ANDINI’S pov Hal yang membuatku bertahan sampai sekarang di kontrak ini adalah ibuku. Tanpanya, aku sudah barang tentu membatalkan ini semua dan melanjutkan rencana kaburku. Mak Ijah, satu-satunya temanku di villa sekarang, juga ikut andil dalam usahaku untuk bertahan. Aku mungkin tidak akan betah tinggal di villa jika tidak ada dirinya. Nasehat-nasehat beliau selalu meresap di hati dan bisa mengobati kegundahanku. Sesampainya di rumah Baskara, aku sudah disambut oleh seorang lelaki berbaju batik dengan sepatu yang mengkilat. Kami duduk di area garasi rumah dan didampingi oleh beberapa lelaki lain berseragam serba hitam, Dari pembawaannya terlihat dia bukan orang sembarangan di sini. “Apa yang harus saya katakan nanti?” tanpa berlama-lama lagi, aku bertanya pada lelaki yang baru kutahu namanya Pak Darwis, juru bicara keluarga Baskara. Sepertinya orang ini juga ikut saat pernikahanku berlangsung dan bahkan saat kami masih berada di rumah sakit beberapa bulan silam. “Kamu cukup bi
BASKARA’S pov Selesai konferensi pers, Papa terlihat lebih lega dan tidak uring-uringan lagi. Sepertinya semua berjalan sesuai rencana. Wajahnya terus saja tersenyum sejak tadi. “Bas, baru kali ini kamu punya teman wanita yang pintar dan nurut… sayangnya dia bukan istri sahmu.” Papa menepuk-nepuk pundakku. Hal ini aku yakini membuat namaku semakin baik di hadapan Papa. Meski Laura masih belum bisa aku kondisikan dengan hobi shopping-nya. “Ah, Papa. Dia istri sah, Pa. Hanya saja untuk sementara…” Selorohku sambil tertawa. Pembicaraan ini untungnya hanya melibatkan kami berdua saja. “Jangan kau bilang kalau kau juga menikmati tubuhnya seperti Laura?” Papa menimpaliku yang belum berhenti tertawa. Pertanyaan Papa membuatku terkejut bak tersambar petir di senja ini. Jantungku terasa berhenti berdetak seketika. “Bas, jawab Papa! Jika sampai perempuan itu hamil, urusannya akan semakin rumit. Papa harap kamu bisa tahan nafsumu.” Nasehat Papa dimulai. Teringat akan perbuatanku pada Andi
ANDINI’s POV “Mbak Andini?” Mak Ijah menemukanku berada di ujung taman duduk menyendiri. “Sudah hampir malam Mak. Apa kita masih lama di sini?” Tanyaku. Semenjak beberapa bulan tinggal di villa, aku jadi tidak tahan lama-lama di luar. Aku merasa dunia luar tak seaman dulu. Bayangan keluarga Baskara beserta anak buahnya selalu menghantuiku ke manapun aku pergi. “Mbak, kita tidak akan pulang untuk sementara.” “Lho, memangnya mengapa Mak?” Hal ini mengejutkanku. Karena di awal, rencananya kami akan segera pulang ke villa setelah acara konfrensi pers selesai. Aku teringat pada anak-anak yang harus aku beri bimbingan privat Bahasa Inggris serta bunga-bunga yang baru aku beli. “Kita harus di sini dulu. Cuaca di villa sedang hujan dan beberapa jalan lumpuh. Mbak Andini sekarang jadi sorotan setelah konfrensi pers tadi. Saya lihat tadi pas Mbak Andini wawancara, kelihatan pintar ngomongnya.” Mak Ijah menuturkan. “Mak, lalu bagaimana dengan anak-anak yang di sana? Bunga-bungaku?” Rasa c
