Kepalaku terasa berat dan mataku tak sanggup untuk kubuka. Aku merasa remuk redam di sekujur tubuhku. Kakiku pun tak bisa kugerakkan dengan leluasa. Sendi-sendi ini terasa terhimpit satu sama lain.
“Aahhh…” Erangku.
“Kamu sudah bangun? Syukurlah…” suara seorang wanita mendekatiku.
Di mana aku? Kulihat sekeliling. Apakah aku sudah di alam kubur?
“Pak Gun, dia sudah siuman.” Seseorang yang tadi akhirnya mengabarkanku pada Pak Gun.
Tunggu, Pak Gun? Berarti aku masih hidup dan aku masih di area dekat villa. Ya Tuhan, semalam aku berencana kabur dan gagal.
Lalu… bagaimana bisa aku berakhir di tempat ini? Dan kepalaku terasa sangat berat.
“Terima kasih Bu Bidan, sudah merawat Mbak Andini semalaman.” Jelas itu adalah suara Pak Gun. “Akan saya bawa Kembali ke villa.”
“Tunggu, Pak. Saya tidak mau kembali ke villa.” Elakku.
Aku tak mau jika harus berhadapan dengan Baskara lagi. Bagiku, lebih baik mati daripada harus kembali. Toh semalam aku sudah bertarung dengan maut untuk berupaya menjauhinya.
“Mbak Andini, sebaiknya ikut dengan Pak Gun saja. Di Puskesmas sini, tidak ada yang menjaga dua puluh empat jam. Semalam saya ke sini juga diberi tahu tukang ronda yang menemukan Mbak Andini di ujung sungai saat patroli. Jadi sebaiknya… ikut saja dengan Pak Gun. Lebih aman.”
“Iya, Mbak Andini sebaiknya pulang. Mak Ijah sudah menunggu sejak tadi. Daripada nanti kena marah Tuan Muda.” Jelas Pak Gun.
Kemudian membisikiku,”Jika Tuan Muda sampai tahu Mbak Andini kabur, dia tidak segan-segan untuk melakukan sesuatu pada keluargamu. Jadi, sebaiknya kita harus segera Kembali. Tuan Muda akan kembali ke sini secepatnya.”
Setelah diyakinkan oleh Bu Bidan dan Pak Gun, luluh hatiku. Aku harus kembali ke villa itu.
“Terima kasih, Bu Bidan.”
Beliau mengangguk. Lalu membantuku naik mobil yang dikemudikan oleh Pak Gun.
Perjalanan kembali ke villa cukup jauh. Tak terasa kemarin hingga semalam, aku sudah sejauh ini berjalan.
“Tuan Muda langsung pesan tiket pulang saat tahu Mbak Andini terjatuh hingga ke tepi sungai.” Ucapan Pak Gun membuatku terkejut.
Bukankah seharusnya dia kembali akhir pekan nanti?
“Oh…” balasku singkat. Kepalaku masih terasa berat.
“Siapa yang memberitahunya?” tanyaku sambil sesekali memijit kepala dengan tanganku.
“Mak Ijah. Beliau khawatir sekaligus takut jika terjadi apa-apa pada Mbak Andini.”
**
Layar besar berukuran 55 inch di hadapanku sedang menayangkan berita terkini tentang selebriti. Kuharap dengan melihat infotainment, rasa bosan dan kesalku bisa sedikit teralihkan.
"Akhir-akhir ini kabar pernikahan pengusaha muda keturunan ningrat, Baskara Kusumawijaya menjadi buah bibir di kalangan selebriti tanah air. Pasalnya kedekatannya dengan model internasional, Laura Wright tidak hanya sekedar kabar burung.
Salah satu selebritis kita mengaku sudah mendapatkan undangan mewah dari mempelai wanita. Ia mengabadikan di sosial medianya sebagai salah satu apresiasinya sebagai teman dekat Laura. Keduanya... ..."
Presenter berbaju merah menyala itu membacakan narasi sekaligus menampilkan tayangan Laura dan Baskara yang sedang berada di salah satu pantai di Bali. Keduanya nampak harmonis dan tersenyum bahagia berdua. Mata Baskara sudah cukup mengisyaratkan apa yang sedang dia rasakan saat bersama wanita keturunan Inggris-Indonesia itu.
