Hari ini hari terakhir jatah waktu Ardian bersama Naura. Ia bersiap-siap kembali ke apartemen untuk menunaikan giliran Natasya. Lelaki itu merapikan pakaiannya di depan cermin."Baaang ... apa nggak bisa Abang ke sana nanti-nanti aja? 'Kan, waktu itu giliranku diambil Kak Tasya banyak bangeeet ...." Naura tiba-tiba memeluk Ardian dari belakang. Wanita itu merasa berat ditinggal oleh sang suami saat ini.Ardian menyembunyikan helaan napas panjangnya. 'Bahkan cuma tiga hari bersama kamu terasa sangat lama sekali buatku, Naura ...,' bisik pria itu di dalam hati.Pria tampan tersebut perlahan mengurai pelukan sang istri muda dan membalikkan badannya menghadap wanita itu. Ardian lalu meraih kedua telapak tangan sang wanita dan berkata, "Kamu sendiri 'kan, yang bilang agar kita mulai menerapkan perjanjian yang sudah kita buat bersama?" Ardian menatap lekat ke arah wanita di hadapannya.Sungguh, Ardian merasa sangat dilema. Di satu sisi, ia tidak betah jika bersama Naura. Namun, di sisi lain
Baru saja Ardian keluar dari lift di lantai 5 apartemen, matanya menangkap pintu unitnya yang baru saja terbuka. Dan, ternyata ada Steven dan Naysilla yang hendak ke luar dari dalam sana.Lelaki itu gegas melajukan langkah. "Daddy ... Ibu ...?" Ardian mengulurkan tangan hendak menyalami kedua mertuanya ketika jarak mereka tak lebih dari dua meter lagi.Steven menoleh ke arah lelaki yang baru saja datang itu. Dan dengan berat hati ia menyambut uluran tangan menantu lekakinya tersebut. Di dalam hati sebenarnya ia masih belum sepenuhnya menerima Ardian. Namun, semua ia lakukan demi sang putri kesayangan. Apalagi Natasya kini sudah menjadi ibu dan memberikan seorang cucu yang cantik untuknya.Setelah mencium tangan mertua lelakinya, giliran tangan Nay yang Ardian salami. "Sudah mau pulang, Ibu sama Daddy?" tanya pria tampan berwajah manis itu."Iya, kami baru aja mau pulang, Ar," jawab Nay seraya melebarkan senyuman."Ah, iya, Bu. Hati-hati di jalan," sahut Ardian membalas senyum sang ibu
"Mama Nina," panggil Naura ketika ia melihat sang ibu mertua duduk di depan televisi di ruang tengah rumah itu."Eh, iya, Nak! Sini duduk dekat Mama," sahut Nina sembari menepuk permadani yang ia duduki di posisi tepat di sebelahnya, "Arga tidur?" lanjutnya bertanya."Arga dibawa Arya ke depan tadi. Lihat kakeknya nanam cabe," jawab Naura."Ooh," sahut Nina singkat. Ia kemudian lanjut menatap acara tv yang sedang menayangkan film drama Turki favoritnya."Ma, aku ganggu ya?" tanya Naura sedikit sungkan. Karena ia tahu, sang ibu mertua gemar menonton drama serta sinetron di televisi itu.Sontak Nina kembali menoleh ke arah Naura. "Nggak, kok. Kamu mau ngomong apa, ngomong aja. Ini Mama sambil nonton. Lagi seru filmnya," kata wanita paruh baya tersebut.Naura pun tersenyum simpul. "Gini, Ma ... aku cuma mau izin ke rumah Mama-Papaku sebentar," pungkas wanita itu."Ooh, kenapa nggak suruh Mama-Papa aja ke sini?" Nina menoleh ke arah Naura sebentar, kemudian lanjut mengarahkan matanya ke a
