"Kamu yang sabar ya, Andini…"
Suara Paman membuatku semakin yakin akan firasatku tadi pagi ketika Ibuku menelpon dengan isak tangis yang histeris. Paman Adi dan Bibi nampak lesu.
"Ibu dimana?" tanyaku pada mereka. Nafasku masih belum bisa teratur. Aku berlari dari lobby hingga ke mari.
Mataku melihat sekeliling, aku tak mendapati ibuku yang pagi tadi meneleponku.
"Ibumu masih di ruang rawat inap. Tapi tenang saja, ibumu tidak kenapa-napa hanya kelelahan.." Paman mencoba menenangkan aku.
Setelah duduk di ruang tunggu UGD, Paman dan Bibi menceritakan kronologis insiden kecelakaan yang membuat ayah belum sadarkan diri.
"Rencananya ayahmu akan dioperasi sore ini. Menunggu hasilnya keluar.." Jelas Paman sambil matanya berkaca-kaca.
Beliau terlihat terpukul. Aku hanya bisa menutup bibirku dengan kedua tangan. Air mataku sudah jatuh membasahi pipi sejak tadi.
"Lalu bagaimana biaya operasinya...Apalagi, kondisi keuangan keluarga sedang memburuk!” Gumamku lirih.
Aku sudah terbayang dengan biaya operasi yang tentu biayanya tidak murah. Dari mana kami akan mendapatkan uang? Untuk kehidupan sehari-hari saja kami kesulitan.
Terdengar tiba-tiba ada seseorang yang mendatangi paman.
"Pak, segala-sesuatunya kami akan menanggung biayanya. Tapi jangan sampai laporkan kejadian ini ke polisi, cukup secara kekeluargaan saja..."
Mucul seorang pria yang berdiri di depan Pamanku. Sosok asing yang sama sekali belum pernah aku lihat sebelumnya.
Paman terkejut. Mungkin sekarang beliau juga sedang berusaha mencerna kalimat yang diutarakan pria itu padanya.
“Bapak tenang saja…Saya tahu keluarga Bapak sekarang sedang dalam kesulitan. Mari ikut saya sebentar…”
Sejurus kemudian, Paman berdiri dan mengikutinya. Mereka berdua mencari tempat di ujung lorong rumah sakit. Pembicaraan yang cukup serius.
Seorang perawat dan dokter mendatangi mereka berdua. Pembicaraan cukup lama berlangsung, hingga aku tak bisa menahan lebih lama, kuikuti mereka.
"Bagaimana kondisi Ayah?" tanyaku pada Paman. Beliau yang tahu menahu soal perkembangan terakhir kondisi Ayahku.
“Kamu yang sabar… Kamu kuat, Andini… Kamu harus menguatkan Ibu dan saudaramu.” Beliau memelukku dengan sangat erat.
Tanpa berbicara lagi, kami saling memeluk dan menangis tanpa suara. Kupikir ini adalah akhir dari segalanya, rupanya ini barulah permulaan ujian kehidupanku yang sebenarnya.
**
"Mbakyu, yang sabar ya Mbak...." Suara Bibi sedari tadi memberikan semangat pada Ibuku. Sambil mengusap-usap pundaknya untuk membuatnya tabah.
Berkali-kali Ibuku pingsan di pusara Ayah.
Air mataku nyaris habis. Semua sudah kutumpahkan saat mendengar kabar kematian ayah di rumah sakit. Aku menangis sejadi-jadinya.
“Ayo, Mbakyu kita pulang… biarkan suamimu beristirahat dengan tenang…” Bisik Bibi ke telinga Ibu.
“Yang ikhlas, Mbak. Masih ada anak-anak yang harus dijaga. Mbak yang tabah ya?”
Kedua kalinya Ibuku mencium batu nisan Ayah dan dengan langkah berat, akhirnya Ibu mau beranjak pergi.
