan orang tuanya sejak kecil, lalu hidup dalam pengasuhan sang nenek dalam kondisi yang serba kekurangan membuat Ana selalu berusaha keras untuk membuat hidupnya lebih baik, dan saat Adam datang memintanya untuk casting dan menjadi bintang iklan, itu seperti membuka pintu keberuntungan untuk Ana. Perlahan tapi pasti denga
“Tentu saja, wanita yang istimewa perlakuannya harus istimewa juga,” kata Raffael sambil tersenyum hangat. “Wah ternyata bapak romantis juga, semoga suami saya nanti bisa sebaik dan seromantis bapak,” katanya lagi dengan perasaan berbunga-bunga. Haruskah Ana mengaminkan do’a itu? “Apa yang kamu lakukan di sini?” Raffael langsung memandang Ana dengan dingin saat pintu lift tertutup dan mereka hanya berdua saja. Ana menoleh, Raffael terlihat marah, tapi dia juga sangat marah pada Raffael, dia kemari bukan untuk mencari sensasi, atau untuk memperlihatkan hubungan mereka yang romantis dan baik-baik saja. Ana kemari karena kecewa pada Raffael. “Aku ingin bicara.” Raffael mengangkat alisnya, untuk sesaat dia terpana, biasanya di rumah, Ana adalah istri yang patuh dan hanya bisa terdiam dan menunduk jika Raffael menghinanya, wanita itu lebih memilih pergi dan tak membuat
Baik Raffael maupun Ana, menoleh dengan kaget dan mereka makin terkejut melihat siapa yang tengah berdiri di sana. Ana kira tadi Raffael sudah mengunci pintu dan berniat untuk tidak membiarkannya keluar, tapi nyatanya pintu itu bisa dibuka dengan sangat mudah.“Apa ini contoh pimpinan yang baik? Kamu tahu bisa siapa saja yang tadi masuk ke mari, bagaimana jika ini menjadi scandal.” Dua orang itu tanpa permisi duduk di sofa, membiarkan dua tersangka yang tertangkap basah. Berdiri menunduk dengan serba salah. “Maaf, Ayah, ini tidak seperti yang ayah kira.”Sang ayah mengernyitkan kening tak suka. “Apa kamu pikir kami buta, kalian memang suami istri, tapi di sini tempat bekerja, bukan untuk bermesraan.”“Maaf, Ayah, aku mengaku salah, lain kali kami tidak akan mengulanginya lagi,” kata Raffael. “Sudahlah, Ayah kita juga pernah muda, apalagi mereka juga pengantin baru, mungkin dengan
Ana langsung menatap sang ibu. “Tentu saja tidak, Bu,” katanya sedikit terlalu keras. “Ah maaf maksud saya, menjadi artis adalah impian saya sejak dulu, jadi tidak mungkin saya tinggalkan begitu saja.” “Tapi kamu tidak masalah bukan kalau nanti hamil, yah.... ibu hanya bertanya karena takut kamu seperti Bella yang lebih mengutamakan karirnya.” “Ibu, itu bukan salah Bella, wajar saja jika dia belum ingin memiliki anak, usianya masih muda.” “Jangan berteriak pada ibumu, Raf, kamu lupa siapa orang yang melahirkanmu,” tegur sang ayah terdengar sangat tidak suka. Raffael menyugar rambutnya kasar, dia tidak sadar telah membentak ibunya, tapi dia dia juga tak ingin ada orang yang menyalahkan Bella, dia sangat memahami karir Bella yang memang sedang ada di puncak dan juga istrinya itu memang berbakat. “Maafkan aku ibu, aku tidak bermaksud kurang ajar, hanya saja aku tidak suka hal itu diungkit, Bella punya mimpi un
