Ana menggerakkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan di depan kaca.
“Aku masih langsing seperti saat masih gadis dulu,” gumamnya mengagumi diri sendiri.Setelah melahirkan Romeo, tubuh Ana memang bisa kembali seperti semula, meski tanpa diet yang ketat seperti kebanyakan orang, mungkin karena pada dasarnya dia tidak punya bakat gemuk, atau mungkin karena hidupnya penuh dengan perjuangan selama ini.Akan tetapi Ana langsung tidak percaya diri saat membuka perutnya dan melihat sayatan di perutnya.Yah dulu memang saat melahirkan Romeo dokter harus membelah perutnya, yah satu-satunya pilihan yang harus dilakukan dokter kala itu karena kondisi Ana yang tidak bisa melahirkan secara normal dan Ana sangat tidak percaya diri dengan bekas sayatan yang masih belum hilang itu.Ana tidak sedang marah atau kecewa karena melahirkan Romeo merusak tubuh indahnya, sungguh.. dia hanya sedang tidak merasa percaya diri saja, bagi Ana, Romeo adalah anugerah teSalah satu hal yang disukai Ana saat makan bersama Romeo adalah anak itu akan makan dengan lahap apapun masakan yang dia hidangkan. Kata Sasi bahkan orang yang sedang tidak doyan makan saja langsung lahap kalau sudah lihat Romeo makan. “Untung saja kamu suka olahraga jadi kamu tidak gendut,” kata Sasi melongo melihat Romeo yang sudah menghabiskan sepiring nasi. “Aku kayak mama, meski makan banyak badanku tidak gendut,” kata Romeo sambil nyengir. “Itu karena tulang belulang mamamu kecil.” Romeo cemberut, dia masih duduk di taman kanak-kanak, dan belum diajari tentang tulang belulang, jadi dia suka sebal kalau Mbak Sasi suka bicara yang kadang dia tidak mengerti. “Tulangku juga kecil,” kata Romeo ngeyel. “Mana ada, kamu itu turunan papamu yang tinggi besar, turunan bule.” Sasi langsung menutup mulutnya saat tahu dia salah bicara apalagi Ana sudah memandangnya dengan tajam. “Mbak Sasi kenal papak
Bagi Ana rasa rindu itu sangat mengerikan, dia menggodanya untuk tahu bagaimana kabar laki-laki yang dia rindukan itu, akan tetapi dia juga takut untuk bertemu dengannya, rasa takut yang membuatnya menjadi trauma. Andai bisa Ana ingin menghilangkan perasaan ini, perasaan yang tak seharusnya ada dan tumbuh dalam hatinya. Hampir satu tahun dia menjadi istri Raffael, semula dia menyangka semuanya akan baik-baik saja meski dia hanya istri kedua, meski rasa bersalah itu selalu menghantuinya, dia memang tak berharap mendapatkan perhatian lebih seperti Bella, tapi dia juga tidak menyangka kalau waktu satu tahun pernikahannya dia lalui seperti neraka, siksaan demi siksaan selalu dia terima, bukan hanya fisik tapi juga batinnya. Dan sekarang laki-laki yang membuatnya menahan rindu itu berdiri di depannya oh... tepatnya memaksa masuk ke dalam ruang pribadinya, membuatnya ketakutan setengah mati, bayang-bayang kelam pemaksaan yang dilakukan Raffael berputar di ke
“Ma...” Ana langsung menoleh saat mendengar suara itu. “Kenapa mama marah pada om Raffael?” tanya Romeo dengan polos, anak itu datang bersama sasi dengan membawa sebuah kantong berlogo minimarket di bawah gedung aparteman ini. Ana memandang putranya dengan gugup, dia selalu mengajari anaknya untuk berlaku sopan pada orang lain, tapi saat ini dia sedang memberi contoh yang sangat tidak pantas untuk putranya. “Romeo dari mana, Sayang?” tanya Ana mengalihkan perhatian anak itu.Romeo menatap mamanya sebentar lalu beralih ke kantong yang dia bawa. “Ini coklat dan puding, om Raffael tadi minta dibelikan makanan,” kata Romeo dengan senyum lebar. Ana mengangkat alisnya, sejak kapan Raffael suka dengan coklat? “Oh, kamu membantu om Raffael membeli ini?” tanya Ana memutuskan untuk mengikuti permainan ini. Romeo mengangguk dan mendekati Raffael yang tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu, dalam hati dia berkata “ An
