Ana memejamkan matanya dari semua orang yang ada di dunia ini kenapa harus saat ini dia bertemu dengan istri pertama suaminya ini.
Kata-kata Bella yang tajam memang sudah menjadi makanannya setiap hari, tapi tetap saja dia selalu merasa sakit hati, dulu dia memang miskin, tapi belum pernah ada orang yang terang-terangan menghinanya seperti ini.Ana memandang Bella yang sudah tersenyum sinis padanya, senyum yang akir-akhir ini selalu dilihatnya ketika berada di rumah, berbeda sekali dengan senyum manis bak gadis polos yang sering ditampilkan Bella di layar kaca.“Aku hanya sedang ada perlu dengan Raffael?”“Tapi sepertinya Raffael tidak memerlukanmu?”“Aku permisi kalau begitu,” kata Ana tak ingin berlama-lam di sini.“Ah, sebentar, apa kamu tidak merindukan kakak madumu ini selama aku tidak ada di rumah,” kata Bella dengan nada mengejek.Ana terdiam tak tahu harus berkata apa, teRaffael bukan orang yang picik.Sejak kecil sang ayah selalu menanamkan rasa belas kasih terhadap sesama, tidak membeda-bedaan manusia dari harta kekayaannya saja, tapi bersama Ana ajaran itu seolah menguap begitu saja.Raffael kebingungan. Dia membenci Ana, dia selalu mengangap Ana adalah orang yang merusak kebahagiaannya.Tapi tubuhnya tak bisa berbohong, dia menyukai wangi tubuh Ana, juga saat kulit mereka bersentuhan membuat gelenyar tersendiri yang bahkan tak dia dapatkan saat bersama Bella, wanita yang dia cintai. “Lama-lama aku bisa gila,” gumamnya sambil meraup wajahnya kasar dengan dua telapak tangannya. Dengan langkah lebar, Raffael membuka pintu ruangannya dengan kasar, mengagetkan sekretsrisnya yang sedang tekun memelototi laptop di mejanya. “Aku ingin pergi sebentar.” “Tapi, Pak satu jam lagi akan ada meeting-“ “Aku akan kembali sebelum satu jam,” potong Raffael tak sabar. Saat ini otaknya sama sekali tak bisa diajak untuk berpikir jernih. Ana, wanita itu telah meng
Di tempat parkir, Adam menunggu dengan perasaan tak tenang, sudah setengah jam sejak dia terakhir kali menghubungi Ana tadi, dia bilang akan segera keluar tapi batang hidungnya tak juga terlihat. “Apa dia naik tangga untuk turun dari kantor Raffael, kenapa lama sekali?” gumamnya pelan. Adam menatap ponselnya dan lagi-lagi nomer tak dikenal menghubunginya, dengan ragu dia mengangkat panggilan itu. “Halo ini siapa?” sapanya. “Kamu tidak menghubungiku jadi aku yang berusaha menghubungimu, kamu lupa kalau aku pernah memberikan kartu namaku di pagelaran tempo hari.” Pagelaran? Astaga dia ingat sekarang ada satu orang memang yang memberinya kartu nama, tapi Adam segera memutuskan tak akan pernah menghubunginya. “Aku Edrick, apa kamu sudah ingat sekarang.” Tentu saja Adam sudah ingat tanpa laki-laki itu menyebutkan namanya, dan dia tahu sekali siapa Edrick, anak seorang pengusaha prop
Ana sudah tak tahan lagi melihat semua ini, tenggorokannya terasa sangat panas, air matanya sudah mengalir di pipinya dengan deras. Ana bahkan sudah tak peduli lagi dengan sekretaris Raffael yang bertanya apa yang terjadi, Dadanya terasa sangat sesak, yang dia inginkan adalah segera pergi dari sini. Kakinya berlari dengan tertatih, berkali-kali dia menarik napas dalam-dalam tapi tetap saja sesak itu tak juga hilang, seharusnya dia mendengarkan kata-kata Adam untuk tidka datang kemari, seharusnya dia berusaha lebih keras lagi pasti di luar sana masih ada rizki untuknya. Andai saja... Tanpa mempedulikan kanan kiri lagi Ana melangkah cepat, dia harus menemui Adam sekarang, paling tidka dia butuh orang untuk menceritakan rasa yang ada di hatinya dan Adam adalah orang yang tepat untuk itu. “Ana akhirnya kamu keluar juga aku baru saja ak