Klik. Kumatikan televisi yang hanya berisi gosip murahan.
“Mbak Andini, Tuan Baskara sudah sampai di depan.” Mak Ijah mengkode sambil tergopoh-gopoh membawakanku baju ganti.
“Pakai ini. Jangan pakai baju yang lusuh begitu, Mbak.”
Wanita sepuh itu masih belum menyerah juga. Dia ingin aku berdandan layaknya istri yang baik saat menyambut suami pulang.
“Tapi, Mak… saya…” belum selesai aku mengatakan apa yang ingin aku sampaikan, pintu ruang keluarga terbuka.
“Well, kamu rupanya punya sembilan nyawa. Setelah bergulung-gulung di pinggir sungai, kamu masih hidup dan tidak cacat sama sekali. Kupikir mungkin dirimu lebih cocok sebagai bodyguard atau stuntman di film laga daripada sebagai istri simpananku.” Sindir Baskara.
Baru datang sekitar lima detik, suasana villa sudah mulai memanas. Kenapa setiap kali melihatnya, aku ingin sekali membalas pernyataannya dan secepatnya memukul atau melemparkan sesuatu.
“Kalau kedatanganmu hanya untuk mengejekku lagi, pergilah. Kembalilah kepada Laura. Kalian akan menikah.” Gerutuku.
“Andini, apakah kau cemburu pada Laura?” Baskara memulai pembicaraan di luar topik. “Kamu tidak rela aku menikah dengannya, bukan?”
Emosiku sudah mendidih.
“Siapa yang cemburu? Justru aku kasihan pada Laura. Dia akan menikahi lelaki busuk yang mirip binatang liar.”
Mendengar ucapan balasanku, Baskara mendekat dan mengangkat tangan kanannya.
“Tampar saja! Biar sekalian aku mati di sini.” Aku makin tak bisa menahan emosi.
Setelah dia menginjak-injak harga diriku dengan mengatakan membeliku, lalu memperlakukan aku lebih rendah daripada wanita murahan, kini dia akan melanjutkan serangan fisik.
“Tampar! Kenapa berhenti. Bagimu diriku tidak lebih berharga dari sebuah handuk. Buang setelah kau selesai memakainya…” lanjutku.
Jika difilmkan, adegan kami mirip dengan film laga saat pemain utama ditantang untuk berkelahi oleh penjahat. Dan penjahatnya adalah aku.
“Dasar kamu…” matanya memelototiku.
“Tuan Muda, ada panggilan dari Nona Laura. Beliau khawatir Tuan.” Pak Gun datang sambil berlari membawa handphone milik Basraka.
Dia pun segera keluar untuk mengangkat teleponnya.
“Hey, Laura. Yes, baby…”
Aku tak lagi mendengar apa yang mereka perbincangkan setelahnya. Tangisku pecah lagi dan kuputuskan untuk masuk ke kamar tidurku.
Kurebahkan badanku yang masih dipenuhi lebam dan terasa ngilu. Entah mana yang lebih menyakitkan, memiliki suami seperti Baskara atau terjatuh semalam.
**
“Iya, sudah aku kirimkan file yang perlu direvisi. Nanti malam kita meeting online via zoom saja. Baik. Iya. Secepatnya kerjakan revisinya, Hans. Iya. Nanti hubungi aku lagi.”
Baskara masih sibuk dengan satu panggilan ke panggilan yang lain. Jari tangannya tak pernah berhenti memainkan mouse laptop yang berada di hadapannya.
Dia begitu sibuk bekerja.
Sedangkan aku, memainkan makanan dengan garpu dan sendok. Sungguh selera makanku telah sirna semenjak dia tiba.
Kuletakkan sendok dan garpu ke atas piring. Pelan-pelan aku bangkit dari tempat dudukku.
“Mau ke mana?” Baskara menutup telepon dan perhatiannya mengarah kepadaku.
“Bukan urusanmu.” Jawabku singkat.
