Aku pasrahkan sepenuhnya diriku pada Baskara. Energiku belum sepenuhnya pulih. Badan yang terasa dibanting berkali-kali dengan tulangku yang serasa patah satu persatu.
Mau memberontak dengan kalimatpun aku tak sanggup lagi.
“Bunuh aku saja!” Pintaku untuk terakhir kali.
“Apa?” Baskara terkejut.
“Aku ingin penderitaanku selesai.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku.
“Ah, di mana seninya hidup, Andini, iika aku harus menghabisimu sekarang? Aku lebih menikmati dirimu sebagai mainanku yang bisa mengobati rasa bosan kapanpun aku mau.”
Gumamnya tanpa merasa ada yang salah dari kalimatnya sedikitpun.
Ingin sekali aku berteriak dan memakinya, namun diriku hanya sanggup menyaring kalimat itu sehingga tetap terjebak di dalam hati.
“Andini…” Ibu jarinya meraba pipiku. Sungguh di luar dugaan.
“Baskara, tolong… aku ingin semuanya selesai.” Bisikku.
“Sssst… apa maksudmu? Kamu ingin segera menjadi Nyonya Baskara juga seperti Laura? Ck, ck, ck…”
Aku menggeleng.“Lalu, apa maumu?” Dia bertanya lagi. Makin meradang karena dugaannya salah.
“Bebaskan aku!” Sisa kekuatanku hanya mampu mengatakan itu.
Tiba-tiba Baskara meletakkan kepalanya di pundakku. Ekspresinya terlihat lelah dan tidak lagi mood untuk bertengkar atau berkelahi.
“Hibur aku malam ini saja, Andini!”
Di luar dugaan, Baskara mengiba kepadaku. Seorang Baskara yang biasanya angkuh, sombong, suka memerintah orang lain dan tidak peka pada perasaan siapapun! Dia mengiba padaku.
Apa aku tidak salah dengar?
“Baskara?” Seketika aku bangkit dan seolah mendapatkan energi untuk melakukan sesuatu.
“Kumohon… Hibur aku!” Pintanya sekali lagi. Kedua matanya memelas.
Dengan gemetar, kedua tanganku memeluknya. Aku tak bertanya apa-apa lagi. Kupikir ini yang bisa aku lakukan sekarang, setidaknya satu di antara kami nanti akan menyesal setelah pagi datang.
Baskarapun tersungkur dalam pelukanku.Sejenak aku hentikan peperangan dan permusuhanku. Kuletakkan egoku dan rasa keinginanku untuk balas dendam.
Aku melihat Baskara sebagai manusia. Manusia biasa yang layak untuk dikasihani dan diberi kesempatan kedua.
**
Keesokan paginya, kurasakan ngilu di tubuhku makin menjadi-jadi. Rupanya kami berdua semalam tertidur di lantai beralaskan karpet.
Aku terduduk dan Baskara meletakkan kepalanya di pundakku.
“E… ehh… aku harus ke kamar mandi.” Bisikku.
Baskara belum ada tanda-tanda sadar atau terbangun dari tidurnya. Meski posisi kami tidak nyaman, badan tertekuk dan bertindihan satu sama lain, ajaibnya dia terlihat tidur lelap dan pulas.
“Baskara… Tuan… bangunlah!” Aku sedikit meninggikan volume suara.
Belum juga ada reaksi. Tangan kananku menggerakkan kepalanya perlahan.
“A-aapa?” Akhirnya dia bersuara dalam keadaan mata masih terpejam. “Oh, maaf.”
Baskara akhirnya bangkit. Suara gemertak sendi-sendinya terdengar karena semalaman dia tidur dengan sedikit menekuk punggung dan kakinya.
Tak bisa menahan rasa malu lebih lama lagi, akupun segera berlari ke kamar mandi. Kunyalakan kran wastafel sehingga aku tak lagi mendengar apapun yang terjadi di luar kamar mandi.
“Celaka! Ini adalah kamar mandi Baskara. Aku harus kembali ke kamarku untuk mandi.”
Secepatnya aku membuka pintu dan melihat Baskara yang masih keheranan.“Aku harus pergi. Aku mau mandi di kamarku saja.”