Bella sangat tidak suka dengan kata-kata Raffael, sedikit banyak Ana sudah menggeser kedudukannya sebagai istri Raffael dan juga menantu keluarga Alexander, tangannya tanpa sadar mengepal, Ini tidak sesuai dengan rencananya dan Bella tidak suka itu, tapi lalu dia sadar dia tidak akan mendapat apapun dengan kemarahan. “Benar aku juga sebenarnya tak tega membalas semua perbuatan Ana, tapi wanita itu terlalu licik, hatiku sangat sakit saat tahu dia menjebakmu dan membuat kalian harus menikah, sekarang di mata hukum dan semua orang dia dalah istrimu, sedangkan aku...” Bella menggelang dengan putus asa. “Sayang jangan katakan itu, bagiku kamu adalah segalanya, tidak ada wanita lain yang aku cintai selain dirimu,” kata Raffael meyakinkan. “Kamu yakin, Raf, Ana sangat cantik, orang tuamu juga sangat menyukainya, apalagi kemungkinan besar dia akan segera memberimu anak, aku hanya takut semua tak aka
“Ana! apa ini yang selalu kamu lakukan dengan managermu.” Ana spontan langsung melepaskan pelukan Adam dan memandang ibu mertuanya yang berdiri di luar dengan wajah luar biasa kecewa. Astaga! Dia tak sengaja menyakiti hati mertuanya yang baik hati itu. “Ibu... tidak bu, aku hanya-“ Ana kesulitan untuk mengatakan maksudnya, dia bukan orang yang suka mengadu, dan mengadukan perbuatan Raffael pada ibunya bisa saja menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. “Ibu benar-benar tak menyangka,” kata sang ibu dengan pahit, dia menggeleng dengan putus asa dan melangkah menjauhi mobil Adam. Cepat-cepat Ana membuka pintu mobil Adam, dia bahkan tak ingat lagi untuk memakai alas kakinya, semua berjalan membuatnya terkejut dan tak sempat berpikir sama sekali. “Ibu, tunggu... aku bisa jelaskan,” kata Ana dengan air mata berlinang. Sandra Alexander satu-satunya orang yang memperlakukannya dengan sangat baik di keluarga Raffael, ayah Raffael memang menerimanya dengan baik tapi tetap saja ada jarak
Ana tersenyum miris, jangankan makan, diberi senyuman saja tidak. Mobil yang dikendarai Adam memasuki sebuah restoran, Adam bergegas turun dan memesan sebuah tempat yang privasi untuk mereka dna memberi kesempatan pada Ana untuk masuk ke dalam toilet restoran tanpa perlu ada pertanyaan lebih lanjut, pekerjaannya sebagai manager tentu membuatnya lihai melakukan hal ini. Aku seperti pencuri, batin Ana pahit saat dia berhasil sampai ke toilet, untung saja ada tulisan besar yang terpasang jadi tak perlu ada drama tersasar segala. “Kamu terlihat lebih segar, makanlah dulu, aku sudah pesankan makanan kesukaanmu,” kata Adam saat Ana sudah kembali dari toilet. “Terima kasih, Mas, maaf aku banyak merepotkanmu.” Adam menatap Ana dengan pandangan dalam. “Seharusnya aku yang minta maaf, aku telah membuat ibu mertuamu salah paham.” “Itu tidak benar, Mas Adam hanya berusaha untuk menenangkan aku saja, ibu Ra