"Ibu, ayo kita pulang..." pintaku sambil menggandeng tangan kedua adikku yang masih duduk di bangku SMP.
Hampir semua peziarah telah pulang.
Mendadak mendung awan hitam datang. Hanya dalam hitungan detik, hujan deras tiba-tiba mengguyur kami. Seolah Ayah meminta kami semua untuk pulang ke rumah.
"Mbakyu, ayo pulang!" Paman Adi berkali-kali berteriak dari kejauhan
Kami berlarian ke mobil milik Paman dan secepatnya masuk agar tubuh kami tidak semakin terpapar air hujan yang semakin deras.
Kilatan petir menyambar-nyambar, membuat kami sementara berhenti dari kesedihan dan rasa ketakutan mulai menerpa. Bayangan hidup tanpa Ayah, serta Ibu yang sedari tadi masih belum sepenuhnya sadarkan diri.
**
“Andini, seperti yang sudah kamu ketahui, perusahaan keluarga kita sudah tidak bisa dipertahankan lagi…”
Setelah kabar duka kematian Ayah, rupanya ujian belum selesai.
“Jadi, perusahaan kita sudah dijual untuk menutup piutang. Itupun masih belum sepenuhnya terbayarkan. Paman masih berusaha untuk mencari solusi.” Paman Adi terlihat terpukul.
Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Kuliahku di semester enam di jurusan Sastra Inggris, sepertinya harus aku kesampingkan dulu. Kondisi ekonomi keluarga tidak memungkinkan untuk membiayaiku.
“Lantas, apa yang harus kita lakukan Paman?” tanyaku. Setidaknya aku ingin berbuat sesuatu pada perusahaan yang dibangun oleh Ayah dan Paman dari nol.
“Paman?” Tanyaku.
“Andini, sebenarnya… ada hal yang bisa kita lakukan untuk keluar dari jeratan hutang ini. Syaratnya hanya satu, keluarga yang menabrak ayahmu menawarkan sebuah bantuan…”
Aku masih belum mengerti. Sebegitu merasa bersalahnya mereka sehingga membantu kami? Apa yang bisa kami berikan sebagai imbalan atas bantuan itu?
“Maksud Paman bagaimana?”
Paman Adi mendekatiku.
“Kamu diminta jadi menantu keluarganya. Ini sebagai wujud terima kasih kita pada mereka.”
“Kenapa kita berterima kasih pada mereka?” Tanyaku.
“Karena mereka berjanji akan menutup semua hutang perusahaan kita, Andini. Kita tidak punya pilihan. Perusahaan keluarga kita memiliki karyawan ratusan orang. Jika keluarga Pak Agus tidak membantu, bagaimana nasib mereka? Apa kamu mau mereka semua dipecat dan tidak punya pekerjaan lagi?” Paman Adi menjelaskan.
“Tapi, aku sudah kehilangan Ayahku, Paman. Ayah sudah tidak bisa bersama kita lagi.” Tangisku mulai menggema di ruangan kantor Paman.
“Sekarang, coba kamu pikirkan baik-baik. Aku tahu kamu sedang bersedih, tapi inilah kenyataan. Paman dan Ayahmu terlilit hutang besar. Perusahaan akan kandas. Kamu dan keluargamu bisa-bisa akan menjadi gelandangan. Kita tidak memiliki asset lain lagi.” Paman menghela nafas Panjang.
“Lalu dengan perantara kematian Ayahmu yang ditabrak keluarga Pak Agus, kita mendapatkan tawaran besar untuk menyelamatkan keluarga dan perusahaan. Satu lemparan batu untuk menjerat dua burung sekaligus.”
Kedua matanya nampak seperti hidup kembali. Seakan mendapatkan harapan baru.
Tapi, haruskah aku yang menjadi tumbal untuk ini semuanya?