BASKARA’s POV Laura melenggak-lenggokkan tubuhnya dengan perlahan. Jantungku berdegup makin kencang. Aku tak bisa menebak gerakan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. “Laura…” “Iya… ini kan yang kamu mau?” Dia menggerak-gerakkan kedua tali bajunya yang membuatku semakin bergairah melihatnya. Tubuhnya sudah hampir terbuka sepenuhnya, kedua tanganku sudah bersiap menggapai Laura. Tok, tok, tok…. Suara pintu kamarku diketok oleh seseorang. Aku dan Laura saling berpandangan. Siapa yang datang malam-malam begini? “Mengganggu saja!” Gerutuku. “Biar aku yang melihatnya, okay?” Laura memberikan sebuah kecupan padaku dan kemudian memakai kimono untuk menutup pakaian dinasnya tadi. “Huh!” kulemparkan bantal karena kekesalanku. Kenapa di saat aku akan bersenang-senang dengan istriku, malah hadir seorang pengganggu. Aku mendengar Laura berbincang dengan seseorang. “Iya, Ma… baiklah. Bisa… iya…” Laura kembali mendekatiku setelah menutup pintu. Raut mukanya nampak kebingungan. “Ada k
ANDINI’s POVMemperhatikan setiap gerak-gerik Baskara adalah hal mustahil di rumah sebesar ini. Nyaris pembantu dan majikan tidak akan bertemu, kecuali jika memang bekerja di ruang-ruang utama rumah ini. Santi sejak pagi tidak nampak batang hidungnya, mungkin dia melayani ayah Baskara dan membersihkan banyak hal di ruang atas.Mak Ijah pergi sebentar lalu tiba-tiba kembali lagi ke dapur. Matanya mencari-cari seseorang.“Mbak Andini…” tiba-tiba dia memanggilku. Aku memang tadinya bekerja membersihkan sayur-sayuran di dekat sink cuci piring.Kali ini aku sudah duduk manis di meja samping memotong-motong paprika serta cabe.“Iya, Mak?” jawabku.Tangannya melambai. Aku mendekatinya sambil menyisihkan terlebih dahulu bahan-bahan yang sudah aku potongi.Dengan suara yang rendah Mak Ijah berbisik, ”Mbak Andini, dipanggil Tuan Baskara. Katanya penting.”Baskara? Kenapa memanggilku lagi…“Mak, bukannya urusan soal konferensi pers sudah selesai. Apa lagi yang harus saya selesaikan?” tanyaku sam
BASKARA’s POV Selama hubungan mutualisme antara aku dan Andini berjalan, belum pernah sekalipun Andini menjadi pihak yang menginginkan hubungan di dalam kamar tidur. Selalu diriku yang menjadi monster untuk memaksakan kehendak kepadanya. Seakan aku adalah penjahat yang selalu dan selalu memberikan tekanan pada Andini untuk memenuhi hawa nafsuku. Buah dari kesabaran dan kegigihanku, Andini akhirnya bertekuk lutut dan semalaman menjadi sosok yang mampu membuatku terpuaskan. Laura biasanya hanya bertahan sekali atau dua kali, lalu dia kelelahan dan memintaku untuk berhenti. Tak jarang juga dia menolakku. Bersama Andini, aku punya banyak hal yang bisa kugunakan sebagai alibi untuk membuatnya tak berdaya menolakku. “Sudahlah, kembalilah tidur di sini…” Dekapku padanya yang sedari tadi mengendap-endap di balik pintu. Tak juga Andini berpindah dari posisinya mengawasi area luar kamar. Setelah berhasil kubawa tubuhnya kembali ke ranjang, kupeluk erat-erat. Baru kurasakan sekarang, Andin
ANDINI’s POVAkhirnya Mak Ijah mengizinkanku untuk menghubungi ibuku. Rindu yang sudah terpendam sekian lamanya. Akhirnya aku bisa melihat ibu dan adikku. Kami berbincang cukup lama.Di luar dugaanku, Prasetia, sosok yang selalu ada dalam tiap doaku… muncul juga dalam layar ponsel. Dia baru datang katanya.Melihatnya walau tak bisa menyentuhnya, hatiku sudah cukup senang. Tatapan matanya nampak sayu, apakah dia juga merindu sepertiku?Sebenarnya ingin aku bermanja-manja dengannya, karena kami sekarang sudah sama-sama tahu bagaimana perasaan kami, hanya aku malu. Ada ibu dan adikku di sebelahnya. Saat-saat beginilah aku begitu merindukan memiliki ponsel sendiri agar lebih privasi.“Jaga dirimu…” Kalimat terakhir Prasetia sempat terucap, sebelum Baskara diam-diam ketahuan menguping pembicaraan kami dan aku mengakhiri panggilan.Tanganku menjatuhkan ponselnya ke ranjang.Saat diriku hampir menangis sesenggukan, Baskara mengatakan kalimat yang membuatku seperti tersengat listrik jutaan vo