“Aku tidak mau mendapatkan aduan lagi dari Mak Ijah kalau kamu sakit.” Paparnya sambil menutup laptop dan mendekatiku.
“Sudah, aku hanya budak di sini. Tidak usah pura-pura perhatian.” Aku menjauh. Meski kakiku masih sedikit terasa sakit saat kugunakan untuk melangkah.
“Andini, bisakah kamu bekerja sama denganku? Menurutlah. Aku sudah mengganti pasal-pasal dalam perjanjian kita.” Jelasnya lagi.
“Gantilah semaumu. Dan tambahkan sekalian, kalau kamu boleh menyakitiku sepuasmu. Aku tidak boleh melawan.” Secepat mungkin aku pergi dari meja makan.
Hari berganti hari, Baskara masih berada di villa dan belum terlihat tanda-tanda akan pulang ke kota.
“Mak Ijah, makanannya tolong bawa ke kamar. Saya sulit berjalan kalau harus ke meja makan.” Pesanku saat Mak Ijah mengambil baju-baju kotor milikku.
“Baik, Mbak Andini… ada pesan lagi?”
Tangannya membawa satu keranjang berisi pakaian dan tak lupa sprei yang sudah selesai digantinya tadi pagi.
“Sekalian, tolong belikan saya buku-buku baru saat Pak Gun ke kota. Yang buku-buku di villa ini semuanya sudah selesai saya baca.”
**
“Pak Gun, bolehkah saya meminjam handphonenya?”
Pak Gun pun berjalan ke arahku sambil melihat kanan kiri.
“Boleh. Mbak Andini mau menghubungi siapa?” diberikannya handphone itu padaku.
Aku lupa sudah berapa lama tidak lagi memegang benda ini. Mungkin sudah sekitar satu setengah bulan semenjak menikah dengan Baskara.
“Pak, saya mau mengirim pesan pada Ibu, nanti kalau ada balasan, tolong sampaikan ke saya ya?”
Hanya nomor Ibuku yang aku hafal di luar kepala. Selainnya, aku tak pernah mengingat.
“Baik, Mbak. Nanti akan saya sampaikan lagi.”
Sesaat setelah aku kembali ke kamar, Pak Gun memanggilku.
“Mbak. Ini ibunya menelpon… Mbak Andini mau menerima sekarang?”
Aku begitu gembira saat tahu Ibuku melepon.
“Iya Pak. Saya…”
Belum sampai handphone itu pada tanganku, Baskara sudah muncul dari pintu depan.
“Andini, kamu mau menghubungi siapa? Pacarmu?” dia merebut handphone milik Pak Gun.
“Bukan, itu Ibuku.” Tangkasku.
“Jangan bohong. Kamu sudah terbukti pandai berbohong dan melarikan diri.” Baskara makin menjadi-jadi.
Sungguh dirinya sangat berbeda saat bersamaku. Tempramen. Sangat berkebalikan dengan saat dia bersama Laura.
“Halo…” suara dari seberang sana terdengar.
“Halo, Ibu…”
Baskara mengambil kembali handphone-nya dan terdengar suara lelaki.
“Halo, Andini… ini aku, Prasetia.”
Aku merasa bodoh saat tidak mengetahui keberadaan lelaki itu di rumah. Mata Baskara sudah semakin menyala, seakan siap menerkamku sewaktu-waktu. Di sini aku merasa bahwa setelah ini bisa-bisa nyawaku tak terselamatkan lagi.
"Baskara, aku tidak bohong... Aku tidak tahu kalau..." Belum sempat kuselesaikan kalimatku, Baskara sudah menggelandang tubuhku ke arah kamar tidurnya.
"Sudahlah, aku tak butuh penjelasanmu." Nafasnya makin memburu. "Aku mau kita selesaikan semua urusan kita di kamar, agar tidak ada yang mendengar leluconmu."