“Kamu tidak usah berpikir panjang, Andini. Paman sudah mengatur semuanya. Pak Agus akan ke rumahmu nanti malam. Sekalian membawa anaknya untuk mengenalmu lebih jauh. Kuharap, kamu bisa menerima kedatangan mereka dengan baik. Ibumu sudah tahu…”
Aku terkejut bukan main, bagaimana bisa beliau merahasiakan hal besar ini kepadaku?
“Apa Ibuku menyetujuinya, Paman?” tanyaku.
Ibu pasti akan membelaku. Karena seorang ibu tidak mungkin melakukan ini pada putrinya, bukan?
“Justru ini adalah ide Ibumu…” balas Paman Adi sambil menatap kedua mataku.
Di luar dugaan. Ibuku?
Paman menjawab dengan nada serius. Benarkah? Jantungku berdenyut lebih kencang, seakan memburu sesuatu. Aku tak punya pilihan.
Bunuh diri jelas bukanlah sebuah jalan keluar. Apalagi Ibu dan adik-adikku masih membutuhkanku. Haruskah aku menjalani pernikahan yang tak kuinginkan ini? Bahkan aku tidak sempat berpikir lagi, dengan siapa aku akan menikah nanti.
Saat aku menyadarinya, suara ketukan pintu rumah dengan jelas terdengar.
“Apakah benar ini rumah Mbak Andini?”
Seorang lelaki paruh baya menemuiku.
“Ya. Maaf ada perlu apa ya?”
“Saya Ali, sopir dari Pak Agus. Dan ini Tuan Baskara, putra Pak Agus Kuntoaji. Kami datang untuk meminang Mbak Andini.”
Mimpi buruk itu bukan hanya mimpi semata. Mereka datang ke hadapanku lebih cepat dari yang aku bayangkan.
“Mari silakan masuk…” Paman Adi mempersilakan mereka masuk. Pembicaraan pun dimulai.
Sedari tadi aku tak berani menatap wajahnya. Meski aku sadar, kedua matanya terus menatap ke arahku. Setidaknya aku lega, tidak menikahi lelaki tua atau kakek-kakek kaya raya. Pembicaraan didominasi oleh Pak Ali dengan Paman Adi.
Suasana hangat itu tiba-tiba berubah seketika. Saat Pak Ali ingin undur diri untuk pamit.
“Dari saya, hanya ada satu hal yang ingin saya sampaikan. Saya ingin pernikahan ini dirahasiakan.” Suara Baskara tiba-tiba terdengar. “Karena ada hati seseorang yang harus saya jaga.”
Sudah kuduga, pernikahan ini bukan pernikahan biasa.
“Saya nikahkan dan kawinkan Engkau, Baskara Jayakusuma bin Haji Agus Jayakusuma dengan Andini Prameswari binti Kuntoaji dengan mas kawin dua ratus gram emas mulia dibayar tunai!"Ucap Paman Adi sambil menjabat tangan laki-laki yang sedang menjalani ijab qabul. Beliau menjadi wali nikahku, mewakili Ayah yang telah tiada.“Saya terima, nikah dan kawinnya Andini Prameswari binti Kuntoaji dengan mas kawin tersebut, tunai!” jawab lelaki yang duduk bersanding denganku, tanpa jeda sejenakpun.Hatiku semakin berdegup saat namaku disebut dalam acara yang menegangkan ini. Bisa-bisanya aku menyetujui pernikahan yang sama sekali tidak kuinginkan. Padahal kami baru sekali bertemu. Itupun aku tidak berani menatap wajahnya sama sekali."Bu.."aku memeluk Ibuku dengan erat.Nafasku seperti terhenti."Maafkan Ibumu, Andini, maafkan Ibu..." berkali-kali Ibu meminta maaf padaku. Tangsinya tak tertahan lagi.“Ibu tidak punya pilihan…” Bisiknya sambil mengelus-elus pundakku.Aku tahu jika pernikahan ini ha