Mungkin jika dilihat dari sudut pandang orang lain, kami terkesan malu-malu. Tapi memang itulah yang sebenarnya terjadi.**
Saat sarapan, aku mencoba menata hatiku agar bisa bersikap normal. Memang itu sulit aku lakukan setelah apa yang terjadi semalam. Baskara pun sepertinya demikian, hanya saja dia memang lebih lihai dalam menyembunyikan sesuatu.
Mak Ijah menyajikan sarapan secepatnya dan mempersilakan kami menyantapnya.
“Ayo, segera dimakan mumpung masih hangat. Ini kesukaan Tuan Muda semuanya…” Mak Ijah dengan aura keibuan seperti biasanya, mengambilkan piring satu persatu untukku dan Baskara.Kedua jemarinya masih asyik main handphone. Atau itu hanya kilahnya saja agar teralihkan?
Sejujurnya, pagi ini bagiku adalah pagi terindah selama aku beberapa bulan berada di villa. Aku diperlakukan seperti manusia.Dan ada hal lain yang mulai membuatku sedikit tidak nyaman. Perasaan baru yang tumbuh sejak semalam. Apakah aku jatuh cinta pada Baskara?
Atau ini hanya karena aku merasa dibutuhkan saja olehnya semalam?
“Tuan Muda, ayo segera disantap. Mak Ijah mau ke belakang lagi.” Mak Ijah memberikan kode padaku untuk mengambilkan nasi dan lauk-pauk di piring Baskara.
“Mbak Andini, ayo suaminya dilayani…” Mak Ijah seperti akan tertawa namun segera ditahan saat mengatakan itu padaku.
Aku makin kikuk.
Kedua mata Mak Ijah seakan menyeretku untuk melakukan apa yang dia katakan tadi.
“Mak?” aku semakin malu.
“Ayo, buruan. Itu Tuan Baskara menunggu dilayani.”
Kali ini Baskara ikut memperhatikan tingkahku. Dia sengaja membiarkanku mengambilkan nasi dan lauk di piringnya. Karena aku sedikit grogi, kuambilkan saja sekenanya dengan jumlah melimpah.
“Andini?” tanya Baskara saat melihat piring kosong yang kini sudah berubah menjadi gunung nasi.
“Ya?” balasku tanpa melihat ke arahnya sama sekali.
“Kamu ingin aku mati muda karena diabetes? Nasinya kebanyakan itu…” celotehnya.
Kami semua tertawa. Selera humornya memang boleh dibilang sedikit berbeda dariku.
**
Baru pertama kali rasanya, aku menikmati tinggal di villa. Dugaanku, ini adalah awal menuju era perubahan. Meskipun awalnya kami menikah karena sama-sama terpaksa dan bukan karena kehendak sendiri, kupikir hari ini adalah awal yang baik untuk memulai semuanya dari awal.
Baskara sedikit melunak. Sempat aku melihat dia beberapa kali mencuri pandang ke arahku. Hanya saja aku pura-pura tidak mengetahuinya.
“Tuan Muda, apa mau Mak Ijah bungkuskan makanan kesukaannya? Siapa tahu nanti di perjalanan kelaparan, jadi tidak perlu mampir-mampir lagi.”
Mendengar Mak Ijah menawarinya makanan, Baskara mengangguk dan menyetujuinya. Apakah seperti ini dirinya saat normal? Sisi yang sama sekali berlum pernah aku lihat sebelumnya.
Diam-diam aku mengamatinya saat bercengkerama dengan Mak Ijah dan Pak Gun. Ada tawa renyah dan sesekali aura bahagia juga terpancar dari dirinya.
Dia bukan Baskara yang selama ini aku kenali. Apakah karena semalam itu dia jadi merasa terbuka dan taka da lagi hal yang ditutup-tutupi?
“Mbak Andini, ini Tuan Muda mau pamitan pulang ke kota.” Pak Gun melambaikan tangan saat aku hanya berdiri mematung dari pintu depan ruang tamu.
Nampak mobil Alphard hitam sudah Bersiap parkir di carport depan. Baskara sudah duduk manis di kursi belakang. Sopirnya sesekali mengecek barang apakah mungkin ada yang tertinggal.
“Iya Pak.” Aku sekali lagi harus menata hati.
Apa yang akan aku lakukan dan apa yang seharusnya aku lakukan jika suamiku hendak meninggalkan villa? Haruskah aku cium tangan? Mencium pipi dan mungkin lebih dari itu?