ANDINI’s POV “Lepaskan aku!” sekuat tenaga aku berusaha melepaskan cengkeraman tangannya. Bayu seperti orang yang sedang kesurupan, tenaganya benar-benar kuat. Aku hampir kehabisan nafas saat berusaha melepaskan diri. Saat satu tanganya berhasil aku lepas, tangan satunya dengan sigap memegangiku lebih kuat lagi. “Andini, kamu jangan sok suci. Aku tahu kamu pasti sudah tidak gadis lagi…” Kedua tangannya menyentuh pinggangku sekarang dan kedua matanya tertuju pada bibirku. Jarak kami begitu dekat. “Sudah, lepaskan aku! Lepaskan! Kamu belum kapok juga ya setelah dipukul Tuan Baskara dulu. Kamu mau dipukul lagi?” Aku berusaha berteriak lebih kencang meski kamarku dalam keadaan tertutup. “Apa? Baskara? Mana dia bisa mendengarmu sekarang. Dia ada di kantor, Andini. Jadi ini adalah waktu untuk kita bersenang-senang.” Gumamnya sambil mendekatkan bibirnya pada pipiku. Ada jejak bibirnya sekarang mendarat di pipi kiriku. Jijik. Aku mengusapnya dengan satu tanganku. Aku tak mau itu terjad
Seorang anak kecil memakai seragam taman kanak-kanak sedang menunggu jemputan pulang. Senyum manis menghiasi wajahnya."Belum dijemput?" Gurunya bertanya padanya. Hampir semua teman-temannya telah dijemput oleh orang tua, pembantu atau sopir.Anak itu menggeleng."Hmmm... ini sudah hampir satu jam dari jam pulang. Apa perlu Ibu antar ke rumahmu?" Guru itu merasa tidak tenang karena satu muridnya saja yang belum menunjukkan tanda-tanda akan segera dijemput."Tidak perlu, Bu. Ayah akan menjemputku sekalian membeli kue ulang tahun untukku." Jelas si kecil itu penuh semangat."Siapa yang berulang tahun? Bukankah kamu ulang tahun bulan depan?" "Ibuku maksudnya, tapi kata Ayahku, kue itu nanti aku yang akan memakannya...""Ohhh... jadi Ibumu yang berulang tahun hari ini. Selamat ulang tahun untuk Ibumu ya... Semoga Ibumu sehat, panjang umur dan bahagia selalu." Seru Guru itu sambil menemaninya duduk.
ANDINI's POVSuasana pemakaman jenazah Tuan Hadi dan Bayu diiringi isak tangis yang tak berkesudahan. Beberapa memilih untuk menundukkan kepala. Barangkali, mereka saling mengingat memori yang pernah terjadi di masa hidup mereka.Aku sadari, dalam kehidupan manusia yang panjang... kita bisa saja lupa atau alpa. Tak ubahnya seperti sebuah tulisan yang terkadang banyak yang harus dihapus atau diabaikan."Ma, sudah... Ma..." Baskara membisikkan kata itu di telinga Mamanya.Mamanya sejak tadi menangis tersedu dan tak kuasa menahan air mata yang terus membanjiri wajahnya yang cantik."Ma..." Baskara mengelus-elus lengan Mamanya dan membawanya dalam pelukan.Aku yakin, meski Baskara baru menyadari kalau Tuan Hadi adalah ayah kandungnya, pasti dia merasa kehilangan juga sekarang. Baskara belum sempat memperbaiki keadaan sebelum dia ditinggalkan.Mungkin, mungkin saja dia juga punya rencana untuk memanggilnya 'ayah' atau 'papa' semasa h