Ana mencengkeram troli yang sedang dipegangnya, wajahnya berusaha tersenyum meski hatinya berdebar hebat. Dari sekian banyak hari setelah dia kembali ke kota ini, kenapa Tuhan memilih sekarang dia bertemu dengan mantan ibu mertuanya, ah... mungkin masih menjadi mertuanya mengingat Raffael belum menceraikannya secara resmi. Wanita itu masih tetap sama, tersenyum ramah padanya, matanya memandang Ana dengan sorot mata yang memancarkan kerinduan. Dari semua keluarga Raffael, Ana paling merasa bersalah pada wanita ini, dia sudah sangat baik padanya , bahkan menganggapnya seperti anak sendiri, akan tetapi dengan gampangnya Ana bahkan mematahkan hatinya. Andai ibu mertuanya itu tahu kalau anak yang sekarang berdiri di sampingnya dengan pandangan bertanya adalah cucunya, akankah wanita itu mengambilnya? “Ibu,” sapa Ana lembut. Sandra Alexander hanya menatap Ana dengan terpaku, dia bahkan tak mampu untuk berkata apa-apa, bibirnya kelu, apalagi saat dia melihat seorang anak laki-laki yang
Sandra langsung melangkah dengan cepat ke ruang kerja suaminya begitu sampai di rumah, dia sudah tak sabar ingin bercerita kepada suaminya itu. “Bapak di ruang kerjanya, Bi?” tanya Sandra pada bibi untuk memastikan. “Iya, Nya.” Tanpa mengetuk pintu Sandra langsung menerobos masuk, di dalam dia mendapati sang suami yang sedang tekun memelototi kertas-kertas di depannya, laki-laki itu hanya mengerutkan kening saat sang istri masuk ruang kerjanya dengan tergesa. “Yah, ayah tahu tidak.” “Tidak,” kata sang suami. Sandra langsung memasang wajah cemberut, Robert langsung menghela napas, puluhan tahun beruimah tangga dengan sang istri dia sudah sangat hapal, istrinya itu pasti ingin membicarakan hal yang dianggapnya penting dan tentu saja dia akan makin kesal kalau Robert masih berkutat dengan pekerjaannya. “Ibu belum bilang, tentu saja ayah tidak tahu,” kata Robert sambil menggenggam tangan sang istri. Ada seny
Bella menarik napasnya dalam, hatinya begitu tak tenang akhir-akhir ini, dia menyesali keputusannya yang menjabak Ana waktu itu. Seharusnya dia bisa mengalahkan popularitas Ana dengan cara lain, bukan dengan membuat wanita itu tidur dengan suaminya, ide yang dulu dia anggap sangat cerdik kini membuatnya tercekik sesal. Bella tahu setelah Ana pergi suaminya seperti orang linglung, yang sering memikirkan wanita itu, bahkan dia sering mengabaikannya di saat mereka bersama, hal yang tak pernah dilakukan Raffael sejak mereka kecil dulu. Muka Bella bertambah kusut saat dia mengingat tentang pertemuan dengan keluarganya waktu itu, dia bahkan sengaja meminta om dan tantenya untuk datang dan membantunya untuk membujuk Raffael. Bella menyangka harga diri Raffael yang sangat tinggi membuat laki-laki itu malu karena memperlakukannya dengan semena-mena, tapi nyatanya Raffael langsung menolak begitu saja ‘niat baiknya’ bahkan juga tiket bulan madu yang dibe
“Mereka sudah masuk dan memesan kamar hotel, apa saya juga harus merekam apa yang mereka lakukan?” “Baik, saya mengerti.” Malam memang sudah jauh merangkak mendekati pagi, bulan dan bintang yang absen dalam bertugas membuat malam ini makin gelap, apalagi gerimis yang baru saja datang membuat hawa dingin makin menyerang, itulah yang dirasakan laki-laki bertopi itu. Sekarang dia memang ada di lobi hotel bintang lima, salah satu hotel mewah yang tamunya kebanyakan orang-orang berkantung tebal. “Kenapa AC distel sedingin ini memangnya mereka tidak tahu kalau dilur sedang hujan,” gerutunya. Dia merapatkan jaket yang dia kenakan lalu saat pasangan itu mulai melangkah ke dalam dengan diantarkan seorang belboy, diam-diam dia juga ikut melangkah, dan langkahnya berhenti begitu tahu nomer kamar yang pasangan itu pesan, sebuah senyum terbit di bibirnya. Tuannya tidak menyuruhnya merekam kejadian di balik pintu kamar itu, padahal dia
Dulu bagi Raffael pulang adalah, bertemu dengan Bella, entah itu di rumah, di apartemen atau bahkan di hotel yang kebetulan dekat dengan lokasi syuting Bella. Tapi hal itu kini hanya kenangan, yah kenangan yang bagi Raffael tak pantas untuk diingat lagi. Rumah orang tuanya adalah tempat dia pulang, seperti saat dia masih belum menikah dulu, bahkan dia jarang sekali pulang ke rumahnya sendiri, meski di sana dia pasti akan diperlakukan seperti raja, di sana dia memiliki asisten yang sama dengan sekompi tentara.Kamar masa bujangnya yang dulu biasa dia gunakan untuk bermain game semalam suntuk atau melihat film-film yang dia inginkan menjadi sarangnya sekarang, bukan karena dia ingin melihat film atau apa akan tetapi di kamar inilah dia pernah tidur bersama dengan Ana, meski bukan kenangan manis yang tertinggal, tapi tetap saja itu sudah cukup untuknya. “Kamu melihat berita itu?” tanya sang ibu, meski sangat yakin kalau Raffael tak mungkin melewat