Kudekatkan kakiku menuju mobil. Meskipun ini terasa sedikit aneh karena aku belum pernah melakukannya. Ah, mungkin setelah ini aku akan terbiasa.
“Hati-hati…” pesanku lirih.
Baskara tersenyum dan mengangguk.
Mak Ijah dan aku melambaikan tangan, begitu juga dengan Pak Gun yang bersiap di gerbang depan bersama dengan sekuriti.
“Pak Gun, jangan lupa soal undangannya! Kasih tahu Andini dan Mak Ijah juga ya untuk datang…” kalimat itu yang terdengar jelas sebelum pintu mobil ditutup.
Undangan? Aku teringat pada setumpuk surat undangan yang tergeletak di meja depan tadi. Entah kenapa perasaanku mendadak berubah seketika. Sederet scenario mulai bermain di benakku. Kuharap, semua dugaan-dugaan itu tidak benar.
Dugaanku tidak salah. Hal yang sesungguhnya tidak ingin aku saksikan akan terjadi. Sebuah nama terpampang di kertas undangan mewah berbalut warna emas dan merah. Kedua netraku masih terpaku pada tiap foto hasil jepretan fotografer handal ibukota. Baskara Jayakusuma bersanding dengan nama Laura Wright Danardi. Hatiku pecah berkeping. Baru semalam rasanya rasa cinta itu muncul dan berbunga. Tiba-tiba layu seketika. “Lho, Mbak Andini sudah baca undangannya?” Mak Ijah membangunkanku dari lamunan. Seketika aku letakkan kembali undangan mewah ke atas meja. Air mata sebisanya kutahan. “Eh, anu. Tadi Tuan Baskara berpesan, akhir pekan ini untuk mengajak Mbak Andini juga menghadiri pesta pernikahan Tuan Muda.” Pak Gun menyela. Setelah dia memindahkan beberapa pot bunga keluar ruangan, Pak Gun mendekati kami. “Apa sebaiknya Mbak Andini segera siap-siap saja, siapa tahu ada barang yang dibutuhkan untuk dibeli.” Hanya senyuman yang bisa aku berikan sebagai jawaban kali ini. Kepalaku seper
“Tante, Apakah aku mengganggu?”Wanita berparas ayu itu menyambut kedatangannya dengan pelukan.“Bayu! Kapan kamu datang?”Keduanya berpelukan. Seketika dia melupakan keberadaanku.“Ijah, bawa dia pergi. Akan aku selesaikan urusan ini di lain waktu.” Pesannya.Mak Ijah secepatnya mengajakku keluar.“Kita selamat, Mbak. Untung ada Tuan Bayu.” Nafasnya lega.“Siapa Bayu?” tanyaku sambil berjalan mensejajari Mak Ijah. “Apa dia keponakan ibu Baskara?”Mak Ijah mengangguk. “Dia keponakan kesayangan Nyonya Besar. Anak dari kakak Tuan Haji Agus, ayah Tuan Baskara.“Sepertinya beliau orang baik. Begitu perhatian dengan keponakannya.” Gumamku.“Kita tunggu dulu Pak Gun di sini. Tadi Pak Gun sudah menyiapkan satu kamar untuk Mbak Andini istirahat.”Tak berselang lama, Pak Gun datang membawa sebuah kartu di tangannya.“Mbak Andini, istirahat dulu di sini. Tuan Baskara bilang sebaiknya menginap saja daripada kelelahan. Semua keluarga besar juga di sini menginap di lantai atas.”“Maksudnya?” aku k
ANDINI's Point of View (POV) Mak Ijah tergopoh-gopoh menyusulku ke kamar. Bisa kusaksikan sendiri kalau nafasnya seakan mau putus. Sebetulnya aku kasihan melihatnya. Tapi aku harus tetap bertahan dengan rencana utamaku. Sudah cukup aku diatur-atur oleh Baskara dan keluarganya. “Mak, semua barang sudah saya packing. Sekarang tinggal check out. Pak Gun suruh siapkan mobilnya.” Perintahku dengan nada yang sengaja kubuat agar terkesan marah. “Mbak… Mbak Andini jangan marah ya…” bisiknya sambil mengelus-elus rambutku yang terurai panjang. “Mak, saya sudah tidak tahan di sini. Melihat keluarga Tuan Baskara yang semena-mena…” Mak Ijah melanjutkan packingku memasukkan beberapa barang ke tasnya. “Mau tidak mau, suka atau tidak suka… kita yang sudah dibeli waktunya oleh mereka, tidak boleh banyak mengeluh. Mak Ijah tidak bisa menolong apa-apa. Mak Ijah juga tak punya kuasa.” Mendengar nasehat tulusnya, aku terdiam. Sejuta kalimat yang sudah kurangkai padam. “Ayo, kita segera pulang ke