Mataku terbuka perlahan. Melihat sosoknya dari dekat. Rupanya ini bukan mimpi. "Andini!" Sosok itu memanggilku. Siapa yang malam-malam begini mendatangiku? Apakah itu....Ya, sosok yang mendekat itu adalah Baskara."Ayo, bangunlah. Cepat!"Ia tertawa sinis dan menjelma menjadi monster yang menyeramkan saat malam.Ia meraih tanganku dan membangunkanku dengan paksa karena aku sama sekali tidak beraksi dengan upayanya membangunkanku tadi. Emosinya mulai naik."Andini, cepat bangun... Atau kamu mau aku melakukannya saat kamu tidur?""Tuan, apa yang Tuan lakukan malam-malam di kamar saya?" suaraku masih parau.Aku memberanikan diri untuk menepis tangannya yang sejak tadi mencengkeramku. Sementara mataku masih belum mampu terbuka sepenuhnya.Segera kutarik selimutku sekuatnya untuk melindungi tubuhku."Aku juga tahu ini sudah malam!" Ia tertawa sinis.Wajahnya seperti orang yang sedang kerasukan."Tuan jangan mendekat! Atau saya akan berteriak..." aku mulai menangis ketakutan. Tanganku be
BAB 4"Pak Gun, saya balik dulu, Jaga dan awasi Andini...” Komando Baskara pada Pak Gun, penjaga villa setelah selesai mengemas barang bawaannya.Aku berdiri mematung di dekat pintu. Melihat untuk yang terakhir kali sebelum lelaki itu pergi.“Jangan sampai dia kabur. Akhir pekan nanti saya ke sini. Kalau ada apa-apa jangan lupa hubungi saya. Sekalian cek juga perkembangan proyek rumah baru. Saya tidak mau mandor-mandornya curang seperti waktu membangun villa ini dulu.”Rumah baru? Oh, rupanya yang dimaksud proyek itu adalah rumah baru. Mungkin untuk tempat tinggal selir-selir Baskara.“Kenapa kamu sejak tadi terdiam? Kamu senang pastinya kalau aku tidak ada di sini.”Kali ini Baskara berjalan mendekatiku. Baiklah, aku harus menahan emosi karena hari ini juga hari terakhirku berada di sini.“Jangan mencoba untuk kabur. Di depan ada dua security yang selama dua puluh empat jam akan menjaga villa. Dan proyek rumah baru juga tidak jauh dari sini. Kamu dalam pengawasan banyak orang, Andini
Kepalaku terasa berat dan mataku tak sanggup untuk kubuka. Aku merasa remuk redam di sekujur tubuhku. Kakiku pun tak bisa kugerakkan dengan leluasa. Sendi-sendi ini terasa terhimpit satu sama lain. “Aahhh…” Erangku. “Kamu sudah bangun? Syukurlah…” suara seorang wanita mendekatiku. Di mana aku? Kulihat sekeliling. Apakah aku sudah di alam kubur? “Pak Gun, dia sudah siuman.” Seseorang yang tadi akhirnya mengabarkanku pada Pak Gun. Tunggu, Pak Gun? Berarti aku masih hidup dan aku masih di area dekat villa. Ya Tuhan, semalam aku berencana kabur dan gagal. Lalu… bagaimana bisa aku berakhir di tempat ini? Dan kepalaku terasa sangat berat. “Terima kasih Bu Bidan, sudah merawat Mbak Andini semalaman.” Jelas itu adalah suara Pak Gun. “Akan saya bawa Kembali ke villa.” “Tunggu, Pak. Saya tidak mau kembali ke villa.” Elakku. Aku tak mau jika harus berhadapan dengan Baskara lagi. Bagiku, lebih baik mati daripada harus kembali. Toh semalam aku sudah bertarung dengan maut untuk berupaya