Ana berdiri mematung di tempatnya, dia sama sekali tak menyangka, Raffael, laki-laki pertama yang telah mencuri hatinya dan juga pahlawan untuknya, bisa mengatakan hal seperti itu. Apa itu hanya gertakan saja? ataukah memang Raffael terbiasa melakukan hal itu? Oh.. Astaga betapa sakit hati Ana, bukan karena kata-kata Raffael, tapi lebih kepada kecewa, karena hatinya yang tetap saja menginginkan laki-laki itu bahkan setelah tindakan kasar yang dia lakukan. Pernikahannya memang bukan pernikahan impian bagi siapapun, menjadi istri kedua karena ingin menyelamatkan karir dan kehidupannya tidak ada dalam angan Ana selama ini, tapi dia berusaha menerima takdirnya dengan ikhlas, apalagi karena sebelumnya Raffael memintanya untuk mengandung anaknya, Ana pikir ini adalah jalan Tuhan untuk menyatukan mereka. Sebagai istri kedua Ana sadar diri, dia bukanlah wanita yang dicinta, jadi dia juga tak terlalu berharap diperlakukan seperti p
Ana memejamkan matanya dari semua orang yang ada di dunia ini kenapa harus saat ini dia bertemu dengan istri pertama suaminya ini. Kata-kata Bella yang tajam memang sudah menjadi makanannya setiap hari, tapi tetap saja dia selalu merasa sakit hati, dulu dia memang miskin, tapi belum pernah ada orang yang terang-terangan menghinanya seperti ini. Ana memandang Bella yang sudah tersenyum sinis padanya, senyum yang akir-akhir ini selalu dilihatnya ketika berada di rumah, berbeda sekali dengan senyum manis bak gadis polos yang sering ditampilkan Bella di layar kaca. “Aku hanya sedang ada perlu dengan Raffael?” “Tapi sepertinya Raffael tidak memerlukanmu?” “Aku permisi kalau begitu,” kata Ana tak ingin berlama-lam di sini. “Ah, sebentar, apa kamu tidak merindukan kakak madumu ini selama aku tidak ada di rumah,” kata Bella dengan nada mengejek. Ana terdiam tak tahu harus berkata apa, te
“Jangan cepat-cepat jalannya, asistenku sudah mengurus semuanya.” Sofi tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini, jika ada orang yang mengatakan hal ini satu tahun yang lalu Sofi pasti langsung mengatakan orang itu sedang mabuk. Operasi tangannya emang berhasil dengan baik, dia bisa bermain biola lagi dengan baik, beberapa event baik di dalam dan di luar negeri telah dia ikuti, seperti impiannya. Dan bagi Sofi itu sudah cukup, bahkan tidak ada penyesalan di hatinya saat tiga bulan yang lalu dia memutuskan pansiun dini dan hanya akan menerima permintaan bermain biola saat event itu tak jauh dari kediaman mereka. Dia memang memutuskan memberi kesempatan pada dirinya dan Romeo untuk bisa bersama. Laki-laki itu memang telah membuktikan ucapannya, perhatian yang Sofi inginkaan dari sang suami sekarang bukan hanya impian, bahkan Romeo sangat protektif padanya, apalagi sejak sebulan yang lalu Sofi dinyatakan hamil. Laki-laki itu bahkan mekad menyetir dari Bandung setelah syuti
“Kamu apa kabar?” Deg. Rasanya seperti mimpi mereka jalan berdua melintasi pematang sawah dan Romeo berbicara lembut padanya. Ingat ya lembut bukan kasar seperti biasanya dan tanpa senyum sinis yang menghiasi bibirnya. Ah mungkin karena Ara sudah menjelaskan semuanya dan hubungan mereka toh akan berakhir setelah dia menandatangani surat cerai itu. “Ehm ba.. baik.” Sofi merutuki dirinya sendiri kenapa harus gagap sih. Mereka kembali diam menyusuri pematang sawah sambil sesekali Sofi membantu Romeo yang hampir jatuh karena tak biasa berjalan di sawah, sebelum sampai ke rumah orang tua Sofi Romeo mencekap tangan sang istri lalu berkata. “Kita harus bicara.” Inilah saatnya. Sofi mengangguk. “Iya, tapi ibu sudah memanggil, makanlah dulu meski menunya mungkin tak sesuai seleramu.” Sejujurnya Sofi belum siap mendengar kata cerai dari mulut Romeo, dia sudah berusaha menguatkan hati sejak kembali ke rumah orang tuanya tapi saat berhadapan dengan Romeo langsung nyalinya menjadi ciut.