Sufia dan Lukman kaget akan permintaan putrinya itu. Padahal beberapa waktu lalu mereka sudah pernah membicarakan tentang hal ini. Naura juga sudah mengiyakan permintaan orang tuanya agar ia tidak akan ikut tinggal ke Kalimantan bersama Ardian. Bukan tanpa alasan Lukman dan Sufia mencegah kepindahan putrinya itu. Kedua orang tua itu tidak mau jauh dari Naura yang merupakan anak satu-satu milik mereka, setelah meninggalnya Maira. Apalagi kini keduanya sudah mendapatkan cucu yang lucu seperti Arga. Tentu Lukman dan Sufia merasa semakin berat jika harus saling berjauhan."Bukannya kita sudah sepakat waktu itu, Naura? Kamu bakal LDR sama Ardian. Toh, itu biasa dalam kehidupan rumah tangga. Mama dan Papa dulu juga lama banget LDR-an. Dari kamu belum lahir sampai kamu SMP." Sufia mengernyitkan dahinya.Lukman mengangguk setuju dengan ucapan sang istri. "Mamamu benar, Naura. Lagipula Ardian tentu bakal sering balik ke sini. Kantor pusat Arnold's Company 'kan, di sini," timpal lelaki paruh b
"Kenapa Daddy?" tanya Natasya ketika Ardian baru saja memutuskan sambungan teleponnya dengan sang mertua. Wanita cantik itu sempat mendengar Ardian menyebut 'Daddy' setelah dia keluar dari kamar mandi."Daddy ngasih kabar kalau keberangkatanku ke Kalimantan di majukan besok. Daddy bahkan sudah membelikan tiket pesawat untukku," jawab Ardian menjelaskan."Loh, kok mendadak? Bukannya mestinya beberapa hari lagi?" Tasya tampak heran. Ia bergerak menuju ke atas ranjang mendekati sang bayi mungil yang terlihat mulai merengek seperti ingin meminta ASI."Iya. Mendadak ada klien dari Malaysia yang mesti aku temui secara langsung di sana," terang Ardian lagi."Sebaiknya kamu siap-siap dari sekarang, biar nggak keburu-buru nanti," saran Natasya, "besok jam berapa jadwal penerbangannya?" tanya wanita itu."Jam sembilan," jawab Ardian to the point."Nah loh, pagi lagi. Bahkan kamu mesti berangkat paling telat itu jam setengah tujuh, Ar, antisipasi kalau jalanan macet," tukas Natasya."Iya, Sya. K
"Kamu bicara baik-baik sama Naura, Nak," saran Hardi kepada putranya. Lelaki paruh baya itu mendekat dan menepuk ringan pundak Ardian.Nina hanya bisa mengangguk membenarkan sang suami.Ardian menatap ke arahnya sebentar, kemudian ia melangkah menuju ke dalam kamarnya menyusul sang istri yang tengah merajuk itu.Setelah masuk kamar, Ardian menutup pintunya. Ia menoleh ke arah sang istri yang sedang berdiam dan bermenung sendiri di depan jendela kaca di sana. Pria tampan itu pun melangkahkan kaki menghampiri. "Naura ...."Bugh!Ardian terkesiap ketika tiba-tiba saja Naura berbalik dan menghambur memeluk tubuhnya. "Aku kangen Abaaang ... aku mau Abang sama-sama aku teruuus!" Terdengar Naura terisak di dalam dada sang suami.Hening ....Dengan perlahan ... dan ragu, Ardian akhirnya membalas pelukan sang istri. Ia berusaha memahami perasaan Naura saat ini. "Abang ngerti, Dek," bisik lelaki itu, "tapi, tiket udah telanjur dibelikan. Abang juga nggak bisa batalin gitu aja sebab ini perinta
Sudah lebih dari sebulan Ardian bekerja di kantornya yang baru yang berada di pulau Kalimantan sebelah Barat. Tepatnya di Kota Pontianak. Ia memimpin kantor cabang Arnold's Company di kota di mana terdapat sungai Kapuas, yakni sungai terpanjang se-Indonesia."Udah dulu, Sya," pamit Ardian kepada istri pertamanya. Kemudian lelaki itu mengucap salam dan menutup sambungan telepon mereka setelah salamnya dijawab oleh sang kekasih.Setelah itu Ardian mencoba menghubungi istri keduanya. Di dalam hati lelaki tampan itu berkata, 'Ini resikonya punya istri dua. Mau nggak mau mesti telepon sana, telepon sini. Huuft ....' Begitulah kegiatan Ardian beberapa waktu belakangan ini. Ia mau tidak mau mesti melakukan itu semua. Sebab hal tersebut tentu saja sebagai bentuk perhatian dan juga tanggungjawabnya kepada keluarga. Meskipun jujur, di dalam hati ia masih saja lebih berat kepada Natasya dibandingkan dengan Naura. Akan tetapi, berbeda hal jika mengenai anak-anaknya. Antara Arga dan Syirisy, mak
