Hai lovely readers, bagaimana kabar kalian? Semoga masih betah ya untuk menyimak kisah Baskara dan Andini... Makin ke sini, konfliknya makin terlihat ya. Happy reading and happy weekend!
BASKARA's POV Andini seperti sedang melihat hantu saat aku berdiri di depan pintu ruang tamu. Buku yang sedang dibacanya jatuh ke meja. “Surprise!” Ujarku saat melihatnya sedikit ketakutan. Ekspresi Andini terlihat makin terkejut. “Ka…ka… kamu? Kenapa ke sini?” Pertanyaan yang dilontarkan Andini padaku. Seperti itukah seorang istri menyambut suaminya datang berkunjung? Ah, aku harus meralat. Bukan istri tetapi seorang wanita bayaran. “Andini, kamu benar-benar tidak berterima kasih padaku. Semua keluargamu sudah aku biayai. Uang yang aku keluarkan tidak sedikit. Ketika aku datang, kamu malah menanyaiku kenapa aku ke mari?” Kalimat itu tak bisa kutahan lagi. Lama-lama kesabaranku sudah habis. Andini perlu dididik. “Maaf, Tuan Baskara…” Jelas Andini,”saya tidak tahu Tuan Baskara akan ke sini. Apalagi di masa pengantin baru. Tuan harusnya bersama istri tercinta menikmati kebersamaan…” Aku tidak bisa menebak apakah Andini sedang memberiku ceramah pernikahan atau mengejekku. “Andi
ANDINI’S POV Badanku terkulai lemah kehabisan tenaga. Nafasku serasa hampir putus. Dinginnya suasana malam villa saat hujan, membuatku semakin tak berdaya untuk beranjak dari sisi Baskara. Entah aku sudah mulai terbiasa atau tak lagi memikirkan apa yang baru saja terjadi. Kedua tangan Baskara yang kekar masih memelukku erat-erat. Terkadang aku berfikir, mungkin, jika aku dan dia bertemu tidak dalam paksaan… akankah hal-hal yang aku lalui ini menjadi momen terindah? “Andini…” Rupanya Baskara juga belum tertidur. Aku merasa risih saat dirinya memanggilku dari jarak sedekat ini. Seintim ini. “Andini, aku tahu kamu belum tidur.” Bisiknya. Aku tak berkata apapun. Nafaspun akan aku tahan jika aku tak memerlukan oksigen untuk melanjutkan hidup. “Andini…” Baskara mulai mengelus-elus tubuhku, sehingga aku menggeliat. “Kalau kau bergerak satu milimeter saja, aku tak akan segan-segan untuk mencekikmu! Diamlah Andini, jangan bergerak!” Tak ada yang bisa aku lakukan. Terkurung di kamarnya.
BASKARA's POV Sekembalinya ke rumah, Laura sudah Bersiap menyambutku dengan lingerie warna merah. Dia tahu warn aitu adalah favoritku. Rambutnya sudah tergerai panjang. Hm, seperti sedang berhadapan dengan Princess dari Eropa. “Welcome home!” kedua tangannya merangkulku. Pak Gun yang membawakan barang-barangku berhenti di depan pintu langsung undur diri. “Hanya pelukan saja? Katanya kamu kangen semalam.” Godaku. Laura mendaratkan ciumannya bahkan ketika kami masih di depan pintu kamarku. Seorang pembantu yang terdengar lewat terburu-buru menjauh. Tanpa kusadari, Mama datang dari arah berlawanan. Beliau berdehem dan batuk yang aku tahu itu pasti dibuat-buat. “Baskara, aku tahu kau rindu pada istrimu. Tapi tolong, kalian tidak hidup berdua saja di sini. Lakukan itu semuanya atau apapun yang kamu mau di kamar. Dan… tutup pintunya!” Suara hak sepatunya terdengar makin jauh menuruni anak tangga. Masih kudengar suaranya mengeluh. “Anak muda jaman sekarang, masak hal seperti itu mu
