Ana tersenyum miris, jangankan makan, diberi senyuman saja tidak.
Mobil yang dikendarai Adam memasuki sebuah restoran, Adam bergegas turun dan memesan sebuah tempat yang privasi untuk mereka dna memberi kesempatan pada Ana untuk masuk ke dalam toilet restoran tanpa perlu ada pertanyaan lebih lanjut, pekerjaannya sebagai manager tentu membuatnya lihai melakukan hal ini.Aku seperti pencuri, batin Ana pahit saat dia berhasil sampai ke toilet, untung saja ada tulisan besar yang terpasang jadi tak perlu ada drama tersasar segala.“Kamu terlihat lebih segar, makanlah dulu, aku sudah pesankan makanan kesukaanmu,” kata Adam saat Ana sudah kembali dari toilet.“Terima kasih, Mas, maaf aku banyak merepotkanmu.”Adam menatap Ana dengan pandangan dalam. “Seharusnya aku yang minta maaf, aku telah membuat ibu mertuamu salah paham.”“Itu tidak benar, Mas Adam hanya berusaha untuk menenangkan aku saja, ibu Ra“Kirimkan sekarang juga, aku pasti akan membayarmu mahal jika kerjamu bagus,” kata Bella pada seseorang yang menghubunginya. “Baik, akan saya kirimkan.”Bella memandang ponselnya dan memutar sebuah video yang baru dikirim oleh orang kepercayaannya. Senyum kemenangan tercetak jelas di bibirnya, “Aku bahkan tak perlu bersusah payah untuk melakukan apapun, orang miskin dan nasib sial memang linear.” Wanita itu lalu tertawa terbahak-bahak menggema di seluruh kamarnya yang luas. “Dia boleh saja merasa menang dengan pembelaan orang tua Raffael, tapi sekarang tidak ada lagi.” Robert Alexander berjalan dengan tergesa, bahkan dia langsung meninggalkan obrolan dengan teman-temannya begitu ada telepon dari rumah dan mengatakan kalau sang istri ditemukan pingsan di kamar mandi, rasa khawatir langsung menyerangnya dengan hebat. Robert Alexander tak pernah mengenal takut pada siapapun, dia se
Robert mengerutkan keningnya bingung belum bisa memahami arah pembicaraan istrinya. “Tentu saja tidak, kamu tidak salah sama sekali dan wajar memang karena Raffael sudah menikah dan kita juga semakin tua.” “Apa yang kamu pikirkan, aku rasa meski sikap Raffael dan Bella tidak baik pada Ana, anak itu bisa mengatasinya aku yakin dia bukan orang yang lemah.” “Bagaimana kalau Ana menyerah?”“Ana meminta cerai dari Raffael? apa kamu yakin dulu Ana yang menjebak Raffael dan membuat mereka akhirnya menikah.” “Entahlah aku tidak yakin soal itu, aku tadi... aku melihat Ana menangis dipelukan managernya, dia berusaha mengejarku untuk menjelaskan tapi aku sudah terlanjur kecewa,” kata Sandra dengan suara lemah dan kembali terisak. “Apa maksudmu Ana berselingkuh?” Sang istri menggeleng dengan muram. “Entahlah aku tidak tahu,” katanya juga biingung. “Aku sangat menyukai Ana, kamu tahu bukan, dia anak yang bai
Bella terkejut saatmembuka pintu kamar mandi melihat Raffael sedang memegang ponselnya. “Raf, kamu sudah datang kukira kamu akan pulang nanti malam.” “Ada apa papa mengajakmu bertemu?” Bella terdiam, dia harus bisa membuat alasan agar Raffael tidak curiga padanya, bagaimanapun dia tidak ingin Raffael nanti ikut serta menemui ayahnya. Ayo pikir-pikir Bella! Otaknya berputar cepat mencari solusi untuk masalah ini. “Dan kenapa ponselmu tidak bisa aku buka? Kamu mengganti paswordnya?” “Iya, Maaf aku menggantinya, beberapa orang mengetahui tanggal pernikahan mereka, dan aku tidak mau mereka secara tidak sengaja membuka ponselku, kamu tahu sendiri kadang aku terlalu ceroboh. Raffael mengangguk cukup masuk akal memang alasan istrinya. “Baiklah lalu apa passwordnya?” “Memangnya kamu mau apa, Raf, aku sudah lapar, apa tidak bisa nanti saja kamu melihat ponselku.” “Sejak kapan kamu makan malam?”