"Nggak bisa, Naura ... Abang cuma punya waktu pekan ini. Dan pekan depan harus segera kembali kemari lagi," terang Ardian berterus terang.Naura tidak menjawab, ia merasa sedih dan kecewa sebab dirinya belum punya kesempatan untuk merasakan malam pertama sama sekali semenjak mereka resmi menikah."Dek ... lain kali 'kan, in syaa Allah kita bakal ada waktu lain. Jadi santai aja, heheheeee ...." Ardian mencoba menghibur sang istri yang ia tahu kalau saat ini wanita itu tengah merasa kecewa."Ya udah. Tapi, Abang ke sini dulu, 'kan?" tanya Naura. Ia ingin memastikan kalau Ardian bakal mengunjungi dirinya terlebih dahulu, dan memberikan jatah waktu untuknya di awal, baru kepada Natasya setelahnya."Iya, in syaa Allah, Dek. Abang udah bilang ke Tasya," jawab Ardian apa adanya."Oke ...," sahut Naura singkat dengan suara lirih."Oh iya, Dek. Bilang Ayah, besok Abang dijemput Tasya," ujar Ardian."Dengan siapa Kak Tasya jemput Abang?" "Biasa ... dengan Pak Parmin.""Oh gitu. Iyalah, nanti a
"Apa maksud omongan kamu tadi, Ya?" tanya Ardian dengan melempar tatapan setajam peluru, "kalian berduaan seperti ini di dalam kamar. Dan Naura, kamu membuka dadamu di hadapan, Arya. Apa pantas?" Lelaki itu menoleh ke arah sang istri."Ba–Bang, akuu ... aku bisa jelasin semuanya." Naura tergagap di tempatnya."Bang, aku dan Naura mau jelasin sesuatu," sela Arya. Ia lalu mencoba mendekati sang kakak.Namun, Ardian segera menjauh, ia mencoba menenangkan diri dengan menjaga jarak. Lelaki itu mendaratkan bobotnya ke atas sofa single yang ada di kamar tersebut. "Oke, jelaskan!" tegasnya.Arya dan Naura saling mencuri pandang satu sama lain. Mereka sungguh merasa salah tingkah di hadapan Ardian saat ini.Karena kedua orang itu masih saja tidak memulai omongan, kembali Ardian menyeru, "Ayo! Katanya mau menjelaskan ke Abang? Ada apa dengan kalian? Kedustaan dan tipuan apa yang sudah dilakukan kepada Abang?" sindirnya. Ia tadi sempat mencerna apa yang Arya bicarakan.Arya dan Naura terlihat ge
"Bang, Abang udah di mana?" tanya Arya kepada Ardian."Abang udah nyampe di Banten ini, Ya. Ini lagi dalam perjalanan ke apartemen.""Oh, nggak jadi ke rumah sakit langsung?" "Abang mesti antar Tasya dan Syirisy dulu ke apartemen, Ya. Syirisy tiba-tiba demam, panas badannya. Gimana kabar Papa Lukman? Nanti abis antar mereka, Abang langsung ke rumah sakit!" "Bang ...." Arya menggantung omongannya."Iya?" "Papa Naura ... udah meninggal dunia," lanjut Arya.Deg!Kontan saja Ardian tertegun dan kaku. Lidahnya terasa kelu seketika karena mendengar berita mengejutkan itu."Kenapa, Yah?" tanya Natasya ketika melihat sang suami yang tiba-tiba terdiam begitu saja."Innalillaahi wa inna ilaihi raaji'uun," ucap Ardian dengan lirih.Natasya langsung mengernyitkan dahinya. "Papanya Naura meninggal?" tanyanya memastikan.Ardian refleks menganggukkan kepalanya. Natasya beringsut mendekati sang suami. Ia pun meraih telapak tangan Ardian yang bebas dan menggenggamnya erat. Wanita itu sangat menger