BASKARA’s POV“Sepertinya, proyek ini akan selesai pembangunan struktur utama beserta pemasangan dinding di akhir tahun ini, Pak Baskara.”Mandor utama, Pak Ali, yang sekarang bisa lebih intens mengawasi proyek menjelaskan padaku. Grafik perkembangan pembangunannya memang melaju pesat sejak Pak Ali stay di villa.“Baik, Pak Ali. Saya harap ini bisa sesuai dengan rencana.” Ucapku sambil sekali lagi melihat gambar kerja yang dibuat beberapa perubahannya.“Siap, Pak Baskara.” Beliau undur diri dan kembali mengawasi proyek yang sudah mencapai lantai ke tiga.Cukup lelah dengan kegiatan hampir seharian di proyek, kuputuskan untuk pulang singgah ke villa. Debu dan kotoran di area proyek membuatku ingin cepat-cepat mandi membersihkan diri.Sengaja hari ini aku menyetir sendiri langsung dari rumah utama. Pak Gun sedang sibuk membantu acara kantor Papa, sedangkan sopir yang lain baru bisa available akhir pekan.Di luar kendaliku, aku sudah berada lagi di tempat ini setelah beberapa hari lalu
ANDINI's POV BRAAK! Sesaat aku masuk ke dalam villa untuk mengambil peralatan penataan bunga, aku dikejutkan dengan suara cukup keras. Kuintip lewat jendela depan, benar saja dugaanku. Bunga-bunga anggrek yang tadi kutaruh di area parkiran, rusak terlindas mobil Baskara yang mundur tadi. Pot-pot itu sudah retak, bahkan pecah. Kulihat beberapa tanamanku rusak batang hingga daunnya. “Ya Allah…” aku hanya bisa mengelus dada. Kenapa benda sebegitu besarnya tidak terlihat dari dalam mobil? Aku segera berlari ke luar dan memunguti anggrek-anggrek itu beserta potnya. Mak Ijah sudah siap dengan membawa kardus besar untuk membawanya. “Mbak, maafkan Tuan Baskara, beliau sedang banyak pikiran…” tanpa banyak bicara lagi, Mak Ijah membawanya ke taman belakang. “Saya dulu suka merawat tanaman anggrek. Punya Mbak Andini ini masih bisa terselamatkan.” Ujarnya sambil memotong-motong bagian yang terlindas namun akarnya masih selamat. “Mau diapakan itu batang atasnya, Mak?” tanyaku. Beliau mem
ANDINI’S pov Hal yang membuatku bertahan sampai sekarang di kontrak ini adalah ibuku. Tanpanya, aku sudah barang tentu membatalkan ini semua dan melanjutkan rencana kaburku. Mak Ijah, satu-satunya temanku di villa sekarang, juga ikut andil dalam usahaku untuk bertahan. Aku mungkin tidak akan betah tinggal di villa jika tidak ada dirinya. Nasehat-nasehat beliau selalu meresap di hati dan bisa mengobati kegundahanku. Sesampainya di rumah Baskara, aku sudah disambut oleh seorang lelaki berbaju batik dengan sepatu yang mengkilat. Kami duduk di area garasi rumah dan didampingi oleh beberapa lelaki lain berseragam serba hitam, Dari pembawaannya terlihat dia bukan orang sembarangan di sini. “Apa yang harus saya katakan nanti?” tanpa berlama-lama lagi, aku bertanya pada lelaki yang baru kutahu namanya Pak Darwis, juru bicara keluarga Baskara. Sepertinya orang ini juga ikut saat pernikahanku berlangsung dan bahkan saat kami masih berada di rumah sakit beberapa bulan silam. “Kamu cukup bi