ANDINI's POV"Ayah mau ke mana?" Tanyaku menyaksikan Tuan Agus tampak terburu-buru. Di tangan kanannya sudah tertempel ponsel."Bentar, Andini. Kamu di rumah saja dulu." Dia berlari dan menggandeng tangan Mama yang sebetulnya sedang asyik bermain dengan Askara."Ada apa, Pa?" Tanya Mama sembari akhirnya menitipkan Askara padaku."Hadi dan Bayu kecelakaan." Itu saja kalimat yang bisa keluar dari mulutnya. Selanjutnya dia tetap melanjutkan pembicaraan di ponselnya."APA?" Mama Baskarapun pingsan seketika. Beberapa asisten rumah tangga dengan cepat membopongnya untuk ditidurkan di sofa panjang."Nyonya... Bangun Nyonya..." Mereka tampak cemas.Suasana semakin tidak karuan. Aku sampai lupa kalau sekarang ini diriku masih masa pemulihan pasca keguguran."Huhuhu..." Mama bangun lalu pingsan lagi. Air matanya tumpah."Nyonya, minum air dulu. Ini minum dulu..." Bibi Siti tergopoh-gopoh membawa segelas air untuk
BASKARA's POV Andini terlalu larut dalam lamunannya. Sekitar dua bulan ini tak banyak berkata pada siapapun. Dia lebih sering termenung. Papa dan Mama menyarankanku untuk pindah kembali ke rumah. Begitu pula dengan Hans, dia menyuruhku untuk segera pulang. "Percayalah padaku! Aku tahu bagaimana rasa sakitnya bercerai. Aku tahu. Aku bahkan sampai sekarang masih merasakan itu adalah siksaaan terberat dalam hidup." Hans yang selama ini jarang membuka suara soal apa yang dia rasakan, mulai bercerita. "Tapi selama ini juga kamu terlihat baik-baik saja. Kamu bahkan sudah punya pacar ponakan Bibi Siti, bukan? Waktu kita ke Australia saat itu." Aku sampaikan penilaianku terhadapnya. Hans tertawa terbahak-bahak. "Mungkin aku memang punya bakat akting yang terpendam. Kamu tak tahu berapa dalamnya luka itu di dalam hatiku." "Ah, kamu jangan sok puitis..." Komentarku pada Hans yang mulai tertawa. "Sungguh, aku bahkan tiga bulan setelah bercerai tidak bisa tidur kalau belum jam dua pagi.
ANDINI's POVBagiku ini adalah akhir. Tak bisa lagi aku mencari alasan untuk meyakinkanku tinggal. Rasanya lebih baik aku pergi sejauh-jauhnya.Baskara tak lagi mengenaliku. Bahkan dia sudah lupa dengan sentuhanku."Mbak, makan dulu." Alika, adikku menyediakan bubur ayam yang biasanya aku sangat lahap memakannya.Aku mengangguk tanpa suara. Batinku terlalu sibuk untuk berdialog dengan akalku."Mbak, jangan diem terus. Makanlah..." Sekali lagi Alika membujukku. Namun apa daya, makanan yang seharusnya nikmat disantap kini tak lagi menggugah seleraku."Andini, makanlah." Ibu menyuruhku. Kalau sudah Ibu yang menyuruh, aku tak bisa mengelak."Iya..." Aku patuh memaksa mulutku untuk menerima suapan demi suapan dari Alika."Nah, gitu. Kasihan bayi di perutmu, dia pasti butuh nutrisi." Ucap Ibuku. Saking terbelenggunya pikiranku pada kebencian dan sakit hati, aku lupa kalau tubuhku ini tak hanya milikku sendiri. "Habisin Mbak." Alika menyemangatiku untuk memakan beberapa suap terakhir. Mes