Natasya lalu bangkit dari tempat tidur dan berdiri tegak menatap dengan sorot mata yang nanar ke arah sang suami. "Kamu dengar apa yang aku katakan, Ar!" serunya tegas. Kelopak mata Tasya terlihat sembab karena menangis semalaman, tetapi sudah tak ada air mata lagi dari sana saat ini.Wanita itu sudah tidak lagi memanggil Ardian dengan sebutan 'ayah' karena sakit hati yang mendera sejak tadi malam."Iya, Ayah dengar. Tapi, kenapa malah kamu yang minta cerai begini, Bun?" Ardian ikut berdiri, kemudian mendekati sang istri hendak meraih tangannya.Natasya menghindar. "Naura sudah mau mundur, karena dia tahu pernikahan poligami ini nggak bakal berhasil. Aku juga berpendapat sama! So, memang harus ada yang mengalah.""Mengalah apa, Bun? Kita di pernikahan poligami ini baru sebentar, 'kan? Belum juga ada setahun," kilah Ardian memprotes apa yang Natasya sampaikan."Ooh, jadi kamu menikmati pernikahan poligami ini, heh?" cibir Natasya, "laki-laki di mana-mana kayak begini ya! Senang ngoleks
Ardian berteriak memanggil. Ia langsung bangkit dan kelabakan mengejar Natasya.Arya yang melihat hal itu pun segera mengejar kakak lelakinya.Sampai di lift, Ardian tak sempat masuk ke dalam karena Natasya lekas menutup pintunya."Bang, sudahlah. Biar aja dulu Tasya pulang!" bujuk Arya kepada sang kakak."Natasya mesti paham maksud Abang!" seru Ardian sambil terus menekan tombol lift agar segera terbuka.Tak lama kemudian pintu ruang kecil itu pun terbuka. Lelaki itu segera masuk dan Arya pun turut ke dalamnya.Arya melihat ke arah sang kakak dengan perasaan yang tidak menentu. Ingin sekali ia mendesak agar Ardian segera menceraikan Naura supaya tidak ada lagi penghalang baginya untuk mendekati kekasih hatinya itu.Sesampai di lantai bawah, lift berdenting, lantas terbuka lebar.Dengan cepat Ardian berlari hendak menuju ke parkiran mobil. Arya berjalan mengekorinya.Akan tetapi, sekali lagi, Ardian terlambat. Natasya sudah membawa kendaraan roda empat itu keluar dari gerbang area par
"Maksud kamu apa, Dek? Kok, tiba-tiba minta cerai?" Ardian menautkan kedua alisnya dan memicingkan mata menatap heran ke arah sang istri muda.Natasya terkesiap. Ia melebarkan bola mata sebab begitu kaget dengan apa yang baru saja dipinta oleh Naura kepada sang suami. 'Beneran ini? Ada apa? Masak cuma gara-gara Ardian sakit dan telat nyamperin, dia langsung minta cerai??' tanyanya dalam hati.Sementara Arya yang sudah mengetahui rencana itu memilih diam dan menunduk. Ia menyerahkan semua keputusan kepada Naura. Ia bersyukur akhirnya bisa punya kesempatan untuk bersatu dengan sang kekasih hati. Apalagi setelah tahu Arga adalah darah dagingnya sendiri, ia merasa sangat bahagia."A–ku rasa nggak bisa lagi menjalankan pernikahan poligami ini, Bang. Aku nggak sanggup. Lebih baik aku mundur," imbuh Naura tanpa mau melihat wajah Ardian.Ardian menoleh ke arah sang mertua yang seakan membuang muka juga di pembaringannya. Lalu bergiliran ia menoleh ke arah Natasya dan juga Arya. Lelaki itu sea
"Ayo, Bun!" seru Ardian kepada Natasya yang ada di belakangnya.Natasya menghela napas lelah. Ia melajukan langkah menyusul sang suami yang sudah berada di lift hotel.Ya, Ardian terbangun pukul setengah 12 malam. Ia baru teringat kalau malam ini dirinya mesti bersama Naura. Ia khawatir kalau Naura kecewa kalau ia tidak datang. Karena jatah Naura berada di kota itu tinggal dua malam saja. Malam ini, dan malam besok. Tentu saja lelaki itu merasa bersalah jika sampai tidak menunaikan kewajibannya. Padahal sudah jauh-jauh Naura berangkat ke kota Pontianak.Sementara Natasya, tadinya ia telah menjelaskan kepada sang suami kalau ia sudah menelepon Naura. Akan tetapi, Ardian yang masih sakit itu tetap berkeras mau mendatangi istri mudanya karena rasa tanggungjawab. Tadinya Natasya marah karena Ardian keras kepala. Namun, akhirnya ia kasihan melihat sang suami yang lemas karena sudah sakit, mesti ditambah pula berdebat dengannya. Akhirnya Natasya mengizinkan sang suami pergi dengan syarat