BASKARA’S pov Selesai konferensi pers, Papa terlihat lebih lega dan tidak uring-uringan lagi. Sepertinya semua berjalan sesuai rencana. Wajahnya terus saja tersenyum sejak tadi. “Bas, baru kali ini kamu punya teman wanita yang pintar dan nurut… sayangnya dia bukan istri sahmu.” Papa menepuk-nepuk pundakku. Hal ini aku yakini membuat namaku semakin baik di hadapan Papa. Meski Laura masih belum bisa aku kondisikan dengan hobi shopping-nya. “Ah, Papa. Dia istri sah, Pa. Hanya saja untuk sementara…” Selorohku sambil tertawa. Pembicaraan ini untungnya hanya melibatkan kami berdua saja. “Jangan kau bilang kalau kau juga menikmati tubuhnya seperti Laura?” Papa menimpaliku yang belum berhenti tertawa. Pertanyaan Papa membuatku terkejut bak tersambar petir di senja ini. Jantungku terasa berhenti berdetak seketika. “Bas, jawab Papa! Jika sampai perempuan itu hamil, urusannya akan semakin rumit. Papa harap kamu bisa tahan nafsumu.” Nasehat Papa dimulai. Teringat akan perbuatanku pada Andi
ANDINI’s POV “Mbak Andini?” Mak Ijah menemukanku berada di ujung taman duduk menyendiri. “Sudah hampir malam Mak. Apa kita masih lama di sini?” Tanyaku. Semenjak beberapa bulan tinggal di villa, aku jadi tidak tahan lama-lama di luar. Aku merasa dunia luar tak seaman dulu. Bayangan keluarga Baskara beserta anak buahnya selalu menghantuiku ke manapun aku pergi. “Mbak, kita tidak akan pulang untuk sementara.” “Lho, memangnya mengapa Mak?” Hal ini mengejutkanku. Karena di awal, rencananya kami akan segera pulang ke villa setelah acara konfrensi pers selesai. Aku teringat pada anak-anak yang harus aku beri bimbingan privat Bahasa Inggris serta bunga-bunga yang baru aku beli. “Kita harus di sini dulu. Cuaca di villa sedang hujan dan beberapa jalan lumpuh. Mbak Andini sekarang jadi sorotan setelah konfrensi pers tadi. Saya lihat tadi pas Mbak Andini wawancara, kelihatan pintar ngomongnya.” Mak Ijah menuturkan. “Mak, lalu bagaimana dengan anak-anak yang di sana? Bunga-bungaku?” Rasa c
Seorang anak kecil memakai seragam taman kanak-kanak sedang menunggu jemputan pulang. Senyum manis menghiasi wajahnya."Belum dijemput?" Gurunya bertanya padanya. Hampir semua teman-temannya telah dijemput oleh orang tua, pembantu atau sopir.Anak itu menggeleng."Hmmm... ini sudah hampir satu jam dari jam pulang. Apa perlu Ibu antar ke rumahmu?" Guru itu merasa tidak tenang karena satu muridnya saja yang belum menunjukkan tanda-tanda akan segera dijemput."Tidak perlu, Bu. Ayah akan menjemputku sekalian membeli kue ulang tahun untukku." Jelas si kecil itu penuh semangat."Siapa yang berulang tahun? Bukankah kamu ulang tahun bulan depan?" "Ibuku maksudnya, tapi kata Ayahku, kue itu nanti aku yang akan memakannya...""Ohhh... jadi Ibumu yang berulang tahun hari ini. Selamat ulang tahun untuk Ibumu ya... Semoga Ibumu sehat, panjang umur dan bahagia selalu." Seru Guru itu sambil menemaninya duduk.