“Kirimkan sekarang juga, aku pasti akan membayarmu mahal jika kerjamu bagus,” kata Bella pada seseorang yang menghubunginya. “Baik, akan saya kirimkan.”Bella memandang ponselnya dan memutar sebuah video yang baru dikirim oleh orang kepercayaannya. Senyum kemenangan tercetak jelas di bibirnya, “Aku bahkan tak perlu bersusah payah untuk melakukan apapun, orang miskin dan nasib sial memang linear.” Wanita itu lalu tertawa terbahak-bahak menggema di seluruh kamarnya yang luas. “Dia boleh saja merasa menang dengan pembelaan orang tua Raffael, tapi sekarang tidak ada lagi.” Robert Alexander berjalan dengan tergesa, bahkan dia langsung meninggalkan obrolan dengan teman-temannya begitu ada telepon dari rumah dan mengatakan kalau sang istri ditemukan pingsan di kamar mandi, rasa khawatir langsung menyerangnya dengan hebat. Robert Alexander tak pernah mengenal takut pada siapapun, dia se
Robert mengerutkan keningnya bingung belum bisa memahami arah pembicaraan istrinya. “Tentu saja tidak, kamu tidak salah sama sekali dan wajar memang karena Raffael sudah menikah dan kita juga semakin tua.” “Apa yang kamu pikirkan, aku rasa meski sikap Raffael dan Bella tidak baik pada Ana, anak itu bisa mengatasinya aku yakin dia bukan orang yang lemah.” “Bagaimana kalau Ana menyerah?”“Ana meminta cerai dari Raffael? apa kamu yakin dulu Ana yang menjebak Raffael dan membuat mereka akhirnya menikah.” “Entahlah aku tidak yakin soal itu, aku tadi... aku melihat Ana menangis dipelukan managernya, dia berusaha mengejarku untuk menjelaskan tapi aku sudah terlanjur kecewa,” kata Sandra dengan suara lemah dan kembali terisak. “Apa maksudmu Ana berselingkuh?” Sang istri menggeleng dengan muram. “Entahlah aku tidak tahu,” katanya juga biingung. “Aku sangat menyukai Ana, kamu tahu bukan, dia anak yang bai
“Jangan cepat-cepat jalannya, asistenku sudah mengurus semuanya.” Sofi tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini, jika ada orang yang mengatakan hal ini satu tahun yang lalu Sofi pasti langsung mengatakan orang itu sedang mabuk. Operasi tangannya emang berhasil dengan baik, dia bisa bermain biola lagi dengan baik, beberapa event baik di dalam dan di luar negeri telah dia ikuti, seperti impiannya. Dan bagi Sofi itu sudah cukup, bahkan tidak ada penyesalan di hatinya saat tiga bulan yang lalu dia memutuskan pansiun dini dan hanya akan menerima permintaan bermain biola saat event itu tak jauh dari kediaman mereka. Dia memang memutuskan memberi kesempatan pada dirinya dan Romeo untuk bisa bersama. Laki-laki itu memang telah membuktikan ucapannya, perhatian yang Sofi inginkaan dari sang suami sekarang bukan hanya impian, bahkan Romeo sangat protektif padanya, apalagi sejak sebulan yang lalu Sofi dinyatakan hamil. Laki-laki itu bahkan mekad menyetir dari Bandung setelah syuti
“Kamu apa kabar?” Deg. Rasanya seperti mimpi mereka jalan berdua melintasi pematang sawah dan Romeo berbicara lembut padanya. Ingat ya lembut bukan kasar seperti biasanya dan tanpa senyum sinis yang menghiasi bibirnya. Ah mungkin karena Ara sudah menjelaskan semuanya dan hubungan mereka toh akan berakhir setelah dia menandatangani surat cerai itu. “Ehm ba.. baik.” Sofi merutuki dirinya sendiri kenapa harus gagap sih. Mereka kembali diam menyusuri pematang sawah sambil sesekali Sofi membantu Romeo yang hampir jatuh karena tak biasa berjalan di sawah, sebelum sampai ke rumah orang tua Sofi Romeo mencekap tangan sang istri lalu berkata. “Kita harus bicara.” Inilah saatnya. Sofi mengangguk. “Iya, tapi ibu sudah memanggil, makanlah dulu meski menunya mungkin tak sesuai seleramu.” Sejujurnya Sofi belum siap mendengar kata cerai dari mulut Romeo, dia sudah berusaha menguatkan hati sejak kembali ke rumah orang tuanya tapi saat berhadapan dengan Romeo langsung nyalinya menjadi ciut.
