“Tentu saja, wanita yang istimewa perlakuannya harus istimewa juga,” kata Raffael sambil tersenyum hangat.
“Wah ternyata bapak romantis juga, semoga suami saya nanti bisa sebaik dan seromantis bapak,” katanya lagi dengan perasaan berbunga-bunga.Haruskah Ana mengaminkan do’a itu?“Apa yang kamu lakukan di sini?”Raffael langsung memandang Ana dengan dingin saat pintu lift tertutup dan mereka hanya berdua saja.Ana menoleh, Raffael terlihat marah, tapi dia juga sangat marah pada Raffael, dia kemari bukan untuk mencari sensasi, atau untuk memperlihatkan hubungan mereka yang romantis dan baik-baik saja.Ana kemari karena kecewa pada Raffael.“Aku ingin bicara.”Raffael mengangkat alisnya, untuk sesaat dia terpana, biasanya di rumah, Ana adalah istri yang patuh dan hanya bisa terdiam dan menunduk jika Raffael menghinanya, wanita itu lebih memilih pergi dan tak membuatBaik Raffael maupun Ana, menoleh dengan kaget dan mereka makin terkejut melihat siapa yang tengah berdiri di sana. Ana kira tadi Raffael sudah mengunci pintu dan berniat untuk tidak membiarkannya keluar, tapi nyatanya pintu itu bisa dibuka dengan sangat mudah.“Apa ini contoh pimpinan yang baik? Kamu tahu bisa siapa saja yang tadi masuk ke mari, bagaimana jika ini menjadi scandal.” Dua orang itu tanpa permisi duduk di sofa, membiarkan dua tersangka yang tertangkap basah. Berdiri menunduk dengan serba salah. “Maaf, Ayah, ini tidak seperti yang ayah kira.”Sang ayah mengernyitkan kening tak suka. “Apa kamu pikir kami buta, kalian memang suami istri, tapi di sini tempat bekerja, bukan untuk bermesraan.”“Maaf, Ayah, aku mengaku salah, lain kali kami tidak akan mengulanginya lagi,” kata Raffael. “Sudahlah, Ayah kita juga pernah muda, apalagi mereka juga pengantin baru, mungkin dengan
Ana langsung menatap sang ibu. “Tentu saja tidak, Bu,” katanya sedikit terlalu keras. “Ah maaf maksud saya, menjadi artis adalah impian saya sejak dulu, jadi tidak mungkin saya tinggalkan begitu saja.” “Tapi kamu tidak masalah bukan kalau nanti hamil, yah.... ibu hanya bertanya karena takut kamu seperti Bella yang lebih mengutamakan karirnya.” “Ibu, itu bukan salah Bella, wajar saja jika dia belum ingin memiliki anak, usianya masih muda.” “Jangan berteriak pada ibumu, Raf, kamu lupa siapa orang yang melahirkanmu,” tegur sang ayah terdengar sangat tidak suka. Raffael menyugar rambutnya kasar, dia tidak sadar telah membentak ibunya, tapi dia dia juga tak ingin ada orang yang menyalahkan Bella, dia sangat memahami karir Bella yang memang sedang ada di puncak dan juga istrinya itu memang berbakat. “Maafkan aku ibu, aku tidak bermaksud kurang ajar, hanya saja aku tidak suka hal itu diungkit, Bella punya mimpi un
Ana berdiri mematung di tempatnya, dia sama sekali tak menyangka, Raffael, laki-laki pertama yang telah mencuri hatinya dan juga pahlawan untuknya, bisa mengatakan hal seperti itu. Apa itu hanya gertakan saja? ataukah memang Raffael terbiasa melakukan hal itu? Oh.. Astaga betapa sakit hati Ana, bukan karena kata-kata Raffael, tapi lebih kepada kecewa, karena hatinya yang tetap saja menginginkan laki-laki itu bahkan setelah tindakan kasar yang dia lakukan. Pernikahannya memang bukan pernikahan impian bagi siapapun, menjadi istri kedua karena ingin menyelamatkan karir dan kehidupannya tidak ada dalam angan Ana selama ini, tapi dia berusaha menerima takdirnya dengan ikhlas, apalagi karena sebelumnya Raffael memintanya untuk mengandung anaknya, Ana pikir ini adalah jalan Tuhan untuk menyatukan mereka. Sebagai istri kedua Ana sadar diri, dia bukanlah wanita yang dicinta, jadi dia juga tak terlalu berharap diperlakukan seperti p
Ana memejamkan matanya dari semua orang yang ada di dunia ini kenapa harus saat ini dia bertemu dengan istri pertama suaminya ini. Kata-kata Bella yang tajam memang sudah menjadi makanannya setiap hari, tapi tetap saja dia selalu merasa sakit hati, dulu dia memang miskin, tapi belum pernah ada orang yang terang-terangan menghinanya seperti ini. Ana memandang Bella yang sudah tersenyum sinis padanya, senyum yang akir-akhir ini selalu dilihatnya ketika berada di rumah, berbeda sekali dengan senyum manis bak gadis polos yang sering ditampilkan Bella di layar kaca. “Aku hanya sedang ada perlu dengan Raffael?” “Tapi sepertinya Raffael tidak memerlukanmu?” “Aku permisi kalau begitu,” kata Ana tak ingin berlama-lam di sini. “Ah, sebentar, apa kamu tidak merindukan kakak madumu ini selama aku tidak ada di rumah,” kata Bella dengan nada mengejek. Ana terdiam tak tahu harus berkata apa, te