BASKARA’S POV Jam tangan Rolez melingkar di lengan kiriku telah menunjukkan pukul sebelas malam. Sengaja aku tidak mengganti pakaian setelah acara selesai. Hanya jas yang aku tanggalkan dan telah kugantung di dekat pintu masuk kamar. Kuhela nafas panjang setelah akhirnya kulalui hari ini. Rangkaian acara pesta yang sebenarnya lebih ingin aku skip, namun demi kebahagiaan Laura, aku rela melakukannya. “Sayang…” suara manja istriku, Laura mulai terdengar dari kamar mandi. Pintu kamar mandi akhirnya terbuka. Sosok cantik seperti bidadari itu muncul. “Iya, Sayang?” sapaku dan bangkit dari sofa tempatku duduk sejak tadi. “Hmmm… bisakah kamu bantu aku melepas pakaianku? Sejak tadi aku kesulitan…” Entah itu maksudnya menggodaku atau benar-benar ingin meminta bantuanku. Ada sensasi lain saat Laura mengatakan ini sekarang. “Baiklah…” Bagaikan binatang buas yang mendatangi buruannya, aku dalam sepersekian detik sudah ada di belakangnya. Mencoba mencari di mana kait baju dan resleting yan
ANDINI's POVSiapa sangka akhirnya aku mendapatkan ijin untuk menemani ibu ke klinik. Seharian menungguinya dan syukurlah aku berkesempatan untuk makan malam. Hal yang sudah sangat lama aku tidak bisa lakukan bersama semenjak terjadi insiden pernikahan kontrak itu.“Makan yang banyak, Andini… badanmu kurusan…” Ibu menambahkan beberapa sendok daging dan sayuran ke piringku.Aku hanya tersenyum sambil berusaha mengunyah makanan yang telah aku makan. Mungkin ini adalah keajaiban yang terjadi di tengah-tengah peliknya ujian yang menerpaku. Bisa bertemu ibu.“Iya, Kak… makan yang banyak.” Adikku ikut-ikutan menimpali.“Iya, iya… Andini nambah sendiri nanti, Bu.” Jawabku dengan keadaan mulut yang penuh dengan makanan.“Ibu, apa sekarang masih suka pusing?” Prasetia yang tadinya diam, kini ikut nimbrung dengan pembicaraan kami.Ada perasaan kikuk saat kini aku berdekatan dengannya. Mungkin karena beberapa bulan ini aku nyaris tak pernah bertemu dengannya lagi.Atau… karena aku sudah berstatu
BASKARA's POV Andini seperti sedang melihat hantu saat aku berdiri di depan pintu ruang tamu. Buku yang sedang dibacanya jatuh ke meja. “Surprise!” Ujarku saat melihatnya sedikit ketakutan. Ekspresi Andini terlihat makin terkejut. “Ka…ka… kamu? Kenapa ke sini?” Pertanyaan yang dilontarkan Andini padaku. Seperti itukah seorang istri menyambut suaminya datang berkunjung? Ah, aku harus meralat. Bukan istri tetapi seorang wanita bayaran. “Andini, kamu benar-benar tidak berterima kasih padaku. Semua keluargamu sudah aku biayai. Uang yang aku keluarkan tidak sedikit. Ketika aku datang, kamu malah menanyaiku kenapa aku ke mari?” Kalimat itu tak bisa kutahan lagi. Lama-lama kesabaranku sudah habis. Andini perlu dididik. “Maaf, Tuan Baskara…” Jelas Andini,”saya tidak tahu Tuan Baskara akan ke sini. Apalagi di masa pengantin baru. Tuan harusnya bersama istri tercinta menikmati kebersamaan…” Aku tidak bisa menebak apakah Andini sedang memberiku ceramah pernikahan atau mengejekku. “Andi
ANDINI’S POV Badanku terkulai lemah kehabisan tenaga. Nafasku serasa hampir putus. Dinginnya suasana malam villa saat hujan, membuatku semakin tak berdaya untuk beranjak dari sisi Baskara. Entah aku sudah mulai terbiasa atau tak lagi memikirkan apa yang baru saja terjadi. Kedua tangan Baskara yang kekar masih memelukku erat-erat. Terkadang aku berfikir, mungkin, jika aku dan dia bertemu tidak dalam paksaan… akankah hal-hal yang aku lalui ini menjadi momen terindah? “Andini…” Rupanya Baskara juga belum tertidur. Aku merasa risih saat dirinya memanggilku dari jarak sedekat ini. Seintim ini. “Andini, aku tahu kamu belum tidur.” Bisiknya. Aku tak berkata apapun. Nafaspun akan aku tahan jika aku tak memerlukan oksigen untuk melanjutkan hidup. “Andini…” Baskara mulai mengelus-elus tubuhku, sehingga aku menggeliat. “Kalau kau bergerak satu milimeter saja, aku tak akan segan-segan untuk mencekikmu! Diamlah Andini, jangan bergerak!” Tak ada yang bisa aku lakukan. Terkurung di kamarnya.