“Pak Raffael, apa yang bapak lakukan di sini?” Adam baru saja sampai di depan rumahnya dan melihat Raffael sudah berdiri di depan pintu pagarnya dengan wajah keruh, dia tak bisa menebak apa yang diinginkan suami dari orang yang dicintainya itu, tapi apapun itu Adam merasakan firasat buruk. “Di mana Ana?” tanyanya dingin. Adam mengerutkan keningnya, sedikit ingin bermain dengan Raffael. “Bukankah anda yang suaminya kenapa bertanya pada saya, setahu saya anda sudah memboikot seluruh proyek yang melibatkan Ana, jadi sudah tentu saya tidak tahu di mana dia.” “Kamu kira aku percaya, meski aku tak menyukaimu aku tahu bagaimana kemampuanmu,” kata Raffael sinis. Sebagai sesama orang yang berkecimpung di dunia hiburan, tentu dia tahu benar kemampuan satu dengan yang lainnya. “Terima kasih, suatu kehormatan untuk saya menerima pujian itu, apa anda ingin duduk dan minum sebentar?” tanya Adam sopan. “Untuk orang ya
“Aku tidak tahu kamu sebegitu murahannya sampai berpelukan dengan laki-laki lain di depan kantorku.” Ana yang baru saja masuk ke kamarnya setelah menyiapkan baju ganti untuk Raffael, tertegun melihat suaminya itu malah berada di sini dan juga kata pembuka yang luar biasa menyakitkan hati. Sejenak ruangan itu hening, keheningan yang sangat menakutkan, hanya bunyi detak jam dinding yang memenuhi ruangan, dia tidak tahu kalau ibu mertuanya itu akan menceritakan apa yang dia lihat pada Raffael, bukankah dia sudah menceritakan semuanya, apa ibu mertuanya juga tak percaya padanya. Oh Tuhan ternyata tindakan spontannya ini berdampak sangat besar. “Itu hanya kesalahpahaman,” kata Ana pelan, niatnya untuk menutup pintu dia urungkan kembali. Raffael memang suaminya dan mereka sudah sering berada di dalam kamar ini berdua meski hanya dalam konteks “hukuman” tapi Ana cukup terbiasa dengan itu, Raffael memang kasar di awal tapi hanya saat me
“Ibu... apa yang ibu lakukan di sini, ehm maksudku-““Apa ibu tak boleh berkunjung ke rumah anak ibu sendiri dan harus minta ijin padamu?” “Ehm, maaf maksudku bukan begitu,” kata Ana dengan gugup, dia lalu bangkit dari posisi duudknya dan menghampiri sang ib mertua. Pagi ini Ana sedang berdiam diri di atas matras menarik dan menghembuskan napas dengan teratur sesuai dengan arahan instruktur yoga yang pernah dia pelajari. Olah raga ringan yang beberapa waktu ini telah dia lupakan, tapi sekarang sangat dia butuhkan , dia butuh tubuh dan otak yang rileks, rasa bersalah yang dia rasakan pada ibu mertuanya membuat Ana tak tenang, bahkan tadi malam ibu mertuanya itu menolak saat Ana berniat untuk menemaninya di rumah sakit. Ibu Raffael lebih memilih ditemani asistennya itu, membuat Ana tak bisa berbuat banyak dan langsung mengekor saat Raffaelberpamitan pulang. Akan menyenangkan memang kalau mereka berkendara berdua malam itu,
Seperti malam-malam sebelumnya, Raffael lebih memilih menginap di rumah mertuanya bersama Bella, enggan rasanya da bertemu muka dengan Ana, tanpa adanya Bella. Hukuman dari orang tuanya juga belum berakhir, tinggal tiga hari lagi yang menurut Raffael rasnya sangat lama. Berita baiknya lagi asisten ibunya tadi pagi sudah mengabarkan padanya kalau sang ibu sudah keluar dari rumah sakit, meski sekarang berita yang pagi tadi membuatnya senang itu tak memiliki efek yang sama saat ponselnya berdering dan menampilkan nama ibunya. Saat telepon diangkat ibunya tak mengatakan banyak hal hanya, “Pulang sekarang!” dan Raffael tak mungkin membantah kalimat sederhana itu. “Kamu yakin akan pulang, Raf?” tanya Bella setelah Raffael menutup ponselnya padahal baru saja mereka akan melakukan ritual malam yang menyenangkan seperti biasa. “Aku khawatir terjadi sesuatu dengan ibu,” kata Raffael“Bukankah di sana banyak pembantu juga, Ana tak mun