Sudah satu bulan Sofi tinggal di rumah orang tuanya. Kota kecil yang sebagian penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Dan Sofi merasa hidupnya lebih tentram dan damai meski rasa rindu pada sosok sang suami yang tak pernah mengharapkannya kian meninggi. Romeo sudah sadar dan sudah kembali beraktifitas. Dari mana Sofi tahu tentu saja mama mertunya yang setiap hari menghubunginya, dan mengatakan kabar Romeo pada Sofi, beliau bukannya tidak meminta Sofi untuk kembali tapi dengan halus Sofi menolak apalagi saat infoteiment mengabarkan kalau Ara sudah ditemukan dan beberapa kali Ara juga terlihat bersama Romeo. Sofi ikut bahagia jika mereka bersama, bukankah itu yang seharusnya terjadi, sejak awal dia hanya orang luar yang sama sekali tidak diharapkan kehadirannya, meski tak bisa dipungkiri hatinya begitu sakit. Dia hanya harus lebih menguatkan hati jika sewaktu-waktu menerima kiriman surat cerai dari Romeo. “Bagaimana persiapan penampilan anak-anak bu Sofi... b
Hal pertama yang dilihat Sofi saat membuka mata adalah semua putih dan bau tajam obat-obatan menusuk hidungnya. “Kamu sudah sadar, Nak?” Sofi menoleh dan mendapati mama Ara ada di sana, Sofi berusaha bangun tapi saat tak sengaja dia bertumpu pada tangannya dia mengernyit kesakitan. “Hati-hati tanganmu terluka parah.” Sofi ingat tusukan itu dan darah yang merembes keluar, begitu deras bercampur dengan ... darah Romeo. “Romeo bagaimana dia tante?” tanya Sofi begitu ingat kejadian malam itu, Romeo yang tak bergerak meski dia berteriak memanggil namanya. “Dia baik-baik saja kan?” “Tenanglah, dia sudah ditangani dokter, sekarang operasinya masih berlangsung,” kata wanita itu dengan senyum menenangkan. “Dimana?” Mama Ara langsung menggeleng dan menatap luka di tangan Sofi. Sofi mengikuti pandangan itu dan tangannya berdenyut begitu sakit sampai dia menyadari sesuatu... tapi sebelum dia bertanya pintu ruangan terbuka dan beberapa orang berpakaian dokter melangkah masuk. “Apa yang terj
Ternyata ke pesta bersama Romeo tak sehoror yang Sofi bayangkan. Paling tidak laki-laki itu memperlakukannya dengan baik meski Sofi tahu kalau itu hanya pencitraan saja. Yup tentu saja Romeo sang bintang yang tengah bersinar tidak akan sudi kalau nama baiknya akan tercemar lagi, apalagi perusahaan papanya juga pasti terkena dampaknya. “Jangan salah paham aku hanya tidak ingin nama baikku dan keluargaku hancur.” Tuhkan benar dugaan Sofi. Saat ini mereka memang sudah kembali berkendara meninggalkan pesta, dengan Romeo sendiri yang menyetir mobilnya, tanpa didampingi asisten atau bodyguard seperti b iasanya. Hal yang tadi sempat menjadi perdebatan dengan orang tua laki-laki itu di telepon. Sofi baru menyadari kalau menjadi orang kaya itu tidak selalu menyenangkan, bayangkan saja kalau hanya ingin pergi sebentar harus dikawal beberapa orang. Hah! “Aku tahu,” jawab Sofi sambil menunduk menatap kuku jarinya yang entah kenapa jadi lebih menarik. Tak dipungkiri ada sedikit rasa bahag
“Siapkan dirimu untuk menghadiri undangan ini besok.” Sofi menatap kertas undangan mewah yang dilemparkan Romeo padanya, dia baru saja mandi dan akan naik ke tempat tidur saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan sosok Romeo masuk tanpa perlu repot-repot mengetuk pintu atau mengucap salam. Untung saja aku tidak sedang ganti baju, batin Sofi. Status mereka memang suami istri tapi Sofi seperti masih berada di kamar kosnya yang dulu, serba tak peduli. “Apa aku harus ikut?” tanya Sofi nekad saar Romeo sudah membalikkan badannya, bukan apa-apa sih dia sangat mau memang untuk mendampingi laki-laki itu ke sebuah pesta, tapi masalahnya Romeo terlihat sangat membencinya, dan terlihat tak sudi bercakap-cakap dengannya bisa mati gaya dia datang terus dicuekin semua orang. “Mama yang minta,” kata Romeo seolah menjelaskan segalanya. “Apa beliau juga datang?” Mata Romeo langsung menyipit curiga membuat Sofi kesal. Segitunya dia hanya memastikan nanti ada orang yang dia kenal. “Aku tidak tah