Aku pasrah pada apapun yang dia lakukan karena tak lagi punya energi untuk melawan, meski saat keluar nanti aku sudah tak bernyawa lagi...Aku pasrahkan sepenuhnya diriku pada Baskara. Energiku belum sepenuhnya pulih. Badan yang terasa dibanting berkali-kali dengan tulangku yang serasa patah satu persatu. Mau memberontak dengan kalimatpun aku tak sanggup lagi. “Bunuh aku saja!” Pintaku untuk terakhir kali. “Apa?” Baskara terkejut. “Aku ingin penderitaanku selesai.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku. “Ah, di mana seninya hidup, Andini, iika aku harus menghabisimu sekarang? Aku lebih menikmati dirimu sebagai mainanku yang bisa mengobati rasa bosan kapanpun aku mau.” Gumamnya tanpa merasa ada yang salah dari kalimatnya sedikitpun. Ingin sekali aku berteriak dan memakinya, namun diriku hanya sanggup menyaring kalimat itu sehingga tetap terjebak di dalam hati. “Andini…” Ibu jarinya meraba pipiku. Sungguh di luar dugaan. “Baskara, tolong… aku ingin semuanya selesai.” Bisikku. “Sssst… apa maksudmu? Kamu ingin segera menjadi Nyonya Baskara juga seperti Laura? Ck, ck, ck…” Aku menggeleng. “Lalu, apa maumu
Dugaanku tidak salah. Hal yang sesungguhnya tidak ingin aku saksikan akan terjadi. Sebuah nama terpampang di kertas undangan mewah berbalut warna emas dan merah. Kedua netraku masih terpaku pada tiap foto hasil jepretan fotografer handal ibukota. Baskara Jayakusuma bersanding dengan nama Laura Wright Danardi. Hatiku pecah berkeping. Baru semalam rasanya rasa cinta itu muncul dan berbunga. Tiba-tiba layu seketika. “Lho, Mbak Andini sudah baca undangannya?” Mak Ijah membangunkanku dari lamunan. Seketika aku letakkan kembali undangan mewah ke atas meja. Air mata sebisanya kutahan. “Eh, anu. Tadi Tuan Baskara berpesan, akhir pekan ini untuk mengajak Mbak Andini juga menghadiri pesta pernikahan Tuan Muda.” Pak Gun menyela. Setelah dia memindahkan beberapa pot bunga keluar ruangan, Pak Gun mendekati kami. “Apa sebaiknya Mbak Andini segera siap-siap saja, siapa tahu ada barang yang dibutuhkan untuk dibeli.” Hanya senyuman yang bisa aku berikan sebagai jawaban kali ini. Kepalaku seper
“Tante, Apakah aku mengganggu?”Wanita berparas ayu itu menyambut kedatangannya dengan pelukan.“Bayu! Kapan kamu datang?”Keduanya berpelukan. Seketika dia melupakan keberadaanku.“Ijah, bawa dia pergi. Akan aku selesaikan urusan ini di lain waktu.” Pesannya.Mak Ijah secepatnya mengajakku keluar.“Kita selamat, Mbak. Untung ada Tuan Bayu.” Nafasnya lega.“Siapa Bayu?” tanyaku sambil berjalan mensejajari Mak Ijah. “Apa dia keponakan ibu Baskara?”Mak Ijah mengangguk. “Dia keponakan kesayangan Nyonya Besar. Anak dari kakak Tuan Haji Agus, ayah Tuan Baskara.“Sepertinya beliau orang baik. Begitu perhatian dengan keponakannya.” Gumamku.“Kita tunggu dulu Pak Gun di sini. Tadi Pak Gun sudah menyiapkan satu kamar untuk Mbak Andini istirahat.”Tak berselang lama, Pak Gun datang membawa sebuah kartu di tangannya.“Mbak Andini, istirahat dulu di sini. Tuan Baskara bilang sebaiknya menginap saja daripada kelelahan. Semua keluarga besar juga di sini menginap di lantai atas.”“Maksudnya?” aku k