Sudah satu bulan Sofi tinggal di rumah orang tuanya. Kota kecil yang sebagian penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Dan Sofi merasa hidupnya lebih tentram dan damai meski rasa rindu pada sosok sang suami yang tak pernah mengharapkannya kian meninggi. Romeo sudah sadar dan sudah kembali beraktifitas. Dari mana Sofi tahu tentu saja mama mertunya yang setiap hari menghubunginya, dan mengatakan kabar Romeo pada Sofi, beliau bukannya tidak meminta Sofi untuk kembali tapi dengan halus Sofi menolak apalagi saat infoteiment mengabarkan kalau Ara sudah ditemukan dan beberapa kali Ara juga terlihat bersama Romeo. Sofi ikut bahagia jika mereka bersama, bukankah itu yang seharusnya terjadi, sejak awal dia hanya orang luar yang sama sekali tidak diharapkan kehadirannya, meski tak bisa dipungkiri hatinya begitu sakit. Dia hanya harus lebih menguatkan hati jika sewaktu-waktu menerima kiriman surat cerai dari Romeo. “Bagaimana persiapan penampilan anak-anak bu Sofi... b
Hal pertama yang dilihat Sofi saat membuka mata adalah semua putih dan bau tajam obat-obatan menusuk hidungnya. “Kamu sudah sadar, Nak?” Sofi menoleh dan mendapati mama Ara ada di sana, Sofi berusaha bangun tapi saat tak sengaja dia bertumpu pada tangannya dia mengernyit kesakitan. “Hati-hati tanganmu terluka parah.” Sofi ingat tusukan itu dan darah yang merembes keluar, begitu deras bercampur dengan ... darah Romeo. “Romeo bagaimana dia tante?” tanya Sofi begitu ingat kejadian malam itu, Romeo yang tak bergerak meski dia berteriak memanggil namanya. “Dia baik-baik saja kan?” “Tenanglah, dia sudah ditangani dokter, sekarang operasinya masih berlangsung,” kata wanita itu dengan senyum menenangkan. “Dimana?” Mama Ara langsung menggeleng dan menatap luka di tangan Sofi. Sofi mengikuti pandangan itu dan tangannya berdenyut begitu sakit sampai dia menyadari sesuatu... tapi sebelum dia bertanya pintu ruangan terbuka dan beberapa orang berpakaian dokter melangkah masuk. “Apa yang terj
Ternyata ke pesta bersama Romeo tak sehoror yang Sofi bayangkan. Paling tidak laki-laki itu memperlakukannya dengan baik meski Sofi tahu kalau itu hanya pencitraan saja. Yup tentu saja Romeo sang bintang yang tengah bersinar tidak akan sudi kalau nama baiknya akan tercemar lagi, apalagi perusahaan papanya juga pasti terkena dampaknya. “Jangan salah paham aku hanya tidak ingin nama baikku dan keluargaku hancur.” Tuhkan benar dugaan Sofi. Saat ini mereka memang sudah kembali berkendara meninggalkan pesta, dengan Romeo sendiri yang menyetir mobilnya, tanpa didampingi asisten atau bodyguard seperti b iasanya. Hal yang tadi sempat menjadi perdebatan dengan orang tua laki-laki itu di telepon. Sofi baru menyadari kalau menjadi orang kaya itu tidak selalu menyenangkan, bayangkan saja kalau hanya ingin pergi sebentar harus dikawal beberapa orang. Hah! “Aku tahu,” jawab Sofi sambil menunduk menatap kuku jarinya yang entah kenapa jadi lebih menarik. Tak dipungkiri ada sedikit rasa bahag
“Siapkan dirimu untuk menghadiri undangan ini besok.” Sofi menatap kertas undangan mewah yang dilemparkan Romeo padanya, dia baru saja mandi dan akan naik ke tempat tidur saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan sosok Romeo masuk tanpa perlu repot-repot mengetuk pintu atau mengucap salam. Untung saja aku tidak sedang ganti baju, batin Sofi. Status mereka memang suami istri tapi Sofi seperti masih berada di kamar kosnya yang dulu, serba tak peduli. “Apa aku harus ikut?” tanya Sofi nekad saar Romeo sudah membalikkan badannya, bukan apa-apa sih dia sangat mau memang untuk mendampingi laki-laki itu ke sebuah pesta, tapi masalahnya Romeo terlihat sangat membencinya, dan terlihat tak sudi bercakap-cakap dengannya bisa mati gaya dia datang terus dicuekin semua orang. “Mama yang minta,” kata Romeo seolah menjelaskan segalanya. “Apa beliau juga datang?” Mata Romeo langsung menyipit curiga membuat Sofi kesal. Segitunya dia hanya memastikan nanti ada orang yang dia kenal. “Aku tidak tah