BASKARA's POV Sekembalinya ke rumah, Laura sudah Bersiap menyambutku dengan lingerie warna merah. Dia tahu warn aitu adalah favoritku. Rambutnya sudah tergerai panjang. Hm, seperti sedang berhadapan dengan Princess dari Eropa. “Welcome home!” kedua tangannya merangkulku. Pak Gun yang membawakan barang-barangku berhenti di depan pintu langsung undur diri. “Hanya pelukan saja? Katanya kamu kangen semalam.” Godaku. Laura mendaratkan ciumannya bahkan ketika kami masih di depan pintu kamarku. Seorang pembantu yang terdengar lewat terburu-buru menjauh. Tanpa kusadari, Mama datang dari arah berlawanan. Beliau berdehem dan batuk yang aku tahu itu pasti dibuat-buat. “Baskara, aku tahu kau rindu pada istrimu. Tapi tolong, kalian tidak hidup berdua saja di sini. Lakukan itu semuanya atau apapun yang kamu mau di kamar. Dan… tutup pintunya!” Suara hak sepatunya terdengar makin jauh menuruni anak tangga. Masih kudengar suaranya mengeluh. “Anak muda jaman sekarang, masak hal seperti itu mu
Seorang anak kecil memakai seragam taman kanak-kanak sedang menunggu jemputan pulang. Senyum manis menghiasi wajahnya."Belum dijemput?" Gurunya bertanya padanya. Hampir semua teman-temannya telah dijemput oleh orang tua, pembantu atau sopir.Anak itu menggeleng."Hmmm... ini sudah hampir satu jam dari jam pulang. Apa perlu Ibu antar ke rumahmu?" Guru itu merasa tidak tenang karena satu muridnya saja yang belum menunjukkan tanda-tanda akan segera dijemput."Tidak perlu, Bu. Ayah akan menjemputku sekalian membeli kue ulang tahun untukku." Jelas si kecil itu penuh semangat."Siapa yang berulang tahun? Bukankah kamu ulang tahun bulan depan?" "Ibuku maksudnya, tapi kata Ayahku, kue itu nanti aku yang akan memakannya...""Ohhh... jadi Ibumu yang berulang tahun hari ini. Selamat ulang tahun untuk Ibumu ya... Semoga Ibumu sehat, panjang umur dan bahagia selalu." Seru Guru itu sambil menemaninya duduk.