Aku pasrahkan sepenuhnya diriku pada Baskara. Energiku belum sepenuhnya pulih. Badan yang terasa dibanting berkali-kali dengan tulangku yang serasa patah satu persatu. Mau memberontak dengan kalimatpun aku tak sanggup lagi. “Bunuh aku saja!” Pintaku untuk terakhir kali. “Apa?” Baskara terkejut. “Aku ingin penderitaanku selesai.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku. “Ah, di mana seninya hidup, Andini, iika aku harus menghabisimu sekarang? Aku lebih menikmati dirimu sebagai mainanku yang bisa mengobati rasa bosan kapanpun aku mau.” Gumamnya tanpa merasa ada yang salah dari kalimatnya sedikitpun. Ingin sekali aku berteriak dan memakinya, namun diriku hanya sanggup menyaring kalimat itu sehingga tetap terjebak di dalam hati. “Andini…” Ibu jarinya meraba pipiku. Sungguh di luar dugaan. “Baskara, tolong… aku ingin semuanya selesai.” Bisikku. “Sssst… apa maksudmu? Kamu ingin segera menjadi Nyonya Baskara juga seperti Laura? Ck, ck, ck…” Aku menggeleng. “Lalu, apa maumu
Dugaanku tidak salah. Hal yang sesungguhnya tidak ingin aku saksikan akan terjadi. Sebuah nama terpampang di kertas undangan mewah berbalut warna emas dan merah. Kedua netraku masih terpaku pada tiap foto hasil jepretan fotografer handal ibukota. Baskara Jayakusuma bersanding dengan nama Laura Wright Danardi. Hatiku pecah berkeping. Baru semalam rasanya rasa cinta itu muncul dan berbunga. Tiba-tiba layu seketika. “Lho, Mbak Andini sudah baca undangannya?” Mak Ijah membangunkanku dari lamunan. Seketika aku letakkan kembali undangan mewah ke atas meja. Air mata sebisanya kutahan. “Eh, anu. Tadi Tuan Baskara berpesan, akhir pekan ini untuk mengajak Mbak Andini juga menghadiri pesta pernikahan Tuan Muda.” Pak Gun menyela. Setelah dia memindahkan beberapa pot bunga keluar ruangan, Pak Gun mendekati kami. “Apa sebaiknya Mbak Andini segera siap-siap saja, siapa tahu ada barang yang dibutuhkan untuk dibeli.” Hanya senyuman yang bisa aku berikan sebagai jawaban kali ini. Kepalaku seper
“Tante, Apakah aku mengganggu?”Wanita berparas ayu itu menyambut kedatangannya dengan pelukan.“Bayu! Kapan kamu datang?”Keduanya berpelukan. Seketika dia melupakan keberadaanku.“Ijah, bawa dia pergi. Akan aku selesaikan urusan ini di lain waktu.” Pesannya.Mak Ijah secepatnya mengajakku keluar.“Kita selamat, Mbak. Untung ada Tuan Bayu.” Nafasnya lega.“Siapa Bayu?” tanyaku sambil berjalan mensejajari Mak Ijah. “Apa dia keponakan ibu Baskara?”Mak Ijah mengangguk. “Dia keponakan kesayangan Nyonya Besar. Anak dari kakak Tuan Haji Agus, ayah Tuan Baskara.“Sepertinya beliau orang baik. Begitu perhatian dengan keponakannya.” Gumamku.“Kita tunggu dulu Pak Gun di sini. Tadi Pak Gun sudah menyiapkan satu kamar untuk Mbak Andini istirahat.”Tak berselang lama, Pak Gun datang membawa sebuah kartu di tangannya.“Mbak Andini, istirahat dulu di sini. Tuan Baskara bilang sebaiknya menginap saja daripada kelelahan. Semua keluarga besar juga di sini menginap di lantai atas.”“Maksudnya?” aku k