Sepanjang sejaah hidupnya, ayah adalah sosok yang sangat dia idolakan, dia memang menyayangi ibunya dan selalu bisa jadi tempat untuk bermanja-manja, tapi tetap saja ketegasan dan ajaran sang ayah yang banyak meresap masuk dalam ingatannya, dan berhasil mempengaruhi setiap tindak tanduknya. Bahkan dulu waktu masih kecil dengan konyolnya Raffael meminjam baju dan asesoris sang ayah agar bisa seperti ayahnya. Saat ini sosok itu memang masih ada, tapi kekecewaan pada sikap sang ayah membuatnya menjadi curiga apa gerangan maksud pesan yang dikirim ayahnya, melihat sikap sang ayah yang memandang ibunya dengan hangat dan penuh cinta, kecurigaan Raffael kalau ada Affair di antara mereka langsung gugur sudah? Tapi bisa saja ayahnya bahkan melakukan hal yang lebih buruk dari itu, misalkan .... meminta Bella meninggalkannya.Raffael menggelengkan kepalanya, itu juga tak mungkin ayahnya pasti tahu kalau dia sangat mencintai Bella dan tak akan mungkin melakukan hal itu. Dan kesempatan untuk me
“Jangan cepat-cepat jalannya, asistenku sudah mengurus semuanya.” Sofi tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini, jika ada orang yang mengatakan hal ini satu tahun yang lalu Sofi pasti langsung mengatakan orang itu sedang mabuk. Operasi tangannya emang berhasil dengan baik, dia bisa bermain biola lagi dengan baik, beberapa event baik di dalam dan di luar negeri telah dia ikuti, seperti impiannya. Dan bagi Sofi itu sudah cukup, bahkan tidak ada penyesalan di hatinya saat tiga bulan yang lalu dia memutuskan pansiun dini dan hanya akan menerima permintaan bermain biola saat event itu tak jauh dari kediaman mereka. Dia memang memutuskan memberi kesempatan pada dirinya dan Romeo untuk bisa bersama. Laki-laki itu memang telah membuktikan ucapannya, perhatian yang Sofi inginkaan dari sang suami sekarang bukan hanya impian, bahkan Romeo sangat protektif padanya, apalagi sejak sebulan yang lalu Sofi dinyatakan hamil. Laki-laki itu bahkan mekad menyetir dari Bandung setelah syuti
“Kamu apa kabar?” Deg. Rasanya seperti mimpi mereka jalan berdua melintasi pematang sawah dan Romeo berbicara lembut padanya. Ingat ya lembut bukan kasar seperti biasanya dan tanpa senyum sinis yang menghiasi bibirnya. Ah mungkin karena Ara sudah menjelaskan semuanya dan hubungan mereka toh akan berakhir setelah dia menandatangani surat cerai itu. “Ehm ba.. baik.” Sofi merutuki dirinya sendiri kenapa harus gagap sih. Mereka kembali diam menyusuri pematang sawah sambil sesekali Sofi membantu Romeo yang hampir jatuh karena tak biasa berjalan di sawah, sebelum sampai ke rumah orang tua Sofi Romeo mencekap tangan sang istri lalu berkata. “Kita harus bicara.” Inilah saatnya. Sofi mengangguk. “Iya, tapi ibu sudah memanggil, makanlah dulu meski menunya mungkin tak sesuai seleramu.” Sejujurnya Sofi belum siap mendengar kata cerai dari mulut Romeo, dia sudah berusaha menguatkan hati sejak kembali ke rumah orang tuanya tapi saat berhadapan dengan Romeo langsung nyalinya menjadi ciut.