“Kemasi semua barang-barangmu.” Mata Sofi langsung melebar saat mendengar perintah Romeo, dia hanya menatap laki-laki itu dengan pias. Apa lagi salahnya sekarang? Apa Romeo akan menceraikannya sekarang? Padahal baru saja dia berniat mengikuti saran mama mertuanya. “Kenapa? Apa Ara sudah kamu temukan?” tanya Sofi dengan dada bergemuruh kencang. “Bukan urusanmu.” Dan laki-laki itu langsung keluar kamar, Sofi terdiam ditempat benarkah ini akhir dari pernikahan mereka, dan sebentar lagi dia akan menyandang predikat janda. Sofi sudah memegang handle pintu, apa dia harus bercerita pada mama mertuanya? Tapi... Sofi menggeleng pelan, apa enaknya memiliki orang yang jelas-jelas tak mau kita miliki apalagi alasan pernikahan mereka sudah tidak ada lagi jika Ara sudah kembali. Dia bukan Ana yang mau saja menjadi istri kedua meski bukan keinginannya. Sofi menghela napas panjang dan membuka lemari pakaian, mengambil baju-bajunya yang beberapa hari lalu baru saja menjadi penghuni lemari ini d
“Dimana?” Mata Sofi membulat saar mendengar suara di ujung sana, tentu saja dia mengenali suara Romeo dengan baik, dia tadi sempat tak percaya nomer Romeo yang sudah lama dia simpan tiba-tiba menghubunginya. “Ehm.... ini siapa?” rasa marah membuat Sofi tidak ingin langsung menjawab. “Kamu tahu siapa aku,” kata orang diujung sana. Sofi menghela napas. “Baiklah aku matikan jika bukan hal penting.” Sofi menatap ponselnya, ada godaan untuk menonaktifkan ponselnya, tapi ada juga rasa penasaran kenapa laki-laki itu tiba-tiba mencarinya, apakah dia sedang ada masalah? Ah sial kenapa dia masih peduli padanya? Bukankah Romeo sama sekali tidak menginginkannya, bahkan laki-laki itu juga menghinanya padahal dia hanya berniat membantu. Tak lama ponselnya kembali berdering dan nomer yang sama kembali menghubungi, Sofi hanya menatap layar ponselnya, hatinya masih bimbang lalu meletakkan ponsel itu lagi, tak lama panggilan itu berhenti. Sofi menghela napas panjang dan merebahkan tubuhnya di r
Air mata Sofi menetes membasahi pipinya. Bukan hanya karena dagunya yang dicengkeram erat oleh Romeo tapi juga kata-kata kasar penuh hinaan dari laki-laki itu. Sampai kapan dia harus seperti ini. “Sudah aku bilang bukan jangan pedulikan aku, jangan pernah berharap menjadi istriku yang sebenarnya.” Setelah berkata begitu Romeo menyambar kemeja yang tadi malam dia pakai dan memakainya dengan cepat sebelum pergi dari kamar itu tak lupa membanting pintu kamar. Sofi langsung tersenyum begitu pintu kamar dibanting, meski air matanya menetes dengan deras. “Memangnya apa yang kamu harapkan, Sof. Menoleh padamu saja dia tidak sudi,” gumam Sofi.Dengan kasar Sofi mengusap air matanya, dia lalu beranjak dari atas ranjang. Sudah tak ada gunanya di sini. Orang yang ingin dia lindungi malah menuduhnya dengan keji. Sejenak Sofi menatap bayangan wajahnya di dalam cermin dan yang menatap balik di sana hanya wanita menyediihkan dengan mata bengkak dan dagu memerah juga rambut yang awut-awutan