ANDINI's Point of View (POV) Mak Ijah tergopoh-gopoh menyusulku ke kamar. Bisa kusaksikan sendiri kalau nafasnya seakan mau putus. Sebetulnya aku kasihan melihatnya. Tapi aku harus tetap bertahan dengan rencana utamaku. Sudah cukup aku diatur-atur oleh Baskara dan keluarganya. “Mak, semua barang sudah saya packing. Sekarang tinggal check out. Pak Gun suruh siapkan mobilnya.” Perintahku dengan nada yang sengaja kubuat agar terkesan marah. “Mbak… Mbak Andini jangan marah ya…” bisiknya sambil mengelus-elus rambutku yang terurai panjang. “Mak, saya sudah tidak tahan di sini. Melihat keluarga Tuan Baskara yang semena-mena…” Mak Ijah melanjutkan packingku memasukkan beberapa barang ke tasnya. “Mau tidak mau, suka atau tidak suka… kita yang sudah dibeli waktunya oleh mereka, tidak boleh banyak mengeluh. Mak Ijah tidak bisa menolong apa-apa. Mak Ijah juga tak punya kuasa.” Mendengar nasehat tulusnya, aku terdiam. Sejuta kalimat yang sudah kurangkai padam. “Ayo, kita segera pulang ke
BASKARA’S POV Jam tangan Rolez melingkar di lengan kiriku telah menunjukkan pukul sebelas malam. Sengaja aku tidak mengganti pakaian setelah acara selesai. Hanya jas yang aku tanggalkan dan telah kugantung di dekat pintu masuk kamar. Kuhela nafas panjang setelah akhirnya kulalui hari ini. Rangkaian acara pesta yang sebenarnya lebih ingin aku skip, namun demi kebahagiaan Laura, aku rela melakukannya. “Sayang…” suara manja istriku, Laura mulai terdengar dari kamar mandi. Pintu kamar mandi akhirnya terbuka. Sosok cantik seperti bidadari itu muncul. “Iya, Sayang?” sapaku dan bangkit dari sofa tempatku duduk sejak tadi. “Hmmm… bisakah kamu bantu aku melepas pakaianku? Sejak tadi aku kesulitan…” Entah itu maksudnya menggodaku atau benar-benar ingin meminta bantuanku. Ada sensasi lain saat Laura mengatakan ini sekarang. “Baiklah…” Bagaikan binatang buas yang mendatangi buruannya, aku dalam sepersekian detik sudah ada di belakangnya. Mencoba mencari di mana kait baju dan resleting yan
ANDINI's POVSiapa sangka akhirnya aku mendapatkan ijin untuk menemani ibu ke klinik. Seharian menungguinya dan syukurlah aku berkesempatan untuk makan malam. Hal yang sudah sangat lama aku tidak bisa lakukan bersama semenjak terjadi insiden pernikahan kontrak itu.“Makan yang banyak, Andini… badanmu kurusan…” Ibu menambahkan beberapa sendok daging dan sayuran ke piringku.Aku hanya tersenyum sambil berusaha mengunyah makanan yang telah aku makan. Mungkin ini adalah keajaiban yang terjadi di tengah-tengah peliknya ujian yang menerpaku. Bisa bertemu ibu.“Iya, Kak… makan yang banyak.” Adikku ikut-ikutan menimpali.“Iya, iya… Andini nambah sendiri nanti, Bu.” Jawabku dengan keadaan mulut yang penuh dengan makanan.“Ibu, apa sekarang masih suka pusing?” Prasetia yang tadinya diam, kini ikut nimbrung dengan pembicaraan kami.Ada perasaan kikuk saat kini aku berdekatan dengannya. Mungkin karena beberapa bulan ini aku nyaris tak pernah bertemu dengannya lagi.Atau… karena aku sudah berstatu
BASKARA's POV Andini seperti sedang melihat hantu saat aku berdiri di depan pintu ruang tamu. Buku yang sedang dibacanya jatuh ke meja. “Surprise!” Ujarku saat melihatnya sedikit ketakutan. Ekspresi Andini terlihat makin terkejut. “Ka…ka… kamu? Kenapa ke sini?” Pertanyaan yang dilontarkan Andini padaku. Seperti itukah seorang istri menyambut suaminya datang berkunjung? Ah, aku harus meralat. Bukan istri tetapi seorang wanita bayaran. “Andini, kamu benar-benar tidak berterima kasih padaku. Semua keluargamu sudah aku biayai. Uang yang aku keluarkan tidak sedikit. Ketika aku datang, kamu malah menanyaiku kenapa aku ke mari?” Kalimat itu tak bisa kutahan lagi. Lama-lama kesabaranku sudah habis. Andini perlu dididik. “Maaf, Tuan Baskara…” Jelas Andini,”saya tidak tahu Tuan Baskara akan ke sini. Apalagi di masa pengantin baru. Tuan harusnya bersama istri tercinta menikmati kebersamaan…” Aku tidak bisa menebak apakah Andini sedang memberiku ceramah pernikahan atau mengejekku. “Andi