Raffael bukan orang yang picik.Sejak kecil sang ayah selalu menanamkan rasa belas kasih terhadap sesama, tidak membeda-bedaan manusia dari harta kekayaannya saja, tapi bersama Ana ajaran itu seolah menguap begitu saja.Raffael kebingungan. Dia membenci Ana, dia selalu mengangap Ana adalah orang yang merusak kebahagiaannya.Tapi tubuhnya tak bisa berbohong, dia menyukai wangi tubuh Ana, juga saat kulit mereka bersentuhan membuat gelenyar tersendiri yang bahkan tak dia dapatkan saat bersama Bella, wanita yang dia cintai. “Lama-lama aku bisa gila,” gumamnya sambil meraup wajahnya kasar dengan dua telapak tangannya. Dengan langkah lebar, Raffael membuka pintu ruangannya dengan kasar, mengagetkan sekretsrisnya yang sedang tekun memelototi laptop di mejanya. “Aku ingin pergi sebentar.” “Tapi, Pak satu jam lagi akan ada meeting-“ “Aku akan kembali sebelum satu jam,” potong Raffael tak sabar. Saat ini otaknya sama sekali tak bisa diajak untuk berpikir jernih. Ana, wanita itu telah meng
Di tempat parkir, Adam menunggu dengan perasaan tak tenang, sudah setengah jam sejak dia terakhir kali menghubungi Ana tadi, dia bilang akan segera keluar tapi batang hidungnya tak juga terlihat. “Apa dia naik tangga untuk turun dari kantor Raffael, kenapa lama sekali?” gumamnya pelan. Adam menatap ponselnya dan lagi-lagi nomer tak dikenal menghubunginya, dengan ragu dia mengangkat panggilan itu. “Halo ini siapa?” sapanya. “Kamu tidak menghubungiku jadi aku yang berusaha menghubungimu, kamu lupa kalau aku pernah memberikan kartu namaku di pagelaran tempo hari.” Pagelaran? Astaga dia ingat sekarang ada satu orang memang yang memberinya kartu nama, tapi Adam segera memutuskan tak akan pernah menghubunginya. “Aku Edrick, apa kamu sudah ingat sekarang.” Tentu saja Adam sudah ingat tanpa laki-laki itu menyebutkan namanya, dan dia tahu sekali siapa Edrick, anak seorang pengusaha prop
Ana sudah tak tahan lagi melihat semua ini, tenggorokannya terasa sangat panas, air matanya sudah mengalir di pipinya dengan deras. Ana bahkan sudah tak peduli lagi dengan sekretaris Raffael yang bertanya apa yang terjadi, Dadanya terasa sangat sesak, yang dia inginkan adalah segera pergi dari sini. Kakinya berlari dengan tertatih, berkali-kali dia menarik napas dalam-dalam tapi tetap saja sesak itu tak juga hilang, seharusnya dia mendengarkan kata-kata Adam untuk tidka datang kemari, seharusnya dia berusaha lebih keras lagi pasti di luar sana masih ada rizki untuknya. Andai saja... Tanpa mempedulikan kanan kiri lagi Ana melangkah cepat, dia harus menemui Adam sekarang, paling tidka dia butuh orang untuk menceritakan rasa yang ada di hatinya dan Adam adalah orang yang tepat untuk itu. “Ana akhirnya kamu keluar juga aku baru saja ak
Bella sangat tidak suka dengan kata-kata Raffael, sedikit banyak Ana sudah menggeser kedudukannya sebagai istri Raffael dan juga menantu keluarga Alexander, tangannya tanpa sadar mengepal, Ini tidak sesuai dengan rencananya dan Bella tidak suka itu, tapi lalu dia sadar dia tidak akan mendapat apapun dengan kemarahan. “Benar aku juga sebenarnya tak tega membalas semua perbuatan Ana, tapi wanita itu terlalu licik, hatiku sangat sakit saat tahu dia menjebakmu dan membuat kalian harus menikah, sekarang di mata hukum dan semua orang dia dalah istrimu, sedangkan aku...” Bella menggelang dengan putus asa. “Sayang jangan katakan itu, bagiku kamu adalah segalanya, tidak ada wanita lain yang aku cintai selain dirimu,” kata Raffael meyakinkan. “Kamu yakin, Raf, Ana sangat cantik, orang tuamu juga sangat menyukainya, apalagi kemungkinan besar dia akan segera memberimu anak, aku hanya takut semua tak aka