Sudah satu bulan Sofi tinggal di rumah orang tuanya. Kota kecil yang sebagian penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Dan Sofi merasa hidupnya lebih tentram dan damai meski rasa rindu pada sosok sang suami yang tak pernah mengharapkannya kian meninggi. Romeo sudah sadar dan sudah kembali beraktifitas. Dari mana Sofi tahu tentu saja mama mertunya yang setiap hari menghubunginya, dan mengatakan kabar Romeo pada Sofi, beliau bukannya tidak meminta Sofi untuk kembali tapi dengan halus Sofi menolak apalagi saat infoteiment mengabarkan kalau Ara sudah ditemukan dan beberapa kali Ara juga terlihat bersama Romeo. Sofi ikut bahagia jika mereka bersama, bukankah itu yang seharusnya terjadi, sejak awal dia hanya orang luar yang sama sekali tidak diharapkan kehadirannya, meski tak bisa dipungkiri hatinya begitu sakit. Dia hanya harus lebih menguatkan hati jika sewaktu-waktu menerima kiriman surat cerai dari Romeo. “Bagaimana persiapan penampilan anak-anak bu Sofi... b
Hal pertama yang dilihat Sofi saat membuka mata adalah semua putih dan bau tajam obat-obatan menusuk hidungnya. “Kamu sudah sadar, Nak?” Sofi menoleh dan mendapati mama Ara ada di sana, Sofi berusaha bangun tapi saat tak sengaja dia bertumpu pada tangannya dia mengernyit kesakitan. “Hati-hati tanganmu terluka parah.” Sofi ingat tusukan itu dan darah yang merembes keluar, begitu deras bercampur dengan ... darah Romeo. “Romeo bagaimana dia tante?” tanya Sofi begitu ingat kejadian malam itu, Romeo yang tak bergerak meski dia berteriak memanggil namanya. “Dia baik-baik saja kan?” “Tenanglah, dia sudah ditangani dokter, sekarang operasinya masih berlangsung,” kata wanita itu dengan senyum menenangkan. “Dimana?” Mama Ara langsung menggeleng dan menatap luka di tangan Sofi. Sofi mengikuti pandangan itu dan tangannya berdenyut begitu sakit sampai dia menyadari sesuatu... tapi sebelum dia bertanya pintu ruangan terbuka dan beberapa orang berpakaian dokter melangkah masuk. “Apa yang terj
Ternyata ke pesta bersama Romeo tak sehoror yang Sofi bayangkan. Paling tidak laki-laki itu memperlakukannya dengan baik meski Sofi tahu kalau itu hanya pencitraan saja. Yup tentu saja Romeo sang bintang yang tengah bersinar tidak akan sudi kalau nama baiknya akan tercemar lagi, apalagi perusahaan papanya juga pasti terkena dampaknya. “Jangan salah paham aku hanya tidak ingin nama baikku dan keluargaku hancur.” Tuhkan benar dugaan Sofi. Saat ini mereka memang sudah kembali berkendara meninggalkan pesta, dengan Romeo sendiri yang menyetir mobilnya, tanpa didampingi asisten atau bodyguard seperti b iasanya. Hal yang tadi sempat menjadi perdebatan dengan orang tua laki-laki itu di telepon. Sofi baru menyadari kalau menjadi orang kaya itu tidak selalu menyenangkan, bayangkan saja kalau hanya ingin pergi sebentar harus dikawal beberapa orang. Hah! “Aku tahu,” jawab Sofi sambil menunduk menatap kuku jarinya yang entah kenapa jadi lebih menarik. Tak dipungkiri ada sedikit rasa bahag
“Siapkan dirimu untuk menghadiri undangan ini besok.” Sofi menatap kertas undangan mewah yang dilemparkan Romeo padanya, dia baru saja mandi dan akan naik ke tempat tidur saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan sosok Romeo masuk tanpa perlu repot-repot mengetuk pintu atau mengucap salam. Untung saja aku tidak sedang ganti baju, batin Sofi. Status mereka memang suami istri tapi Sofi seperti masih berada di kamar kosnya yang dulu, serba tak peduli. “Apa aku harus ikut?” tanya Sofi nekad saar Romeo sudah membalikkan badannya, bukan apa-apa sih dia sangat mau memang untuk mendampingi laki-laki itu ke sebuah pesta, tapi masalahnya Romeo terlihat sangat membencinya, dan terlihat tak sudi bercakap-cakap dengannya bisa mati gaya dia datang terus dicuekin semua orang. “Mama yang minta,” kata Romeo seolah menjelaskan segalanya. “Apa beliau juga datang?” Mata Romeo langsung menyipit curiga membuat Sofi kesal. Segitunya dia hanya memastikan nanti ada orang yang dia kenal. “Aku tidak tah