ANDINI’S POV Badanku terkulai lemah kehabisan tenaga. Nafasku serasa hampir putus. Dinginnya suasana malam villa saat hujan, membuatku semakin tak berdaya untuk beranjak dari sisi Baskara. Entah aku sudah mulai terbiasa atau tak lagi memikirkan apa yang baru saja terjadi. Kedua tangan Baskara yang kekar masih memelukku erat-erat. Terkadang aku berfikir, mungkin, jika aku dan dia bertemu tidak dalam paksaan… akankah hal-hal yang aku lalui ini menjadi momen terindah? “Andini…” Rupanya Baskara juga belum tertidur. Aku merasa risih saat dirinya memanggilku dari jarak sedekat ini. Seintim ini. “Andini, aku tahu kamu belum tidur.” Bisiknya. Aku tak berkata apapun. Nafaspun akan aku tahan jika aku tak memerlukan oksigen untuk melanjutkan hidup. “Andini…” Baskara mulai mengelus-elus tubuhku, sehingga aku menggeliat. “Kalau kau bergerak satu milimeter saja, aku tak akan segan-segan untuk mencekikmu! Diamlah Andini, jangan bergerak!” Tak ada yang bisa aku lakukan. Terkurung di kamarnya.
Seorang anak kecil memakai seragam taman kanak-kanak sedang menunggu jemputan pulang. Senyum manis menghiasi wajahnya."Belum dijemput?" Gurunya bertanya padanya. Hampir semua teman-temannya telah dijemput oleh orang tua, pembantu atau sopir.Anak itu menggeleng."Hmmm... ini sudah hampir satu jam dari jam pulang. Apa perlu Ibu antar ke rumahmu?" Guru itu merasa tidak tenang karena satu muridnya saja yang belum menunjukkan tanda-tanda akan segera dijemput."Tidak perlu, Bu. Ayah akan menjemputku sekalian membeli kue ulang tahun untukku." Jelas si kecil itu penuh semangat."Siapa yang berulang tahun? Bukankah kamu ulang tahun bulan depan?" "Ibuku maksudnya, tapi kata Ayahku, kue itu nanti aku yang akan memakannya...""Ohhh... jadi Ibumu yang berulang tahun hari ini. Selamat ulang tahun untuk Ibumu ya... Semoga Ibumu sehat, panjang umur dan bahagia selalu." Seru Guru itu sambil menemaninya duduk.
ANDINI's POVSuasana pemakaman jenazah Tuan Hadi dan Bayu diiringi isak tangis yang tak berkesudahan. Beberapa memilih untuk menundukkan kepala. Barangkali, mereka saling mengingat memori yang pernah terjadi di masa hidup mereka.Aku sadari, dalam kehidupan manusia yang panjang... kita bisa saja lupa atau alpa. Tak ubahnya seperti sebuah tulisan yang terkadang banyak yang harus dihapus atau diabaikan."Ma, sudah... Ma..." Baskara membisikkan kata itu di telinga Mamanya.Mamanya sejak tadi menangis tersedu dan tak kuasa menahan air mata yang terus membanjiri wajahnya yang cantik."Ma..." Baskara mengelus-elus lengan Mamanya dan membawanya dalam pelukan.Aku yakin, meski Baskara baru menyadari kalau Tuan Hadi adalah ayah kandungnya, pasti dia merasa kehilangan juga sekarang. Baskara belum sempat memperbaiki keadaan sebelum dia ditinggalkan.Mungkin, mungkin saja dia juga punya rencana untuk memanggilnya 'ayah' atau 'papa' semasa h