"Ma–Mama ...?" lirih Naura masih tampak terperanjat dengan kedatangan sang ibu. Tiba-tiba Arga menangis kencang. Bayi lelaki itu terkejut dengan suara keras dari Sufia. "Ya Allah, Nauraaa! Aryaaa! Kenapa kalian melakukan perbuatan setan ini ...?!" pekik Sufia lagi. Arya tampak bingung sekaligus kelabakan karena di depan ada Sufia yang marah-marah, dan di sebelahnya Arga yang terus menangis kencang. Sementara dirinya masih dalam keadaan naked di balik selimut bersama Naura. "Mama Naura, i–ini nggak seperti yang Mama Naura pikirkan," ujar Arya gugup. Ia meraih celananya yang terserak di sana, dan dengan terburu-buru ia berusaha mengenakannya lagi. "Nauraaa ... Mama nggak nyangka bisa kejadian hal seperti ini lagiii? Otak kalian ke mana?!!" bentak Sufia dengan linangan air mata serta tatapan yang nanar. Arya yang sudah mengenakan kembali celananya, dengan cepat mendatangi Arga, lantas meraih bayi kecil itu. "Cup cup cup, diam, Sayang ...." Naura tertunduk dalam sembari terus
Akan tetapi, dua detik kemudian ponselnya berdering. Itu nomor Ardian lagi. Namun, itu sebuah panggilan video, bukan suara."Tuuuh, lo liat! Ardian tidur dan dia memang lagi sakit ... biar lo percaya ...." Suara Natasya terdengar lirih dan geram sambil men-zoom gambar di kamera ponsel itu mengarah ke pembaringan Ardian. Lelaki itu terlihat meringkuk di dalam selimut. Sepertinya Tasya mengambil video dari luar kamarnya. Memang ia sengaja mengambil gambar dari jarak jauh agar jangan sampai Ardian terganggu karena mendengar suaranya yang sedang bicara dengan Naura.Naura menekan kedua rahangnya dengan keras. "Sudah, 'kan? Lo udah percaya sama gue sekarang? Sorry, ini bikin lo kecewa. Bye!" Kembali Natasya memutuskan sambungan telepon mereka."Aaaaaarrrgh ...!!!" Naura melempar ponselnya ke tempat tidur.Dengan gerakan cepat wanita itu mengambil kimono lingerie-nya, lantas mengenakannya. Kemudian ia melangkah lebar keluar kamar dan menggedor kamar Arga.Brak! Brak! Brak!Tidak butuh wak
"Dek, Arya cuma bilang dia minta masakin sama kamu," tukas Ardian menjelaskan sembari menatap lekat ke arah sang istri muda. Ia juga heran dengan Naura yang seakan tengah melantur dan tidak fokus terhadap pertanyaan Arya.Dahi Naura terlihat mengernyit kencang. Ia berusaha mencerna maksud suaminya."Yaaa, kalau nggak mau masakin aku juga nggak apa-apa. Nggak perlu ngegas juga," ucap Arya cuek. Ia lanjut mengunyah makanannya."Kamu kenapa, Nak? Memangnya kamu pikir Arya bicara apa tadi?" tanya Sufia heran.Bola mata Naura berlari ke sana kemari. Ia juga bingung mengapa pendengaran dan pikirannya jadi ke mana-mana. Sungguh, dia tadi menyangka kalau Arya membicarakan masa lalu mereka berdua di hadapan semua orang dan tentu saja dia mau membantahnya."Hmm, aku udah kenyang. Makasih banyak Tasya dan Bik Jum udah masak makanan yang enak banget siang ini. Tadi aku benar-benar lapar karena dari tadi malam belum sempat menyentuh makanan apa pun," tutur Ardian mengalihkan bahasan. Lelaki itu m