“Kemasi semua barang-barangmu.” Mata Sofi langsung melebar saat mendengar perintah Romeo, dia hanya menatap laki-laki itu dengan pias. Apa lagi salahnya sekarang? Apa Romeo akan menceraikannya sekarang? Padahal baru saja dia berniat mengikuti saran mama mertuanya. “Kenapa? Apa Ara sudah kamu temukan?” tanya Sofi dengan dada bergemuruh kencang. “Bukan urusanmu.” Dan laki-laki itu langsung keluar kamar, Sofi terdiam ditempat benarkah ini akhir dari pernikahan mereka, dan sebentar lagi dia akan menyandang predikat janda. Sofi sudah memegang handle pintu, apa dia harus bercerita pada mama mertuanya? Tapi... Sofi menggeleng pelan, apa enaknya memiliki orang yang jelas-jelas tak mau kita miliki apalagi alasan pernikahan mereka sudah tidak ada lagi jika Ara sudah kembali. Dia bukan Ana yang mau saja menjadi istri kedua meski bukan keinginannya. Sofi menghela napas panjang dan membuka lemari pakaian, mengambil baju-bajunya yang beberapa hari lalu baru saja menjadi penghuni lemari ini d
“Dimana?” Mata Sofi membulat saar mendengar suara di ujung sana, tentu saja dia mengenali suara Romeo dengan baik, dia tadi sempat tak percaya nomer Romeo yang sudah lama dia simpan tiba-tiba menghubunginya. “Ehm.... ini siapa?” rasa marah membuat Sofi tidak ingin langsung menjawab. “Kamu tahu siapa aku,” kata orang diujung sana. Sofi menghela napas. “Baiklah aku matikan jika bukan hal penting.” Sofi menatap ponselnya, ada godaan untuk menonaktifkan ponselnya, tapi ada juga rasa penasaran kenapa laki-laki itu tiba-tiba mencarinya, apakah dia sedang ada masalah? Ah sial kenapa dia masih peduli padanya? Bukankah Romeo sama sekali tidak menginginkannya, bahkan laki-laki itu juga menghinanya padahal dia hanya berniat membantu. Tak lama ponselnya kembali berdering dan nomer yang sama kembali menghubungi, Sofi hanya menatap layar ponselnya, hatinya masih bimbang lalu meletakkan ponsel itu lagi, tak lama panggilan itu berhenti. Sofi menghela napas panjang dan merebahkan tubuhnya di r
Air mata Sofi menetes membasahi pipinya. Bukan hanya karena dagunya yang dicengkeram erat oleh Romeo tapi juga kata-kata kasar penuh hinaan dari laki-laki itu. Sampai kapan dia harus seperti ini. “Sudah aku bilang bukan jangan pedulikan aku, jangan pernah berharap menjadi istriku yang sebenarnya.” Setelah berkata begitu Romeo menyambar kemeja yang tadi malam dia pakai dan memakainya dengan cepat sebelum pergi dari kamar itu tak lupa membanting pintu kamar. Sofi langsung tersenyum begitu pintu kamar dibanting, meski air matanya menetes dengan deras. “Memangnya apa yang kamu harapkan, Sof. Menoleh padamu saja dia tidak sudi,” gumam Sofi.Dengan kasar Sofi mengusap air matanya, dia lalu beranjak dari atas ranjang. Sudah tak ada gunanya di sini. Orang yang ingin dia lindungi malah menuduhnya dengan keji. Sejenak Sofi menatap bayangan wajahnya di dalam cermin dan yang menatap balik di sana hanya wanita menyediihkan dengan mata bengkak dan dagu memerah juga rambut yang awut-awutan