ANDINI's POV"Ayah mau ke mana?" Tanyaku menyaksikan Tuan Agus tampak terburu-buru. Di tangan kanannya sudah tertempel ponsel."Bentar, Andini. Kamu di rumah saja dulu." Dia berlari dan menggandeng tangan Mama yang sebetulnya sedang asyik bermain dengan Askara."Ada apa, Pa?" Tanya Mama sembari akhirnya menitipkan Askara padaku."Hadi dan Bayu kecelakaan." Itu saja kalimat yang bisa keluar dari mulutnya. Selanjutnya dia tetap melanjutkan pembicaraan di ponselnya."APA?" Mama Baskarapun pingsan seketika. Beberapa asisten rumah tangga dengan cepat membopongnya untuk ditidurkan di sofa panjang."Nyonya... Bangun Nyonya..." Mereka tampak cemas.Suasana semakin tidak karuan. Aku sampai lupa kalau sekarang ini diriku masih masa pemulihan pasca keguguran."Huhuhu..." Mama bangun lalu pingsan lagi. Air matanya tumpah."Nyonya, minum air dulu. Ini minum dulu..." Bibi Siti tergopoh-gopoh membawa segelas air untuk
BASKARA's POV Andini terlalu larut dalam lamunannya. Sekitar dua bulan ini tak banyak berkata pada siapapun. Dia lebih sering termenung. Papa dan Mama menyarankanku untuk pindah kembali ke rumah. Begitu pula dengan Hans, dia menyuruhku untuk segera pulang. "Percayalah padaku! Aku tahu bagaimana rasa sakitnya bercerai. Aku tahu. Aku bahkan sampai sekarang masih merasakan itu adalah siksaaan terberat dalam hidup." Hans yang selama ini jarang membuka suara soal apa yang dia rasakan, mulai bercerita. "Tapi selama ini juga kamu terlihat baik-baik saja. Kamu bahkan sudah punya pacar ponakan Bibi Siti, bukan? Waktu kita ke Australia saat itu." Aku sampaikan penilaianku terhadapnya. Hans tertawa terbahak-bahak. "Mungkin aku memang punya bakat akting yang terpendam. Kamu tak tahu berapa dalamnya luka itu di dalam hatiku." "Ah, kamu jangan sok puitis..." Komentarku pada Hans yang mulai tertawa. "Sungguh, aku bahkan tiga bulan setelah bercerai tidak bisa tidur kalau belum jam dua pagi.
ANDINI's POVBagiku ini adalah akhir. Tak bisa lagi aku mencari alasan untuk meyakinkanku tinggal. Rasanya lebih baik aku pergi sejauh-jauhnya.Baskara tak lagi mengenaliku. Bahkan dia sudah lupa dengan sentuhanku."Mbak, makan dulu." Alika, adikku menyediakan bubur ayam yang biasanya aku sangat lahap memakannya.Aku mengangguk tanpa suara. Batinku terlalu sibuk untuk berdialog dengan akalku."Mbak, jangan diem terus. Makanlah..." Sekali lagi Alika membujukku. Namun apa daya, makanan yang seharusnya nikmat disantap kini tak lagi menggugah seleraku."Andini, makanlah." Ibu menyuruhku. Kalau sudah Ibu yang menyuruh, aku tak bisa mengelak."Iya..." Aku patuh memaksa mulutku untuk menerima suapan demi suapan dari Alika."Nah, gitu. Kasihan bayi di perutmu, dia pasti butuh nutrisi." Ucap Ibuku. Saking terbelenggunya pikiranku pada kebencian dan sakit hati, aku lupa kalau tubuhku ini tak hanya milikku sendiri. "Habisin Mbak." Alika menyemangatiku untuk memakan beberapa suap terakhir. Mes