ANDINI's POVSuasana pemakaman jenazah Tuan Hadi dan Bayu diiringi isak tangis yang tak berkesudahan. Beberapa memilih untuk menundukkan kepala. Barangkali, mereka saling mengingat memori yang pernah terjadi di masa hidup mereka.Aku sadari, dalam kehidupan manusia yang panjang... kita bisa saja lupa atau alpa. Tak ubahnya seperti sebuah tulisan yang terkadang banyak yang harus dihapus atau diabaikan."Ma, sudah... Ma..." Baskara membisikkan kata itu di telinga Mamanya.Mamanya sejak tadi menangis tersedu dan tak kuasa menahan air mata yang terus membanjiri wajahnya yang cantik."Ma..." Baskara mengelus-elus lengan Mamanya dan membawanya dalam pelukan.Aku yakin, meski Baskara baru menyadari kalau Tuan Hadi adalah ayah kandungnya, pasti dia merasa kehilangan juga sekarang. Baskara belum sempat memperbaiki keadaan sebelum dia ditinggalkan.Mungkin, mungkin saja dia juga punya rencana untuk memanggilnya 'ayah' atau 'papa' semasa h
ANDINI's POV"Ayah mau ke mana?" Tanyaku menyaksikan Tuan Agus tampak terburu-buru. Di tangan kanannya sudah tertempel ponsel."Bentar, Andini. Kamu di rumah saja dulu." Dia berlari dan menggandeng tangan Mama yang sebetulnya sedang asyik bermain dengan Askara."Ada apa, Pa?" Tanya Mama sembari akhirnya menitipkan Askara padaku."Hadi dan Bayu kecelakaan." Itu saja kalimat yang bisa keluar dari mulutnya. Selanjutnya dia tetap melanjutkan pembicaraan di ponselnya."APA?" Mama Baskarapun pingsan seketika. Beberapa asisten rumah tangga dengan cepat membopongnya untuk ditidurkan di sofa panjang."Nyonya... Bangun Nyonya..." Mereka tampak cemas.Suasana semakin tidak karuan. Aku sampai lupa kalau sekarang ini diriku masih masa pemulihan pasca keguguran."Huhuhu..." Mama bangun lalu pingsan lagi. Air matanya tumpah."Nyonya, minum air dulu. Ini minum dulu..." Bibi Siti tergopoh-gopoh membawa segelas air untuk
BASKARA's POV Andini terlalu larut dalam lamunannya. Sekitar dua bulan ini tak banyak berkata pada siapapun. Dia lebih sering termenung. Papa dan Mama menyarankanku untuk pindah kembali ke rumah. Begitu pula dengan Hans, dia menyuruhku untuk segera pulang. "Percayalah padaku! Aku tahu bagaimana rasa sakitnya bercerai. Aku tahu. Aku bahkan sampai sekarang masih merasakan itu adalah siksaaan terberat dalam hidup." Hans yang selama ini jarang membuka suara soal apa yang dia rasakan, mulai bercerita. "Tapi selama ini juga kamu terlihat baik-baik saja. Kamu bahkan sudah punya pacar ponakan Bibi Siti, bukan? Waktu kita ke Australia saat itu." Aku sampaikan penilaianku terhadapnya. Hans tertawa terbahak-bahak. "Mungkin aku memang punya bakat akting yang terpendam. Kamu tak tahu berapa dalamnya luka itu di dalam hatiku." "Ah, kamu jangan sok puitis..." Komentarku pada Hans yang mulai tertawa. "Sungguh, aku bahkan tiga bulan setelah bercerai tidak bisa tidur kalau belum jam dua pagi.
ANDINI's POVBagiku ini adalah akhir. Tak bisa lagi aku mencari alasan untuk meyakinkanku tinggal. Rasanya lebih baik aku pergi sejauh-jauhnya.Baskara tak lagi mengenaliku. Bahkan dia sudah lupa dengan sentuhanku."Mbak, makan dulu." Alika, adikku menyediakan bubur ayam yang biasanya aku sangat lahap memakannya.Aku mengangguk tanpa suara. Batinku terlalu sibuk untuk berdialog dengan akalku."Mbak, jangan diem terus. Makanlah..." Sekali lagi Alika membujukku. Namun apa daya, makanan yang seharusnya nikmat disantap kini tak lagi menggugah seleraku."Andini, makanlah." Ibu menyuruhku. Kalau sudah Ibu yang menyuruh, aku tak bisa mengelak."Iya..." Aku patuh memaksa mulutku untuk menerima suapan demi suapan dari Alika."Nah, gitu. Kasihan bayi di perutmu, dia pasti butuh nutrisi." Ucap Ibuku. Saking terbelenggunya pikiranku pada kebencian dan sakit hati, aku lupa kalau tubuhku ini tak hanya milikku sendiri. "Habisin Mbak." Alika menyemangatiku untuk memakan beberapa suap terakhir. Mes