ANDINI's POVSuasana pemakaman jenazah Tuan Hadi dan Bayu diiringi isak tangis yang tak berkesudahan. Beberapa memilih untuk menundukkan kepala. Barangkali, mereka saling mengingat memori yang pernah terjadi di masa hidup mereka.Aku sadari, dalam kehidupan manusia yang panjang... kita bisa saja lupa atau alpa. Tak ubahnya seperti sebuah tulisan yang terkadang banyak yang harus dihapus atau diabaikan."Ma, sudah... Ma..." Baskara membisikkan kata itu di telinga Mamanya.Mamanya sejak tadi menangis tersedu dan tak kuasa menahan air mata yang terus membanjiri wajahnya yang cantik."Ma..." Baskara mengelus-elus lengan Mamanya dan membawanya dalam pelukan.Aku yakin, meski Baskara baru menyadari kalau Tuan Hadi adalah ayah kandungnya, pasti dia merasa kehilangan juga sekarang. Baskara belum sempat memperbaiki keadaan sebelum dia ditinggalkan.Mungkin, mungkin saja dia juga punya rencana untuk memanggilnya 'ayah' atau 'papa' semasa h
ANDINI's POV"Ayah mau ke mana?" Tanyaku menyaksikan Tuan Agus tampak terburu-buru. Di tangan kanannya sudah tertempel ponsel."Bentar, Andini. Kamu di rumah saja dulu." Dia berlari dan menggandeng tangan Mama yang sebetulnya sedang asyik bermain dengan Askara."Ada apa, Pa?" Tanya Mama sembari akhirnya menitipkan Askara padaku."Hadi dan Bayu kecelakaan." Itu saja kalimat yang bisa keluar dari mulutnya. Selanjutnya dia tetap melanjutkan pembicaraan di ponselnya."APA?" Mama Baskarapun pingsan seketika. Beberapa asisten rumah tangga dengan cepat membopongnya untuk ditidurkan di sofa panjang."Nyonya... Bangun Nyonya..." Mereka tampak cemas.Suasana semakin tidak karuan. Aku sampai lupa kalau sekarang ini diriku masih masa pemulihan pasca keguguran."Huhuhu..." Mama bangun lalu pingsan lagi. Air matanya tumpah."Nyonya, minum air dulu. Ini minum dulu..." Bibi Siti tergopoh-gopoh membawa segelas air untuk
BASKARA's POV Andini terlalu larut dalam lamunannya. Sekitar dua bulan ini tak banyak berkata pada siapapun. Dia lebih sering termenung. Papa dan Mama menyarankanku untuk pindah kembali ke rumah. Begitu pula dengan Hans, dia menyuruhku untuk segera pulang. "Percayalah padaku! Aku tahu bagaimana rasa sakitnya bercerai. Aku tahu. Aku bahkan sampai sekarang masih merasakan itu adalah siksaaan terberat dalam hidup." Hans yang selama ini jarang membuka suara soal apa yang dia rasakan, mulai bercerita. "Tapi selama ini juga kamu terlihat baik-baik saja. Kamu bahkan sudah punya pacar ponakan Bibi Siti, bukan? Waktu kita ke Australia saat itu." Aku sampaikan penilaianku terhadapnya. Hans tertawa terbahak-bahak. "Mungkin aku memang punya bakat akting yang terpendam. Kamu tak tahu berapa dalamnya luka itu di dalam hatiku." "Ah, kamu jangan sok puitis..." Komentarku pada Hans yang mulai tertawa. "Sungguh, aku bahkan tiga bulan setelah bercerai tidak bisa tidur kalau belum jam dua pagi.
ANDINI's POVBagiku ini adalah akhir. Tak bisa lagi aku mencari alasan untuk meyakinkanku tinggal. Rasanya lebih baik aku pergi sejauh-jauhnya.Baskara tak lagi mengenaliku. Bahkan dia sudah lupa dengan sentuhanku."Mbak, makan dulu." Alika, adikku menyediakan bubur ayam yang biasanya aku sangat lahap memakannya.Aku mengangguk tanpa suara. Batinku terlalu sibuk untuk berdialog dengan akalku."Mbak, jangan diem terus. Makanlah..." Sekali lagi Alika membujukku. Namun apa daya, makanan yang seharusnya nikmat disantap kini tak lagi menggugah seleraku."Andini, makanlah." Ibu menyuruhku. Kalau sudah Ibu yang menyuruh, aku tak bisa mengelak."Iya..." Aku patuh memaksa mulutku untuk menerima suapan demi suapan dari Alika."Nah, gitu. Kasihan bayi di perutmu, dia pasti butuh nutrisi." Ucap Ibuku. Saking terbelenggunya pikiranku pada kebencian dan sakit hati, aku lupa kalau tubuhku ini tak hanya milikku sendiri. "Habisin Mbak." Alika menyemangatiku untuk memakan beberapa suap terakhir. Mes