BASKARA's POV Beginikah rasanya ditinggalkan oleh orang yang kita cintai? Aku merasa diriku memang tak layak untuk menjadi suami Andini. Selama mengenalnya, dia tak pernah melakukan hal yang membuatku terpuruk atau tersakiti. Justru sebaliknya, aku yang selama ini menyiksanya. "Sudah... tenangkan saja dirimu, Tuan..." Maya masih setia menemaniku meski aku telah terjatuh dan dijauhi oleh anak dan istriku. Berkali-kali aku sudah menyuruhnya pergi, tapi dia bersikukuh untuk membantuku menyelesaikan masalah. Karena dia juga terlibat dalam skandal ini. "Maya, apa yang harus aku lakukan?" Keluhku padanya. Tak seorangpun mau bicara padaku. Bahkan Papa yang biasanya selalu ada, kini sudah menganggapku tak lebih baik dari seorang pengecut. Pak Gun juga tak menunjukkan batang hidungnya. Pak Ali juga lebih memilih untuk angkat tangan pura-pura tidak mau tahu. Ke mana semua orang yang selama ini baik padaku? Bukankah aku juga begitu baik dan memberikan semua kemudahan pada mereka? Hans sej
BASKARA's POV"Kamu terlihat cantik, Maya..." Mataku tak bisa lepas darinya.Sosok yang dulunya masih remaja dan datang ke keluargaku dalam keadaan lusuh, kini sudah berubah menjadi seorang bidadari yang menawan."Ini karena make up, Tuan..." Bisiknya.Kami harus menjaga jarak karena sedang berada di tempat umum. Kupastikan agar Maya berjalan di belakangku. Rasanya jemariku tak sanggup lagi jika harus menunggu dua atau tiga jam tanpa menyentuh kulit putih yang lembut itu."Baskara! Akhirnya kamu datang..." Papa menyambutku.Mama sejak kedatanganku seperti curiga padaku. Tapi aku pura-pura untuk tidak terjadi apa-apa. Keduanya sibuk dengan menggendong Askara dan Bagas. Bibi Siti juga tampak membersamai mereka."Mana Andini?" Tanyaku pada Mama.Bibirnya mengucapkan sesuatu sebelum akhirnya berkata-kata,"bukankah dia seharusnya berangkat bersamamu?"Pertanyaan Mama seperti menohokku sekarang. Je
ANDINI's POV Bertemu dengan Askara dan Bagas membuatku tersenyum seketika. Keduanya menyambutku dengan senyuman, Bagas bahkan berlari ke arahku saat pintu mobil dibuka. "Maa..." Ucapnya. Dia memelukku dengan sangat erat. "Rindu sama Mama?" Tanyaku. Perutnya terlihat semakin gembul. Pipinya juga terlihat semakin berisi. Sepertinya dia kerasan dan betah berada di rumah lagi. "Mama... Mama tu..." Bagas menunjuk-nunjuk pada beberapa pohon mangga di samping rumah yang sedang berbuah. Aku paham apa yang dia maksudkan. Dia ingin memetiknya. "Ah, kamu mau mangga itu?" Bagas mengangguk tanda setuju. "Mama masuk ke rumah dulu ya. Mau meletakkan barang-barang. Nanti menyusul kamu di sini lagi . Kamu sama Bibi Siti dulu..." Rupanya Bagas mendengarkan apa yang aku sampaikan padanya. Dengan sigap, Bibi Siti membopong tubuhnya untuk menjauh dariku. Karena aku masih membawa beberapa koper yan
BASKARA's POVTangan Maya masih berpegang pada tanganku. Perjalanan ke tukang kayu yang disarankan oleh kontraktor villa akhirnya membuahkan hasil. Maya tahu betul seluk-beluk wilayah villa dan sekitarnya."Untunglah kamu tahu betul wilayah sini, Maya." Pujiku sembari mengemudi mobil kami. Jalanan sedikit licin setelah hujan."Ahh... Aku tidak terlalu tahu sebenarnya. Hanya mengira-ngira saja tadi." Maya menyandarkan kepalanya di bahuku. Kami melanjutkan perjalanan sampai keluar perbatasan. Kondisi jalan memang sangat curam dan berhadapan langsung dengan tebing."Tuan... hati-hati menyetirnya. Jangan sampai jatuh ke jurang." Pesannya. Dia sedikit mengencangkan pegangannya ke tangan kiriku.Aku menghela nafas dan menenangkannya. "Iya. Aku hati-hati kok. Jalanannya memang seperti ini, tapi aku masih bisa melaluinya."Rupanya memang tak mudah melalui jalur satu-satunya ini. Jalanan cukup licin dan banyak akar tan