BASKARA's POV Beginikah rasanya ditinggalkan oleh orang yang kita cintai? Aku merasa diriku memang tak layak untuk menjadi suami Andini. Selama mengenalnya, dia tak pernah melakukan hal yang membuatku terpuruk atau tersakiti. Justru sebaliknya, aku yang selama ini menyiksanya. "Sudah... tenangkan saja dirimu, Tuan..." Maya masih setia menemaniku meski aku telah terjatuh dan dijauhi oleh anak dan istriku. Berkali-kali aku sudah menyuruhnya pergi, tapi dia bersikukuh untuk membantuku menyelesaikan masalah. Karena dia juga terlibat dalam skandal ini. "Maya, apa yang harus aku lakukan?" Keluhku padanya. Tak seorangpun mau bicara padaku. Bahkan Papa yang biasanya selalu ada, kini sudah menganggapku tak lebih baik dari seorang pengecut. Pak Gun juga tak menunjukkan batang hidungnya. Pak Ali juga lebih memilih untuk angkat tangan pura-pura tidak mau tahu. Ke mana semua orang yang selama ini baik padaku? Bukankah aku juga begitu baik dan memberikan semua kemudahan pada mereka? Hans sej
BASKARA's POV"Kamu terlihat cantik, Maya..." Mataku tak bisa lepas darinya.Sosok yang dulunya masih remaja dan datang ke keluargaku dalam keadaan lusuh, kini sudah berubah menjadi seorang bidadari yang menawan."Ini karena make up, Tuan..." Bisiknya.Kami harus menjaga jarak karena sedang berada di tempat umum. Kupastikan agar Maya berjalan di belakangku. Rasanya jemariku tak sanggup lagi jika harus menunggu dua atau tiga jam tanpa menyentuh kulit putih yang lembut itu."Baskara! Akhirnya kamu datang..." Papa menyambutku.Mama sejak kedatanganku seperti curiga padaku. Tapi aku pura-pura untuk tidak terjadi apa-apa. Keduanya sibuk dengan menggendong Askara dan Bagas. Bibi Siti juga tampak membersamai mereka."Mana Andini?" Tanyaku pada Mama.Bibirnya mengucapkan sesuatu sebelum akhirnya berkata-kata,"bukankah dia seharusnya berangkat bersamamu?"Pertanyaan Mama seperti menohokku sekarang. Je
ANDINI's POV Bertemu dengan Askara dan Bagas membuatku tersenyum seketika. Keduanya menyambutku dengan senyuman, Bagas bahkan berlari ke arahku saat pintu mobil dibuka. "Maa..." Ucapnya. Dia memelukku dengan sangat erat. "Rindu sama Mama?" Tanyaku. Perutnya terlihat semakin gembul. Pipinya juga terlihat semakin berisi. Sepertinya dia kerasan dan betah berada di rumah lagi. "Mama... Mama tu..." Bagas menunjuk-nunjuk pada beberapa pohon mangga di samping rumah yang sedang berbuah. Aku paham apa yang dia maksudkan. Dia ingin memetiknya. "Ah, kamu mau mangga itu?" Bagas mengangguk tanda setuju. "Mama masuk ke rumah dulu ya. Mau meletakkan barang-barang. Nanti menyusul kamu di sini lagi . Kamu sama Bibi Siti dulu..." Rupanya Bagas mendengarkan apa yang aku sampaikan padanya. Dengan sigap, Bibi Siti membopong tubuhnya untuk menjauh dariku. Karena aku masih membawa beberapa koper yan
BASKARA's POVTangan Maya masih berpegang pada tanganku. Perjalanan ke tukang kayu yang disarankan oleh kontraktor villa akhirnya membuahkan hasil. Maya tahu betul seluk-beluk wilayah villa dan sekitarnya."Untunglah kamu tahu betul wilayah sini, Maya." Pujiku sembari mengemudi mobil kami. Jalanan sedikit licin setelah hujan."Ahh... Aku tidak terlalu tahu sebenarnya. Hanya mengira-ngira saja tadi." Maya menyandarkan kepalanya di bahuku. Kami melanjutkan perjalanan sampai keluar perbatasan. Kondisi jalan memang sangat curam dan berhadapan langsung dengan tebing."Tuan... hati-hati menyetirnya. Jangan sampai jatuh ke jurang." Pesannya. Dia sedikit mengencangkan pegangannya ke tangan kiriku.Aku menghela nafas dan menenangkannya. "Iya. Aku hati-hati kok. Jalanannya memang seperti ini, tapi aku masih bisa melaluinya."Rupanya memang tak mudah melalui jalur satu-satunya ini. Jalanan cukup licin dan banyak akar tan