BASKARA's POV Beginikah rasanya ditinggalkan oleh orang yang kita cintai? Aku merasa diriku memang tak layak untuk menjadi suami Andini. Selama mengenalnya, dia tak pernah melakukan hal yang membuatku terpuruk atau tersakiti. Justru sebaliknya, aku yang selama ini menyiksanya. "Sudah... tenangkan saja dirimu, Tuan..." Maya masih setia menemaniku meski aku telah terjatuh dan dijauhi oleh anak dan istriku. Berkali-kali aku sudah menyuruhnya pergi, tapi dia bersikukuh untuk membantuku menyelesaikan masalah. Karena dia juga terlibat dalam skandal ini. "Maya, apa yang harus aku lakukan?" Keluhku padanya. Tak seorangpun mau bicara padaku. Bahkan Papa yang biasanya selalu ada, kini sudah menganggapku tak lebih baik dari seorang pengecut. Pak Gun juga tak menunjukkan batang hidungnya. Pak Ali juga lebih memilih untuk angkat tangan pura-pura tidak mau tahu. Ke mana semua orang yang selama ini baik padaku? Bukankah aku juga begitu baik dan memberikan semua kemudahan pada mereka? Hans sej
BASKARA's POV"Kamu terlihat cantik, Maya..." Mataku tak bisa lepas darinya.Sosok yang dulunya masih remaja dan datang ke keluargaku dalam keadaan lusuh, kini sudah berubah menjadi seorang bidadari yang menawan."Ini karena make up, Tuan..." Bisiknya.Kami harus menjaga jarak karena sedang berada di tempat umum. Kupastikan agar Maya berjalan di belakangku. Rasanya jemariku tak sanggup lagi jika harus menunggu dua atau tiga jam tanpa menyentuh kulit putih yang lembut itu."Baskara! Akhirnya kamu datang..." Papa menyambutku.Mama sejak kedatanganku seperti curiga padaku. Tapi aku pura-pura untuk tidak terjadi apa-apa. Keduanya sibuk dengan menggendong Askara dan Bagas. Bibi Siti juga tampak membersamai mereka."Mana Andini?" Tanyaku pada Mama.Bibirnya mengucapkan sesuatu sebelum akhirnya berkata-kata,"bukankah dia seharusnya berangkat bersamamu?"Pertanyaan Mama seperti menohokku sekarang. Je
ANDINI's POV Bertemu dengan Askara dan Bagas membuatku tersenyum seketika. Keduanya menyambutku dengan senyuman, Bagas bahkan berlari ke arahku saat pintu mobil dibuka. "Maa..." Ucapnya. Dia memelukku dengan sangat erat. "Rindu sama Mama?" Tanyaku. Perutnya terlihat semakin gembul. Pipinya juga terlihat semakin berisi. Sepertinya dia kerasan dan betah berada di rumah lagi. "Mama... Mama tu..." Bagas menunjuk-nunjuk pada beberapa pohon mangga di samping rumah yang sedang berbuah. Aku paham apa yang dia maksudkan. Dia ingin memetiknya. "Ah, kamu mau mangga itu?" Bagas mengangguk tanda setuju. "Mama masuk ke rumah dulu ya. Mau meletakkan barang-barang. Nanti menyusul kamu di sini lagi . Kamu sama Bibi Siti dulu..." Rupanya Bagas mendengarkan apa yang aku sampaikan padanya. Dengan sigap, Bibi Siti membopong tubuhnya untuk menjauh dariku. Karena aku masih membawa beberapa koper yan
BASKARA's POVTangan Maya masih berpegang pada tanganku. Perjalanan ke tukang kayu yang disarankan oleh kontraktor villa akhirnya membuahkan hasil. Maya tahu betul seluk-beluk wilayah villa dan sekitarnya."Untunglah kamu tahu betul wilayah sini, Maya." Pujiku sembari mengemudi mobil kami. Jalanan sedikit licin setelah hujan."Ahh... Aku tidak terlalu tahu sebenarnya. Hanya mengira-ngira saja tadi." Maya menyandarkan kepalanya di bahuku. Kami melanjutkan perjalanan sampai keluar perbatasan. Kondisi jalan memang sangat curam dan berhadapan langsung dengan tebing."Tuan... hati-hati menyetirnya. Jangan sampai jatuh ke jurang." Pesannya. Dia sedikit mengencangkan pegangannya ke tangan kiriku.Aku menghela nafas dan menenangkannya. "Iya. Aku hati-hati kok. Jalanannya memang seperti ini, tapi aku masih bisa melaluinya."Rupanya memang tak mudah melalui jalur satu-satunya ini. Jalanan cukup licin dan banyak akar tan