“Kemasi semua barang-barangmu.” Mata Sofi langsung melebar saat mendengar perintah Romeo, dia hanya menatap laki-laki itu dengan pias. Apa lagi salahnya sekarang? Apa Romeo akan menceraikannya sekarang? Padahal baru saja dia berniat mengikuti saran mama mertuanya. “Kenapa? Apa Ara sudah kamu temukan?” tanya Sofi dengan dada bergemuruh kencang. “Bukan urusanmu.” Dan laki-laki itu langsung keluar kamar, Sofi terdiam ditempat benarkah ini akhir dari pernikahan mereka, dan sebentar lagi dia akan menyandang predikat janda. Sofi sudah memegang handle pintu, apa dia harus bercerita pada mama mertuanya? Tapi... Sofi menggeleng pelan, apa enaknya memiliki orang yang jelas-jelas tak mau kita miliki apalagi alasan pernikahan mereka sudah tidak ada lagi jika Ara sudah kembali. Dia bukan Ana yang mau saja menjadi istri kedua meski bukan keinginannya. Sofi menghela napas panjang dan membuka lemari pakaian, mengambil baju-bajunya yang beberapa hari lalu baru saja menjadi penghuni lemari ini d
“Dimana?” Mata Sofi membulat saar mendengar suara di ujung sana, tentu saja dia mengenali suara Romeo dengan baik, dia tadi sempat tak percaya nomer Romeo yang sudah lama dia simpan tiba-tiba menghubunginya. “Ehm.... ini siapa?” rasa marah membuat Sofi tidak ingin langsung menjawab. “Kamu tahu siapa aku,” kata orang diujung sana. Sofi menghela napas. “Baiklah aku matikan jika bukan hal penting.” Sofi menatap ponselnya, ada godaan untuk menonaktifkan ponselnya, tapi ada juga rasa penasaran kenapa laki-laki itu tiba-tiba mencarinya, apakah dia sedang ada masalah? Ah sial kenapa dia masih peduli padanya? Bukankah Romeo sama sekali tidak menginginkannya, bahkan laki-laki itu juga menghinanya padahal dia hanya berniat membantu. Tak lama ponselnya kembali berdering dan nomer yang sama kembali menghubungi, Sofi hanya menatap layar ponselnya, hatinya masih bimbang lalu meletakkan ponsel itu lagi, tak lama panggilan itu berhenti. Sofi menghela napas panjang dan merebahkan tubuhnya di r
Air mata Sofi menetes membasahi pipinya. Bukan hanya karena dagunya yang dicengkeram erat oleh Romeo tapi juga kata-kata kasar penuh hinaan dari laki-laki itu. Sampai kapan dia harus seperti ini. “Sudah aku bilang bukan jangan pedulikan aku, jangan pernah berharap menjadi istriku yang sebenarnya.” Setelah berkata begitu Romeo menyambar kemeja yang tadi malam dia pakai dan memakainya dengan cepat sebelum pergi dari kamar itu tak lupa membanting pintu kamar. Sofi langsung tersenyum begitu pintu kamar dibanting, meski air matanya menetes dengan deras. “Memangnya apa yang kamu harapkan, Sof. Menoleh padamu saja dia tidak sudi,” gumam Sofi.Dengan kasar Sofi mengusap air matanya, dia lalu beranjak dari atas ranjang. Sudah tak ada gunanya di sini. Orang yang ingin dia lindungi malah menuduhnya dengan keji. Sejenak Sofi menatap bayangan wajahnya di dalam cermin dan yang menatap balik di sana hanya wanita menyediihkan dengan mata bengkak dan dagu memerah juga rambut yang awut-awutan