BASKARA's POV Beginikah rasanya ditinggalkan oleh orang yang kita cintai? Aku merasa diriku memang tak layak untuk menjadi suami Andini. Selama mengenalnya, dia tak pernah melakukan hal yang membuatku terpuruk atau tersakiti. Justru sebaliknya, aku yang selama ini menyiksanya. "Sudah... tenangkan saja dirimu, Tuan..." Maya masih setia menemaniku meski aku telah terjatuh dan dijauhi oleh anak dan istriku. Berkali-kali aku sudah menyuruhnya pergi, tapi dia bersikukuh untuk membantuku menyelesaikan masalah. Karena dia juga terlibat dalam skandal ini. "Maya, apa yang harus aku lakukan?" Keluhku padanya. Tak seorangpun mau bicara padaku. Bahkan Papa yang biasanya selalu ada, kini sudah menganggapku tak lebih baik dari seorang pengecut. Pak Gun juga tak menunjukkan batang hidungnya. Pak Ali juga lebih memilih untuk angkat tangan pura-pura tidak mau tahu. Ke mana semua orang yang selama ini baik padaku? Bukankah aku juga begitu baik dan memberikan semua kemudahan pada mereka? Hans sej
BASKARA's POV"Kamu terlihat cantik, Maya..." Mataku tak bisa lepas darinya.Sosok yang dulunya masih remaja dan datang ke keluargaku dalam keadaan lusuh, kini sudah berubah menjadi seorang bidadari yang menawan."Ini karena make up, Tuan..." Bisiknya.Kami harus menjaga jarak karena sedang berada di tempat umum. Kupastikan agar Maya berjalan di belakangku. Rasanya jemariku tak sanggup lagi jika harus menunggu dua atau tiga jam tanpa menyentuh kulit putih yang lembut itu."Baskara! Akhirnya kamu datang..." Papa menyambutku.Mama sejak kedatanganku seperti curiga padaku. Tapi aku pura-pura untuk tidak terjadi apa-apa. Keduanya sibuk dengan menggendong Askara dan Bagas. Bibi Siti juga tampak membersamai mereka."Mana Andini?" Tanyaku pada Mama.Bibirnya mengucapkan sesuatu sebelum akhirnya berkata-kata,"bukankah dia seharusnya berangkat bersamamu?"Pertanyaan Mama seperti menohokku sekarang. Je
ANDINI's POV Bertemu dengan Askara dan Bagas membuatku tersenyum seketika. Keduanya menyambutku dengan senyuman, Bagas bahkan berlari ke arahku saat pintu mobil dibuka. "Maa..." Ucapnya. Dia memelukku dengan sangat erat. "Rindu sama Mama?" Tanyaku. Perutnya terlihat semakin gembul. Pipinya juga terlihat semakin berisi. Sepertinya dia kerasan dan betah berada di rumah lagi. "Mama... Mama tu..." Bagas menunjuk-nunjuk pada beberapa pohon mangga di samping rumah yang sedang berbuah. Aku paham apa yang dia maksudkan. Dia ingin memetiknya. "Ah, kamu mau mangga itu?" Bagas mengangguk tanda setuju. "Mama masuk ke rumah dulu ya. Mau meletakkan barang-barang. Nanti menyusul kamu di sini lagi . Kamu sama Bibi Siti dulu..." Rupanya Bagas mendengarkan apa yang aku sampaikan padanya. Dengan sigap, Bibi Siti membopong tubuhnya untuk menjauh dariku. Karena aku masih membawa beberapa koper yan
BASKARA's POVTangan Maya masih berpegang pada tanganku. Perjalanan ke tukang kayu yang disarankan oleh kontraktor villa akhirnya membuahkan hasil. Maya tahu betul seluk-beluk wilayah villa dan sekitarnya."Untunglah kamu tahu betul wilayah sini, Maya." Pujiku sembari mengemudi mobil kami. Jalanan sedikit licin setelah hujan."Ahh... Aku tidak terlalu tahu sebenarnya. Hanya mengira-ngira saja tadi." Maya menyandarkan kepalanya di bahuku. Kami melanjutkan perjalanan sampai keluar perbatasan. Kondisi jalan memang sangat curam dan berhadapan langsung dengan tebing."Tuan... hati-hati menyetirnya. Jangan sampai jatuh ke jurang." Pesannya. Dia sedikit mengencangkan pegangannya ke tangan kiriku.Aku menghela nafas dan menenangkannya. "Iya. Aku hati-hati kok. Jalanannya memang seperti ini, tapi aku masih bisa melaluinya."Rupanya memang tak mudah melalui jalur satu-satunya ini. Jalanan cukup licin dan banyak akar tan