ANDINI's Point of View (POV) Mak Ijah tergopoh-gopoh menyusulku ke kamar. Bisa kusaksikan sendiri kalau nafasnya seakan mau putus. Sebetulnya aku kasihan melihatnya. Tapi aku harus tetap bertahan dengan rencana utamaku. Sudah cukup aku diatur-atur oleh Baskara dan keluarganya. “Mak, semua barang sudah saya packing. Sekarang tinggal check out. Pak Gun suruh siapkan mobilnya.” Perintahku dengan nada yang sengaja kubuat agar terkesan marah. “Mbak… Mbak Andini jangan marah ya…” bisiknya sambil mengelus-elus rambutku yang terurai panjang. “Mak, saya sudah tidak tahan di sini. Melihat keluarga Tuan Baskara yang semena-mena…” Mak Ijah melanjutkan packingku memasukkan beberapa barang ke tasnya. “Mau tidak mau, suka atau tidak suka… kita yang sudah dibeli waktunya oleh mereka, tidak boleh banyak mengeluh. Mak Ijah tidak bisa menolong apa-apa. Mak Ijah juga tak punya kuasa.” Mendengar nasehat tulusnya, aku terdiam. Sejuta kalimat yang sudah kurangkai padam. “Ayo, kita segera pulang ke
Seorang anak kecil memakai seragam taman kanak-kanak sedang menunggu jemputan pulang. Senyum manis menghiasi wajahnya."Belum dijemput?" Gurunya bertanya padanya. Hampir semua teman-temannya telah dijemput oleh orang tua, pembantu atau sopir.Anak itu menggeleng."Hmmm... ini sudah hampir satu jam dari jam pulang. Apa perlu Ibu antar ke rumahmu?" Guru itu merasa tidak tenang karena satu muridnya saja yang belum menunjukkan tanda-tanda akan segera dijemput."Tidak perlu, Bu. Ayah akan menjemputku sekalian membeli kue ulang tahun untukku." Jelas si kecil itu penuh semangat."Siapa yang berulang tahun? Bukankah kamu ulang tahun bulan depan?" "Ibuku maksudnya, tapi kata Ayahku, kue itu nanti aku yang akan memakannya...""Ohhh... jadi Ibumu yang berulang tahun hari ini. Selamat ulang tahun untuk Ibumu ya... Semoga Ibumu sehat, panjang umur dan bahagia selalu." Seru Guru itu sambil menemaninya duduk.
ANDINI's POVSuasana pemakaman jenazah Tuan Hadi dan Bayu diiringi isak tangis yang tak berkesudahan. Beberapa memilih untuk menundukkan kepala. Barangkali, mereka saling mengingat memori yang pernah terjadi di masa hidup mereka.Aku sadari, dalam kehidupan manusia yang panjang... kita bisa saja lupa atau alpa. Tak ubahnya seperti sebuah tulisan yang terkadang banyak yang harus dihapus atau diabaikan."Ma, sudah... Ma..." Baskara membisikkan kata itu di telinga Mamanya.Mamanya sejak tadi menangis tersedu dan tak kuasa menahan air mata yang terus membanjiri wajahnya yang cantik."Ma..." Baskara mengelus-elus lengan Mamanya dan membawanya dalam pelukan.Aku yakin, meski Baskara baru menyadari kalau Tuan Hadi adalah ayah kandungnya, pasti dia merasa kehilangan juga sekarang. Baskara belum sempat memperbaiki keadaan sebelum dia ditinggalkan.Mungkin, mungkin saja dia juga punya rencana untuk memanggilnya 'ayah' atau 'papa' semasa h
ANDINI's POV"Ayah mau ke mana?" Tanyaku menyaksikan Tuan Agus tampak terburu-buru. Di tangan kanannya sudah tertempel ponsel."Bentar, Andini. Kamu di rumah saja dulu." Dia berlari dan menggandeng tangan Mama yang sebetulnya sedang asyik bermain dengan Askara."Ada apa, Pa?" Tanya Mama sembari akhirnya menitipkan Askara padaku."Hadi dan Bayu kecelakaan." Itu saja kalimat yang bisa keluar dari mulutnya. Selanjutnya dia tetap melanjutkan pembicaraan di ponselnya."APA?" Mama Baskarapun pingsan seketika. Beberapa asisten rumah tangga dengan cepat membopongnya untuk ditidurkan di sofa panjang."Nyonya... Bangun Nyonya..." Mereka tampak cemas.Suasana semakin tidak karuan. Aku sampai lupa kalau sekarang ini diriku masih masa pemulihan pasca keguguran."Huhuhu..." Mama bangun lalu pingsan lagi. Air matanya tumpah."Nyonya, minum air dulu. Ini minum dulu..." Bibi Siti tergopoh-gopoh membawa segelas air untuk
BASKARA's POV Andini terlalu larut dalam lamunannya. Sekitar dua bulan ini tak banyak berkata pada siapapun. Dia lebih sering termenung. Papa dan Mama menyarankanku untuk pindah kembali ke rumah. Begitu pula dengan Hans, dia menyuruhku untuk segera pulang. "Percayalah padaku! Aku tahu bagaimana rasa sakitnya bercerai. Aku tahu. Aku bahkan sampai sekarang masih merasakan itu adalah siksaaan terberat dalam hidup." Hans yang selama ini jarang membuka suara soal apa yang dia rasakan, mulai bercerita. "Tapi selama ini juga kamu terlihat baik-baik saja. Kamu bahkan sudah punya pacar ponakan Bibi Siti, bukan? Waktu kita ke Australia saat itu." Aku sampaikan penilaianku terhadapnya. Hans tertawa terbahak-bahak. "Mungkin aku memang punya bakat akting yang terpendam. Kamu tak tahu berapa dalamnya luka itu di dalam hatiku." "Ah, kamu jangan sok puitis..." Komentarku pada Hans yang mulai tertawa. "Sungguh, aku bahkan tiga bulan setelah bercerai tidak bisa tidur kalau belum jam dua pagi.
ANDINI's POVBagiku ini adalah akhir. Tak bisa lagi aku mencari alasan untuk meyakinkanku tinggal. Rasanya lebih baik aku pergi sejauh-jauhnya.Baskara tak lagi mengenaliku. Bahkan dia sudah lupa dengan sentuhanku."Mbak, makan dulu." Alika, adikku menyediakan bubur ayam yang biasanya aku sangat lahap memakannya.Aku mengangguk tanpa suara. Batinku terlalu sibuk untuk berdialog dengan akalku."Mbak, jangan diem terus. Makanlah..." Sekali lagi Alika membujukku. Namun apa daya, makanan yang seharusnya nikmat disantap kini tak lagi menggugah seleraku."Andini, makanlah." Ibu menyuruhku. Kalau sudah Ibu yang menyuruh, aku tak bisa mengelak."Iya..." Aku patuh memaksa mulutku untuk menerima suapan demi suapan dari Alika."Nah, gitu. Kasihan bayi di perutmu, dia pasti butuh nutrisi." Ucap Ibuku. Saking terbelenggunya pikiranku pada kebencian dan sakit hati, aku lupa kalau tubuhku ini tak hanya milikku sendiri. "Habisin Mbak." Alika menyemangatiku untuk memakan beberapa suap terakhir. Mes
BASKARA's POV Beginikah rasanya ditinggalkan oleh orang yang kita cintai? Aku merasa diriku memang tak layak untuk menjadi suami Andini. Selama mengenalnya, dia tak pernah melakukan hal yang membuatku terpuruk atau tersakiti. Justru sebaliknya, aku yang selama ini menyiksanya. "Sudah... tenangkan saja dirimu, Tuan..." Maya masih setia menemaniku meski aku telah terjatuh dan dijauhi oleh anak dan istriku. Berkali-kali aku sudah menyuruhnya pergi, tapi dia bersikukuh untuk membantuku menyelesaikan masalah. Karena dia juga terlibat dalam skandal ini. "Maya, apa yang harus aku lakukan?" Keluhku padanya. Tak seorangpun mau bicara padaku. Bahkan Papa yang biasanya selalu ada, kini sudah menganggapku tak lebih baik dari seorang pengecut. Pak Gun juga tak menunjukkan batang hidungnya. Pak Ali juga lebih memilih untuk angkat tangan pura-pura tidak mau tahu. Ke mana semua orang yang selama ini baik padaku? Bukankah aku juga begitu baik dan memberikan semua kemudahan pada mereka? Hans sej
BASKARA's POV"Kamu terlihat cantik, Maya..." Mataku tak bisa lepas darinya.Sosok yang dulunya masih remaja dan datang ke keluargaku dalam keadaan lusuh, kini sudah berubah menjadi seorang bidadari yang menawan."Ini karena make up, Tuan..." Bisiknya.Kami harus menjaga jarak karena sedang berada di tempat umum. Kupastikan agar Maya berjalan di belakangku. Rasanya jemariku tak sanggup lagi jika harus menunggu dua atau tiga jam tanpa menyentuh kulit putih yang lembut itu."Baskara! Akhirnya kamu datang..." Papa menyambutku.Mama sejak kedatanganku seperti curiga padaku. Tapi aku pura-pura untuk tidak terjadi apa-apa. Keduanya sibuk dengan menggendong Askara dan Bagas. Bibi Siti juga tampak membersamai mereka."Mana Andini?" Tanyaku pada Mama.Bibirnya mengucapkan sesuatu sebelum akhirnya berkata-kata,"bukankah dia seharusnya berangkat bersamamu?"Pertanyaan Mama seperti menohokku sekarang. Je
ANDINI's POV Bertemu dengan Askara dan Bagas membuatku tersenyum seketika. Keduanya menyambutku dengan senyuman, Bagas bahkan berlari ke arahku saat pintu mobil dibuka. "Maa..." Ucapnya. Dia memelukku dengan sangat erat. "Rindu sama Mama?" Tanyaku. Perutnya terlihat semakin gembul. Pipinya juga terlihat semakin berisi. Sepertinya dia kerasan dan betah berada di rumah lagi. "Mama... Mama tu..." Bagas menunjuk-nunjuk pada beberapa pohon mangga di samping rumah yang sedang berbuah. Aku paham apa yang dia maksudkan. Dia ingin memetiknya. "Ah, kamu mau mangga itu?" Bagas mengangguk tanda setuju. "Mama masuk ke rumah dulu ya. Mau meletakkan barang-barang. Nanti menyusul kamu di sini lagi . Kamu sama Bibi Siti dulu..." Rupanya Bagas mendengarkan apa yang aku sampaikan padanya. Dengan sigap, Bibi Siti membopong tubuhnya untuk menjauh dariku. Karena aku masih membawa beberapa koper yan
BASKARA's POVTangan Maya masih berpegang pada tanganku. Perjalanan ke tukang kayu yang disarankan oleh kontraktor villa akhirnya membuahkan hasil. Maya tahu betul seluk-beluk wilayah villa dan sekitarnya."Untunglah kamu tahu betul wilayah sini, Maya." Pujiku sembari mengemudi mobil kami. Jalanan sedikit licin setelah hujan."Ahh... Aku tidak terlalu tahu sebenarnya. Hanya mengira-ngira saja tadi." Maya menyandarkan kepalanya di bahuku. Kami melanjutkan perjalanan sampai keluar perbatasan. Kondisi jalan memang sangat curam dan berhadapan langsung dengan tebing."Tuan... hati-hati menyetirnya. Jangan sampai jatuh ke jurang." Pesannya. Dia sedikit mengencangkan pegangannya ke tangan kiriku.Aku menghela nafas dan menenangkannya. "Iya. Aku hati-hati kok. Jalanannya memang seperti ini, tapi aku masih bisa melaluinya."Rupanya memang tak mudah melalui jalur satu-satunya ini. Jalanan cukup licin dan banyak akar tan